Bab 4|Ide Gila
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Bukan gila. Hanya saja diammu membuatku jauh lebih tersiksa."
-Thia-
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Ungkapan bahwa sebuah kejujuran akan membawa ketenangan sepertinya tak berlaku bagi Thia. Nyatanya, perempuan itu tak pernah tenang bahkan sekalipun sejak detik pengakuannya bergaung. Alih-alih menumbuhkan rasa percaya, ia mungkin akan dijauhi dan dibuang oleh sahabatnya.
Tidak! Hal itu tidak boleh terjadi.
Isi kepala Thia menjerit frustasi tatkala memikirkan semua kejadian yang menyakitkan itu. Namun, itulah konsekuensi yang harus ia terima setelah mengungkap kebenaran. Terkadang seseorang memang harus siap menerima kehilangan, setelah mengatakan kejujuran. Sebab, tak semua hati bisa merasakan kelapangan. Ada yang sempit dan lebih mendahulukan kekecewaan. Sehingga tertutuplah hatinya dari memetik pelajaran.
Memberitahu Aza dan mengecewakan gadis itu seperti mimpi buruk bagi Thia. Entahlah, mungkin karena teramat sayang sehingga hatinya begitu terluka ketika melihat seseorang yang disayangi kecewa.
Sudah dua hari sejak pengakuan Thia. Sudah dua hari pula, Aza menghindarinya. Menyiksa gadis itu secara sengaja. Mendewakan ego dan sakit hatinya. Melihat Thia tersiksa oleh rasa bersalah cukup ampuh mengobati lukanya. Terdengar tega, namun itulah salah satu cara Aza menyembuhkan lukanya. Ya, dia terluka. Luka yang tak nampak, tetapi sangat mengoyak batin. Meskipun dia tahu mereka mencintai orang yang sama, namun Aza tak mampu mengelak dari rasa kecewa yang bersarang di hatinya kini. Ah, lebih tepatnya kecewa karena harapannya sendiri. Harapan yang dia tumbuhkan seorang diri.
"Thia. Kamu belum makan loh dari pagi. Ini sudah sore. Kamu juga baru keluar kamar malah udah rapi gini," komentar Nia saat melihat putrinya keluar dari tempat persembunyian dengan dandanan yang sudah siap untuk bepergian.
"Mau kemana?" tanya ibu beranak satu itu penasaran.
"Mau ke rumah Aza sebentar, Ma. Thia pamit ya. Ass—"
"Eh, siapa bilang diizinin. Makan dulu sana. Calon manten itu harus sehat, gak boleh sakit, makan yang teratur, bahkan harus rajin olahraga juga biar tambah sehat. Bukannya cuma bertelur di dalam kamar," cecar mamanya sambil berjalan menuju meja makan. Diikuti Thia yang memasang wajah muram dan masam.
"Ma, Thia gak lapar kok. Nanti aja ya kalo pulang," elaknya. Nafsu makannya benar-benar anjlok saat ini.
"Makan dulu baru Mama izinin keluar," kukuh Nia tak menerima bantahan.
Thia menarik kursi dan duduk dengan tak selera dan penuh keterpaksaan. Perempuan itu makan dengan ogah-ogahan. Diawasi mamanya yang menatapnya dengan mata elang. Susah payah gadis itu menelan makanan. Hanya hambar yang terasa. Sebab jiwanya kini melanglang buana.
"Kenapa sih? Kok keliatan galau berat? Jangan bilang ada apa-apa dengan Akas?" Thia melirik mamanya yang asal ceplos.
"Enggak, Ma."
"Terus kenapa mukanya muram? Masalah pekerjaan? Atau ada masalah sama sahabatmu si Aza itu?" ujar Nia.
"Bukan, Ma. Thia cuma banyak pikiran aja."
"Ooohh, banyak pikiran sebelum menikah itu wajar. Kan memang butuh persiapan yang matang," jelas Nia maklum dan seakan paham titik permasalahan anaknya.
"Udah selesai, Ma. Thia pamit ya," ucapnya setelah membereskan alat makan dan mencuci tangan.
"Iyaa, jangan pulang malam. Ingat, perempuan tidak boleh di luar rumah di atas jam 6," tegas Nia.
"Iya, Ma. Thia tau," balasnya. Pesan yang sama tiap gadis itu hendak keluar rumah.
☀️
Mengendarai motor matic-nya, Thia membelah jalan raya dengan tenang. Menuju rumah Aza yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Sesampainya di sana, Thia segera memarkirkan motornya lalu mengetuk pintu rumah sahabatnya itu.
"Assalamu'alaikum."
Tak lama kemudian, pintu terbuka menampakkan sosok wanita paruh baya yang seumuran dengan mamanya.
"Wa'alaikumussalam. Eh, Thia. Sini masuk, Nak."
Thia membalas dengan senyuman. "Aza ada, Tante?" tanyanya sopan.
"Ohh, Aza lagi di kamarnya. Naik aja," ujar ibu itu tersenyum lembut. Thia menurut. Ia masuk lalu berjalan menuju kamar Aza di lantai 2.
Tok tok tok ...
Thia mengetuk pintu itu dengan perasaan tak menentu. Ketar-ketir disertai rasa gamang.
Huftt ...
Perempuan itu mengatur napas sebelum mengetuknya lagi ketika tak terdengar respon dari sang pemilik.
"Masuk!"
Thia terkesiap. Suara Aza terdengar tajam dan menusuk. Sanggupkah ia?
"Za," lirinya dengan membuka pelan daun pintu. Terlihat olehnya Aza yang sedang berbaring membelakang sambil bermain ponsel. Rasanya nyali Thia menguap. Namun, ia sudah di medan perang. Terlanjur basah pula.
"Za." Ia menghampiri gadis itu dan duduk di kasur dengan perlahan.
"Mau ngapain kesini!?" ketusnya. Sontak pandangan Thia menjadi buram oleh air mata.
"Za. Jangan marah terus dong," tuturnya dengan hati yang sesak.
"Za. Kumohon jangan mendiamiku seperti ini."
Tidak ada jawaban.
"Kamu lupa sama janji kita?"
"Jika diantara kita ada yang dila—"
"Udah, gak usah dilanjutin!" semburnya lantas bangkit dari posisi tidurnya.
"Aku ingat kok. Bahkan sangat ingat." Aza berucap dengan penuh emosi.
"Tapi aku bukan orang yang berhati lapang, Thi," lanjutnya.
"Aku bukan orang yang bisa menerima begitu saja kenyataan menyakitkan ini lantas berpura-pura bahagia. Aku gak bisa, Thia!" jelas Aza sambil mengusap kasar air matanya yang lolos. Thia segera membawa Aza dalam pelukannya lalu menangis bersama mengeluarkan sesak di dada.
"Aku gak bisa bohong kalo aku kecewa dan sakit hati atas semua ini, hikss."
"Aku seperti orang bodoh tau gak!"
Aza meremas seprai sambil terus terisak di bahu Thia.
"Maaf, Za," cicit Thia mengelus bahu sahabatnya itu.
"Aku menjauh bukan karena membencimu, tapi aku mau berdamai sama hatiku," jelasnya lagi. Seakan menjawab semua kegelisahan yang selama ini bersarang di kepala Thia.
"Aku kesel sama kamu Thia. Aku kesel karena kamu sangat baik sama aku!" Gadis itu meluahkan segala sesak yang melanda.
"Maafkan aku, Za. Semua diluar kendaliku. Aku tidak tahu menahu soal perasaan Mas Akas. Tak ada sedikitpun rasa ingin mengkhianatimu. Aku bahkan ingin menawarimu sesuatu," ucap Thia berusaha menenangkan Aza yang masih sesenggukan. Tak lama kemudian, Thia melerai pelukan itu dan memegang kedua bahu Aza sambil menatap matanya yang sembap. Hatinya teriris melihat itu.
"Jadilah maduku."
"Apa?!" Mata Aza seketika membulat. Air matanya mendadak kering, tangisnya langsung berhenti, dan napasnya seolah tertahan. Perkataan Thia berhasil membungkam mulutnya hingga suara pun tak mampu bercicit lagi.
Gila! Satu kata memenuhi kepala Aza. Ia menatap perempuan di depannya itu tanpa kedip. Berusaha mencerna perkataan konyol sahabatnya. Ia baru saja menawarkan Aza menjadi madunya. Bukankah itu konyol? Gila? Ya, rasanya tidak satupun wanita normal di dunia ini yang benar-benar ingin diduakan. Meskipun ada, ketidakikhlasan pasti hadir di hatinya walau besarnya setitik noda. Tak ada seorangpun wanita yang mampu memiliki saingan dalam rumah tangga. Kecuali ia yang hatinya benar-benar bersih dari syahwat dan keindahan dunia. Wanita yang hanya mengharapkan ridha Allah melalui ridha suaminya tatkala menginginkan sunnah tersebut. Bagi Aza, Thia adalah wanita tidak normal dan berpikiran pendek. Entah apa yang ada dalam benak sahabatnya itu.
"Thi, kamu ... sudah gila?" ucap Aza masih tak percaya. Matanya berusaha menatap manik Thia yang tampak bergerak liar.
Aza masih tak berkutik dari posisinya. Otaknya benar-benar buntu. Dua kata dari mulut Thia belum mampu diterima oleh akal sehatnya. Tak habis pikir. Forsythia yang sempurna. Ia cantik, pintar, salihah, dan nyaris tak punya cacat. Apalagi selama ini di mata Aza, Thia adalah sosok yang kuat, penyabar, dan sehat sentausa. Keluarganya pun tampak baik-baik saja, nyaris tak pernah terusik angin badai. Ataukah masih ada yang belum Aza ketahui tentang sahabatnya? Apakah masih ada tabir yang membuat Thia harus mengambil jalan terjal?
"Enggak, Za," elak Thia. Ia menundukkan wajah. Raut ketidaknyamanan tercetak jelas di sana.
"No! Kamu sudah gila, Thi." Ulang Aza sekali lagi. Kali ini dengan nada suara yang lebih keras. Ia masih tidak percaya. Thia yang tersentak mendesah putus asa. Sikap submisifnya membuatnya tak berdaya dan tak mampu mengeluarkan kata. Padahal ada beribu aksara yang menari di kepalanya. Mendesak untuk segera dilontarkan.
"Aku enggak gila, Za," bela Thia memberanikan diri menatap manik sahabatnya. Mata bening itu berkaca-kaca. Ia tak mampu menjelaskan isi hatinya. Ia tak bisa mengatakan bahwa semua alasan itu karena dia menyayangi Aza. Ah, mengapa jujur pada perasaan sendiri harus sesulit itu?
"Terus apa namanya kalo bukan gila? Hanya karena aku menyukai Mas Akas, tapi dia lebih memilih kamu lalu kamu menawariku jadi madumu. Kamu pikir aku ini wanita apa, Thi?" Mata Aza kembali berkaca-kaca. Ia tak mengerti jalan pikiran sahabatnya. Ia memang tak menerima skenario yang diberikan Allah untuknya. Ia juga tak tak rela jika orang yang disukainya lebih memilih orang lain dibanding dirinya. Namun, menjadi saingan dari sahabatnya sendiri bukanlah suatu jalan yang sehat.
"Plis, Za. Tolong ngertiin aku. Aku Cuma tidak mau kamu terluka." Setetes air mata lolos dari peraduan lalu menciptakan jejak di pipi.
"Aku gak bisa melihatmu sakit dan kecewa. Aku gak bisa, Za. Aku ikut sakit, hiks. Kumohon pertimbangkan lagi permintaanku," pinta gadis itu dengan berlinang air mata. Terlihat sangat tersiksa. Membuat pertahanan Aza runtuh seketika. Gadis itu ikut menyeka air mata.
"Tapi ... apakah ini benar? Apakah Mas Akas mau menerima? Tidak kah ia merasa dipermainkan?" lirih Aza sendu, tak kuasa menahan sesak melihat mata Thia yang basah. Benar, jika ia mencintai Akas. Benar bahwasanya ia tidak rela dan merasa kecewa karena Akas lebih memilih Thia. Benar jika Aza sakit hati dan kecewa. Benar jika ia tak bisa membohongi perasaannya untuk baik-baik saja. Tetapi—ah, Aza pun tak mampu mendiskripsikan perasaannya saat ini. Rancu.
"Za, dengarkan aku," ucap Thia sambil mengelap sisa air matanya lalu mulai berbicara serius. "Jika kita menikah bersamaan, tak akan ada yang namanya istri kedua. Kita adalah istri Mas Akas. Tidak ada yang pertama dan kedua. Status kita sama, Za," jelas perempuan itu dengan mantap. Seolah ia sudah merangkainya jauh sebelum hari ini tiba. Namun, Aza justru menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa? Pikiran Thia terlalu sulit untuk ditebak.
"Za, pernikahan kita tetap sah di mata agama. Kita akan berbahagia. Kamu dan aku sama-sama hidup dengan cinta yang sama. Tak ada lagi rasa kecewa antara kita berdua. Kita bermuara di pelabuhan yang sama. Za, kumohon pikirkan juga perasaanmu," ucap Thia dengan sungguh-sungguh. Membuat Aza terenyuh dan mencerna baik-baik permintaan konyol itu.
"Bagaimana dengan Mas Akas? Apakah dia akan setuju?" tanya Aza penuh sangsi. Perempuan itu nyaris jatuh ke dalam sumur yang akan diciptakan Thia.
"In syaa Allah, Mas Akas pasti menerima," ucap gadis itu dengan penuh keyakinan.
Thia tak ingin menjadi perempuan egois. Aza sudah membersamai dirinya hingga belasan tahun, namun Akas adalah sosok baru dalam hidupnya. Menjadi sahabat Aza pun bukan jalan yang mudah bagi Thia. Lalu menggadaikan persahabatannya demi setitik rasa yang hadir untuk lelaki itu membuatnya harus berpikir seribu kali. Tetapi bohong jika Thia berkata ikhlas. Bohong jika ia baik-baik saja. Bohong jika hatinya sepenuhnya menerima. Nyatanya, masih ada rasa egois yang berkubang dalam hatinya. Rasa ingin memiliki Akas seorang diri. Merasakan indahnya cinta tanpa harus berbagi. Tetapi, Thia pun tak punya pilihan lain. Mempertahankan Akas atau mengikhlaskannya adalah pilihan yang sama-sama sulit. Maka perempuan itu memilih meletakkan hatinya layaknya emas dan anak timbangan pada neraca lengan. Seimbang dengan berat yang sama.
Thia dan Aza memiliki Akas.
Akas memiliki Thia.
Thia dan Aza tak saling memendam kecewa.
Akas pun akan bahagia.
Sesederhana itu isi kepala seorang wanita akhir zaman bernama Thia.
☀️
Haii ...
Sejauh ini sifat antagonis belum keliatan? Pelan-pelan ya. Kelak akan muncul juga kok, hehe.
Spill satu kata untuk bab ini dong!
*maksa><
Jangan lupa vote dan komen untuk membantu author tetap semangat ;)
Syukron jazakumullahu khairan yg sudah membaca cerita ini💕
...
"Ambil yang maslahat, buang yang mudarat, dan jadilah pembaca yang bijak."
To Be Continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top