Bab 3|Pengakuan

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Kejujuran memang terkadang menyulitkan, namun lebih sulit lagi jika kebenaran itu jadi kesalahpahaman."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Motor beat berwarna hitam baru saja terparkir manis di depan klinik. Deru mesin kendaraan yang tumpang tindih menjadi backsound menggambarkan suasana pagi di jantung kota yang sibuk. Matahari sudah eksis beberapa meter dari kaki langit. Memancarkan kilau dan suhu yang lumayan mampu mengeluarkan peluh. Terlebih lagi pada seorang perempuan yang tampak sedang terburu-buru. Ia melepas helm dan memperbaiki penampilan, lalu dengan gegas melangkah menghampiri pintu kaca dengan tulisan open di tengah-tengahnya.

"Assalamu'alaikum," sapanya. Thia sedikit terkejut. Ternyata klinik sudah ramai saat ia datang. Bahkan Aza yang mendapat julukan manusia teladan‒terlambat datang cepat pulang‒sudah duduk manis di tempatnya. Membalas salam Thia dan tersenyum hangat menyambut sahabatnya itu.

"Tumben telat, Thi?" Adalah pertanyaan yang sudah Thia wanti-wanti sejak masih di jalan raya.

"Iya nih, Za. Tadi malam aku begadang menyelesaikan rekapan," jawab Thia sambil menata barang-barangnya di atas meja.

"Ya ampun, rekapan seujung kuku membuatmu begadang?" seru Aza tak percaya. Thia hanya mengangguk, tak punya banyak waktu meladeni candaan Aza walau sekadar mengucap sepatah kata. Ia mengeluarkan laporan yang sudah dicetaknya tadi pagi. Salah satu yang menjadi alasan keterlambatan Thia.

"Aku ke ruangan Mba Lily dulu ya, Za," pamitnya dengan gestur terburu-buru.

"Wal 'ajalatu minasysyaithan."

Thia terkesiap saat mendengar suara itu. Dingin, tegas, dan menusuk. Langkahnya terhenti lalu mengucap istigfar. Dia memang tidak suka dengan keterlambatan. Sebab akan berdampak pada sifatnya yang tidak terkontrol. Terlebih lagi, laporan itu harus ia setor tepat waktu. Sedangkan, kedatangannya saja sudah terlambat beberapa menit. Ingin berterima kasih kepada seseorang yang sudah mengingatkannya, namun urung ketika lelaki itu sudah berpindah posisi. Thia hanya bisa menghela napas lantas melanjutkan langkah menuju lantai dua.

Tampak Aza sedang tersenyum ramah pada salah satu pengunjung. Menanyakan keperluan dan kepentingan orang tersebut. Selepas mengurus administrasi dan konsultasi sedikit, Aza mengarahkan ke sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat dua lelaki sedang menangani seorang pasien. Tak berselang lama, Thia muncul pada anak tangga terakhir dan menghampiri Aza yang bergelut dengan tugasnya.

"Nih minum dulu." Aza menyodorkan teh hangat itu pada Thia. Ia menerbitkan senyum dan mengucap terima kasih.

"Dari Mas Amar tapi."

Uhuk! Thia langsung tersedak lalu buru-buru mengelap air teh yang menumpahi meja hingga membasahi kerudungnya. "Astagfirullah Aza hobi banget sih ngagetin!" sungut Thia sambil mengerucutkan bibir.

"Hehe, maaf Thi. Tadi setelah kamu naik, tiba-tiba dia datang dan bawa teh ini. Disuruh kasih ke kamu dan dia juga berpesan kalo lain kali bersikap tenang saja tidak usah terburu-buru kayak tadi. Duhh, sosweet banget sih orang itu," jelas Aza membuat Thia mengurungkan niat untuk kembali menyesap cairan kemerahan hangat itu.

"Jangan-jangan dia beneran suka sama kamu, Thi," bisiknya pelan membuat bulu kuduk Thia meremang. Segera ditepis pikiran yang ditimbulkan Aza padanya. "Tapi kalo beneran suka gimana? Kasian Mas Amar, kan kamu sukanya sama Mas Akas," lanjutnya lagi.

Kalimat terakhir dari Aza seolah menampar Thia dan mengembalikannya pada kenyataan. Niatnya berpura-pura untuk melupa kandas begitu saja. Nyatanya, ia masih tertawan di labirin yang sudah diciptakannya sendiri.

"Aku pengen cerita sesuatu ke kamu, tapi nanti aja kalo istirahat biar leluasa. Gak sabar ih," bisik Aza lagi dengan suara tertahan dan raut wajah ceria yang tak bisa ditahan. Binar matanya menunjukkan bahwa ceritanya pasti sangat indah. Tiba-tiba saja perasaan Thia menjadi tidak enak. Pikirannya langsung tertuju pada lelaki jangkung yang semalam membuat hatinya jumpalitan.

☀️

Ting tong, assalamu'alaikum.

Suara bel yang disetel agar menambah kesan religius berbunyi pertanda seseorang membuka pintu. Seorang wanita berparas ayu dengan sedikit keriput mewarnai wajahnya bersama anak perempuan remaja dengan kisaran umur 17 tahun. Keduanya menghampiri Aza dan Thia yang bersiap melayani sang tamu.

"Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" ucap Thia dengan sopan dan lemah lembut.

"Pagi, Mba. Saya mau konsultasi mengenai terapi bekam."

"Iya, Bu silahkan. Bisa beritahu kami namanya siapa dan keluhannya seperti apa?"

"Saya Hana. Perut saya membesar selama satu bulan ini, Mba. Terkadang sakit di bagian bawah dan membuat saya kesulitan beraktivitas. Awalnya saya mengira hamil, tapi tidak ada tanda-tanda kehamilan yang saya rasakan," jelas ibu tersebut.

"Apakah sebelumnya ibu pernah memeriksakan diri ke dokter?"

"Belum pernah, Mba."

"Wah, sebaiknya Bu Hana periksa dulu ke dokter. Agar kami tidak salah memberikan penanganan. Takutnya, penyakit yang dialami Bu Hana tidak cocok dengan pengobatan terapi seperti ini. Tapi, silahkan konsultasi lebih lanjut kepada terapisnya ya, Bu. Silahkan registrasi terlebih dahulu. Ini kertasnya, Bu. Silahkan diisi," ucap Thia dengan penuh kesopanan.

Bu Hana dengan anaknya menuju ruang terapi setelah menyelesaikan registrasi. Melihat kondisi ibu itu, sedikit rasa iba terbesit di hati Thia. Sorot putus asa terlihat di matanya. Setahun sudah Thia bekerja sebagai resepsionis di klinik tersebut. Selama itu pula ia kerap disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan. Tak jarang mendengar kisah-kisah yang menintikkan air mata. Juga kisah yang menggugah jiwa tuk meningkatkan takwa. Berbagai rasa dan warna telah dicecapnya di tempat itu. Bersama Aza, Thia menemukan kedamaian dan ketentraman. Suasana yang jarang didapatkan di lingkungan lain.

Tak lama kemudian, waktu yang ditunggu-tunggu Aza akhirnya tiba. Dengan semangat dia menarik tangan Thia menuju kafetaria langganan mereka. Perempuan itu pasrah saja mengikuti arah langkah Aza.

Sesampainya di kafe, lagi-lagi Aza yang bersemangat mengambilkan Thia makanan. Padahal biasanya dia paling malas mengantri. Thia tertegun. Suasana hati Aza begitu baik. Padahal sebuah niat sudah terbesit di kepalanya sejak semalam. Apakah dia sanggup menyuarakannya?

"Tadaa. Selamat makan, Thi," ucap Aza tatkala sampai di meja mereka dan menghidangkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya.

"Makasih, Za," balas Thia tersenyum tipis.

"Oh ya, katanya mau cerita," lanjutnya lagi.

"Hu'um, gak lupa dong," ucap Aza sambil menyantap makanannya.

"Tapi apa sebaiknya gak dihabisin dulu makanannya baru cerita? Aku juga pengen cerita sesuatu soalnya," usul Thia sedikit sangsi. Berusaha tak gentar melawan senandika.

"Hmm, boleh juga. Lagian gak baik kan ya cerita sambil makan."

"He'em."

Mereka pun makan dalam tenang. Masing-masing sibuk dengan isi kepala. Usai makan, Aza tampak tidak sabar untuk bercerita, sedangkan Thia tak berhenti merasa gelisah. Sikap yang sangat kontras.

"Thi, tau gak—"

"Gak tau, Za. Kan belum dikasih tau," potong Thia.

"Ya Allah, belum selesai juga ngomongnya ih," protes Aza gemas.

"Apa emang?"

"Mas Akas kemarin bantuin aku. Ya kebetulan aja, saat itu aku ke minimarket dia juga ada di sana. Pas mau balik dan lagi pesan ojol, tapi driver-nya gak nemu-nemu, aku kesal dong. Gak ada angin gak ada hujan dia nawarin tumpangan, Thi. Kebetulan waktu itu ada adiknya, jadi alhamdulillah gak terjadi khalwat, hehe. Aku juga udah ngobrol sedikit banyak sama dia. Duhhh seneng banget sumpah! Serasa pengen senyum terus," tuturnya menggebu-gebu dengan binar begitu bahagia.

"Thi," tegur Aza melihat sahabatnya itu tak memberikan respon apapun. Hanya diam dengan pandangan kosong.

"Eh, i ... Iya?" ucapnya sedikit gelagapan. Kembali fokus pada Aza.

"Kok, bengong sih?" tanyanya cemberut.

"Maaf ya, Za. Lagi mikir, hehe," balas Thia diiringi cengiran merasa tidak enak.

"Emang mikir apa sampe bengong gitu? Oh iya kamu mau cerita apa tadi?" alihnya.

"Hmm ..." gumam Thia ragu.

"Cerita aja. Daripada bikin tambah penasaran."

Thia masih ragu antara cerita atau tidak. Ia tampak diam masih berperang dengan batinnya.

"Za, aku ingin cerita tapi kumohon jangan kecewa," pintanya dengan sorot mata sendu. Aza tertegun. Apakah gerangan? 

"Apakah tentang Mas Akas?" tanya Aza pelan dan ragu. Thia mengangguk lemah.

"Aku gak janji, Thi."

Thia mengesah. Ia menjadi semakin resah.

"Maaf, Za," tuturnya semakin tak enak hati.

"Ya udah katakan dulu."

"Za." Thia menunduk dan memilin ujung jilbabnya. Jari-jemarinya sudah dingin dan berkeringat.

"Ada apa sih, Thi!? Bilang aja, jangan menambah rasa mules ku," keluh Aza sedikit kesal.

"Aku mau jujur."

"Iya jujur aja. Itu lebih baik meski menyakitkan," ucap Aza dengan suara tercekat. Pikirannya sibuk menduga-duga. Jika Thia gugup seperti ini, berarti telah terjadi sesuatu antara dia dengan Akas yang tak enak didengar olehnya. Aza hanya berharap Thia mengerjainya. Namun, sahabatnya bukan orang seperti itu. Aza mendesah pelan.

"Mas Akas ... Di ... Dia—"

"Dia kenapa, Thi?" Potong Aza tidak sabar.

"Dia sudah melamar aku, Za," tutur Thia dengan terbata-bata. Dia semakin dalam menundukkan kepalanya. Sangat takut melihat wajah Aza yang pasti diliputi kekecewaan. Tanpa melihat, Thia tahu, sahabatnya pasti kecewa. Namun, dia tak bisa lagi menahannya lebih lama. Cepat atau lambat Aza harus tahu. Thia siap menerima konsekuensi.

☀️

Meski berat, Thia harus jujur supaya bisa menyusun rencana selanjutnya wkwk.

Silahkan komen apapun tentang mereka berdua.

Sedikit informasi, konflik cerita ini ringan dan ngalir gitu aja. Jadi kalo ngarep cerita dengan konflik berat dan dramatis bukan disini tempatnya.

Tapi cerita ini tetap rekomendid buat kalian yang ingin berani say to NO!

Semoga dapat memberikan manfaat^^

Syukron jazakumullahu bagi yg sudah membaca cerita ini💕

To Be Continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top