Bab 29|Mekarnya Sang Bunga

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Jika setiap bunga ingin menjadi mawar agar disukai banyak orang, maka musim semi akan kehilangan makna karena forsythia tak mampu menyadari keindahannya."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Seoul, 29 Maret 2022

Dua buah tiket tergeletak begitu saja di atas nakas bersebelahan dengan ponsel dan sebuah jam tangan mahal berwarna hitam yang tampak elegan. Di sebelah utara berdiri lampu tidur yang masih setia menyala walau terangnya pagi sudah mengintip dari balik jendela dengan tirai yang terbuka. Seorang perempuan dengan baju abaya hitamnya lengkap dengan jilbab bergo dengan warna yang senada berdiri di tengah bingkai jendela. Bibirnya melengkung sempurna. Mata laparnya menatap puas pemandangan kota impian yang tersaji indah di hadapannya. Dari ketinggian 100 meter, dapat ia lihat seluruh bangunan dan aktivitas manusia-manusia giat yang sudah bergerak dikala pagi masih buta. Secepatnya perempuan itu ingin menghirup udara segar yang disediakan secara gratis oleh Allah. Ia ingin menghidu, seberapa segar dan wanginya aroma kota ini dibanding dengan kotanya nan jauh di sana. Namun, sebuah suara yang menyambut telinganya kini membuat bibir wanita itu mengerut mengakhiri garis lengkung.

"Tunggu matahari naik sepenggalah kemudian kita keluar."

Tiba-tiba hatinya bergetar kala sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang. Hangat. Perasaan itu dengan cepat menjalar dari pinggangnya menuju rongga dada. Mengumpulkan segala rasa hingga menimbulkan senyum dan rona merah di wajah. Tangannya ikut meraba dan menumpuknya di atas tangan kekar itu, lalu mengeratkan pelukan tersebut. Dapat ia rasakan bahunya ditimpa beban ketika dagu pria itu diletakkan di sana. Pose mereka sangat sempurna. Sehingga kamar berukuran 26 meter persegi beserta segala perabot mewah yang ada di dalamnya seakan menjadi saksi atas hadirnya kecemburuan terhadap dua pasangan yang tengah dilanda ledakan bahagia.

"Kamu tahu Mas, aku sangat excited sekali saat ini," ungkapnya dengan suara antusias yang tertahan.

"Syukurlah. Mas sempat ragu jika salah memilih tempat berbulan madu."

"Aku tidak sabar melihat keindahan kota ini," ucapnya kemudian membalikkan tubuh sehingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Dapat Akas lihat binar bahagia terpancar dari mata istrinya.

"Insyaallah, kita akan segera melihatnya setelah selesai salat duha," pungkasnya. Thia mengangguk dengan semangat. Ia lantas mengajak suaminya untuk bersiap-siap. Mengeluarkan segala hal yang akan dibutuhkan dalam perjalanan mereka nanti.

Kedua pasangan itu baru saja tiba di Hotel Golden Tulip setelah mendarat dengan aman di Incheon International Airport jam 3 dini hari. Tentu saja kesadaran mereka belum sepenuhnya pulih walau sekadar menikmati perjalanan malam menuju tempat transit. Apalagi Thia mengalami jet lag dan baru sempat tidur ketika pesawat nyaris mendarat. Makanya, perempuan itu baru merasa terpesona setelah pagi menyambut hari pertama mereka di negara penghasil ginseng terbesar di dunia itu.

Setelah menyiapkan keperluan perjalanan, Thia lalu mengeluarkan beberapa makanan dari Indonesia yang sempat ia persiapkan sebelum terbang ke negara tersebut. Untuk menjaga-jaga jika mereka kesulitan menemukan makanan halal di negara itu. Thia hanya perlu memanaskannya di microwave lalu ia sajikan secara sederhana di depan meja televisi.

Usai sarapan dan melaksanan salat duha bersama, keduanya pun bersiap-siap untuk memulai perjalanan pertama mereka di negara dengan karakter warganya yang terkenal disiplin dan pekerja keras.

"Mas, tadi bilang mau kemana?" tanya Thia ketika Akas selesai berbicara kepada supir yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan. Pasalnya lelaki itu tidak membocorkan sedikitpun kemana ia akan membawa istrinya. Mungkin khawatir tempat itu akan ditelusuri duluan dan tidak jadi kejutan lagi.

"Rahasia," ucapnya jenaka sambil mengerlingkan mata. Membuat Thia mendengus malas.

"Yuk, bismillah dulu. Baca doa keluar rumah," ajaknya. Thia meredam kesalnya lalu mengikuti arahan Akas.

"Mas, kasih tau dong," bujuk Thia belum menyerah. Dia menoel-noel lengan suaminya.

"Tapi janji jangan cari tahu di internet," ucap Akas memastikan.

"Iyaa iya."

"Gunung Eungbongsan," jawab Akas pendek tak berminat memberikan petunjuk yang lebih banyak.

"Hah? Thia gak tahu, hehe," kekehnya.

"Ya, makanya nurut aja," ujar Akas sambil menarik hidung istrinya gemas. Perempuan itu meringis dan mendesah kesal.

"Tau dari mana nih semua tempat-tempat di sini?" tanya Thia penasaran. Ia pikir rasanya aneh jika Akas yang ia kenal sebagai workholic, cinta Indonesia dan abai dengan urusan negara ini malah terkesan paling tahu tempat itu daripada dia yang notabenenya dulu pernah menjadikan Korea Selatan sebagai negara yang paling ingin dikunjunginya.

"Ada deh," ucapnya sok misterius.

"Mas!" delik Thia membuat pria itu tak kuasa menahan tawa.

"Hobi banget deh kayaknya bikin istrinya kesel," semburnya.

Akas tak mengatakan apapun dan hanya memeluk istrinya sambil melantunkan selawat nabi. Membuat perasaan Thia berangsur-angsur tenang dan melupakan luapan penasarannya.

Setelah berkendara kurang lebih satu jam, mobil yang mengantar mereka akhirnya tiba di tempat yang Akas maksud. Akas langsung mengajak istrinya keluar dan disaat itulah Thia dibuat terpesona dengan suguhan keindahan yang tersaji di depan matanya. Angin segar langsung menampar wajahnya. Ia merapatkan  coat tebalnya ketika hawa dingin menyambut kedatangannya di tempat itu. Matahari sudah semakin meninggi, namun suhu di daerah itu masih saja rendah. Untung saja, Thia sudah mewanti-wanti dan memakai coat adalah pilihan yang benar.

"Masyaallah, indah sekali, Mas," ucapnya takjub.

"Masuk, yuk," ajak Akas sambil menautkan jemari mereka dan menggandeng istrinya memasuki kawasan tersebut.

"Ramai ya, Mas," komentar Thia.

"Iyaa, kan sekarang sudah musim semi jadi tempat ini pasti sudah ramai dikunjungi."

Setelah berjalan cukup jauh dan menaiki beberapa anak tangga yang lumayan membakar kalori, akhirnya sampai juga mereka di puncak. Di ketinggian 81 meter, keduanya berdiri sambil merentangkan tangan. Menikmati indahnya udara dan suasana kota Seoul di atas bukit bertabur bunga kuning itu. Thia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Seketika hati dan pikirannya begitu lega. Seakan beban yang menghimpitnya di sana terangkat bersama angin gunung Eungbongsan yang meniup-niup kerudungnya.

"Mas, ini indah sekali." Thia berdecak kagum setelah kembali membuka mata. Dapat ia lihat hamparan kota Seoul yang sangat sibuk di bawah sana. Kemudian matanya beralih pada sekeliling mereka yang seolah terbalut selimut tebal berwarna kuning.

"Kamu suka?" tanya Akas terlihat senang.

"Sangat-sangat suka," tukasnya cepat.

"Alhamdulillah." Akas mengembangkan senyumnya dan mengajak Thia menyusuri bukit yang mulai ramai itu.

"Oh iyaa, Mas. Kok bunganya kuning? Setauku bunga sakura itu warnanya pink," tutur Thia menyuarakan keheranannya terhadap bunga asing itu.

"Bunga sakura memang berwarna pink, Ay."

"Lantas?"

"Kamu tahu arti dari nama kamu?" Alih-alih menjawab, Akas malah balik bertanya.

"Hmm, Thia pernah tanyakan sama Mama. Artinya kalau tidak salah, perempuan yang selalu ceria dan berbahagia." Walaupun kening berkerut heran, namun Thia tetap menjawabnya sembari mengingat arti dari namanya sendiri.

Akas mengangguk kemudian kembali bertanya. "Kamu tahu arti dari kata Forsythia?"

"Enggak, Mas. Thia cuma nanya arti nama itu sama Mama, setelahnya Thia gak cari tahu lebih lanjut lagi," terangnya.

Mereka kemudian berhenti lalu Akas menyentuh sebuah bunga yang bermekaran indah dan menatap istrinya sambil tersenyum.

"Ini adalah Forsythia," ucapnya. Thia mengangkat alisnya lantas ikut melirik bunga yang dipegang Akas.

"Forsythia? Namaku?" tanyanya membeo.

Akas memetika bunga itu lalu menyematkannya di sela kain kerudung dan pelipis Thia.

"Iya, Ay. Itu nama kamu. Forsythia. Bunga musim semi yang selalu mengundang keceriaan bagi setiap orang."

Thia diam tertegun mendengar penjelasan Akas. Ia tidak menyangka jika suaminya akan memberikan kejutan indah ini untuknya.

Akas mengajak Thia duduk disebuah kursi yang kebetulan kosong berada di dekat pembatas.

"Forsythia itu melambangkan kehangatan, kesederhanaan, keceriaan, dan sebuah harapan. Dan kamu adalah makna dari bunga ini," ucapnya sambil menyentuh bunga yang telah ia sematkan pada istrinya. Sontak Thia menatap suaminya dengan tatapan yang sangat dalam. Beragam emosi mengalir di sana. Seakan hendak memberitahu bahwa ia begitu terpesona.

"Mas, a-aku, gak sanggup berkata-kata lagi," gagapnya.

Akas tersenyum. Lelaki itu sungguh penuh kejutan. "Kamu lihat kan sekarang ia bermekaran dengan indah?"

Lantas pandangan Thia kembali memperhatikan sekelilingnya yang tampak begitu hangat.

"Kamu tahu kenapa musim semi kali ini sangat bermakna dan berkesan di hati orang-orang?"

Thia tak menjawab dan malah menatap Akas menunggu jawaban.

"Itu karena sang bunga telah mekar dan menyadari keindahannya. Tak hanya sakura, mawar, atau azalea, ia juga bisa memukau mata dengan caranya sendiri," tutur Akas penuh kiasan. Thia tiba-tiba merasa tertampar. Suaminya seperti menyindir dirinya. Seolah-olah ingin mengatakan bahwa ia tak pernah menyadari kelebihan yang ia miliki.

"Maksud Mas Akas?" tanya Thia tak mampu membendung rasa penasaran.

"Ay, meskipun kamu sering merasa bahwa ada orang lain yang lebih sempurna dan lebih segalanya dari kamu, percayalah kamu juga memiliki keindahan yang melebihi mereka. Kamu tak perlu jadi mawar untuk disukai banyak orang. Tak perlu jadi orang lain untuk dikagumi. Cukup menjadi dirimu sendiri. Dengan begitu, kamu akan bermakna dan berkesan di hati orang-orang. Terlebih bagi Mas sendiri, suami kamu."

Thia merasa seperti sedang dikuliti sekarang. Akas benar. Suaminya benar, jika ia memang selalu merasa rendah diri di hadapan orang lain. Tak percaya diri dengan dirinya sendiri. Itulah mengapa dia memilih orang lain untuk dijadikan sosok pengganti yang ia rasa lebih memiliki segalanya dari yang ia punya. Sosok yang bisa tampil sempurna untuk suaminya. Tak seperti dirinya yang selalu saja mengecewakan. Sampai pada titik ia merasa sudah tidak pantas untuk suaminya lagi.

"Mas tidak perlu bunga yang lebih indah dan harum. Mas hanya memerlukan satu bunga yang akan selalu bersemi di sampingku dan menemaniku berjuang bersama. Bunga itu adalah kamu, Forsythia, istriku," ungkapnya dengan suara lembut.

Tak menunggu waktu lama, Thia segera membenamkan wajahnya di dada Akas. Matanya basah oleh air mata haru dan bahagia. Ia kini benar-benar bahagia. Memiliki suami yang sangat sabar terhadap dirinya. Usahanya untuk mempertahankan rumah tangga mereka membuat Thia semakin jatuh cinta. Akas tak hanya memiliki beribu pesona, namun lelaki itu juga memiliki sejuta cinta yang tersembunyi. Tak perlu sebuket bunga Akasia agar ia tahu seberapa dalam cinta yang suaminya miliki, sebab ia kini tahu bahwa Akas sendiri adalah wujud dari bunga itu sendiri.

Setelah dirasa puas saling peluk-pelukan, Akas melerai dekapannya kemudian menatap manik istrinya penuh arti. Terlihat binar di mata itu yang tak bisa disembunyikan. Bibir Thia membentuk garis lengkung saat tangan Akas memperbaiki bunga di pelipisnya.

"Tetap seperti ini, ya," pintanya.

"Tetap menjadi Thia yang ceria dan apa adanya," imbuh Akas.

Jika ada alat pengukur bahagia, maka saat ini Thia pasti telah berada di puncak bahagia. Sedang tersenyum tanpa ada sesak yang memenuhi dada. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, wanita itu benar-benar merasa hati dan kepalanya seakan begitu ringan. Dua kubu yang dahulu selalu berseteru, kini menjadi luruh dan berpadu. Bersatu mencipta ketenangan pada jiwa wanita itu. Jadi, seperti ini rasanya berdamai dengan diri sendiri?

Thia membalikkan badan menghadap ke arah pagoda delapan sisi tradisional Korea yang kini disesaki manusia. Ia kemudian mendaratkan kepalanya di bahu sang suami lalu meraih jemari lelaki itu untuk digenggam.

"Terima kasih karena sudah sabar menghadapi Thia. Terima kasih karena memilih mempertahankan pernikahan ini daripada menuruti keinginan kekanakan dariku. Terima kasih atas semuanya, Mas," ucap Thia tulus dari relung paling dalam.

"Mas juga ingin berterima kasih karena kamu telah berlapang dada menerima segala kekuranganku. Tetap memaafkan dan selalu berusaha menjadi istri yang salihah," balas Akas mengangkat tautan jemari itu lalu membawanya ke depan wajah. Ia lalu mencium punggung tangan istrinya.

"Kita tidak akan pernah merasakan manisnya sebuah harapan, jika tidak pernah mengecap pahitnya kecewa. Atas segala hal yang dulunya menyesakkan dada, kini hanya kalimat syukur yang menggema. Sebab tak ada satu kejadian pun yang tak memiliki hikmah. Semua sudah Allah atur sebaik-baiknya. Termasuk lika-liku perjalanan rumah tangga kita yang nyaris melumpuhkan langkah."

"Ana uhibbuki/ka fillah."

Keduanya saling berpandangan ketika sadar kalimat yang diungkapkan ternyata sama. Suasana romantis itu seketika buyar saat tawa Thia mengudara.

"Mas, kita harus berazzam akan saling terbuka satu sama lain meski hal sekecil apapun itu," tukas Thia ketika tawanya mereda.

"Insyaallah, Ay. Ke depannya kita akan berusaha menjadi lebih baik lagi," sambut Akas dengan senang hati.

Keduanya kembali meleburkan diri. Menikmati musim semi yang bertabur pesona bunga gaenari. Sebuah bunga spring messenger yang seolah menyampaikan pesan tersirat bagi para pelancong bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari orang lain, tetapi ia terletak pada hati. Ketika hati bisa menerima segala keadaan lalu mensyukurinya. Sebab rasa syukur itulah yang akan menghadirkan ketenangan pada hati dan pikiran untuk menjalani kehidupan. Sebab kesyukuran dari sang bunga itu pula yang membuat musim semi kali ini menjadi penuh makna.

- Selesai -

☀️

Hai, gimana kabarnya?
Semoga sehat selalu, ya.

Tidak terasa sudah ending juga🙂

Jika berkenan, bolehlah disampaikan bagaimana kesan kalian setelah membaca cerita ini dari bab 1 hingga 29?

Bahagia?

Bersyukur?

Sedih?

Atau kesan yang lain?

Apapun itu, semoga memberikan manfaat buat kalian.

Alhamdulillah. Tidak terasa cerita ini bisa selesai dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan. Terbilang singkat, tetapi bagi saya lumayan lama sih, hehe.

Terima kasih swp_writingproject sudah mewadahi saya untuk berkarya dan menebar kebaikan melalui akun ini.

Terima kasih juga kepada Kak windyharuno dan dua Mama muda teman seperjuangan yang selalu sabar menemani saya berproses🤍

Terima kasih kepada para pembaca yang selalu setia membersamai saya sampai di titik ini. Tanpa kalian, FDP bukanlah apa-apa. Terima kasih juga karena sudah mengawal Akas-Thia hingga berbahagia.

Semoga kebaikan senantiasa dilimpahkan Allah untuk kita semua.

Syukron jazakumullah khairan.

See you in my next project

Salam hangat^^
im_nisaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top