Bab 28|Menikah Lagi

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Menghargai perasaan seseorang memang baik, tetapi menjaga keutuhan rumah tangga jauh lebih baik dan berharga."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

"Aza butuh kamu, Mas."

"Dia bisa memberikanmu keturunan. Hal yang belum bisa kuberikan untukmu."

"Dia mencintaimu, Mas."

"Kalian saling membutuhkan!"

|Jangan lupa jemput Thia|

Pesan singkat itu berhasil membungkam suara-suara yang sangat berisik di kepala Akas. Sebab, ia begitu mengkhawatirkan kondisi rumah tangganya saat ini. Layaknya telur di ujung tombak. Sekali sentuh saja, dipastikan jatuh dan retak.

Lelaki dengan wajah kumal tak terurus itu mendatangi sebuah kawasan perumahan yang salah satu penghuninya sudah berhasil ia tarik dalam kehidupannya. Namun seolah Allah ingin mengukur keimanannya, ia pun diuji dengan masalah runyam itu.

Usai memboyong istrinya kembali dalam genggaman, Akas terlihat ingin bersuara. Namun, ia terlalu urung untuk memulai. Barangkali suasana hati perempuan di sebelahnya itu masih belum bersahabat.

"Mas."

Panggilan yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Lelaki berkumis tipis itu melirik sebentar lalu kembali fokus pada jalanan.

"Ya?"

"Bagaimana keputusan Mas Akas?" tanyanya datar.

Akas terdiam. Harapannya adalah masalah ini segera berlalu lalu ia bisa kembali merajut rumah tangganya.

"Apa kamu benar-benar ingin Mas menikah lagi?"

Thia tergemap. Saliva yang hendak mengalir ke kerongkongan tetiba tersendat. Pertanyaan itu mengapa seakan menghantam dadanya? Apakah ia benar-benar menginginkan hal itu? Entahlah. Jawaban Thia pun masih mengambang.

"Ay?"

Perempuan berjilbab hitam itu tersadar. Ia telah mendiamkan suaminya. Sungguh tidak sopan.

"I-iya, Mas?"

Terdengar helaan napas dari hidung Akas. Mengulangi kalimat itu sama saja dengan menambah sayatan di hatinya.

"Memangnya kamu benar-benar ikhlas jika Mas menikah lagi?" ulangnya dengan nada enggan.

Ikhlas? Apakah ia benar-benar sudah ikhlas? Perkara itu tak ada yang tahu kecuali Allah. Sebab, manusia bisa saja sering mengutarakan kata ikhlas, namun hatinya belum tentu sepenuhnya menerima.

Thia merendahkan wajahnya. Ia terdiam seribu bahasa. Berat rasanya menyuarakan semua isi hatinya. Aza. Bagaimana dengan perempuan itu? Apakah dia kelak akan menerima semua keputusan sepihaknya? Ah, bodoh sekali. Mengapa selalu saja Thia memutuskan sesuatu dengan sendirinya? Sangat impulsif.

"Thia sangat senang jika Mas bisa menerima permintaanku," ucapnya pelan dengan rekahan senyum yang ... sedikit dipaksa. Akas kecewa. Bukan kalimat itu yang ingin didengar oleh telinganya.

"Benarkah? Apakah kamu akan bahagia jika Mas menuruti permintaanmu?" imbuhnya.

"Insyaallah, aku akan sangat bahagia, Mas. Bayangkan ketika Aza sudah lepas dari jangkauan ayahnya. Dia tidak akan tersiksa lagi. Bayangkan bagaimana bahagianya dia ketika perasaannya yang terpendam kini terbalas. Bayangkan juga betapa bahagianya kami karena persahabatan kami bisa kembali terjalin dengan sempurna. Ah, membayangkannya saja aku bisa merasakan kedamaiannya, Mas." Tanpa disadari oleh perempuan itu, ia berbicara sambil tersenyum. Hatinya tiba-tiba menghangat ketika membayangkan kehidupan sahabatnya yang akan membaik setelah masuk ke dalam bahteranya dan Akas.

"Baiklah jika itu maumu," putus Akas. Thia menoleh sempurna. Kaget dengan kalimat tiba-tiba itu. Jantungnya berdegup keras.

"Mas Akas serius?" tanyanya dengan suara tertahan.

"Apakah kamu sudah memberitahu Aza tentang ini?" tanya Akas lagi berhasil membuat perempuan itu langsung terdiam. Ia kemudian menggeleng.

"Kalau begitu kita harus bertemu dan berbicara enam mata," putusnya.

Thia menoleh. "Mas!"

"Mas tidak ingin mendengar penolakan," tegas Akas.

"Hal itu biar jadi urusan Thia, Mas," ujarnya panik. Tentu saja ia tidak ingin mempertemukan suaminya dengan Aza. Bagaimana jika lelaki itu mengutarakan ketidaksetujuannya dan menolak Aza terang-terangan. Thia tidak ingin melihat sahabatnya terus-menerus terluka.

"Enggak. Masalah ini adalah urusan kita berdua," sanggah Akas.

Mulut Thia gatal ingin membantah, tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Bingung memikirkan cara untuk menahan suaminya.

☀️

Aza terdiam menatap ibunya yang sedang terpulas. Masih dalam masa pemulihan. Mereka kini sudah kembali ke rumah tanpa nyawa itu. Sambil berharap, ayahnya tidak akan mendatangi mereka. Sebab, Aza pun sudah memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Pertemuannya dengan Thia tempo hari berhasil menyentil kembali nuraninya yang lama tak tersentuh cahaya iman. Memang benar, sebagian besar perubahan Aza dipengaruhi oleh sahabatnya sendiri. Sebab, Thia lah yang mengajak Aza untuk sedikit demi sedikit berjalan di jalan Allah. Namun, renggangnya hubungan mereka tampaknya membuat akidah Aza juga ikut merenggang.

Aza terkejut saat bunyi notifikasi ponselnya berdenging. Lamunannya buyar dan ia segera mengambil benda pipih itu. Ternyata, sebuah pesan dari ustaznya. Perutnya tiba-tiba mulas. Perasaannya tidak enak. Gelisah bercampur penasaran. Ada apa gerangan?

|Temui saya di Kafe Anugerah sekarang|

Kalimat itu membuat asumsi liar Aza berdatangan silih berganti. Antara kabar baik dan buruk. Namun, Aza lebih mempercayai bahwa kemungkinan besar ia akan menerima kabar yang buruk. Entah, umpatan atau caci maki. Ia harus menyiapkan hati untuk menerimanya. Bukankah ini semua terjadi karena kebodohannya?

Setelah menuliskan pesan singkat pada secarik kertas stiky note, Aza menempelkannya di atas nakas lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya. Ia kemudian pamit meskipun tahu ibunya tidak akan dengar.

Mengandalkan taksi online, Aza pun berlalu menuju kafe yang Akas tuliskan. Tak begitu jauh dari rumah. Hanya berjarak kurang lebih dua kilometer.

Aza terduduk canggung di depan Thia dan Akas. Gadis itu sekarang sudah menutup kembali mahkotanya. Tampak indah dan meneduhkan. Thia tersenyum tanpa sadar. Ia tahu, Aza tidak seburuk yang orang lain kira. Meskipun membuka jilbab tidak bisa dibenarkan karena merupakan kewajiban bagi wanita, tetapi kita tetap tidak bisa langsung menjustifikasi secara sepihak tanpa melakukan tabayun. Sebab, semua ada alasan di balik keputusan itu.

Betapa canggungnya gadis itu kini. Di depannya tengah duduk sesosok lelaki yang pernah didekatinya diam-diam. Walau dalam kepalsuan, tetapi Aza yakin lekaki itu pasti sudah tahu kedoknya seperti apa. Sungguh malu dirinya kini. Pernah melakukan tindakan rendahan demi mengejar pria yang tak bisa dimiliki. Buruk. Dirinya sungguh buruk. Tak pantas lagi rasanya ia menampakkan wajah dihadapan pasangan yang sudah ia rusak itu.

"Khm." Akas berdeham untuk mencairkan suasana. Baik Thia dan Aza, keduanya sama-sama mengunci mulut, menunggu lelaki itu mengeluarkan suaranya.

"Begini. Maaf sebelumnya jika saya meminta Aza untuk bertemu kami secara tiba-tiba," mulainya. Aza tak berkomentar apa pun. Dia hanya diam membisu sambil menundukkan kepala.

"Saya tidak akan mengungkit kesalahan-kesalahan yang sudah pernah kita lakukan. Saya juga tidak akan memojokkan, menghakimi, atau mengatai kamu dengan kalimat tidak pantas. Cukup bagi kita mengetahui kesalahan masing-masing lalu bermuhasabah diri. Saya rasa itu lebih baik daripada saling menyalahkan."

"Pertama-tama, saya ingin meminta maaf kepada istri saya karena tidak terbuka sama dia mengenai hal ini dan tidak tegas terhadap sistem komunitas saya. Kedua, saya ingin minta maaf kepada Aza karena secara tidak langsung telah menumbuhkan harapan dari sikap-sikap impulsif saya sebagai pendamping. Ketiga, apapun latar belakang Aza mendekati saya, saya ingin menegaskan jika saya tidak akan dan tidak ada niat sedikitpun untuk memadunya."

"Mas!" sela Thia merasa keberatan.

"Cukup, Ay. Ini sudah menjadi wewenang Mas sebagai kepala keluarga untuk memberi keputusan. Bukannya tidak ingin menghargai pendapat kamu. Tetapi Mas sudah pikirkan hal ini matang-matang. Jadi, Mas sama sekali tidak akan berubah pikiran," tegasnya membuat Thia terpaksa diam.

"Saya paham."

Suara itu menarik atensi keduanya. Kini pandangan mereka sama-sama tertoleh kepada Aza yang masih setia menundukkan wajah.

"Saya paham dengan keputusan Mas Akas," ulangnya.

"Dan saya sadar akan posisi saya yang tidak seharusnya berada di tengah-tengah kal-"

"Za," potong Thia.

"Kita bisa bicarakan ini kembali," lanjutnya.

Aza mengangkat kepalanya menatap Thia. Namun dia malah menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Thia. Sungguh aku sudah tidak punya muka jika harus masuk ke dalam rumah tangga kalian setelah apa yang sebelumnya sudah kulakukan."

"Dengan penuh penyesalan, saya menyampaikan permintaan maaf saya karena sudah merusak hubungan kalian." Perempuan itu kembali menyembunyikan wajah.

"Mungkin perbuatan ini tak akan pernah termaafkan. Jadi Thia, izinkan aku mundur dan kumohon fokuslah dengan rumah tanggamu. Aku berjanji tidak akan pernah mengusikmu lagi."

Tatapan Thia berubah sendu. Ia tahu, Aza tengah mengesampingkan perasaannya demi memaklumi deklarasi Akas. Namun, sungguh kini Thia sudah merasa baik-baik saja. Ia mulai merasakan penerimaan sosok Aza dalam kehidupannya. Tentu bukan karena rasa iba semata. Tetapi murni karena ingin hidup bersama dan melihat perempuan itu bahagia.

"Thia. Maaf karena sudah menyakitimu dengan perbuatan rendahanku. Mas Akas, maaf karena sudah menempatkan Mas dalam kesulitan karena kebohonganku. Aza minta maaf atas semua kesalahan yang pernah Aza lakukan," sesalnya.

Thia segera berpindah ke dekat Aza dan mengikis jarak mereka. Ia kemudian memeluk Aza dan mengusap bahu gadis itu. Ia seperti bisa merasakan tubuh rapuh yang sedang ia rengkuh.

"Aku selalu memaafkanmu, Za," ucap Thia dalam keharuan.

"Terima kasih, Thia. Rasanya lega setelah mengakui semuanya," balasnya seraya tersenyum. Thia mengurai pelukannya kemudian menatap manik Aza yang tampak berair.

"Apapun keputusanmu setelah ini, jangan pernah menghilang lagi, Za. Kita kembali melangkah bersama-sama ya. Kembali bergandengan tangan menuju Surga. Kamu mau kan?" pinta Thia dengan penuh harap.

Aza mengangguk dengan ulasan senyum. "Insyaallah, jangan lelah untuk terus membimbingku, Thia. Aku sangat jauh dari kata sempurna."

"Tidak ada manusia yang sempurna, Za. Aku pun tidak sempurna. Masih banyak kekurangan yang aku miliki. Tetapi jika ingin bersama-sama berproses menjadi baik insyaallah aku bersedia," ucap Thia tulus.

Kali ini, Aza yang mengikis jarak mereka. Ia memeluk Thia dan bernapas dengan lega. Sembari berharap dalam hati mendoakan yang terbaik untuk dirinya dan sahabatnya.

"Terima kasih atas kelapangan hatimu, Thia."

"Terima kasih atas kelapangan hati Mas Akas untuk memaafkan Aza," ucapnya lagi sembari melirik Akas lalu bergegas memutus kontak.

"Siapa bilang saya memaafkanmu?"

Jantung Aza serasa behenti berdetak kala mendengar frontalan itu. Benarkah Akas belum memaafkan dirinya? Kalau begitu, dia percaya diri sekali sudah menganggap dirinya termaafkan. Wajah Aza tiba-tiba memerah, menahan malu.

"Mas!" tegur Thia merasa kesal karena suaminya malah merusak suasana dengan kalimat sarkas itu.

"Saya memang belum pernah bilang memaafkan kamu. Tetapi sekarang saya ingin bilang kalau saya memaafkan kamu dengan syarat kamu harus memaafkan saya juga."

Aza menghela napas lega. Ia kira Akas akan mempersulit dirinya. Namun, rupanya lelaki itu hanya ingin mencairkan suasana walaupun pada awalnya malah menciptakan atmosfir yang tegang. Thia mencubit lengan suaminya karena gemas. Sedangkan Aza hanya tersenyum dan menyanggupi persayaratan Akas.

Pada akhirnya, semua akan menjadi indah jika diawali dengan sikap keterbukaan. Terkadang untuk mencari jalan keluar, tak harus saling melempar makian dan mencari pembenaran. Hanya perlu saling mengakui, memaafkan, memperbaiki diri, dan tak mengulanginya kembali. Itulah sebaik-baik solusi dalam menyikap sebuah kesalahan.

☀️

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top