Bab 27|Pelukan Hangat

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Saat hidupmu bahagia, ibumu tidak pernah memintamu untuk membagi kebahagiaan itu kepadanya, tapi saat kamu terluka ibumu selalu datang untuk menerima bagian dari luka itu."
- Anonim -

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Ada yang bilang, pelukan terhangat bagi seorang anak adalah ibunya. Sebab, pada dasarnya ibu memang lebih dekat dengan anaknya ketimbang ayah. Bayangkan saja, sejak di dalam kandungan ia sudah menyatu dengan ibu. Ketika lahir, ibu pula lah yang lebih banyak berperan untuk mengasuhnya. Jadi, tidak heran jika pelukannya adalah yang paling hangat dan dirindukan.

Awalnya Thia berpikir seperti itu, tetapi semenjak dia berteman dengan Aza, entah mengapa sikap mamanya sedikit berbeda. Terkesan memberi jarak dan tidak hangat seperti dulu. Namun Thia tak pernah mencari tahu lebih dalam dan memilih menduga-duga. Dia khawatir mamanya malah tersinggung. Walaupun secara tidak langsung wanita itu menggambarkan raut ketidaksenangan, namun Thia tak pernah ingin mengungkitnya.

Thia sudah berada di hadapan rumah berwarna putih gading itu. Tempat dimana kakinya berlabuh sejauh apapun ia pergi. Rumah itu selalu menjadi tempat untuknya pulang. Sudah terbilang lama, sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah masa kecilnya itu. Ada rindu yang menyeruak di dada. Rindu dengan segala rutinitasnya di kediaman tersebut.

"Assalamu'alaikum." Thia mengucap salam setelah mengetuk pintu. Menunggu sang empu mempersilahkan masuk.

Krieett...

Pintu berderit tanda seseorang membukanya. Thia mengukir senyumnya ketika menatap wajah yang sudah jarang dilihatnya.

"Wa'alaikumussalam. Thia?" Dia berujar agak terkejut.

"Apa kabar, Ma?" Thia segera mendekat lalu mencium tangan mamanya dengan lembut. Hal yang selalu ia lakukan ketika hendak pergi atau pulang dari berkegiatan di luar rumah. Thia adalah sosok anak yang berbakti. Selalu menjaga sikap di hadapan orangtuanya.

"Alhamdulillah, Mama baik. Suami kamu mana?" tanyanya setelah celingak-celinguk mencari sosok Akas. Namun nihil, lelaki itu tidak ada di sudut mana pun.

"Thia gak diizinin masuk nih, Ma?" ujar Thia sedikit cemberut membuat Nia mau tak mau tersenyum geli.

"Ya boleh lah. Sini masuk," titah Nia memberikan jalan kemudian kembali menutup pintu setelah anaknya berada di dalam rumah. Thia mengedarkan pandangan menyapu setiap sudut ruangan. Tak banyak yang berubah selain bingkai besar di ruang tamu yang menggantung cantik menampilkan foto dirinya dan Akas dalam balutan busana pengantin dengan diapit oleh Nia dan Wijaya. Ada kilat sendu yang hadir saat matanya menatap potret itu. Semua sosok di dalamnya tersenyum hangat dan tulus. Seolah menggambarkan pasangan yang bahagia. Namun, keadaan mereka sekarang seperti jungkir balik; tidak baik-baik saja.

Thia tiba-tiba memeluk Nia dari belakang saat wanita itu berlalu di hadapannya hendak ke ruang tamu. Dia sangat merindukan mamanya. Rindu dengan segala kehangatan yang wanita baya itu miliki.

"Thia kangen sama Mama," tukasnya sambil membenamkan wajah di bahu wanita itu.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mama tadi. Suami kamu mana? Kok gak ikut ke sini?" tanya Nia menangkap keanehan dari sikap anaknya.

"Kalian ada masalah?" tebaknya. Sebab jarang sekali anak itu bersikap manja seperti ini dengannya. Nia berpikir jika ada yang tidak beres dengan rumah tangga putri semata wayangnya itu.

"Boleh kita gak bahas itu dulu, Ma? Thia lapar pengin makan masakan Mama," ucapnya bersikap defensif. Thia tahu, menghindar bukan solusi yang tepat. Namun, sejenak saja, ia tak ingin mengingat masalah itu.

Nia menghela napas, berusaha memahami perasaan anaknya. Apapun masalahnya yang anak itu hadapi, ia tetap harus berperan sebagai orangtua yang baik.

"Ya sudah, kebetulan Mama tadi baru selesai masak," ucap Nia. Thia langsung mengurai pelukannya dan menatap mamanya dengan mata berbinar.

"Mama masak apa?"

"Cumi asam manis."

"Ahh, itu kan makanan kesukaan Thia," seru Thia bersemangat. Nia tersenyum melihat anaknya tampak beda dari biasanya. Terlihat sekali sedang menutupi sesuatu.

"Iyaa, entah kenapa tiba-tiba Mama masak itu hari ini. Rupanya karena kamu mau datang toh," ucap Nia sambil beranjak menuju meja makan dan memperlihatkan hidangan sore itu.

"Hehe, intuisi Mama kuat juga," pujinya.

"Oh iya, Ayah belum pulang, Ma?" tanyanya sembari menarik kursi dan duduk dengan tenang.

"Katanya pulang setelah salat magrib. Apa gak mau tunggu Ayahmu pulang dulu lalu makan bersama?" usul Nia.

"Boleh, Ma. Kalau gitu kita siap-siap salat magrib juga, yuk" ucap Thia antusias. Mamanya mengangguk kemudian mereka kembali ke ruang tengah. Thia pamit ke kamarnya untuk mencari mukena.

Perempuan itu menghela napas sembari menyandarkan tubuh di balik pintu ketika ia sudah menutupnya rapat. Thia memejamkan mata, menghindu aroma khas nya di kamar itu. Aroma lavender yang bercampur dengan harum minyak telon yang dulu sering ia sapukan di tubuhnya. Ia kemudian memperhatikan kamarnya yang tetap bersih dan rapi. Ah, mamanya pasti tidak pernah lupa untuk merawatnya juga.

Lantunan ayat suci Al-Qur'an bersahut-sahutan menghiasai semesta petang itu. Thia memilih berbaring di kasur empuknya sejenak. Ia kemudian kembali teringat dengan segala hal yang pernah ia lakukan di kamar ini. Membuatnya rindu untuk kembali ke masa-masa itu. Untuk sekejap ia melupakan masalah yang kini mendera rumah tangganya, tatkala sebuah rasa seakan-akan mengetuk dadanya. Meminta atensi dari wanita itu. Menginginkan sebuah masa dimana hanya ada dirinya sendiri. Tanpa harus memikirkan orang lain dan andil dalam kehidupan mereka. Perasaan itu semakin kuat mendesak. Menginginkan jawab atas semua kekacauan yang terjadi di dalam hati dan pikirannya. Terkadang ia juga ingin egois dan hanya ingin memikirkan kebahagiaannya sendiri. Namun, ia tidak bisa melakukannya. Itu akan jauh lebih menyiksa batinnya.

Hufftt

Ia mengembuskan napas lelah, sebelum bangkit tepat ketika azan magrib berkumandang. Ia duduk di pinggir ranjang sembari menjawab azan. Setelah selesai, barulah Thia ke kamar mandi untuk berwudu. Kemudian keluar kamar dan mengajak mamanya untuk salat berjamaah.

Tak lama kemudian, Wijaya datang dan cukup terkejut dengan kehadiran putrinya tanpa sang suami. Wanita hanya menjawab seadanya tanpa berminat membeberkan masalah rumah tangganya.

Mereka pun makan malam dalam formasi lengkap sejak terakhir kali waktu itu Thia membawa serta suaminya ke rumah. Thia makan dengan lahap dan bersikap seperti remaja jomlo seolah lupa bahwa saat ini ia sudah bersuami.

☀️

Usai makan malam, Thia berbincang sejenak dengan orangtuanya. Membahas hal-hal yang sudah Thia lewatkan beberapa bulan terakhir ini. Sebelum akhirya, ia meminta izin untuk kembali ke kamar dengan alasan ingin menunggu isya sembari bernostalgia.


Nia lagi-lagi menatap kepergia anaknya dengan penuh tanda tanya.

"Kurasa anak itu sedang tidak baik-baik saja," tukasnya.

"Sudah saatnya kamu menjalankan peran sebagai ibu yang baik. Selama ini kalian itu seolah berjarak. Mama enggan menjelaskan, anaknya pun enggan meminta penjelasan. Kalian tuh ibaratnya dua kutub magnet senama yang saling bertolak belakang. Cobalah lunak sedikit sama anak," nasihat Wijaya.

"Mama bersikap seperti itu karena gak suka Thia dekat dengan Aza. Entahlah, anak itu penuh rahasia. Keluarganya saja tidak beres," sambar Nia.

"Gak baik menghakimi seseorang seperti itu, Ma. Boleh saja keluarganya tidak beres, tetapi bukan berarti dia juga gak beres. Memangnya atas dasar apa Mama bilang begitu?"

"Intuisi seorang ibu, Mas. Aku seperti bisa merasakan sesuatu yang negatif dalam diri Aza sewaktu anak itu ke rumah ini."

"Hustt, jangan biasakan su'udzon deh sama orang," tegur Wijaya kurang suka.

"Astagfirullah. Bukan su'udzon, Mas. Tapi intuisi. Bisikan hati," kukuhnya.

"Ya sudah, apapun itu namanya yang penting kamu harus melakukan pendekatan sama anakmu itu. Kasian dia memendam perasaannya sendirian. Bisa jadi penyakit," tutur Wijaya prihatin. Bukan tanpa alasan dia menyuruh Nia melakukannya ketimbang dirinya, sebab ia tahu seorang anak perempuan pasti lebih dekat dengan ibunya dan pasti akan lebih nyaman bercerita dengan ibunya dibanding ayahnya. Apalagi mereka sama-sama makhluk perasa. Wijaya berharap hubungan mereka kembali hangat seperti sedia kala.

☀️

Nia mendapati Thia sedang bertadarus ketika ia membuka pintu kamar putrinya itu. Thia menoleh dan segera menyudahi bacaan Al-Qur'annya saat Nia semakin dekat padanya.

"Shadaqallahul adzim. Mama?"

"Loh, kenapa disudahi? Mama masih pengin dengar loh," ucap Nia ikut duduk di atas karpet bulu itu. Ia tersenyum ketika Thia menatapnya heran seolah bertanya ada apa?

"Hehe, takut nanti membuat Mama menunggu," kekehnya.

"Kamu mau bermalam di sini?"

Thia hampir lupa mengatakan tujuan utamanya. Tentu saja dia ingin bermalam di rumah masa kecilnya itu. Selain untuk mendinginkan kepala, dia juga ingin mengenang masa muda. Huh, seperti dirinya sudah sangat tua saja!

"Iyaa, boleh kan, Ma?" tanyanya hati-hati.

"Ya boleh lah. Siapa yang melarang. Ini kan rumah kamu juga," ucap Nia membuat senyum Thia mengembang sempurna.

"Terima kasih, Ma."

Jeda beberapa detik.

"Mama minta maaf."

Wajah Thia terangkat menatap mamanya ketika kalimat itu meluncur dari mulut wanita yang sudah melahirkannya.

"Mama minta maaf jika selama ini sikap mama sama kamu agak dingin."

Thia jadi teringat dengan sikap mamanya yang terkadang menanggapinya dengan judes. Ia tidak tahu tepatnya kapan, namun seringnya ketika ia hendak keluar bersama Aza atau jika ia menyinggung tentang gadis itu.

Thia bergerak memeluk mamanya dari samping.

"Thia yang seharusnya minta maaf. Maaf kalau selama ini sikap Thia kadang membangkang sama Mama. Mengabaikan nasihat Mama dan jarang mengabari Mama sejak Thia menikah. Maafkan Thia ya, Ma."

Nia mengelus kepala Thia yang terbalut mukena.

"Tidak apa-apa, Nak. Setiap manusia memang tidak ada yang bersih dari kesalahan dan dosa."

Rasanya Thia ingin menangis sekarang. Mengingat dosa yang telah ia perbuat terhadap suaminya sendiri. Tak terhitung berapa kali ia menyakiti dan menyiksa Akas dengan sikapnya. Lelaki itu pasti kini sedang berpikir keras atas segala permintaan bodohnya. Seharusnya ia bercermin dari masa lalu. Ia tahu Akas tak akan mampu memilih diantara kedua pilihan itu. Namun, entah mengapa dirinya selalu memberikan pria itu pilihan yang sulit. Berdosakah ia kini?

"Jujur Thia sangat merindukan pelukan Mama," ungkapnya dengan perasaan yang penuhi buncah rindu.

"Maaf karena Mama jarang memberikannya padamu."

Thia semakin mengeratkan pelukannya ketika merasakan kedua tangan Nia juga tengah memeluk pingganggnya.

"Bagi Thia ini sudah cukup kok Ma mengobati hari-hari kemarin."

"Sekarang ceritakan. Kenapa kamu kesini tanpa Akas? Mama tahu kalian tidak baik-baik saja."

Thia meraup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian mengeluarkannya dengan segera sebelum ia memulai cerita.

"Thia yang salah," ucapnya langsung menjustifikasi diri sendiri.

"Thia yang salah karena menempatkan Mas Akas dalam kebimbangan. Thia yang salah karena mementingkan perasaan Thia sendiri. Thia yang salah karena sudah menyeret Mas Akas hingga sejauh ini," lanjutnya.

"Hei. Kenapa malah menyalahkan diri sendiri?"

"Ma..."

Jeda.

"... Sejak awal mungkin Thia memang tidak seharusnya memilih Mas Akas."

"Kenapa ngomong begitu?" tanya Nia heran. Sudah sejauh ini, mengapa anaknya baru mengungkapkan penyesalan.

"Karena Thia baru menyadari sekarang, ada banyak hati yang terluka dengan keputusan itu."

Nia diam mendengarkan, menanti kalimat selanjutnya yang akan keluar.

"

Thia selalu menempatkan Mas Akas dalam kesulitan. Baik sebelum menikah, hingga kini aku masih memberinya pilihan, Ma."

"Jangan bilang-" Kalimat Thia menggantung di udara. Tak ingin meneruskannya.

"Iya, Ma. Dugaan Mama benar."

"Orang yang sama?"

"Janji Mama gak akan marah atau cuekin Thia lagi," ucap Thia sambil memandang mamanya dari samping.

Nia menghela udara dari hidungnya. "Kamu tau kenapa Mama gak suka kamu dekat sama Aza?"

Thia menggeleng. Dia tidak pernah tahu alasan mamanya melakukan itu. Meskipun ia sendiri penasaran.

"Entah kenapa hati mama selalu tidak sreg melihat dia. Apa mungkin pengaruh dari masalah keluarganya atau memang ada yang gadis itu sembunykan dalam hatinya? Mama gak tau, Thi. Mama hanya merasa dia tidak baik untuk jadi teman kamu. Makanya Mama selalu kesal setiap kamu mau main sama dia."

"Aza tidak seperti yang Mama pikirkan kok," belanya.

"Orangnya baik, ceria, dan Thia nyaman kalau sama dia. Meskipun keluarganya berantakan, tetapi Aza adalah gadis yang baik, Ma. Dia rajin ibadah dan kadang juga ikut kajian sama Thia," kenang Thia sebelum fakta pahit yang harus ia ketahui tentang gadis itu sekarang.

"Tetapi memang sejak pernikahan Thia, Aza berubah dan seolah menghilang dari kehidupan Thia, Ma. Sampai suatu saat Thia berhasil menemukan Thia dalam keadaan titik terendah gadis itu," tutur Thia. Ia kemudian menceritakan bagaimana skenario sampai ia bertemu dengan Thia sekaligus menemukan fakta-fakta yang mencabik hatinya.

Satu hal yang ada di pikiran Nia, anaknya begitu tegar.

Ia mampu melewati semuanya tanpa sedikitpun mengeluhkan masalah itu pada orangtuanya. Hanya memendamnya dan memecahkannya sendiri. Nia tahu, kedatangan Thia hari ini adalah puncak dari kekacauan dalam hatinya yang tak mampu dibendung lagi. Ia segera memeluk anaknya erat. Ada kehangatan yang menjalar dalam dada ibu dan anak itu.

"Mama hanya berpesan satu, Nak," ucap Nia setelah mendengar semua cerita anaknya. Ia tahu itu mungkin bukan pilihan yang anaknya inginkan. Tetapi, semua orangtua ingin anaknya bahagia. Dan ia tahu tak ada perempuan satu pun yang benar-benar bahagia dalam hal berbagi cinta.

Pandangan keduanya kemudian bertemu. Sebelum akhirnya, Nia berucap dan membuat Thia tertegun.

"Jangan pernah membiarkan orang lain merusak kebahagiaanmu."

☀️

Tidak banyak kata-kata hanya ingin mengingatkan jangan lupa
vote dan komennya😊


To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top