Bab 26|Permintaan Thia

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Perkara halal yang tidak disukai Allah adalah perceraian. Sebab, berpisahnya dua insan dalam satu rumah tangga adalah perayaan besar bagi kawanan iblis."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Ruangan sederhana itu tampak sangat sempit sekarang. Entah karena isinya yang bikin sumpek atau dadanya yang tengah dihimpit masalah. Mata Akas sangat sayu; memerah dan sedikit bengkak karena kekurangan tidur. Lebih tepatnya tidak tidur.

Ia telah berjanji tidak akan tidur sebelum istrinya memaafkannya. Namun, permintaan Thia sangat berat untuknya sehingga membuat ia enggan untuk memejamkan mata. Ia tak bisa memberikan jawaban, alhasil maaf itu tidak dia dapatkan.

Kopi yang ia pinta sudah tersuguhkan di atas meja. Namun, Akas hanya membiarkan kepulan uapnya berpendar menjadi tontonan gratis yang sangat menjemukan. Pikirannya bergerak kemana-mana.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum."

Lelaki itu terkesiap. Ia langsung memusatkan kesadaran dan menatap pada daun pintu.

"Wa'alaikumussalam. Masuk!"

Ia segera memperbaiki posisi dan pakaiannya tatkala pintu terbuka dan menampilkan sosok Amar dengan sebuah map di tangan kanannya.

"Eh, hai, bro. Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik."

Mereka berdiri dan saling bersalaman kemudian kembali duduk. Amar segera meletakkan map bening itu di atas meja Akas.

"Apa ini?" tanyanya sembari mengambil map itu.

"Daftar barang yang akan dibeli. Pak Altar menyuruh saya untuk laporkan ke anda," ucap Amar formal.

"Hmm. Gak usah bahasa formal kali. Seperti biasa saja," protes Akas membuat Amar tersenyum kecil.

Amar mengerutkan kening ketika melihat Akas menguap dengan mata yang berair. Terlihat begitu lelah.

"Lo kenapa kelihatan ngantuk berat? Lembur?" tanyanya.

"Huft. Lembur, tapi gak ngapa-ngapain," tukasnya.

"Lah, ngapain? Malah sia-sia in waktu."

"Gue lagi lembur mikir. Memikirkan sesuatu yang gue gak tau apa jawabannya," kesahnya lelah.

Akas kembali teringat waktu dia memperjuangkan Thia tanpa kehadiran perempuan lain di antara mereka. Hingga akhirnya lelaki itu berhasil mempertahankan Thia tanpa memenuhi permintaan perempuan itu. Namun, sekarang ....

Argh

Kepala Akas serasa ingin pecah kala memikirkan semuanya.

"Lo sebenarnya kenapa, sih?"

"Mengerang gak jelas kayak orang punya beban sekampung," komentar Amar.

"Gue pengen cerita, Mar. Tapi kayaknya gue gak bisa," tuturnya sambil mengusap wajah.

"Ya udah. Seberat apapun masalah yang lo hadapi, lo masih punya Allah yang Mahabesar dan pertolongan-Nya pun jauh lebih besar lagi. Jangan terus terpaku sama masalah yang tidak lo tau jalan keluarnya di mana. Coba, minta petunjuk sama Allah," nasihat Amar membuat Akas termenung.

"Betul, Mar. Gue harus shalat istiharah," gumam Akas.

Amar mengangguk. "Ya, itu lebih baik."

Sepeninggal Amar, Akas bergegas ke musallah untuk melaksanakan salat istiharah guna meminta petunjuk atas segala gundah yang memenuhi hatinya. Ia kemudian kembali mengingat kejadian semalam yang berujung aksi diam antara dirinya dengan Thia.

☀️

"Aku akan memaafkan Mas Akas. Tetapi Mas harus tahu satu hal dan janji akan menuruti permintaan Aku," Thia mengusap pipinya dari air mata, lalu menatap Akas lekat-lekat. Mencari kesungguhan dan persetujuan dari sana. Thia lega ia menemukan apa yang dicari.

"Katakan, Ay," pintanya.

"Mawar adalah Aza. Sahabat aku."

Reaksi Akas tak terbaca. Terlampu syok dengan penuturan istrinya. Berbagai tanya berputar dalam kepalanya. Mengapa dan bagaimana semua kebetulan ini bisa terjadi?

"Ba-bagaimana bisa?" tanya Akas tergagap. Tak mampu lagi berpikir waras.

"Ya bisa lah, Mas. Aza nyamar jadi Mawar untuk bisa rebut kamu dari aku."

Akas semakin terkejut. Permainan macam apa ini? Mengapa rasanya sangat tidak masuk akal? Sahabat macam apa yang berniat merebut suami dari sahabatnya sendiri? Berkedok polos padahal ia punya akal bulus. Akas tiba-tiba jijik kepada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa terpedaya oleh wanita berhati busuk itu? Dia bisa melihat dirinya yang seperti keledai bodoh sekarang. Pantas saja jika Thia tak ingin disentuh dan marah padanya.

Argh, kau bodoh Akas!

"Ay. A-aku gak bisa berkata-kata lagi," ujar Akas dengan tubuh yang lemas.

"Jadi benar Mas Akas tidak tahu kalau dia itu Aza?" selidik Thia.

Akas hanya menggeleng lemah. Sorot matanya sendu dan kosong. Mungkin tengah meratapi kebodohannya. Thia lalu mengembuskan napas sebelum mengambil keputusan. Semoga kali ini dia tidak salah langkah.

"Aza itu mencintaimu, Mas. Aku dan dia pernah bersama-sama memperjuangkanmu, sebelum akhirnya kamu datang dan melamarku. Ingat kan waktu itu aku pernah memintamu untuk menikahi perempuan lain? Ya, perempuan itu adalah Aza, sahabat aku. Aku tidak ingin dia kecewa. Aku tidak mau dia sakit hati. Makanya aku menawarkan hal itu kepadamu. Tetapi sepertinya, Allah tidak menyetujui keinginanku hingga akhirnya kita berhasil bersatu tanpa kehadiran Aza."

Akas terus terdiam menyimak penjelasan istrinya yang sama sekali sulit untuk dicerna.

"Aku dan Aza sudah lama bersahabat, Mas. Aku mengenal dia mulai dari dirinya, keluarganya, dan masalah yang pernah dia alami. Seperti yang pernah Mas Akas ceritakan tentang Mawar, Aza memang berasal dari keluarga yang broken home. Ayah Ibunya selalu berselisih dan mereka bahkan berpisah sejak Aza SMA. Dia banyak menderita, Mas. Dia memiliki luka yang disebabkan oleh orangtuanya sendiri. Makanya aku tidak ingin membuat dia sakit dan kecewa. Tapi ujung-ujungnya aku malah mengecawakannya juga. Bahkan sekarang, selain memendam kecewa sama aku, dia juga tengah berjuang mengembalikan kewarasan yang sudah direbut ayahnya."

Mendengar tak ada lagi kalimat yang keluar dari mulut istrinya, Akas mengangkat wajah dan menatap Thia yang ternyata sedang menatapnya juga.

"Lalu? Setelah menceritakan fakta itu, permintaan kamu apa, Ay?" tanya Akas tak selera. Entahlah, pikirannya sekarang mengarah pada satu titik yang membuat perasaannya menjadi resah.

"Mas," panggil Thia.

"Iya."

"Aku ingin Mas Akas menikahi Aza."

Bagai meteor yang menghantam bumi, perasaan Akas seketika porak-poranda. Benar saja dugannya. Istrinya selalu saja seperti itu. Sebelum menikah, ia sudah menawarkan perkara itu. Setelah menikah, ia juga sering mengungkitnya. Bahkan sekarang, ia kembali menawarkan hal yang sama.

"Sudah berulang kali kamu membahas hal ini, Ay. Kenapa sih kamu tidak bosan-bosan mementingkan orang lain? Seberharganya Aza bagi kamu, tidak lantas kebahagiaannya menjadi tanggungjawabmu!"

"Mas, selama ini aku hidup dalam rasa bersalah. Aku sudah berprasangka buruk sama dia. Aku tidak tega melihat dia semakin terluka. Dia butuh seseorang yang bisa menggenggamnya. Dia butuh orang yang bisa membebaskannya dari kungkungan ayahnya. Dan orang itu adalah kamu, Mas!" balas Thia.

"Masih banyak laki-laki selain Mas. Mengapa harus aku, Ay?"

"Karena secara tidak langsung, Mas sudah mengetahui seluk beluk keluarga Aza dan ikut andil dalam proses hijrah perempuan itu. Apa Thia salah?"

Akas diam tak mampu mengelak.

"Aza membutuhkan Mas Akas. Dan hanya Mas Akas yang bisa menolongnya."

"Bagaimana dengan kita, Ay? Kamu hanya memikirkan orang lain tanpa sedikitpun peduli dengan kita?" tanya Akas lemah.

"Kita hidup bertiga, Mas."

"Mas sudah tegaskan, hanya ada satu cinta dalam rumah tangga!"

"Kalau begitu, ceraikan Thia."

Meteor yang lebih besar kembali menghantam bumi, tepat pada intinya. Sehingga seluruh sistemnya lumpuh, tak berfungsi lagi. Tanpa mengatakan apa pun, Akas segera beranjak dan pergi meninggalkan Thia dengan hati yang mencelus karena hantaman senjata terakhir istrinya yang nyaris membuatnya tak bisa bernapas.

☀️

"Pak Akas," sapa sebuah suara yang berhasil mengembalikan perhatian Akas. Lelaki itu menoleh dan mendapati seorang pria baya yang sudah tidak asing lagi di matanya.

"Iya, ada apa Pak Farhan?" tanyanya.

"Sudah waktunya pulang, Pak. Tadi saya sudah mau tutup pagar, tetapi lihat mobil bapak masih di parkiran, saya mencari Pak Akas kemana-mana. Ternyata di musallah menyendiri. Kenapa belum pulang, Pak? Tidak jemput Bu Thia?"

Akas terbelalak ketika menyadari kelalaiannya. Ia lupa menjemput istrinya.

"Jam berapa sekarang, Pak?" tanyanya panik.

"Jam 17.30, Pak."

"Astagfirullah! Saya telpon istri saya dulu, Pak."

Pak Farhan mengangguk dan menunggui bos nya dengan sabar. Akas mengeluarkan ponselnya dan menelpon Thia. Namun, perempuan itu tidak kunjung menerima panggilannya. Akas diserang panik dan khawatir berlebihan. Ia kemudian mencari nama Mba Lily lalu menghubunginya.

"Halo? Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam. Mba dimana?"

"Di rumah. Kenapa?"

"Tadi pulangnya bareng Thia, gak?"

"Iya lah. Memangnya kamu dimana dan ngapain aja sampai gak jemput istri sendiri. Mukanya tadi murung banget loh. Mana gak cerita apa-apa lagi sama Mba."

"Astagfirullah. Akas lupa, Mba. Ya sudah, kalau gitu Akas tutup ya. Terima kasih karena sudah mengantar Thia pulang."

"Iya, sama-sama."

☀️

"Bu Thia sudah aman, Pak?" tanya Pak Farhan ikut khawatir.

"Alhamdulillah beliau sudah sampai di rumah," ucap Akas dengan napas lega.

"Memangnya kenapa sampai Pak Akas termenung di sini dan lupa pulang?"

"Saya sedang banyak pikiran dan butuh petunjuk, Pak?"

Pak Farhan sang penjaga keamanan kantor turut prihatin dengan kondisi bos nya itu. Sebab, sangat jarang lelaki itu terlihat stres sampai lupa waktu. Yang ia tahu, meskipun Akas terlibat banyak pekerjaan yang membuatnya lelah, dia tidak pernah terlalu menampakkannya di depan umum. Namun, kali ini Pak Farhan bisa melihat betapa rapuhnya pemuda itu.

"Kalau boleh tau masalah apa yang sedang Pak Akas alami? Maaf kalau sayang lancang bertanya seperti itu. Barangkali saya bisa bantu Pak Akas," ujarnya hati-hati.

"Masalah rumah tangga, Pak."

Pak Farhan mengangguk. Tampak paham mengapa Akas sampai lupa untuk menjemput istrinya sendiri.

"Setiap bahtera pasti akan menemui badai. Setiap rumah tangga, pasti akan mendapat ujian. Dan ujian itu ada karena Allah ingin menaikkan derajat hamba-Nya ke tingkat yang lebih tinggi. Apapun masalah yang Pak Akas hadapi, jangan pernah menghindari apalagi mendiami istri. Berdamailah dan berbicaralah dari hati ke hati. Minta selalu pertolongan kepada Allah agar pilar rumah tangganya selalu dikokohkan," nasihat pak Farhan membuat Akas menunduk.

"Masalah yang saya hadapi rumit, Pak. Istri minta saya menikah lagi atau menceraikan dia."

"Astagfirullah." Pak Farhan terlihat terkejut.

"Menurut Pak Farhan bagaimana? Saya harus bagaimana? Menerima kedua permintaan itu sama-sama menyakiti hati kami. Saya tidak ingin, Pak," desah Akas tampak frsutasi.

"Setahu saya, poligami memang dibenarkan dalam Al-Qur'an karena Allah sendirilah yang telah menurunkan perintah itu. Namun, Allah mengecualikan bagi mereka yang takut tidak bisa berlaku adil untuk menikahi satu perempuan saja. Jika Pak Akas tidak mampu berlaku adil, maka pilih salah satunya saja. Bujuk istri Pak Akas untuk memahami perasaan dan keputusan Bapak. Dan pesan saya, usahakan jangan pernah mengambil keputusan untuk menempuh jalur perceraian. Karena jalan itu disukai setan, tetapi sangat dibenci oleh Allah."

Akas menjadi sedikit tenang sekarang. Seharusnya tak perlu dia cari jawabannya kesana kemari dalam waktu yang lama. Sebab sudah pasti jawabannya adalah mempertahankan pernikahannya. Mempertahankan istrinya agar tetap berada di sisinya.

"Terima kasih, Pak Farhan atas sarannya. Insyaallah, saya akan tetap mempertahankan pernikahan saya dan akan berusaha memahamkan istri saya," ucap Akas sembari tersenyum tipis. Pak Farhan ikut tersenyum.

"Alhamdulillah. Saya doakan, semoga Allah selalu melindungi rumah tangga Pak Akas dari guncangan setan."

"Aamiin. Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak. Terima kasih sudah mau mendengar cerita saya dan memberikan solusi."

"Sama-sama, Pak. Mari, kita bersama-sama ke luar." Akas mengangguk kemudian beranjak dari musallah menuju parkiran, diikuti Pak Farhan yang tengah menenteng berbagai macam kunci.

Setelah membunyikan klakson sabagi tanda pamit, Akas langsung menginjak pedal gas dan mobil pun meluncur dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sesampainya di rumah, ia heran melihat istrinya yang berpakaian rapi lengkap dengan tas sedang duduk di teras. Thia segera menyambut Akas lalu mencium tangannya.

"Maaf ya. Tadi Mas lupa menjemput kamu. Mas tidak sadar dan tidak lihat waktu," sesal Akas. Namun Thia hanya diam tidak menanggapi.

"Belum masuk rumah?" tanyanya kemudian.

"Thia mau ke rumah Mama."

Akas langsung melebarkan matanya mendengar perkataan istrinya.

"Kok tiba-tiba, Ay? Mas kan belum siap-siap," tukas Akas.

"Mas Akas tidak perlu siap-siap karena yang akan pergi hanya Thia," ucapnya lagi.

"Ay?" Akas hendak protes, tetapi Thia langsung menanggapinya.

"Izinkan aku pergi, Mas. Thia butuh Mama saat ini," pintanya.

Akas tidak sanggup mengeluarkan protesnya saat mata Thia menyerobot masuk ke dalam netranya. Melemahkan hati Akas dengan cepat, membuat lelaki itu tak mampu melakukan apa-apa selain mengikuti kehendak sang istri.

"Mas akan mengantarmu."

☀️

Sedikit lagi menuju ending. Gimana kesan kalian setelah membaca sejauh ini?

Semoga bermanfaat ya. Sebab, apa gunanya sebuah tulisan jika tidak mengandung kebaikan.

Terima kasih untuk kalian yang tetap setia mengikuti kisah Akas dan Thia.

Salam hangat^^
im_nisaa

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top