Bab 23|Perkara Negatif

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Memahami wanita, seperti membaca sebuah buku yang sangat tebal. Butuh waktu lama untuk menyelaminya."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Untuk yang kesekian kali wajah Thia berubah kusut bagai pakaian yang belum disetrika. Ditambah lagi warna kelabu yang terlukis di sana. Matanya terlihat nanar tatkala melihat sebuah benda kecil panjang yang hanya menampilkan garis lurus berjumlah satu. Ia kecewa, tetapi entah kepada siapa. Haruskah ia kembali menyalahkan dirinya sendiri? Sungguh, sudah lelah rasanya terus-menerus menghakimi diri. Hingga setitik keinginan untuk menyerah itu datang menghampiri hatinya. Thia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Sorot kebencian tiba-tiba hadir menyelimuti mata indah itu.

"Negatif lagi, Ay?"

Thia terlonjak saat suara itu menyapanya. Iris cokelatnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Ia langsung memusatkan perhatiannya pada Akas yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Hufftt...

Thia tak menjawab. Ia hanya menghela napas lalu menundukkan kepala.

"Sabar ya. Ingat, tugas kita hanya berdoa, berusaha dan tidak berputus asa. Yakinlah, Allah pasti sudah menyiapkan hari terbaik itu untuk kita," ujar Akas sembari mengusap rambut istrinya yang tergerai. Tak lupa memberikan senyuman penenang untuk belahan jiwanya itu.

"Mas."

"Ya?"

"Tidakkah terlintas rasa sesal dalam hati Mas karena memilih wanita yang tidak sempurna sepertiku?" tanya perempuan yang tampak putus asa itu.

"Siapa yang bilang kamu tidak sempurna? Semua manusia itu diciptakan dengan sempurna, Ay. Meskipun dari kaca mata kita kadang melihat sebuah kekurangan, percayalah di mata Allah kita semua sempurna ..."

"... Dan untuk rasa sesal yang kamu tanyakan, wallahi, tidak ada sedikit pun. Mas malah sangat bersyukur bisa memiliki kamu." Akas menatap Thia sungguh-sungguh. Tak ingin kecolongan, Thia menjelajahi setiap sudut mata suaminya. Menilik kesungguhan lelaki itu. Namun, ia akhirnya kecewa karena Akas benar-benar serius.

Apa sih yang kamu pikirkan Thia? Kau mengharapkan kebohongan dari suamimu? Aneh!

Thia memaki dirinya sendiri.

"Terus kenapa, Mas ... ?" Kalimat Thia menggantung di udara. Rasanya tak sanggup mengungkapnnya. Haruskah ia bungkam atau terus mencari kebenaran?

"Kenapa apanya?"

"Enggak. Gak jadi," pungkas Thia lalu berbalik hendak pergi.

"Ayolah, kalau ngomong jangan setengah-setengah. Kan jadi penasaran, Ay." Akas mengekori Thia yang berjalan menuju ruang tamu. Tak memperdulikan Akas yang terus membujuknya untuk menuntaskan kalimat itu.

Terserah. Perempuan itu merasa lelah. Lelah dengan batinnya yang tak pernah berhenti bersuara.

"Ya udah, mau jalan-jalan lagi gak hari ini? Menikmati akhir pekan?" tawarnya. Thia menggeleng lesu. Ia tidak selera untuk kemanapun.

"Mau ke Mall?"

"Ke rumah Mba Lily?"

"Beli permen kapas?"

"Males, Mas!" sentak Thia lalu terkejut sendiri dengan suaranya. Ia segera beristigfar karena telah meninggikan suara di hadapan suaminya.

Akas langsung bungkam. Tak berani lagi untuk bersuara.

"Maaf, Mas," cicitnya dengan perasaan bersalah.

Tiba-tiba mata Akas berbinar. Seolah telah menemukan solusi yang tepat.

"Bagaimana kalau kita cari Aza? Bukankah dari kemarin kamu gak sabar ingin menemuinya?"

Akas mengira dengan mengeluarkan senjata itu, ampuh membangkitkan gairah istrinya. Namun, salah. Thia justru semakin menekuk wajahnya. Membuat Akas kembali melonggarkan otot wajah dan berekspresi datar.

"Kenapa sih, Ay? Cerita dong. Sepandai-pandainya lelaki tetap saja menebak isi hati wanita adalah hal tersulit baginya. Aku gak mungkin tau apa yang kamu inginkan, jika tidak mengatakannya. Yah, pada dasarnya laki-laki itu lemah jika dihadapkan dengan wanita," ucap Akas bermonolog. Pandangan Thia tidak lepas dari jendela. Tidak benar-benar mendengarkan curahan hati lelaki di sampingnya yang nyaris frustrasi.

Aku ingin kau kesal padaku setengah mati, Mas. Ya, aku inginkan itu!

Entah bisikan dari mana, tekad itu mengalir dengan kuat dalam kepalanya. Ia menatap lekat-lekat wajah Akas.

Aku ingin tahu seluas apa sabarmu terhadapku.

Akas berkerut bingung. Mendapati istrinya yang menatap dirinya sangat serius.

Aku ingin tahu sedalam apa cintamu terhadapku.

"Ay!"

Thia terkesiap. Ia mengedip-kedipkan mata saat tersadar.

"Aku ingin sendiri, Mas. Jangan ganggu aku," putusnya lalu kembali ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Akas hanya menatap kepergian istrinya dengan tanda tanya. Apa yang membuat suasana hati istrinya begitu buruk?

☀️

Thia memejamkan mata tatkala sudah mengunci pintu. Ia berusaha menguatkan hati atas cetusan kalimat dalam kepalanya tadi. Bukannya hendak bersikap tak terpuji kepada suami, tetapi ia ingin menguji Akas. Apakah memang lelaki itu mampu bersabar dan bertahan jika Thia tak seperti yang ia harapkan.

Ia kemudian memeriksa ponselnya lalu mencari nomor Aza yang gadis itu pakai mengubunginya kemarin. Thia langsung menelponnya, namun yang terdengar hanyalah suara dari operator. Membuatnya kesal sendiri.

Jari lentiknya pun tak berhenti dan mulai mencari nomor si badai. Ketika menemukannya, Thia terlihat ragu. Rasanya berat untuk menggeser nomor itu, namun dorongan dari pikirannya juga terasa kuat memberi perintah.

Bismillah...

Usai menyebut nama Allah, ia langsung mengusap nomor itu dan terdengarlah nada sambung yang ditunggu-tunggu.

Jantung Thia bertalu seiring bunyi nada sambung itu merasuki telinganya. Getar-getar gelisah mulai menyambangi tubuhnya. Ia menggigit bibir bawah.

"Halo."

Tangis Thia rasanya ingin pecah ketika suara itu menyapa indra pendengarnya. Suara itu. Suara yang sangat amat dikenalnya. Thia menjerit dalam diam. Matanya sudah sangat panas sekarang. Bersiap meluncurkan serangan.

"Halo, ini dengan siapa ya?"

Tak mampu mendengar lebih jauh dan membiarkan hatinya terkoyak belati, Thia pun segera mematikan telpon itu dan melempar ponselnya ke kasur, lalu menangis dalam diam. Ia membekap mulutnya agar isakan itu tak keluar dari kamar.

Sudah kuduga. Dia!

Dadanya kini dipenuhi sesak. Mengapa? Mengapa orang itu tega melakukan ini terhadapnya?

Ya Rabbi. Tolong genggam hatiku.

Ya Rabbi. Tolong topang kakiku.

Menangis dalam diam adalah hal yang paling menyakitkan. Menahan sesak yang berdesakan adalah hal yang sangat menyiksa. Rapuh. Perempuan itu rapuh bagai kayu yang lapuk. Luruh. Tubuhnya luruh bagai lilin yang dilalap api. Retak. Hatinya retak pecah seribu.

"Ay, tolong buka pintunya."

Suara Akas masuk membelai telinganya. Menambah pacu tangis yang susah payah ditahan. Thia tak mampu lagi membendung air mata. Ia terisak dalam satu tarikan napas.

"Ay, kamu kenapa?"

Suara di luar sana semakin terdengar panik. Suara yang seakan menambah himpitan dalam dada.

Tega kamu, Mas!

Teganya kau berbohong padaku!

Pikirannya menjadi tak terkendali. Menghakimi Akas yang tak tahu apa-apa. Matanya menggelap oleh rasa benci. Ia tiba-tiba jijik pada Akas dan dirinya sendiri.

Tuhan! Mengapa harus aku?

Lolongnya dalam kebisuan.

Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, Thia segera berlari ke kamar mandi dan membasuh wajah. Ia kembali menatap wajahnya yang kacau. Usai menenangkan perasaan, ia berbalik menuju pintu yang diketuk keras oleh seseorang yang saat ini ingin dihindarinya.

"Sudah kubilang biarkan aku sendiri," tukasnya cepat tak memberi celah pada Akas untuk menyuarakan kegelisahannya.

"Mana mungkin aku diam kalau kamu tidak baik-baik saja. Apa yang terjadi, Ay?" Akas bertanya sambil jalan mendekat. Namun respon tak terduga keluar dari istrinya. Thia bergerak menjauh.

"Jangan sentuh aku," sergahnya.

"Kenapa tidak boleh, Ay? Kita kan sudah halal." Akas mengangkat kedua tangan pertanda ia heran.

"Pokonya jangan sentuh aku!" ketus Thia.

"Iya, tapi alasannya apa? Kenapa sih suka banget kasih teka-teki ke Mas. Mas itu bukan orang yang pandai menebak-nebak isi hati dan pikiran orang."

"Mas kan pintar, pendakwah, disukai banyak orang. Masa gak bisa nebak," ucapnya mulai melantur dan tidak nyambung.

"Loh, kok sekarang bahasnya melebar, Ay? Kita bicarakan dengan kepala dingin ya?" pinta Akas mulai frustrasi.

"Aku lagi males bahas ini, Mas."

Akas kehilangan kosakata. Harus dengan cara apa membujuk istrinya kini. Thia mendadak menjadi orang yang tak dikenal. Dari tingkah lakunya, nada bicara, dan wajahnya yang dahulu tak pernah menunjukkan kesal, kini tampak terlihat sangat jelas.

"Rasulullah pernah berkata, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan terhadapnya), maka penghuni langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya," ucap Akas dengan suara sedikit tenang.

"Ooh, jadi maksud Mas Akas aku ini istri durhaka karena enggan sama permintaan Mas? Allah murka padaku sampai Mas Akas ridha sama aku. Begitu?" tuntunya dengan pandangan kesal.

"Ay, tolong. Kita bicara baik-baik. Saling menyulut emosi tidak akan memperbaiki apapun. Mas mohon," pinta Akas sekali lagi. Ia menggenggam tangan Thia, namun perempuan itu melepasnya dengan cepat.

"Maaf, Mas. Aku belum bisa mengatakannya sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir dan memperbaikinya sendiri sebelum kita berbicara empat mata," ucap Thia sambil berlalu dari hadapan Akas.

"Mau kemana?" Ia menahan langkah perempuan itu yang sedang mengambil tas dan berencana untuk pergi.

"Menangkan diri," ujarnya pendek.

"Mas tidak akan membiarkan kamu keluar sendirian," sela Akas yang tidak setuju dengan ide istrinya itu.

"Biarkan aku sendirian, Mas," sergah Thia dengan suara berat. Ia menatap Akas yang tampak tidak rela.

"Apakah harus di luar rumah?" Lirih Akas.

"Ridhoi aku keluar atau kita tidak akan pernah baikan, Mas!" ancam Thia dengan mata berkilat. Akas terkejut dengan suara istrinya yang berubah menakutkan.

Akas melepas tangan istrinya lalu mengangkat tangan pertanda menyerah. Ia masih menunduk dan mencerna kejadian tiba-tiba itu ketika Thia pergi tanpa pamit.

Maafkan aku, Mas.

Sekeras apapun topeng yang ditampakkan Thia, tetap saja hatinya tak ubah layaknya kapas. Perempuan itu mengakui jika ia diliputi rasa bersalah yang sangat tinggi. Tetapi, ada hal yang harus dituntaskannya kini.

Sebelum memasuki mobil, ia terlebih dahulu mengetikkan beberapa kata di dalam ponsel. Lalu mengirimnya pada seseorang yang sangat ia harapkan kehadirannya.

~Mari bertemu di Taman Segitiga.

️☀️


To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top