Bab 22|Sebuah Fakta

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Periksalah dengan teliti agar tidak menjadi fitnah yang menyakiti."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Sebuah mobil sedan hitam melaju lambat mengikuti sebuah bus kota yang tiba-tiba berhenti. Beberapa penumpang turun dan menyambangi toilet. Akas merogoh ponselnya di dalam tas yang sejak tadi berbunyi. Tak sempat diangkat karena letaknya yang sulit dijangkau.

Matanya melebar ketika melihat beberapa panggilan dari sang istri. Tanpa berpikir lama, Akas langsung menghubungi perempuan itu.

"Halo. Assalamu'alaikum."

Thia akhirnya menerima telepon pada panggilan kedua.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Ay?"

"Mas, maafkan Thia, ya. Thia terpaksa mengingkari janji Thia untuk tidak keluar rumah. Soalnya tadi Thia hubungi, Mas Akas gak jawab telpon padahal lagi ada keadaan darurat."

Kening Akas mengerut mendengar penuturan Thia dari seberang telepon.

"Keadaan darurat apa, Ay?" Suaranya berubah sedikit cemas. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada istrinya.

Astagfirullah.

"Aza butuh bantuan. Ibunya pingsan, jadi Thia antar ke rumah sakit."

Sejenak helaan napas Akas terdengar melegakan. Syukurkah jika istrinya baik-baik saja. Tetapi, tunggu—Aza? Thia sudah bertemu dengan perempuan itu? Bagaimana ceritanya?

"Innalillah. Terus keadaannya sekarang gimana, Ay?" 

"Alhamdulillah, beliau sudah mendapat perawatan dan sekarang sudah siuman."

"Alhamdulillah. Kok bisa Aza tiba-tiba hubungi kamu, Ay? Bukannya kalian lost contact? Gimana bisa?" tanya Akas tak bisa mengenyahkan rasa penasaran.

Terdengar embusan napas dari dalam gawai.

"Entahlah. Aza pakai nomor baru. Mungkin saja dia masih nyimpan nomor aku, Mas. Oh iya, sudah sampai kah di lokasi rihlah?"

Akas melirik arlojinya. Sedikit lagi jam 10, tetapi bus itu masih tetap diam.

"Belum. Singgah sebentar di masjid. Ada peserta yang butuh toilet."

"Hm, ya udah. Thia boleh tanya sesuatu gak, Mas?"

"Tanya apa, Ay?"

"Mm, soal kepergian Thia tanpa izin Mas Akas. Tidak apa-apa, Mas?"

"Iya, Ay. Mas tidak permasalahkan itu kok. Kamu juga sudah berusaha menghubungi aku, tapi gak sempat diangkat. Maaf ya, tadi ponselku ada di dalam tas dan tempatnya jauh dari kemudi."

"Ta-tapi, harusnya seorang istri tetap berada di rumah selama belum ada izin dari suaminya untuk keluar. Maafkan aku, Mas."

"Aku paham situasimu, Ay. Jangan terlalu dipikirkan," jawab Akas. Meskipun ia membenarkan apa yang Thia katakan. Tetapi atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan sesama muslim, tentu ia harus memakluminya.

"Kalau gitu titip salam untuk Aza dan ibunya. Syafahullah. Semoga Allah memberinya kesembuhan. Mas tutup ya, sepertinya sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Assalamu'alaikum."

"Iyaa, Mas. Aamiin. Terima kasih atas doanya. Mas Akas hati-hati di jalan. Fii amanillah. Wa'alaikumussalam."

Thia menghela napas lega ketika baru saja menerima telpon dari suaminya yang meridai keputusan sepihaknya. Padahal ia sudah mewanti-wanti akan diceramahi.

Perempuan bergamis abu-abu itu kembali masuk ke ruang rawat dan melihat Aza dan ibunya tengah bercakap. Thia tersenyum ketika dua insan itu melihat ke arahnya.

"Gimana perasaan Tante sekarang?"

"Alhamdulillah, lebih baik, Nak. Terima kasih ya karena sudah membawa Tante kemari," ucapnya dengan nada lemah.

"Iya, sama-sama, Tante."

"Thia."

Perempuan itu langsung menoleh saat Aza menyebut namanya. Rasanya begitu senang melihat sahabatnya kembali menjadi orang yang dikenal. Meskipun kain kerudung gadis itu masih belum disematkan di atas mahkotanya.

"Iya, Za."

"Mm, boleh titip Ibuku sebentar? Aku mau cari makanan siang dan buah-buahan untuk Ibu," ucapnya sedikit ragu.

"Boleh kok, Za. Aku dengan senang hati akan menjaga Tante Mila," ucapnya tanpa merasa keberatan sedikitpun.

"Terima kasih. Aku keluar dulu."

Thia mengangguk, kemudian Aza pamit pada ibunya lalu benar-benar keluar dari ruangan itu. Kini hanya tinggal Thia dan wanita baya yang kini duduk menyandar tak berdaya.

"Tante mau dipijat? Barangkali pegal karena baring terlalu lama," tawarnya.

"Eh, tidak usah, Nak. Tante baik-baik aja, Kok."

"Ohehe, baiklah. Kalau gitu Thia ajak ngobrol saja ya, Bu. Tidak apa-apa?"

"Wah, malah bagus, Nak. Biar ruangan ini tidak sepi," ujarnya menerima usulan Thia dengan ssnang hati.

"Oh iya, Tante Mila sama Aza masih tinggal di rumah yang dulu?"

Mata Thia menangkap perubahan di wajah Mila. Ibu itu terdiam sebelum mengeluarkan suaranya.

"Sebenarnya Tante udah lama pindah, Thia."

"Pantesan waktu itu Thia ke sana udah gak ada penghuninya."

"Iya, Nak. Memangnya Aza gak kasih tau?"

"Tidak, Tante."

Rasanya ingin meluahkan segala kesah tentang sikap Aza padanya selama ini, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk mengatakannya. Pun tentu saja karena ia tidak ingin menunrunkan citra sahabatnya di depan ibunya. Biarlah ia simpan fakta itu rapat-rapat untuk dirinya sendiri.

"Eh, Thia sudah menikah, ya?"

"I-iya, Tante."

"Masyaallah, selamat ya. Tante turut bahagia mendengarnya. Maaf ya Tante tidak bisa datang waktu itu karena lagi ada sedikit masalah," sesalnya. Sorot matanya yang sendu tak bisa berbohong. Thia jadi penasaran apakah masalah itu juga ada hubungannya dengan ketidakhadiran Aza di hari bahagianya? Ingin sekali Thia menggali informasi sebanyak-banyaknya, namun semua tanya itu hanya bisa diendap saja.

"Terima kasih, Tante," ucap Thia sembari tersenyum. "Tidak apa-apa. Lebih penting hidup Tante daripada pernikahan Thia kok," lanjutnya lagi.

"Oh iyaa, Thia mau nanya, tapi maaf Tante kalau Thia agak lancang menanyakan ini."

"Mau nanya apa, Nak?"

"Kenapa bisa Tante dan Aza berada di rumah lama Tante? Apa sudah pindah lagi?" tanya Thia tak bisa menahan penasaran.

Lagi-lagi, Mila terdiam. Tampak enggan menjawab. Sepertinya ia tak ingin kembali mengungkit kepahitan hidupnya.

"Maaf Thia, Tante tidak bisa menjawab pertanyaan kamu," ucapnya dengan rasa bersalah.

"Ehh, tidak apa-apa Tante. Justru Thia yang minta maaf karena sudah menanyakan hal yang sensitif. Maaf ya, Tante," ucap Thia dengan penuh penyesalan. Lain kali dia akan tetap diam saja, daripada mengikuti logika dan berakhir dalam rasa bersalah.

Tring... Tring... Tring...

Thia terlonjak ketika dering ponsel di atas nakas berbunyi agak nyaring. Ia menatap Mila meminta persetujuan.

"Angkat saja, Nak. Bilang kalau Aza tidak ada," lirih Mila. Thia menurut dan meraih benda pipih itu. Namun sebuah nama yang tertera membuat kelopak matanya terbuka sempurna. Tiba-tiba saja detak jantungnya beritme cepat. Tubuhnya panas walau ruangan bersuhu dingin.

Astagfirullah. Jangan sampai ya Allah.

Matanya memanas saat mengeja huruf demi huruf dari nama yang tertera.

Astagfirullah. Semoga bukan dia ya Rabb.

Batinnya menjerit-jerit. Tak ingin percaya, tetapi rasanya sungguh sulit. Pikiran buruk sudah lebih dahulu mendominasi otaknya.

Aza! Apa ini nyata?

Thia masih terpaku. Ia membiarkan telpon itu hingga berakhir. Kesadarannya belum pulih. Pikirannya masih berkelana dalam keterombang-ambingan prasangka. Tubuhnya kini bahkan begetar hebat, kala memikirkan semuanya.

Arghh! Ya Allah, jauhkan aku dari prasangka buruk ini. Seharusnya aku tabayyun dulu, tidak boleh langsung menduga.

Ya Rabbi, kuatkanlah hamba-Mu.

Genggamlah hatiku agar tak merasakan pahitnya kecewa.

"Kenapa tidak diangkat, Thia?"

Suara dari Mila berhasil melenyapkan segala senandika yang tercipta. Ia tersadar dari lamunan dan menatap ibu Aza dengan wajah duka.

"Maaf, Tante. Biar Aza sendiri ya mengangkatnya," ucapnya pelan sambil menyimpan ponsel itu kembali ke posisi semula. Ia memperlihatkan senyum pertanda tengah baik-baik saja. Padahal hatinya sedang bergemuruh. Setelah Aza datang, ia akan langsung pamit.

☀️

Di sebuah minimarket, seorang perempuan tampak gelisah tengah mencari sesuatu. Beberapa kali ia merogoh tas dan saku baju, berharap benda yang dicari ketemu, tetapi nihil. Ia tetap tidak bisa menemukannya. Ia kemudian menepuk dahi.

Gawat! Kayaknya ketinggalan di meja. Batinnya.

Dengan gestur terburu-buru, ia mengambil beberapa buah dengan asal lalu berjalan setengah berlari menuju kasir. Terlihat ia sedang mendesak salah satu pembeli di depannya.

"Sabar kali, Mbak," ketusnya. Aza tidak peduli. Yang ada dipikirannya saat ini adalah ponselnya yang tertinggal di atas meja pasien. Harapannya bisa kembali ke sana dan mendapati ponselnya tak tersentuh sedikitpun.

Setelah membayar buah, ia segera keluar dan berlari menuju rumah sakit yang tak jauh dari minimarket tersebut. Rambut panjangnya melambai di bawah terik matahari dan bahkan beberapa mata melirik penuh tanya. Ia tidak peduli.

Langkahnya yang panjang akhirnya berakhir di depan pintu kamar 201. Ia langsung menggeser pintu, lalu saat itulah mata Aza dan Thia saling bersirobok. Tatapan itu mampu mengunci langkah Aza. Thia tampak menyelami sesuatu dalam mata gadis itu.

Aza segera memutus kontak. Ia berjalan mendekati brankar ibunya dan meletakkan makanan yang telah dibeli di atas nakas, lantas mengambil ponsel yang sudah membuatnya bersikap uring-uringan. Ia langsung menjebloskannya ke dalam tas kecil. Mata Thia tak pernah lepas dari setiap gerakan gadis itu. Ia menelan ludah kasar.

"Za."

"Ya?" Aza berbalik dan mendapati Thia memasang wajah datar.

"Karena kamu udah balik, aku pamit pulang ya?"

"Loh, kamu udah mau pulang? Bukannya di rumah juga sendirian?"

Kening Thia berkerut tak keruan. Kalimat Aza membuat rasa curiganya semakin menjadi-jadi. Kenapa gadis itu tahu kalau dia sendirian saja di rumah? Bukankah Thia tidak pernah memberitahu apapun tentang rumah tangganya? Ia memicingkan mata.

"Kok kamu tau?"

"E—eh, maksud aku, siapa tau ... kamu nanti cuma sendirian di rumah dan merasa bosan. Bu—bukannya kamu ingin mengobrol banyak denganku?" ucapnya terbata-bata, semakin menguatkan kecurigaan di benak Thia. Mata gadis itu pun bergerak-gerak gelisah.

Astagfirullah. Gak boleh menduga-duga, Thia! Ingat, tabayyun dulu. Thia memperingati dirinya sendiri.

"Yaa, aku memang ingin mengobrolkan banyak hal denganmu, tapi sepertinya tidak hari ini. Soalnya aku mau ke rumah mamaku," ucap Thia. Meskipun ke rumah mamanya hanya alibi, tetapi dia usahakan benar-benar akan mengunjungi orangtuanya tersebut. Lagipula sudah lama ia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah itu.

"Hm, baiklah. Titip salam untuk Tante Nia. Terima kasih sudah membantuku hari ini, Thia," ucapnya tulus. Thia menatap ke arah lain. Ia berusaha untuk berpikir positif sekarang. Tak ingin Aza menjadi amukan pikirannya yang anarkis.

"Insyaallah, akan kusampaikan. Sama-sama, Za.  Lain kali, kita masih bisa bertemu, kan?" tanya Thia memastikan.

"Hubungi saja kalau kamu mau ketemu."

Thia mengangguk paham. "Baiklah. Tante, Thia pamit ya. Semoga Tante Mila lekas sembuh," pamitnya berusaha menampilkan senyum terbaik dikala hati dan pikirannya sedang ribut.

"Aamiin. Terima kasih, Thia. Salam untuk orangtuamu."

"Iya, Tante."

Thia pun menyalami Mila dan juga Aza sebelum pergi. Sejenak ketika tangan kedua sahabat yang talinya merenggang itu bersentuhan, Thia menyelami mata Aza sekali lagi. Meloloskan sebuah tanya yang tentunya tak bisa ditangkap oleh gadis di hadapannya tersebut. Thia memilih mundur lalu beranjak perlahan-lahan. Matanya tajam tatkala menatap ke depan. Sebuah fakta baru yang ditemuinya hari ini cukup mengguncang hati. Namun, tentu ia tidak boleh menelannya bulat-bulat. Akan ia cari kebenaran di balik kabut kejanggalan itu.

☀️


Footnote:
Tabayyun adalah meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.

Alhamdulillah, bisa up lagi. Semoga tetap istikamah hingga kisah ini berakhir.

Jangan lupa bubuhkan vote dan koment. Sebab, satu vote dan koment saja sudah sangat berarti untuk author.

Tetap semangat menjalani hari, walau banyak masalah yang memberatkan hati. Percayakan sepenuhnya pada Allah dan biarkan Dia yang mengatur bahagiamu dikemudian hari.
😉

Salam hangat^^

im_nisaa

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top