Bab 20|Prasangka
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa."
(Q.S Al-Hujurat: 12)
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Bagaikan benang yang retas dan digulung asal, perasaan Thia sangat kusut sekarang. Wajahnya harus menebar senyuman padahal kepala dan hatinya sangat berisik saling meneriakkan ketidaksetujuan atas apa yang tengah dirasakan tuannya. Namun bersikap profesional saat bekerja adalah suatu kewajiban. Apapun masalanya, dia tetap harus pandai memosisikan diri.
Ketika istirahat tiba, ia menolak ajakan Lily untuk ke kafetaria. Perempuan berjilbab merah itu lebih memilih menghabiskan teh melatinya sambil merenung dibanding keluar memasang wajah palsu.
Teringat lagi ketika Akas terlihat lebih asik dengan ponselnya dibanding berbincang dengan dirinya yang saat itu tengah bersantai. Ia merasakan perubahan nyata dari suaminya tersebut. Ini semua karena perempuan berkedok sedang hijrah itu!
Hah.
Thia mengesah pelan. Disandarkan punggungnya ke sofa lalu kembali menyesap teh hangatnya. Rasanya menenangkan walau hanya sejenak.
Tak.
Tubuhnya sedikit berjengit ketika sebuah piring berisi kentang goreng terhempas di depannya. Sontak matanya melirik si pelaku yang kini tersenyum manis.
"Teman ngeteh," ujarnya.
"Oh hehe, terima kasih, Mba." Thia menggeser tubuhnya memberi akses pada Lily untuk ikut duduk.
"Kalau dilihat-lihat pasti ada masalah berat nih," tebaknya sambil mencomot sebuah kentang.
"Transparan banget ya, Mba?" tanya Thia kurang nyaman.
"Thia, sepandai-pandinya kamu bersikap baik-baik saja, wajahmu tidak akan pernah bisa bohong atas segala yang terjadi. Ibarat sebuah buku, kamu tuh terlalu mudah dibaca," ujar Lily menyeringai. Thia malah kembali mengesah. Ia sudah menduganya.
"Kenapa? Kalau masih berada di ranah yang bisa dibagi, bagilah ke Mba. Jangan pendam sendiri."
"Bingung Mba mau mulai dari mana." Thia berucap tanpa mengalihkan tatapan dari pualam.
"Mulailah dari pemicunya," kata Lily.
"Hmm. Aku rada gak enak mau ceritakan masalah ini, Mba." Thia menatap Lily dengan mata sayunya.
"Ya udah, Mba gak maksa kok buat cerita. Setidaknya kamu bisa bernapas lega gak usah terlalu memikirkan masalahmu."
"Maaf ya, Mba," ujar Thia tidak enak.
Sudah terbilang cukup lama, Thia tak pernah menceritakan masalah rumah tangganya lagi. Sejak dia merasa dengan bercerita membuatnya menjadi istri yang suka mengeluh. Seharusnya dia menjadi seseorang yang pandai bersyukur bukan terus mengeluhkan masalahnya dan membebani orang lain.
☀️
Thia terpaksa pulang bersama sepupu suaminya karena lelaki itu belum bisa meninggalkan pekerjaan. Entah apa yang dikerjakan disaat jam pulang seperti ini. Namun Thia tetap berusaha berpikir positif agar tidak semakin memperumit keadaan. Rasanya sulit memang jika ingin tetap husnuzan sedangkan mata sudah diperlihatkan dengan kenyataan yang tak mengenakkan.
Setelah menyelesaikan segala pekerjaan rumah, ia duduk manis di ruang makan sembari menunggu suaminya yang katanya sebentar lagi tiba. Beberapa kali matanya melirik jarum jam yang kini berhenti tepat di angka 8.
Sekali lagi, ia mengecek ponsel. Barangkali ada pemberitahuan dari suaminya mengapa ia begitu lama. Hatinya mendadak gelisah. Berbagai kemungkinan melintas membuatnya semakin resah. Ia memutuskan untuk beranjak ke ruang tamu. Memperhatikan situasi di luar rumah melalui jendela kecil. Namun nihil, belum ditemukan tanda-tanda kedatangan lelaki itu sedikitpun.
Kamu dimana sih, Mas? Thia membantin dalam cemas.
Jemarinya lincah mencari nama Akas lalu tanpa menunggu waktu lama, ia langsung menghubunginya. Namun, hanya suara sambung berkepajangan yang terdengar. Tidak terjawab.
"Astagfirullah. Kamu harus istigfar, Thi. Gak boleh berprasangka buruk." Berulang kali dia mengingatkan diri sendiri jika sudah lengah. Bukannya berlebihan dalam menyikapi keterlambatan suaminya, tetapi ia sudah telanjur termakan asumsi-asumsi buruk yang selama ini dibentuk oleh suaminya sendiri.
Srett.
Matanya terpejam bersamaan embusan napas panjang. Hatinya sungguh lega ketika melihat pagar terbuka dan mobil yang sangat ia kenali tengah memasuki garasi. Tak ingin menunggu lagi, ia segera menghampiri pintu dan membukanya. Menanti sang imam di ujung gelisah yang perlahan menghilang.
Akas yang melihat istrinya berdiri tak sabaran hanya tersenyum. Ia tidak menyangka kedatangannya sungguh dirindukan. Segera saja diambilnya kotak beludru berwana merah lalu membuka pintu mobil dan berjalan mendekati Thia.
"Assalamu'alaikum, Ay," sapanya dengan wajah berseri.
"Wa'alaikumussalam. Kok lama banget sih pulangnya, Mas?" Thia menumpahkan keresahannya sambil mencium tangan lelakinya. Tak lupa pula Akas membalas perlakuan itu dengan melayangkan kecupan di dahi istrinya.
"Maaf ya. Tadi Mas mampir dulu ke suatu tempat?" ucapnya seraya mengajak Thia masuk.
"Dimana?" kerut di dahi Thia bermunculan.
"Ada deh." Akas tersenyum misterius, membuat Thia mendengus kecil.
"Cepetan ganti bajunya ya lalu kita makan malam. Dari tadi makanannya udah siap, loh."
"Iyaa, tunggu bentar ya." Akas mengelus pelan kepala Thia lalu masuk ke kamar dan menyisakan Thia yang kini sudah bernapas lega. Ia berusaha merontokkan segala prasangka terhadap suaminya. Menyugesti diri bahwa semua akan baik-baik saja dan Akas tak seperti yang dia pikirkan selama ini. Lelaki itu tidak mungkin mengecewakan dan melunturkan kepercayaannya.
Tak lama kemudian, Akas muncul dengan setelan yang lebih santai dan wajah segar sehabis dibasuh air. Ia menerbitkan senyum tatkala Thia melihat ke arahnya.
"Maaf ya sudah membuatmu menunggu lama," sesalnya. Ia duduk di kursi yang telah ditarik Thia.
"Yang penting Mas Akas sampai dengan selamat," ujar Thia tak mempermasalahkan hal itu lagi.
"Alhamdulillah."
"Oh iya, Mas punya sesuatu yang spesial untuk kamu," lanjutnya.
Wajah Thia terangkat. Ia menatap Akas tepat di maniknya yang berbinar. Penasaran dengan hal spesial yang dimaksud suaminya.
"Apa itu, Mas?"
"Coba pejamkan mata," titahnya.
Thia menurut. Ia memejamkan mata, lalu Akas membuka kotak beludru dan mengeluarkan sebuah cincin dari sana. Ia kemudian memasukkan cincin itu ke dalam jari manis Thia dengan hati-hati.
"Sekarang buka dan lihat apa yang tersemat di jari manis kamu," titahnya lagi.
Thia kembali membuka mata, lantas menujukan pandangan pada objek yang Akas maksud. Perasaannya langsung menghangat ketika menatap cincin yang bertengger manis di jarinya.
"Mas." Thia mentap Akas dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka, Akas akan memberikannya hadiah indah tersebut.
"Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik lagi salihah untuk aku," ucapnya tulus.
Thia tak mampu membendung haru. Ia beranjak dari kursi lalu memeluk Akas dengan erat. Ia mengeluarkan sesak karena rasa bersalah pada lelaki itu. Ia merasa berdosa karena sudah berprasangka buruk sedangkan suaminya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
"Maafkan Thia jika belum bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Akas," ucapnya di sela tangis.
"Kenapa nangis? Bagiku, kamu itu adalah sosok istri terbaik yang sabarnya luar biasa. Justru Mas yang harusnya minta maaf karena seringkali buat kamu sedih dan kecewa." Akas membalas pelukan istrinya seraya mengusap pelan punggung yang tengah bergetar itu.
"Terima kasih, Mas."
"Terima kasih kembali karena sudah mau menerima Mas apa adanya." Akas melerai pelukan dan menghapus air mata yang menghiasi wajah istrinya. Ia kemudian mengecup kedua mata itu dan mengembangkan senyuman. Thia ikut tersenyum walau ia masih sendu.
"Makan yuk. Mas sudah lapar nih."
Thia menunduk merasa malu karena terlalu terbawa perasaan sehingga menjeda waktu makan mereka. Ia mengangguk lalu kembali ke kursinya. Mengambilkan Akas makanan kemudian mereka menyantap makan malam dengan tenang.
Usai mengenyangkan perut, Akas mengajak istrinya ke ruang tamu. Ia ingin memperbincangkan sesuatu.
"Thia nyiapin teh dulu, Mas."
Akas mengangguk. Ia berlalu duluan dan menunggu perempuan itu sambil memainkan ponsel. Menyapa seluruh anggota komunitasnya dan para bimbingannya. Seharian ini ia cukup sibuk dengan proyek baru yang akan digarapnya nanti. Sehingga tidak sempat menanyakan kondisi anggota-anggotanya.
"Mas."
Akas terkesiap saat Thia sudah berada di sampingnya membawa nampan yang berisi dua gelas teh. Ia kemudian meletakkan nampan itu lalu duduk di samping Akas.
"Mau cerita apa?" tanya Thia tanpa basa-basi.
"Insyaallah, besok Mas mau ngadain rihlah bersama member komunitas. Boleh gak?"
Perasaan Thia mendadak tidak enak dan dilanda hawa panas. Jika sudah menyangkut komunitas suaminya, pikirannya tidak akan pernah bisa diajak kompromi.
"Dimana, Mas? Kok baru diomongin sekarang?"
"Soalnya Mas sudah janji untuk mengajak mereka mengunjungi salah satu tempat wisata. Sekalian mau tadabbur alam."
"Dimana, Mas?" Thia menatap Akas dengan wajah keruh. Ia sungguh tak bisa membohongi perasaannya sekarang.
"Di Trawas. Deket kok dari sini," jelas Akas berharap istrinya memberi jalan keluar.
Rasanya tidak ingin mengizinkan Akas pergi apalagi bersama komunitasnya. Ia takut perempuan itu akan turut serta. Hal itu sungguh mengganggu pikirannya. Namun, ia tidak boleh mengedepankan prasangka buruk. Ia harus percaya kepada suaminya. Lelaki itu pasti bisa menjaga batasan. Sebab jika melanggar, ia akan berurusan langsung dengan Allah.
"Berapa lama?"
"Gak sampai bermalam kok, Ay. Insyaallah, sorenya langsung balik," ucap Akas meyakinkan. Thia tak bisa mengelak lagi. Mungkin dia tetap harus memberikan lampu hijau pada Akas.
"Baiklah."
"Alhamdulillah. Terima kasih, Ay." Akas mendekap Thia dari samping. Mendekatkan tubuh mereka.
"Mas, kapan kita mencari tahu tentang Aza?" tanya Thia kemudian. Setelah dipikir-pikir mungkin dia harus mulai meluangkan waktu untuk sahabatnya itu.
"Mungkin sepulang Mas dari rihlah, kita bisa manfaatkan hari ahad lusa nanti," ucap Akas.
"Mm, boleh gak kalau Thia besok mulai bergerak?" tanyanya pelan.
"Sendirian? Enggak. Mas enggak izinkan," tegas Akas.
"Untuk mempersingkat waktu dan mempercepat pencarian. Thia mohon Mas Akas mengizinkan, ya," pinta Thia.
"Biar hari libur Thia juga bermakna, Mas," rayunya lagi.
"Tapi banyak mudaratnya kalau kamu pergi sendirian, Ay," protes Akas masih tidak setuju.
"Mas. Jika ingin Thia percaya pada Mas Akas di rihlah besok, Mas juga harus percaya pada Thia bahwa semua akan baik-baik saja." Ia mencoba bernegosiasi.
"Kenapa kamu meragukan Mas dalam perjalanan besok?" tanya Akas merasakan sebuah kejanggalan.
Telak. Thia tak bisa menjawab. Apakah dia harus menyuarakan kegundahannya yang tak berdasar itu? Jika hanya mengandalkan asumsi belaka, Akas pasti tak akan percaya.
"I-itu. Thia hanya khawatir," jawabnya pendek. Matanya bergerak liar dan jantungnya memompa gelisah.
"Yang harusnya dikhawatirkan itu kamu, Ay. Seorang perempuan lebih utama berada di dalam rumah dibanding keluar tanpa kebutuhan syar'i. Kalau Mas kan pergi tidak sendiri. Lagian demi kepentingan dakwah juga," jelasnya.
Iya, suaminya benar. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan dalam perjalanan itu. Seharusnya ia diam saja dan menurut apapun yang suaminya bilang.
"Yang bukan alasan syar'i itu yang keluar rumah untuk berhura-hura, Mas. Aku sudah jelas ingin mencari tahu tentang Aza. Lagian rumahnya tidak jauh kok dari rumah Mama," kukuh Thia. Rasanya tidak terima jika Akas melarang dirinya bepergian sedangkan pria itu akan menikmati hari liburnya. Setidaknya meskipun bukan menikmati akhir pekan, waktunya lebih bermanfaat. Ia juga sudah meniatkan untuk menolong sahabatnya kembali ke jalan yang benar.
"Ay, jujur Mas tidak ridho," ujar Akas pelan melunturkan pertahanan Thia. Matanya berselaput rasa kecewa. Ia berdiri dan memilih beranjak dari samping suaminya. Berlalu ke kamar untuk membenamkan diri dan memperbaiki perasaan.
Ia paham akan kekhawatiran Akas, tetapi ia ingin pria itu juga memahami perasaannya yang kini diliputi ketidaktenangan. Namun dengan menjelaskannya pun sepertinya tidak akan menemukan ujung yang diinginkan.
☀️
Setelah ini mungkin keretakan itu akan semakin jelas.
Jangan lupa beri support terbaiknya untuk author.
Salam hangat^^
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top