Bab 2|Mengambang

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Tidak ada solusi terbaik bagi dua insan yang saling mencintai kecuali pernikahan."

©Forsythia dan Pilihannya©

☀️

Sejak fitrah itu merambat dalam dada Akas, saat itu pula keinginan untuk menjadikannya nyata terasa sangat kuat. Tak mampu membendung dentuman yang terus menerus menggedor dadanya. Se-salih apapun dia di mata manusia, seteguh-teguhnya dia menjaga batasan, tetap saja titipan itu akan bertandang dalam hatinya. Akas hanya manusia biasa, yang punya syahwat dan kadang sukar dikalahkan. Hingga ketika rasa itu datang, dia bagaikan orang kurang akal yang akan mengesampingkan logikanya dan memilih mengunggulkan perasaan.

Hal itulah yang kemudian mendorong Akas untuk menemui seorang perempuan yang bagai memiliki magnit kuat sehingga bisa menariknya untuk bertindak lebih cepat. Akas takut perasaan itu akan membawanya pada jalan kemungkaran. Sebab ia paham, makna dari mencintai adalah menghalalkan. Dan tak ada satupun penawar dari dua insan yang saling mencintai kecuali pernikahan. Akas ingin menggiring titipan rasa itu menuju bahtera yang diridhoi Allah. Namun respons sang pujaan membuat hatinya sedikit gamang.

Lelaki itu tak bisa menahan diri untuk tidak berkunjung ke klinik. Padahal dia sudah berikrar pada dirinya sendiri untuk tidak memunculkan batang hidungnya di depan sang pujaan hingga hari keputusan tiba. Namun dasar hatinya yang bandel. Ujung-ujungnya, Akas menyerah dan memilih berpihak pada hati. Ah, manusia memang lemah!

Akas melihatnya. Matanya menangkap sosok itu sedang tertegun. Wajahnya terlihat sangat lucu dengan eskpresi tersebut. Astaga! Akas tak mampu menahan senyum. Argghh, gagal! Akas benar-benar tersenyum sekarang.

Buru-buru dia menunduk lantas berlalu menuju lantai dua. Tempat dimana ruangan pemilik klinik berada. Sesampainya di atas, Akas segera mengacak rambutnya. Kesal pada diri sendiri yang tak mampu menahan hanya karena hal sepele.

"Ah, kacau!" racaunya sembari menghela napas. Ruangan yang di tempatinya itu kosong dan sunyi. Ayahnya tidak hadir karena sedang ada agenda lain. Biasanya dia akan datang sesekali di tempat itu jika diperintah oleh ayahnya. Namun, kali ini dia pergi atas kemauan dirinya sendiri. Kemudian di sinilah ia berada. Bersama kebingungan yang melanda.

Pikirannya tiba-tiba tersangkut pada lamaran kemarin. Ketika dia meminta Thia menjadi pendamping hidupnya. Dia tak menyangka gadis itu memberikan penangguhan waktu yang cukup lama. Satu minggu, bagi Akas itu lama.

Tiba-tiba pintu ruangan terketuk. Akas terkesiap. Ia kemudian berdehem dan mempersilahkan orang itu masuk.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

"Ini teh untuk Mas Akas. Silahkan diminum," ucap Aza sambil tersenyum dan memandang Akas terang-terangan. Tentu saja lelaki itu risi. Tatapan Aza terlalu mendominasi. Bodohnya, perempuan itu malah tetap berdiam di tempat. Akas benar-benar gemas.

"Ya, terima kasih. Ada perlu lagi?" tanyanya. Ia menaikkan alis melihat Aza tak berhenti melengkungkan senyumnya.

"Tidak Mas, hehe. Saya pamit turun, permisi," ucapnya lalu menghilang di balik pintu dengan wajah cerah ceria. Ia bahkan menyenandungkan lagu cinta.

"Za, seneng amat," sambut Thia ketika perempuan itu kembali ke tempat duduknya.

"Iya dong, habis ketemu calon imam," tukasnya sambil menutup mulut, tersipu dengan perkataannya sendiri.

Gelenyar aneh kembali merambat di dada Thia. Rasa tidak nyaman karena telah menyembunyikan satu fakta dari perempuan itu kembali menderanya.

"Aza." Thia melirihkan nama sahabatnya itu dalam hati. Sebuah ketakutan langsung menyergapnya.

☀️

Matahari semakin mendekati tempat peraduan. Namun teriknya masih terasa kuat. Seperti biasa, pulang kerja Thia langsung ke rumah. Ia mendapati rumahnya sedikit ramai daripada biasanya. Beberapa tetangga bertandang mengobrol bersama mamanya di teras.

"Assalamu'alaikum, Ma," sapanya sambil mencium tangan wanita yang sudah merawatnya dengan penuh cinta.

"Wa'alaikumussalam. Thia masuk sana bersih-bersih dulu, terus jangan lupa temuin mama ya kalau selesai. Mau bahas persiapan pernikahan kamu." Thia terdiam. Bibirnya kelu. Hendak protes, tetapi tak mampu. Di sekitarnya, beberapa ibu-ibu tampak sibuk berceloteh membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Alih-alih berbagi pengalaman, mereka terdengar seperti menggibah, sebab ceritanya memfokuskan pada satu orang. Ah, tak heran Nabi menerangkan bahwa penduduk neraka mayoritas dari kaum wanita. Sebab, lidahnya yang licin itu tak mampu dia jaga.

"Thia. Jangan lupa tulis nama-nama teman Ayah yang mau diundang nanti, ya," sahut Pak Wijaya ketika melihat sosok Thia di depan pintu.

"Eh, Thi, nikahannya nanti mau di rumah aja atau di gedung?" timpal seorang ibu yang berpostur gempal.

"Gedung aja lah Thi, biar terkesan mewah," timpal yang lainnya.

"Kata Bu Nia calon suaminya pemilik yayasan ya? Wah, hebat banget!" sumbang suara lain.

Kepala Thia mendadak pusing dan nyaris pecah. Semua celotehan itu layaknya peluru yang dilucutkan ke arahnya. Rasa gerah akibat seharian bekerja disertai omongan tak mengenakkan membuat suhu tubuhnya meningkat drastis. Panasnya bergumul dalam kepala.

"Thia lelah, Ma," ujarnya pendek dan tak selera. Tertuang jelas di wajahnya rasa enggan menanggapi perkataan mereka.

"Thia ke kamar, ya," lanjutnya. Seburuk apapun mood-nya, dia tetap akan mempertahankan sikap sopan santunnya. Terlebih kepada ayah dan mamanya. Zinnia menghilangkan senyum lalu mengangguk sambil mengusap punggung anaknya. Dia tahu, putri satu-satunya itu sedang kelelahan. Meskipun rasa antusiasme pasca lamaran kemarin membuatnya begitu bersemangat mengurus segala keperluan pernikahan Thia, namun nalurinya sebagai seorang ibu selalu lebih dominan.

Thia merebahkan tubuh di kasur empuknya. Memejamkan mata sambil memijat pelan kepalanya. Rasa sejuk dari air conditioner dibiarkan memanjakan tubuh perempuan itu. Ia lelah bukan karena pekerjaan yang begitu banyak, namun karena energi batinnya yang banyak terkuras. Gadis itu menghela napas untuk yang kesekian kali. Buka karena tak mensyukuri hidup, namun tak lebih agar hatinya bisa lebih tenang.

Mengapa orangtuanya begitu bersemangat mempersiapkan pernikahan padahal jawaban Thia saja masih mengambang? Pertanyaan itu terus menari di kepalanya. Tak menunggu lama, ia segera beranjak menuju kamar mandi. Membersihkan diri dari segala penat, berharap bebannya juga ikut luruh bersama aliran air nanti. Namun alih-alih masalah runtuh, di kamar mandi saja batinnya tak pernah berhenti berbisik, memikirkan jawaban terbaik.

Usai mandi, Thia langsung memakai mukena. Memilih menunggu waktu magrib diselingi salat istikharah. Masih tersisa beberapa menit. Cukup untuk meluahkan kegundahan hati dan meminta petunjuk atas perasaannya kini. Di atas sajadah, perempuan itu terlihat sangat rapuh. Matanya terpejam menahan gemuruh.

"Allah, aku mencintainya dan bersyukur Engkau menuntun langkahnya kepadaku. Namun, rasa bersalah ini sangat menyiksaku. Ya Rabb, jika berbagi cinta dengan sahabatku membuatku lebih baik, maka teguhkanlah hatiku atas pilihan ini. Namun, bagaimana dengan Mas Akas? Akankah dia menerima permintaan ini? Aku tak sanggup memikirnya ya Rabb. Haruskah aku nundur saja? Tetapi bagaimana dengan perasaan Mas Akas? Bukankah itu bisa menyakiti hatinya? Ya Rabbi, sungguh perasaan ini sangat menyiksa. Allah, tak ada yang bisa memberikan keputusan terbaik selain Engkau. Tak ada yang bisa aku andalkan kecuali Engkau. Tak ada yang bisa aku mintai pertolongan selain kepada-Mu. Berilah aku petunjuk terbaik dari-Mu, ya Rabb."

Air mata Thia terurai seiring dengan bergemanya kalimat itu dalam hatinya. Belum pernah ia merasakan kebimbangan yang dahsyat selama hidupnya selain hari ini. Rasanya tak ada masalah yang lebih besar dan memusingkan selain masalahnya kini.

☀️

Setelah urusan rumah dan ibadah selesai, Thia bergegas kembali ke kamar. Menghindar dari kemungkinan ajakan diskusi dari kedua orangtuanya. Selain alasan mengerjakan rekapan, tentunya dia tak ingin menambah beban dalam pikirannya. Hah, hidup gadis itu terdengar berat sekali.

Ting!

Di sela kesibukannya merekap data, sebuah notifikasi membuat ponselnya menyala. Pandangan Thia segera beralih dan tangannya meraih benda pipih itu. Jarinya urung membuka aplikasi tatkala matanya melihat isi pesan di riwayat pemberitahuan.

|"Assalamu'alaikum, Thia. Bagaimana
|kabarnya? 😊"

Isi pesan tersebut seketika menari-nari di kepalanya.

"Mas Akas," lirihnya dengan tatapan sendu. Teringat lagi bagaimana kebaikan Akas padanya selama dua bulan terakhir ini. Seringnya adalah membantunya memahamkan pasien apabila Thia tak mampu menjelaskan. Sesekali Akas menjadi pahlawan ketika dia sedang kewalahan. Tak jarang pula memberikan apresiasi sederhana yang menurut perempuan itu sangat luar biasa. Semua perhatian kecil yang ditampakkan lelaki itu membuat Thia semakin tak mampu membendung perasaannya untuk tidak bertumbuh. Namun, pengakuan Aza yang turut memiliki perasaan serupa membuatnya tak bisa berkata-kata. Terpaksa Thia harus berpura-pura biasa saja dan menganggap semuanya adalah suatu kewajaran. Sebab, rasa tertarik kepada lawan jenis adalah naluriah setiap insan. Thia pun tak mungkin merasa cemburu karena Akas bukanlah siapa-siapanya.

|Thia sedang apa?"

Pesan dari Akas kembali masuk. Thia menekan perasaannya lalu membuka ruang obrolan dan membalas pesan lelaki itu. Tak baik mengabaikan pesan orang tanpa ada penjelasan.

Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah kabar| Thia baik 😊. Sedang kerja rekapan, Mas.|

|Maa syaa Allah, harusnya saat ini sudah
|istirahat. Tapi masih aja kamu kerja. Tidak
|lelah, hm?"

Perasaan Thia bergemuruh. Pesan yang teramat sederhana, tetapi efeknya mampu membangunkan kupu-kupu dalam perut Thia.

Mas Akas! Thia menjeritkan nama Akas di dalam hatinya.

Sudah jadi PR Thia, Mas 😊 berlelah-lelah| dahulu, berlega-lega kemudian, hehe|

Tulis Thia dengan perasaan panas dingin. Mati-matian gadis itu menahan getar disekujur tubuhnya.

|Sayang banget ya Thi, saya belum bisa jadi
|sandaranmu saat lelah :(

Alih-alih euforianya melambung tinggi, ia justru dirundung rasa bersalah.

Maafkan Thia ya, Mas. In syaa Allah,| secepatnya Thia akan memberikan jawaban|

Jika tadi ia panas dingin karena bahagia, sekarang Thia meriang karena gelisah.

|Tidak apa-apa. Pernikahan memang
|membutuhkan kemantapan dari segala sisi.
|Kita akan melaksanakan ibadah jangka
|panjang, tentu harus memiliki kesiapan
|yang matang untuk melaluinya. Saya pun
|demikian. Semoga Allah tetap meneguhkan
|hati ini dan memudahkan jalan kita untuk
|segera bersatu.

Thia dilanda rasa haru. Sungguh, dia tak ingin membuat siapapun merasa kecewa. Termasuk Akas yang namanya sudah lama bertahta dalam hati. Juga Azalea, sahabatnya yang teramat disayangi. Apalagi orangtuanya yang tampak berharap banyak padanya. Nyatanya, memiliki dan melepaskan Akas sama-sama dapat menimbulkan kekecewaan. Lantas, jalan mana yang tepat dipilihnya untuk melangkah?

☀️

Semangat puasanya para readers tersayang!
#ada maunya nih pasti ><

Yap, Nisaa minta supportnya, hihi

Jangan lupa tekan tanda bintang kemudian komen dengan kata yang menyenangkan. Eh, menyakitkan juga gapapa kok :')

Intinya, ramaikan atuh✌️

Syukron jazakumullah yang sudah membaca cerita ini.

Salam hangat dariku💕💕

...
"Ambil yang maslahat, buang yang mudarat, dan jadilan pembaca yang bijak."

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top