Bab 19|Dia Kembali
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Tak ada pasangan yang selalu bahagia dan saling cinta selamanya. Sebab yang tersisa hanyalah sikap saling menghargai dan memahami satu sama lain."
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Keadaan dapur sudah berantakan ketika Thia tiba. Beberapa alat dan bahan pembuatan kue tergeletak tak terurus di atas meja. Ia langsung menghampiri mertuanya yang tak menyadari kedatangannya karena tenggelam dengan aktivitas mengaduk adonan kue.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumussalam. Eh, sudah tiba, Thi," ucap Ria menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kegiatannya.
"Iya, Bu. Apa yang bisa Thia bantu, Bu?"
"Ini, Nak. Tolong buatin butter cream-nya. Sebentar lagi, cake-nya mau dipanggang. Nanti bantu Ibu hias kuenya juga, ya."
"Iya, Bu. Memangnya desainnya seperti apa, Bu?" tanya Thia sembari mengambil sekotak whippingcream untuk di mixer.
"Kata Lily sih tema ultahnya minion. Jadi bikin minion saja. Bisa, kan?"
Thia tersenyum. Ia jadi teringat sewaktu sekolah dulu dirinya sangat menyukai karakter kartun berwarna kuning itu. Ia bahkan terobsesi untuk memenuhi buku gambarnya hanya untuk melukiskan tokoh kevin beserta teman-temannya.
"Bisa, Bu," ucapnya mantap.
"Oh iyaa, Thia. Sudah berapa lama sih pernikahan kamu sama Akas? Apa belum satu tahunan?"
Pertanyaan Ria sukses membuat leher Thia menjadi tegang. Sebuah pertanyaan horror yang sangat tidak ingin didengarnya. Dirinya tahu betul kemana tanya itu menjurus.
"Mm, belum, Bu. Baru masuk bulan ke sembilan," ucap Thia kikuk.
"Apa belum ada tanda-tanda, Thi? Sudah terbilang lama loh itu."
Benar saja. Pasti ujung-ujungnya adalah masalah keturunan. Manusia bisa apa selain berencana, berusaha dan berharap? Bukan hanya orangtua dan mertuanya saja yang menginginkannya, dirinya dan suami pun sudah lama mendambakan amanah itu.
"Iya, mau gimana lagi, Bu. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Jika Allah belum mempercayakan, kita bisa apa?" Ada sendu yang terselip dalam nada suara itu. Sesuatu mengoyak kalbu, membuat mata menghangat.
"Udah periksa ke dokter belum?"
Thia sudah tak selera mengaduk whippycream. Rasanya ingin pulang saja dan bergelut dengan selimut daripada menghadapi pertanyaan itu.
"Udah, Bu. Udah konsumsi macam-macam juga rekomendasi Mba Lily dan dokter. Tapi ya begitulah, Bu. Belum rezeki," ucap Thia datar.
"Huftt, padahal Ibu tuh ya suka iri kalau liat cucu teman yang gemas-gemas. Gak sabar pengen gendong juga."
Hati Thia meringis nyeri mendengar kalimat itu. Dia sangat sadar dan memaklumi keinginan sang mertua, tetapi hal itu justru menjadi beban untuknya. Rasa puas manusia memang tak akan ada habisnya. Selalu menginginkan hal yang lebih, lagi dan lagi. Jika sudah memiliki anak, entah apa lagi yang akan dituntutnya.
Percakapan berhenti dan keduanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Setelah selesai menghias kue dan membersihkan dapur, Thia berpamitan untuk keluar menghampiri suaminya. Ia melihat Akas tengah bercengkerama dengan Altar. Lelaki itu tersenyum melihat istrinya mendekat.
"Sudah selesai kuenya?" Akas merangkul istrinya untuk mendekat.
"Sudah, Mas."
"Jam berapa mau ke rumah Mba Lily?"
"Kata Ibu ba'da asar aja kebetulan sudah hampir masuk waktu asar. Kita pulang dulu yuk. Thia mau bersih-bersih dulu," ajaknya sambil menatap mata Akas seksama.
"Ya udah."
"Pa, Akas pulang dulu ya, nanti kita ketemu lagi di rumah Mba Lily," pamit Akas.
"Iya. Kalian hati-hati di jalan."
Melihat kemuramanan menggantung di wajah ayu istrinya, benak Akas bertanya-tanya.
"Ay, lagi lamunin apa? Kok muram begitu mukanya?" tanya Akas tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
"Enggak, Mas. Lagi pengen diam aja."
"Berasa jadi supir kamu nih kalo dicuekin," canda Akas, namun Thia hanya berekspresi biasa saja membuat suaminya tak berani lagi mengeluarkan suara. Tak ingin memperkeruh suasana hati perempuan itu.
"Mas," cetus Thia tiba-tiba.
"Ya, kenapa?"
"Selama sembilan bulan kita nikah, Mas Akas pernah gak meresahkan ketidakhadiran buah hati di antara kita?"
Hening sejenak.
"Bohong ya Ay, kalau Mas bilang gak pernah. Nyatanya Mas hanya manusia biasa yang tidak bisa mengelak dari was-was syaitan. Maaf ya," ujar Akas merasa bersalah.
"Gapapa, Mas. Wajar kan kita bersikap seperti itu. Thia pun selalu merasakannya. Membuat Thia gagal jadi wanita seutuhnya," ucapnya dengan rendah diri.
"Sssttt, jangan berpikiran seperti itu, Ay. Memiliki anak bukanlah tolok ukur sehingga dikatakan sebagai wanita yang utuh. Karena hakikat wanita yang utuh adalah dia yang tetap menjadi dirinya sendiri dan nyaman dengan kondisi apapun itu. Ada suami atau tidak, ada anak ataupun tidak. Karena jika menjadikan sesuatu sebagai tolok ukur kesempurnaan, maka kita tidak akan pernah mendapatkan predikat itu. Sebab tidak ada manusia yang sempurna dan puas dengan satu predikat saja."
"Kita memang hanya bisa berencana. Kecewa pun karena adanya harapan yang tumbuh dalam dada. Namun, jika kita ingin menyelami hakikat pernikahan itu, niscaya kita tidak hanya akan berpaku pada satu sisi saja. Masih ada cara dan ibadah lain yang bisa mengantarkan kita ke Surga-Nya. Jadi, jangan pernah menyerah pada jalan ini meskipun Allah belum memberikan kita sepasang sepatu sebagai pelengkap untuk menguatkan dan melanjutkan langkah."
Tak lama kemudian, mobil mereka kembali merapat di tempat pulang ternyaman. Sembari menunggu Akas yang mandi duluan, Thia mempersiapkan pakaian yang akan mereka kenakan pada pesta ulang tahun Daisy. Saat wanita itu menyetrika jilbab, suara dering ponsel Akas mengganggu kegiatannya. Sebuah nomor tak dikenal masuk. Karena mengira sesuatu yang penting dan mendesak, bisa saja itu relasi suaminya, Thia pun mengangkatnya. Namun panggilan itu langsung berakhir. Thia mengerutkan kening. Tanpa sengaja, ketika menyentuh layar, ponsel itu terbuka dan menampilkan layar utama. Thia terkejut. Tak biasanya suaminya tidak mengunci layar. Apakah itu artinya dia mulai terbuka dan percaya padanya?
Thia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Segera saja dicari tahu siapa yang baru saja menghubungi nomor suaminya.
Matanya membulat dan nyaris keluar saat membaca nama teratas yang muncul di ruang obrolan. Hatinya langsung memanas. Nama yang selama ini jadi duri dalam rumah tangganya. Ya, nama itu kembali bertandang setelah sekian lama bahteranya berlayar dengan tenang.
Thia keluar dari aplikasi dan memencet tombol power dengan gusar lalu menyipannya di atas nakas sembari menunggu Akas keluar. Dia ingin mengetahui bagaimana respon suaminya setelah melihat nama itu.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka. Pemandangan Akas yang hanya memakai handuk pendek dengan rambut basah sukses membuat Thia menahan napas. Pesona lelaki itu memang tidak main-main. Sekilas rasa gugup menyambanginya. Menantikan moment itu tiba.
"Ay, masuk gih," titahnya.
"Tadi ponsel Mas Akas bunyi," ucap Thia masih bergeming. Menilik gerak-gerik Akas.
"Iyaa nanti aku liat."
Mata Thia mengikuti apa saja yang lelaki itu lakukan.
"Mama nelpon tadi tapi gak sempat aku angkat karena langsung mati. Coba dicek dulu Mas barangkali ada yang penting," desak Thia.
"Iyaa bentar." Akas menyelesaikan pakaian lalu menyemprotkan wewangian kemudian menghampiri ponselnya di atas nakas. Semua tak luput dari perhatian Thia.
"Kok belum masuk kamar mandi, Ay?"
"Bentar, Mas."
Ekor mata Thia menyaksikan ketegangan ditubuh pria itu. Jemarinya terhenti di atas layar. Seperti ragu hendak menekan atau pun mengetikkan sesuatu di sana. Setelah lama menimbang, jempolnya lincah menari memilah huruf dan merangkai kata. Ia segera menyelesaikan kegiatan itu kemudian menetralkan muka. Ia berbalik ke arah Thia dan memamerkan senyumannya.
"Kok masih tinggal?"
"Baru mau masuk," ujarnya dengan nada datar kemudian melangkah masuk ke kamar mandi.
Sepeninggal Thia, Akas langsung memejamkan mata dan mengatur napas. Ia kembali mengambil ponselnya dan membuka pesan dari Mawar. Tak bisa membohongi perasaan, Akas penasaran dengan kabar perempuan itu. Dimana dia sekarang? Bagaimana kabarnya? Sama siapakah dia?
Semua itu mengganggu kepala Akas.
☀️
Huft... Mulai down :')
Semoga bisa menyelesaikan naskah ini sampai tamat.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top