Bab 18|Kabut Kecewa
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Barulah terasa betapa berharganya sebuah hidayah ketika melihat sahabat jauh dari ilmu agama."
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Waktu cepat sekali berjalan. Meninggalkan kisah-kisah kelam yang ingin ditenggelamkan. Mengembalikan keadaan secara perlahan-lahan. Memulihkan hati yang luka. Menghadirkan rona bahagia. Dalam sebuah petualangan yang panjang, angin memang tak selalu tenang. Air pun tidak melulu beriak-riak tipis. Begitupun dalam berumah tangga. Bukan hanya soal mencecap rasa bahagia, tetapi juga bersiap untuk menikmati luka. Tidak selalu berjalan indah, tenang, dan aman. Kadangkala ia terguncang, hingga retak. Namun, tak ada kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Semua yang telah terjadi memang tak bisa diulang kembali, tetapi waktu yang terisa telah memberikan kesempatan untuk bercermin pada kesalahan itu. Untuk dijadikan pelajaran dan tidak mengulanginya kembali.
Rumah mewah berkonsep minimalis modern sekilas terlihat begitu tenang. Setiap mata yang memandang akan melukiskan sebuah kedamaian. Begitulah seharusnya sebuah rumah. Menjadi tempat yang selalu menentramkan jiwa. Bukan hanya di luarnya saja, tetapi seluruh isi dan juga penghuninya.
Beberapa hari ini, ketentraman memang melingkupi rumah tersebut. Sebab pemilik dua hati yang pernah bersitegang itu telah meleburkan diri. Kembali menumbuhkan pucuk-pucuk cinta yang pernah dipangkas orang asing.
Forsythia mengembangkan senyumnya tatkala melihat salinan dirinya di dalam cermin. Ia masih tak percaya tubuh yang sedikit berisi itu adalah miliknya. Ah, meskipun sedikit tak elok jika dipandang mata julid, tetapi itulah bukti jika ia sejahtera dengan hidupnya yang sekarang. Namun sedetik kemudian senyumnya lenyap berganti kemuraman yang tak bisa disembunyikan. Tangannya bergerak mengusap perut yang masih rata. Tak ada tanda-tanda sedikitpun akan terisi makhluk kecil di sana. Kesedihan pun setia menggantung di wajah cantiknya.
"Ay. Sudah siap?"
Sebuah suara menginterupsi gerakannya. Ia menoleh cepat dan mengganti raut wajah menjadi ceria.
"Sudah, Mas."
"Loh, ini kok riasannya tebal-tebal sih, Ay. Ganti gih, Mas gak setuju," protes Akas menyuarakan ketidaksetujuannya.
"Kan aku pake masker, Mas. Gak diliat juga," balas Thia.
"Kalau gitu, pakai cadar sekalian ya," pinta Akas penuh harap. Thia terdiam. Memakai cadar menjadi salah satu permintaan Akas yang belum Thia sanggupi. Meskipun menutupi wajah bukan menjadi suatu keharusan, tetapi suaminya menyenangi hal tersebut. Membuatnya merasa istimewa jika kecantikan istrinya hanya bisa dinikmati olehnya saja. Namun, permasalahan wanita itu adalah tentang kesiapan. Thia belum sanggup dan merasa belum cukup pantas untuk memakainya.
"Mas," lirih Thia mencoba merajuk. Tatapannya memelas menatap Akas.
"Kapan siapnya kalau tidak dilakukan, hm?"
"Nanti jika Thia betul-betul sudah siap memakainya."
Akas menghela napas. Ia menghargai pilihan istrinya, namun setitik ketidakrelaan selalu mengganggu hatinya.
"Ya sudah, Mas tidak memaksa," putusnya. Mata Thia langsung berbinar. Dengan gerak impulsif dia memeluk pinggang Akas sambil tersenyum merasa menang.
"Terima kasih, Mas."
"Iya. Kita berangkat sekarang yuk," ajaknya sembari mengusap puncak kepala istrinya. Thia mengangguk semangat dan merangkul lengan Akas setelah memakai maskernya. Kedua sejoli itu akan merajut kedekatan dengan pergi jalan-jalan. Setelah menikah rasa-rasanya jarang sekali mereka menikmati hiburan di luar rumah. Kebanyakan hanya terpaku di dalam rumah saja.
Akas mengajak istrinya untuk menikmati udara segar di taman yang pernah mereka tempati bertemu sebelum menjadi mahram. Keduanya bernostalgia ketika melihat pohon jacaranda yang masih berbunga indah. Rona bahagia tercetak jelas dikedua pipi Thia. Ia menikmati kebersamaan mereka. Bercerita banyak hal tentang pertemuan dan kebetulan-kebetulan menyenangkan yang menghampiri mereka. Melupakan segala sakit dan kecewa yang pernah menyerangnya. Melepaskan semua catatan buruk tentang satu sama lain dalam benak masing-masing.
"Mas, aku mau permen kapas itu," tunjuknya pada sebuah tiang kecil yang dikelilingi permen kapas berwarna-warni. Di sekitarnya banyak anak-anak yang mengantri.
"Kayak anak kecil saja," kekeh Akas mendengar permintaan istrinya.
"Memangnya cuma anak kecil yang bisa makan itu," cebiknya.
"Haha, ya udah, yuk ke sana," ajaknya sambil menarik tangan Thia lembut.
"Mau yang warna apa?" tanya Akas menolehkan wajah pada wanitanya.
"Mau yang warna u-ngu." Intonasi Thia melambat tatkala matanya menatap satu sosok yang tak asing lagi. Sekelebat rindu sekonyong-konyong hadir di pelupuk mata. Mendesak embun untuk segera keluar dari peraduan. Thia tak memperdulikan lagi permen kapasnya. Kakinya bergerak lincah menghampir sosok itu. Jantungnya berdebar kuat seiring langkah yang semakin dekat.
"Aza," lirihnya. Sosok yang membelakang itu tampak menegang. Tidak salah lagi. Sosok yang dilihatnya itu Azalea. Perempuan yang tengah membelakanginya itu adalah sahabatnya. Namun sebuah pemandangan baru membuat membuat mata Thia berselaput rasa kecewa. Kain yang membungkus mahkota gadis itu terbang kemana?
Sekujur tubuh Aza meremang. Ia ragu untuk berbalik. Semacam ada rasa segan untuk bertemu kembali dengan sahabatnya. Ia sudah membangun sekat. Janggal rasanya walau sekadar bertemu tatap. Apalagi ia menyadari sebuah perubahan dalam dirinya. Seakan ingin menghilang saja dari belahan bumi ini.
"Kamu Aza kan?" tanya Thia memastikan. Kalau-kalau matanya yang salah mengenali orang. Akas hanya memerhatikan dari belakang. Menyimak percakapan dua orang yang belum pernah bersua lagi. Lelaki itu turut mengerutkan kening melihat surai indah sahabat istrinya kini tergerai bebas.
Aza tidak menjawab, tidak juga beranjak. Hanya diam tak bergerak. Masih mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu.
"Kamu beneran Aza kan sahabat aku?" ulang Thia lagi. Kali ini ia menyentuh pundak perempuan itu. Sentuhan yang mengalirkan getaran menembus relung hati Aza.
"Maaf, aku harus pergi," ucapnya lirih hendak melangkahka kaki. Namun tangan Thia dengan gesit menahannya.
"Tunggu, Za. Aku ingin bicara." Tarikan dari Thia sukses menggoyahkan tubuh Aza sehingga berbalik ke arahnya. Tak terduga, netra Aza bersitatap dengan Akas. Hati perempuan itu bergetar bagai tersengat listrik. Denyut rindu seketika hadir memalu dada. Baik Aza dan Akas, keduanya membuang muka.
Aza menuruti langkah Thia tanpa perlawanan. Padahal hatinya diselimuti rasa bersalah. Entah berasal dari mana.
"Mas, Thia izin bicara berdua dengan Aza dulu, ya," pamit Thia pada Akas. Lagi-lagi dadanya berdesir ketika melewati lelaki itu. Sosok yang dulu sangat diagung-agungkannya. Sosok yang tak pernah melihatnya sebagai wanita.
Akas pun merasakan munculnya sebuah denyut asing ketika perempuan itu melintas di depannya. Entah berasal dari mana dan bagaimana bisa, tetapi lelaki itu tidak ingin terlalu memikirkannya. Cukup tahu saja bahwa dia adalah seseorang yang pernah menaruh rasa padanya.
☀️
Thia dan Aza duduk berpayung pohon Akasia. Aza setia menunduk mengelih rumput, sedangkan Thia tampak mengatur perasaannya.
"Za, apa kabar?"
"Aku baik, Thi," jawab Aza pendek.
"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, tapi aku gak yakin kamu mau berlama-lama denganku."
Ucapan Thia sukses mengiris hati Aza.
"Aku merindukanmu, Za," ucap Thia sendu. Matanya mengabur disesaki air bening. Pertahanan Aza seketika runtuh, namun ia tetap bisa mengendalikan diri.
"Kenapa kamu lepas jilbab?"
Pertanyaan itulah yang sangat Aza hindari. Dia tidak ingin mengatakan alasan mengapa memilih keputusan buruk itu dipilihnya.
"Kamu semakin jauh, Za. Kamu mendadak jadi orang yang tidak aku kenal," curah Thia meloloskan setetes air mata.
Aza setia membungkam. Mati-matian menahan gejolak di dadanya. Ia tidak boleh membuka topeng.
"Memang tidak ada pertemanan yang abadi di dunia, Thia," komentar Aza dengan nada datar.
"Kamu membangun sekat, Za. Kamu memutus silaturrahmi di antara kita?" ucap Thia tak bisa lagi membendung air mata. Perasaan perempuan yang mudah tersentuh itu sudah runtuh. Ia kecewa.
"Jika tidak ada lagi hal yang penting, aku akan pergi," ujar Aza lagi-lagi menciptakan luka baru dalam hati Thia.
"Plis, Za. Jangan kek gini, aku sedih tau gak." Thia menggenggam tangan Aza, namun perempuan itu menepis.
"Maaf, Thia. Seseorang bisa berubah kapan pun dia mau. Dan tidak semua alasan mereka harus kamu tahu."
"Za, kamu benar-benar tidak aku kenal." Sorot mata kecewa memadang Aza penuh lara. Perempuan itu menebalkan hati.
"Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Maaf, aku harus pergi," pungkasnya sambil beranjak dan melangkah cepat. Tak mengindahkan isak tangis dan cegahan dari Thia. Ia benar-benar menebalkan hati dan ego. Ia bukanlah Aza yang dulu. Ia kini menjadi orang yang berbeda. Dunianya sudah berubah.
Thia terduduk dengan masih meratapi kepergian Aza. Sosok perempuan itu sudah lenyap dalam pandangan mata. Akas segera menghampiri istrinya untuk memberikan pelukan yang menenangkan.
"Mas, kenapa Aza berubah drastis?" tanyanya dengan pandangan kosong.
"Kita tidak pernah tau masalah apa saja yang dialami seseorang sehingga menjadikannya tak dikenal lagi. Kita pun tidak bisa langsung menghukuminya tanpa tau alasannya. Lebih jika selalu berusaha menggenggam tangannya dan menariknya ke dalam jalan kebaikan."
"Masalahnya Aza sendiri yang melepas tangan aku, Mas," ujar Thia pelan.
"Sabar yaa, insyaallah kita pasti bisa membawanya kembali pada jalan yang benar. Terus berusaha sembari berdoa. Semoga Allah segera mengetuk pintu hatinya," ucap Akas sambil mengelus pundak istrinya.
Rencana mereka hari itu yang hendak merajut kedekatan harus diurai karena sebuah pertemuan tak terduga dan cukup mengurus emosi. Thia memilih kembali ke rumah untuk menata hati. Ia kembali mengingat, sejak pertemuan terakhirnya dengan Aza di klinik, mereka tak pernah berkomunikasi lagi. Kontak Aza mendadak tidak bisa dihubungi. Thia pun belum pernah meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah sahabatnya. Semua itu karena ia hanya fokus pada pekerjaan dan keluarga.
Ia tak bisa menampik rasa kecewa ketika melihat Aza. Perubahan besar gadis itu benar-benar menggores hati Thia. Bagaimana bisa orang yang dulu sedekat nadi menjadi orang yang tak tersentuh? Thia masih sulit untuk percaya.
"Sudah lah, Ay. Tidak usah terlalu dipikirkan. Nanti kita sama-sama cari cara untuk melakukan pendekatan dengannya," ujar Akas ketika menghampiri Thia yang masih setia melamun.
"Kalau bisa sekarang, kenapa harus tunggu nanti, Mas? Aku gak mau dia menjadi semakin jauh lagi," ucap Thia keberatan.
"Iya, soalnya Ibu menyuruh kita ke rumah."
Thia terkejut mendengar ucapan Akas. "Kok, mendadak?"
"Katanya butuh bantuan membuat kue ulang tahun."
"Siapa yang mau ultah, Mas?"
"Daisy."
"Loh, kok Mba Lily gak bilang-bilang ya," ujarnya dengan wajah cemberut.
"Lupa kali."
"Jadi, udah siap pergi sekarang? Gak mau ganti baju dulu?" lanjutnya.
"Iyaa, ini saja, Mas."
Akas mengangguk lalu mengajak Thia keluar rumah. Mengendarai mobil hitam menuju kediaman kedua orangtuanya. Sepanjang perjalan Thia hanya diam, masih memikirkan Aza. Ia tidak sabar mencari tahu kembali tentang sahabatnya. Mengorek informasi terkait perubahannya. Menariknya dari lubang dosa dan menggenggam erat tangannya menuju jalan kebaikan.
☀️
Maaf baru bisa updet sekarang🥲
Jangan lupa berikan support terbaiknya agar author tetap semangat.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top