Bab 17|Pilar Rumah Tangga

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Jika diibaratkan sebuah rumah, maka kejujuran adalah tiang penyangga. Jika satu saja tiangnya patah, maka rumah itu akan goyah."

©Forsythia dan Pilihannya©

Datangnya penyakit selalu dianggap sebagai musibah. Padahal ia datang membawa hikmah. Sakit mampu menggugurkan dosa-dosa. Sakit bisa menghindarkan diri dari siksa api neraka. Sakit juga merupakan sebuah pengingat bahwa betapa berharganya nikmat sehat itu. Dengan merasakan sakit pula, manusia bisa kembali mengingat Allah.

Meskipun masih diselimuti rasa pening dalam kepala, Thia masih tetap berusaha untuk bangkit ketika azan subuh berkumandang merdu. Ia memejamkan mata sambil meringis. Terasa berat untuk melangkah, namun wanita itu terus menguatkan dirinya.

"Ay." Pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Akas yang tengah terburu-buru menyambut istrinya. Menuntun tubuh ringkih itu untuk mengambil air wudu.

"Thia bisa sendiri, Mas," tolaknya seraya melepaskan tangannya dari genggaman Akas. Lantas pria itu merasa heran.

"Tidak, Ay. Kamu masih sempoyongan kalau jalan," kukuh Akas lalu kembali memegang dan merangkul bahu Thia.

Thia pasrah. Ia membiarkan dirinya dituntun. Dia tidak ingin mendebat suaminya dengan hal-hal sepele. Waktu pun masih sangat pagi.

Keduanya melaksanakan salat subuh dengan khusyuk, meskipun Thia bergerak perlahan karena masih didera rasa pening. Sewaktu selesai, mereka tidak mengaji bersama. Thia hanya menjadi pendengar setia. Meresapi ayat demi ayat yang dilantunkan dengan indah. Suara Akas memang tak pernah gagal untuk tidak memukau Thia. Selalu membuat wanita itu jatuh cinta.

"Mas." Selesai tadarus, Thia menggagalkan gerakan Akas yang hendak menyimpan mushaf. Ia kembali duduk dan menoleh pada istri tercintanya.

"Menurut Mas Akas apa pentingnya sebuah kejujuran dalam kehidupan terutama dalam rumah tangga?" tanya Thia dengan suara dan pandangan yang lemah.

Akas tampak tercenung. Merasa tersentak dengan pertanyaan yang diajukan istrinya. Selama ini ia dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi sebuah kejujuran. Ia pun sudah terbiasa mengatakan hal sekecil apapun kepada orangtuanya sejak kecil. Tak mungkin jika sifat itu tidak melekat pada dirinya hingga kini.

"Jika diibaratkan sebuah rumah, maka kejujuran adalah tiang penyangga. Jika satu saja tiangnya patah, maka rumah itu akan goyah. Dalam kehidupan, kejujuran adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman. Begitupun dalam rumah tangga, kejujuran merupakan pilar penting untuk menjaga keutuhan dan keharmonisasian keluarga," jawab Akas lugas dan tak pernah memutuskan kontak mata dengan istrinya.

Thia hanya mengangguk.

"Pernah gak, Mas Akas tidak jujur semasa hidup?" tanya Thia berusaha menggali informasi.

"Kok tiba-tiba bahas ini? Mau main jujur-jujuran ya?"

"Hehe, Thia cuma kepo aja dengan sifat Mas Akas," kekeh Thia kalem. Membuat Akas gemas lantas jemarinya mencubit pelan hidung perempuan di depannya itu.

"Tapi gantian ya, Mas boleh nanya kamu juga kan?"

Thia berpikir sejenak lalu mengangguk. "Boleh."

"Hmm, kalau diingat-ingat sih, pernah, hehe." Akas berucap sambil menyengir. Ia menarik ingatannya ke beberapa tahun silam, ketika ia masih sangat belia.

"Oh yaa, kapan dan bohongnya gimana?" tanya Thia antusias.

"Waktu masih umur 10 tahun, pernah disuruh pergi ngaji, tapi kena hasut teman-teman dan malah ikut main game di warnet."

"Ishh, Mas bandel ih," ujar Thia risi. Akas hanya tertawa dan memeluk Thia dengan sayang.

"Kan masih anak-anak, Ay."

"Hmm, kalau kebohongan terbesarnya apa?"

"Oh, masih aku ya yang ditanya?"

Thia mengangguk, lalu Akas mengesah. Ia malu mengatakannya.

"Mas pernah pulang larut malam, izin sama Papa dan Ibu kerja kelompok, tapi nyatanya sedang bersenang-senang sama teman SMA waktu itu. Namun akhirnya Papa tahu, Mas dihukum, dan setelah itu tidak pernah lagi mau berbohong dan berusaha jadi anak baik, hehe."

"Serius, itu kebohongan yang paling besar?" ujar Thia sedikit tidak percaya.

Akas mengangguk. "Iya."

"Mm... Kalau... tentang semalam, Mas mau jujur, gak?"

Tubuh Akas seketika menegang. Darahnya berdesir dan jantungnya memompa dengan cepat. Rasa panas langsung menjalari seluruh tubuh.

"Tentang semalam?" tanyanya untuk memperjelas. Ia tidak ingin salah tangkap dan salah menduga.

"Iya, Mas. Tentang semalam yang Mas Akas tiba-tiba ke luar rumah dan kembali hampir larut malam. Mas tidak ngomong apa-apa loh tentang itu," cetus Thia berusaha menegarkan hati. Ia berkali-kali mengucap istigfar dalam hatinya. Berharap semua tidak seperti apa yang dipikirkannya.

Akhirnya ia bisa menanyakan hal itu. Setelah berbasa-basi dan melakukan pemanasan. Thia tidak pernah merasa cukup berani menanyakan hal janggal yang tengah dirasakannya. Namun, kali ini ia mencoba mematahkan kelemahan itu agar akar-akar prasangka buruk tidak semakin bertambah. Ia tidak ingin berpikiran buruk terhadap suaminya. Sudah cukup sikapnya akhir-akhir ini yang sukar dipahami. Kadang dingin dan terkesan menghindar. Ia hanya menunjukkan rasa kesal dan cemburu yang enggan diungkapkan. Perempuan memang seperti itu. Cenderung diam daripada menjelaskan panjang lebar. Namun berharap lelaki paham dan peka, hanya menambah penyakit dalam hati.

"Oh, i—itu." Akas menggantungkan kalimatnya dengan nada suara dan gestur khas orang gugup. Menambah kecurigaan yang mengakar dalam benak Thia.

Sungguh, Akas kehilangan kosakata. Lidahnya kelu, bingung hendak menjawab apa. Jika jujur, ia takut istrinya sakit hati dan kecewa. Namun jika berbohong, ia sungguh tahu konsekuensi dari ketidakjujurannya tersebut.

Ya Rabb, ini salahku karena melibatkan diri terlalu jauh dalam kehidupan seseorang.

Ya Ilahi, ini salahku karena terlalu hanyut dalam mendakwahi hamba-Mu.

Ya Fattah, hindarkanlah istriku dari cemburu dan kecewa berlebihan.

"Ay, aku mau jujur. Tapi kamu harus janji tidak boleh marah," pinta Akas kemudian memegang jemari Thia meminta belas kasih.

"Aku tidak bisa janji, Mas. Perasaanku tidak enak," ungkap Thia dengan mata yang mulai memanas. Rasanya tidak sanggup mendengar kebenaran dari suaminya.

"Tapi walaupun menyakitkan, aku harus mengatakannya. Percaya padaku, Ay. Apapun yang aku katakan, rasa sayang dan cintaku padamu tidak akan pernah pudar."

Thia sontak memalingkan wajah. Pipinya sudah dijejaki air mata yang mengalir lembut. Hati perempuan yang mudah rapuh tak pernah ingin ditaburi garam. "Katakanlah," ucapnya dengan suara bergetar.

Akas menunduk merasakan perasaan bersalah yang menusuk-nusuk hatinya. "Kamu tau Mawar kan?"

Thia memejamkan mata. Tidak sanggup mendengar suaminya menyebut nama itu lagi.

"Dia member komunitas Berani Hijrah sekaligus mutarabbi Mas. Kamu tau juga kan jika disetiap kelompok belajar itu Mas bertanggung jawab atas proses hijrah seseorang."

"Ooh, jadi Mas mau bilang kalau malam itu Mas keluar untuk membimbing dan mendakwahi perempuan itu? Kok bisa malam-malam sih, Mas? Tarbiyah itu juga punya batasan kan? Gak mungkin sampai larut malam baru selesai," suara Thia meledak. Emosi yang dari semalam ditahan-tahan akhirnya keluar. Nadanya memang tidak setinggi istri-istri yang lain ketika marah, namun hal itu cukup membuat tangis Thia pecah dengan dada yang sesak.

"Dengerin dulu, Ay. Kamu terlalu cepat menyimpulkan," ucap Akas tidak terima. Dia langsung cemas melihat Thia menangis. Ingin rasanya merutuki diri. Telah gagal menjadi suami yang baik. Segera didekap tubuh ringkih itu, tetapi Thia menolak dengan cepat.

"Malam itu Mawar punya masalah dengan keluarganya dan hampir saja dimasukkan ke dalam tempat hiburan. Tentu saja Mas harus menolongnya, Ay. Dia murid bimbingan aku," ujarnya berusaha menjelaskan sedetail mungkin agar istrinya tenang dan percaya.

"Lalu, Mas Akas menolongnya? Dengan cara apa? Mas Akas menyentuhnya?" tanya Thia sedikit histeris. Dia tak sanggup memikirkan kenyataan itu. Jika benar suaminya menyentuh perempuan lain, maka hancur sudah hatinya yang mati-matian ia jaga.

"Tidak, Ay," bela Akas.

"Lalu!?" Thia menatap wajah suaminya menuntut penjelasan. Ia kecewa suaminya harus menutupi fakta sebesar itu. Apa artinya suami istri yang katanya sebagai pakaian bagi keduanya? Apa gunanya ia sebagai seorang istri yang katanya tempat untuk bertukar pendapat? Apa artinya dia dalam kehidupan Akas jika masih ada hal-hal yang lelaki itu sembunyikan? Akas seakan-akan membuat kebaradaan Thia tidak ada artinya dalam bahtera mereka.

"Mawar sudah tidak ada di rumahnya," ucap Akas lirih. Seperti merasa menyesal. Menyesal tak dapat menyelamatkan Mawar dari lubang dosa.

Akas sendiri pun bingung. Ketika sudah sampai pada alamat rumah yang tertera dalam biodata gadis itu, tak ditemukan satupun tanda-tanda kehidupan. Rumah gelap tanpa cahaya. Jalanan yang lengang dengan pencahayaan yang remang-remang. Disaat ingin menghubungi Mawar, ponselnya pun tidak aktif hingga kini. Apakah dia sudah terlambat?

☀️

Thia kembali menenggelamkan dirinya dalam gelungan selimut. Usai aksi tangis-tangisan tadi, kepalanya mendadak sangat berat dan panasnya di tubuhnya kembali menjalar. Meskipun ia sudah memaafkan Akas atas kesalahan terbesarnya, namun saat ini hatinya sukar sekali untuk percaya. Entahlah, hanya Allah yang tahu isi hati lelaki itu. Namun Thia pun masih berusaha untuk tetap berpikur positif. Ia tidak ingin menjadi istri durhaka yang selalu menuntut kesempurnaan dan mendewakan rasa cemburu. Padahal suami juga hanya manusia biasa yang tak pernah lepas dari kesalahan dan dosa.

Usai menenangkan hati istrinya, Akas beralih ke ruang keluarga. Ia berencana akan mengerjakan pekerjaan kantor di rumah saja. Sembari menjaga Thia yang masih lemah.

Tringg tring tring...

Dering telpon menyadarkan Akas dari kesibukan. Ia lalu menerima panggilan itu setelah membaca nama si penelpon.

"Wa'alaikumussalam, Pa."

"Thia masih sakit, Pa."

"Iyaa, kemarin kami dari rumah sakit."

"Kata dokter Anita, Thia terkena tipes ringan."

"Aamiin. Semoga lekas diberi kesembuhan."

"Iyaa, kami tunggu."

"Wa'alaikumussalam."

Akas mengakhiri panggilan dari papanya yang berkeinginan menjenguk menantunya sepulang dari klinik.

Sejenak lelaki itu terdiam. Menyelami kesalahannya. Ia selama ini terlalu memprioritaskan kegiatan dakwahnya. Hingga tidak sadar istrinya memendam cemburu dan menjadi sakit karenanya.

Tetapi Mawar, ah gadis itu masih selalu mengganggu pikiran Akas. Sekeras apapun Akas mencoba mengenyahkannya. Bayang-bayang gadis polos yang dipaksa kerja dalam dunia maksiat membuat kepalanya nyaris pecah. Rasa tidak rela menggerogoti hatinya. Namun ia hanya bisa berdoa, semoga Allah selalu melindungi Mawar dimana pun ia berada.

☀️

Kesalahan pertama masih bisa dimaklumi, namun kesalahan-kesalahan berikutnya mungkin sudah tidak lagi.

Jagalah selalu kepercayaan orang lain terhadap anda. Sebab membangun rasa percaya itu sulit, namun menghancurkannya sangat mudah.

Semangat semuanya.
Jangan lupa support authornya juga^^

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top