Bab 14|Mencari Kebenaran
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Meski mencari tahu bisa menambah luka baru, itu lebih baik daripada tertikam dalam kebisuan."
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Sejak pengakuan Akas, Thia mendadak gelisah. Ia tak pernah tenang dan selalu kepikiran. Bagaimana mungkin dia bisa duduk diam ketika tahu suaminya sedang melakukan dakwah dengan seorang perempuan lajang yang mengaku tengah berhijrah dan butuh bimbingan. Ia tahu, suaminya melakukan kebaikan, tetapi haruskah ia tetap bungkam saat ketakutan itu terus-menerus menghantuinya? Di satu sisi ia ingin menghormati pilihan Akas, di sisi lain ia tidak setuju dengan keputusan lelaki itu. Namun, meskipun semua kegelisahan itu menghunjaminya dia tetap berdoa agar Allah selalu melindungi rumah tangganya.
Jam di dinding sudah menunjukkan angka 1 dini hari, tetapi sepasang mata sayu milik Thia masih enggan untuk terpejam. Ia memandangi wajah suaminya yang kini sudah ditumbuhi rambut-rambut halus. Angan Thia langsung berkelana. Selama mereka bersama, Akas selalu memperlakukannya dan menjalankan perannya dengan sangat baik. Meskipun terkadang pria itu terlihat sibuk, tetapi ia selalu memiliki cara ampuh untuk menenangkan pikiran buruk Thia yang seringkalu berseliweran.
Perlahan-lahan, kepalanya terangkat. Ia mengintip keberadaan benda pipih itu. Rasa penasaran semakin menggedor-gedor dadanya. Menstimulus otaknya dan memberi perintah untuk mengambilnya.
Hap.
Ponsel itu kini berada digenggamannya. Ia tersenyum senang. Segera jarinya mengusap layar hendak membuka kunci. Namun wajahnya berubah tanpa ekspresi ketika ada 9 titik memyambut matanya.
Ia menatap Akas dengan kesal lantas menaruh ponsel itu kembali.
"Kenapa sih harus dikunci?" lirinya dengan wajah cemberut.
Keesokan paginya, Thia tampak sudah siap dengan pakaian lengkap sesuai syariat. Gamis longgar dengan khimar lebar. Sesuai pinta Akas disaat awal pernikahan mereka.
"Yang, hari ini kan libur. Mau kemana?" tanya Akas ketika melihat istrinya keluar dari kamar. Pria yang sedang bersantai dengan ponsel dan segelas teh melati itu mengerut heran.
"Thia mau jalan sama Mba Lily, Mas. Boleh kan?" pintanya seraya mendekat ke aras Akas.
"Hemm, ketemu dimana dan berapa lama?" tanyanya dengan nada sedikit ragu.
"Di Mall kali. Soalnya dia mau ditemenin cari kado buat milad Mas Amri."
Akas tampak mengesah. Tebersit rasa tidak setuju dalam hatinya. Dia takut ketika istrinya berada di luar dan dia tidak bisa mengontrolnya. Namun, ia harus mengingat jika Lily adalah sepupunya dan bisa dipercaya.
"Ya sudah. Jangan lama-lama, ya. Kalau urusannya kelar langsung pulang ke rumah."
Mata Thia berbinar cerah. Selama ini ia memang sangat jarang keluar rumah kecuali di tempat kerja. Beruntung Lily mengajaknya keluar. Barangkali hal itu bisa menghilangkan kesuntukannya. Berada di tempat yang itu-itu saja mungkin membuat pikirannya ikut terkungkung pada satu titik.
Thia segera menghampiri Lily setelah pamit pada Akas. Selama dalam perjalan mereka bercerita banyak hal. Tentu saja perempuan dengan satu putri menggemaskan itu yang mendominasi percakapan. Dengan penuh semangat ia mengalirkan kisah-kisah hidupnya sebelum dan sesuah menikah. Memberikan penyuluhan gratis tentang pernikhan dan parenting.
"Udah mulai promil kan, Thi?" tanyanya.
"Hmm, iya begitulah Mba. Masih sementara ikhtiar," jawab Thia.
"Ikhtiarnya bukan hanya melakukan itu, kan?"
"Itu apaan, Mba?"
"Ya itu, masa kamu gak paham, sih."
"Ohehe, astagfirullah, Mba Lily. Malu tau, Mba," ujar Thia tertunduk dengan wajah memerah. Lily pun tergelak puas menikmati kecanggungan adik iparnya itu.
"Jangan lupa konsumsi kurma muda dan buah zuriat. Bagus loh. Dulu Mba juga pernah konsumsi buah itu. Alhamdulilah beneran dikaruniai zuriat."
"Hehe iyaa, tapi kalau udah rezeki mah biar gak konsumsi macam-macam Mba, Allah kasih juga," timpal Thia.
"Bener, Thi. Tapi kita kan gak tau rezeki itu datangnya dari arah mana. Makanya kita disuruh berusaha. Selain untuk promil, niatkan juga untuk kesehatan tubuh kita. Kan tidak ada ruginya," ucap Lily tersenyum semringah.
"Benar juga, Mba."
"Rencana mau anak berapa, Thi?" iseng Lily. Ia melirik wajah Thia yang lagi-lagi menguarkan warna merah.
"Ya Allah, Mba. Kan masih ikhtiar juga, hehe."
"Ya gakpapa. Kan cuma rencana," ujarnya sambil mengatupkan mulut.
"Haha, dua aja deh, Mba."
"Keluarga berencana ya, haha," kelakar Lily.
Pembahasan mereka harus terhenti ketika tempat yang dituju sudah ada di depan mata. Lily dan Thia keluar dari kendaraan lalu masuk ke dalam gedung salah satu pusat perbelanjaan terkenal di kota itu. Mereka menuju toko yang memamerkan berbagai macam busana dan aksesori pria.
Thia membantu Lily memilihkan hadiah yang cocok untuk suaminya itu. Mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala, belum ada yang sreg di hati Lily.
"Mba, kita udah tiga kali keliling toko ini," ujar Thia dengan wajah nelangsa.
"Haha, jangan gitu dong mukanya. Kan wajar kalo perempuan berbelanja seperti ini."
"Ya udah, kita kembali ke tempat jam tadi, yuk," ajaknya. Thia menghela napas lelah. Ujung-ujungnya mereka ke tempat itu padahal Lily bilang dia tidak suka dengan model-modelnya.
"Keknya Mas Amri cocok dengan model ini, gimana menurutmu?" ucapnya sambil menunjuk sebuah jam tangan berwarna hitam dengan merek terkenal berasal dari Jepang—Seiko.
"Ya Allah, Mbak! Dikira-kira juga dong kalo mau milih," pekik Thia hampir pingsan melihat harganya yang selangit. Lily terpingkal-pingkal melihat ekspresi Thia yang menurutnya sangat lucu.
Jam itu memang memiliki kualitas premium. Ia bahkan terletak di posisi paling atas sebagai satu-satunya pajangan yang menggiurkan mata. Benda itu memberikan kesan klasik, berkelas dan tentu dengan khas Jepang. Dilengkapi dengan mesin movement otomatis sangat akurat yang dihiasi jewels, fitur Chronograph, tanggal, case titanium yang ringan, kaca sapphire crystal jernih yang dilapisi coating anti pantul serta pilihan strap kulit dan rantai. Bagaimana tidak dihargai sedemikian tinggi?
"17 juta bisa dipakai makan setengah tahun. Ini, sekali beli langsung ludes, itupun gak mengenyangkan perut" ujar Thia melemas. Lily masih tertawa. Tak tahan dengan respons alami dari Thia.
"Haha, santai kali, Thia. Mba juga mikir lah kalo mau beli itu, hahah."
"Ya, soalnya Mba Lily bercandanya gak dikondisikan," protes Thia.
"Haha iya-iya. Mbaa tobat. Okey, kita pilih yang lain aja," putusnya membuat Thia memutar bola mata malas.
Setelah pencarian yang panjang, akhirnya pilihan ibu satu anak itu jatuh pada sepatu sport berwana abu-abu basah dengan harga yang cukup terjangkau.
"Gak mau beliin untuk Akas juga, Thia?" cetusnya.
"Emm, kepikiran sih, Mba. Apa ya bagus?" pikirnya sambil terus melihat-lihat.
"Itu aja sneakers putih. Pasti dia ganteng maksimal kalo make itu," canda Lily.
"Ah, Mba. Gak deh, kalo sepatu kan pakenya di kaki, gak sudi aku pemberianku diinjak-injak," ucapnya membuat tawa Lily kembali meledak.
"Ya udah, dasi aja. Kan letaknya di dada tuh dekat dengan hati. Biar kamu selalu ada di hatinya, haha."
"Haha, ada-ada aja Mba Lily. Tapi bener juga sih. Ya udah, aku beli dasi deh yang navy," putusnya.
Setelah urusan perbelanjaan usai, Lily mengajak Thia untuk mengenyangkan perut terlebih dahulu. Awalnya Thia menolak karena takut tidak bisa menemani Akas makan siang di rumah, tetapi Lily membujuk hanya makan makanan ringan saja. Akhirnya ia terbujuk dan mau duduk bersama Lily disebuah restoran.
"Yakin cuma pesan es teh sama french fries doang?" ujar Lily meyakinkan. Thia mengangguk dan mengiyakan. Ia tidak ingin mengkhianati suaminya dengan mengenyangkan perut terlebih dahulu sementara pria itu belum makan.
Thia menatap Lily yang tengah menyantap sup udonnya dengan penuh gairah. Terlihat seperti belum makan sehari semalam.
"Pelan-pelan, Mba," tegurnya pelan. Lily hanya bergumam tidak jelas.
"Mba."
"Hm," balasnya sambil terus memasukkan isi sup ke dalam mulutnya.
"Mau nanya." Thia terlihat menggigit-gigit kuku jari telunjuknya. Sedang menimbang sesuatu.
"Tanya apa?"
"Apa Mas Amri pernah kunci hp-nya dan gak ngasih tau Mba passwordnya apa?" tanyanya agak ragu.
"Loh kok malah nanyain Mas Amri? Memangnya kenapa?" Tanya Lily setelah menyeruput jus jeruknya. Ia sudah menyelesaikan makannya yang sangat menabjukkan di mata Thia.
"Iya sekadar bertanya aja, Mba. Mau memastikan sesuatu."
"Hmm, kayaknya gak pernah. Mas Amri itu selalu terbuka sama Mba. Dia juga membebaskan Mba mengeksploarasi ponselnya. Ya tahulah, keponya istri kek gimana kalo masalah chit-chat. Apa-apa semua pengin ditahu," tuturnya membuat wajah Thia seketika murung.
"Kenapa? Ada masalah sama password hp?"
Thia mengangguk. "Mba, boleh gak sih aku cerita masalah ini? Pengen diberi masukan aja. Tapi aku takut malah membeberkan aib rumah tangga," ucap Thia meragu.
"Setahu Mba sih hal-hal yang tidak boleh diceritakan itu pertama kehidupan seksual, finansial, fisik, sama masa lalu dan keburukan-keburukan pasangan yang hanya boleh disimpan rapat-rapat oleh kalian berdua. Selain itu mungkin boleh, jika untuk meminta saran bukan sekadar curhat," ujar Lily membuat Thia paham.
"Gini, Mba. Mas Akas kan sekarang lagi ngebantu seseorang yang sedang hijrah. Mungkin dia berperan sebagai guru spiritual gitu. Masalahnya ini perempuan. Tentu aku gak bisa tenang, Mba. Aku selalu kepikiran. Apalagi pas aku mau periksa hp Mas Akas, eh ada polanya. Menurut Mba gimana?"
"Atau hanya aku yang terlalu overthinking? Sampai mengait-ngaitkan segala sesuatu?" lanjutnya.
"Em, menurut Mba sih wajar ya kalau seorang istri berpikir seperti itu. Apalagi jika yang suami bimbing itu perempuan. Kita tidak akan pernah tahu dari arah mana saja setan akan melancarkan serangan. Seharusnya Akas sudah paham lah mengenai hukum chatingan seperti itu. Tetapi kita juga tidak boleh diperbudak pikiran sehingga membuat kita malah menduga-duga dan berpikir yang tidak-tidak. Tetaplah husnuzan sama Allah dan suamimu. Ingat, Allah itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Semoga Allah selalu melindungi rumah tangga kalian dari gangguan setan," nasihat Lily.
"Aamiin. Terima kasih saran dan nasihatnya, Mba."
"Sama-sama. Lain kali, kamu basa-basi aja. Misalnya minjam google, pengin lihat-lihat foto, dan sebagainya. Terus liat reaksinya gimana. Jangan lupa infokan ke Mba."
"Hehe, siap, Mba."
Mereka pun mengakhiri percakapan itu dan kembali ke rumah masing-masing. Lily dengan kejutan indah serta aksara yang sudah dirangkainya sedemikian rupa. Siap diungkapkan di hadapan sang pangeran cinta. Sedangkan Thia yang pulang dengan segenap harapan yang bertahta dalam hati. Semoga pangerannya tetap memegang janji.
☀️
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top