Bab 13|Dakwah

سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.

"Berdakwah tidak hanya dilakukan dengan lisan, tetapi juga bisa berbentuk tulisan."

©Forsythia dan Pilihannya©

️☀️

Beberapa hari yang lalu, Thia sudah kembali bekerja. Ia memulai aktivitas seperti biasanya. Seharusnya ia menyambut hari dengan penuh semangat, namun sejak kepergian Aza, wajahnya selalu mendung. Sebab, sahabatnya itu belum pernah memberi kabar walau secuil pun. Thia merasa sedih setiap memikirkan perempuan itu. Ia kerap teringat dengan semua momen yang telah mereka lalui bersama. Momen yang perlahan-lahan mengantarkan Thia pada gerbang penyesalan.

"Melamun lagi," tegur seseorang yang tak sengaja lewat di depannya. Thia tersadar lalu mendongak. Ditatapnya Amaranthio dengan wajah polos, membuat lelaki itu segera memalingkan wajah.

"Kenapa, Mas?" tanya Thia merasa bahwa Amar berbicara kepadanya.

"Eh, e-enggak, tadi cuma sekadar nyapa aja," ucapnya sedikit grogi lantas berjalan cepat menuju pantri.

Huft, sadar, Mar. Dia sudah ada yang punya. Amar memperingatkan dirinya tatkala sudah menjauh.

Thia berusaha kelihatan ramah dan ceria saat seorang pengunjung menghampirinya. Wanita paruh baya dengan dandanan sederhana. Sukses mengingatkan Thia pada mamanya. Sudah lama ia tidak berkabar pada wanita itu.

"Selamat pagi, Bu," sapa Thia menampilkan senyum terbaiknya.

"Selamat pagi, Mba. Saya mau ketemu Amar. Ada orangnya?" Mendengar jawaban wanita itu, rasa penasaran Thia seketika terbit.

"Oh, Mas Amar? Iya, Bu, ada. Saya panggilkan dulu ya, Bu. Silahkan duduk di sana," ucapnya mempersilahkan wanita itu ke ruang tunggu. Ia mengangguk lalu tersenyum.

Thia segera menyusul Amar ke pantri. Melihat lelaki itu tengah sibuk membuat dua gelas teh hangat.

"Mas."

"Astagfirullah!"

Sendok yang dipegang Amar terjatuh. Ia terperanjat dengan kedatangan Thia yang tiba-tiba. Melihat perempuan itu cengengesan, Amar lantas mengelus dada.

"Hehe, maaf ya Mas Amar, Thia ngagetin," ucapnya dengan tampang rasa bersalah.

"Iya, tidak apa-apa. Kenapa, Thi?"

"Oh iyaa, ada yang cari Mas Amar di luar."

Kening Amar berkerut. Siapa gerangan yang mencari dirinya. Tumben sekali rasanya lelaki itu disamperi kenalan saat di klinik.

"Oke, saya keluar dulu. Oh iya, ini untukmu."

Mata Thia langsung mengarah pada segelas teh dengan aroma melati yang khas. Merasa ganjil dengan kelakukan Amar.

"Jangan mikir aneh-aneh. Gak ada maksud lain, kok." Amar berucap sambil terkekeh. Thia yang sadar raut wajahnya transparan, hanya tersenyum masam. Ia kemudian mengambil teh itu lalu mengikuti Amar yang sudah keluar menghampiri wanita tadi.

Thia memperhatikan dari jauh. Interaksi keduanya tampak hangat. Seperti sepasang ibu dan anak. Membuat pikiran Thia langsung berkelana. Kurang bersyukur apa lagi dirinya, sudah dikasih empat orangtua. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup.

Thia gelagapan ketika melihat kedua orang yang sejak tadi diperhatikan itu datang menghampirinya. Ia terlihat salah tingkah saat mendapat tatapan penuh dari sang wanita.

"Kenalin Thia, ini ibu saya," ucap Amar membuat raut kaget di wajah Thia tercetak.

"Ooh. Salam kenal, Bu. Saya Thia," ucap Thia dengan sopan.

"Iyaa, Nak. Ibu sudah tahu namamu."

Thia kembali terkejut. "Tahu dari mana, Bu?" tanyanya hati-hati.

"Amar, hehe. Maaf ya, tadi Ibu tidak sengaja bahas kamu," jujur ibu Amar memunculkan rasa penasaran Thia.

"Em, Thia. Saya mau temani Ibu dulu ke rumah sakit. Tolong kasih tahu Mba Lily kalau semisal saya dicari."

"Oh, iya, Mas."

Amar segera menggandeng tangan ibunya ke luar klinik. Ia menghidupkan mobil lalu tumpangan itu pun bergerak menjauh.

"Sayang banget ya, Mar, dia sudah punya qawwam," cetus wanita itu.

"Ibu. Sudahlah tak perlu dibahas lagi," peringat Amar tidak suka.

"Padahal ibu suka loh sama kepribadiannya," timpalnya lagi.

"Ibu!"

"Hehe, iyaa. Ibu cuma bercanda kok. Alhamdulillah, kalau dia sudah memiliki qawwam. Ibu jadi tenang mendengarnya. Semoga rumah tangga mereka mendapat berkah dari Allah," ucap Naiza tulus.

"Aamiin." Hanya itu balasan yang mampu Amar lontarkan. Jujur, pembahasan ibunya kembali membangkitkan perasaan yang dahulunya sudah terkubur itu.

Huft, ada-ada saja jalan setan menggelincirkan manusia ke lubang dosa.

☀️

Thia menunggu Akas sambil mengobrol dengan Lily. Perempuan itu dengan semangat membagikan pengalamannya selama berumah tangga kepada Thia. Mulai dari rasa cinta yang perlahan luntur, pertengkaran demi pertengkaran, saling cemburu, bahkan saling mengunggulkan ego masing-masing. Semua Lily bagikan ke Thia. Menceritakan pahit manisnya bahtera rumah tangga. Membuat wajah perempuan berjilbab biru itu berubah-ubah. Hanya satu pinta Thia sekarang, sebanyak apapun ujian mereka kelak, semoga tak ada badai dahsyat yang mengharuskan perahu cintanya karam.

"Mba, Mas Akas udah nelpon nih. Thia duluan ya, assalamu'alaikum."

"Yahh, padahal masih nanggung, Thi," protes Lily. Thia terkekeh.

"Lain kali lagi, Mba. Insyaallah."

"Baiklah-baiklah. Wa'alaikumussalam. Fii amanillah," ucapnya.

"Amin."

Thia bergegas menghampiri Akas. Takut suaminya menunggu lama. Setelah masuk ke dalam mobil lelaki itu pun melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tak banyak perbincangan. Akas pun tampak lebih nyaman mengatupkan mulut. Sesampainya di rumah, Thia mengurus suaminya seperti biasa. Menanggalkan sepatu dan baju, menyimpan tas kerja, lalu menyiapkan air hangat untuk mandi. Tak lupa mendatangi dapur dan menyiapkan makanan malam untuk mereka berdua.

Rumah yang terbilang besar dan mewah itu, hanya dihuni oleh dua orang. Akas pernah menawari Thia untuk mempekerjakan seorang asisten, namun perempuan itu enggan dan lebih memilih mengurus pekerjaan rumah sendiri. Walaupun ia tahu lelahnya seperti apa, namun semua insyaallah akan berbuah pahala.

"Mas, Thia mau tanya," cetusnya sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.

"Tanya apa?" Akas tampak sibuk dengan ponselnya. Jari-jemarinya bergerak lincah di atas layar.

"Menurut Mas Akas, bagaimana jika nanti Thia resign dan fokus pada keluarga saja?"

Wajah Akas langsung terangkat. Ibu jarinya seketika berhenti bergerak. Ia menatap istrinya dengan seksama.

"Tidak apa-apa, Sayang. Lagian kamu kan tidak memiliki kewajiban untuk mencari nafkah, karena hal itu adalah tugas suami. Perempuan memang lebih baik jika tetap berdiam di dalam rumah," jelas Akas membuat hati Thia menjadi tentram. Ia sangat bersyukur karena Akas sangat pengertian kepadanya. Padahal ia sekadar bertanya, karena niatan untuk resign pun masih jauh dari pikirannya. Jika memang Allah sudah menitipkan sebuah ruh di dalam rahimnya, maka mau tidak mau dia benar-benar harus resign dan fokus pada keluarga. Namun untuk sekarang, sepertinya dia akan tetap menyambi dua pekerjaan yang insyaallah sama-sama melelahkan, namun semoga berbuah surga.

"Kerja apa sih, Mas? Kok keliatannya sibuk banget. Makan dulu lah." Mata Thia melirik penuh rasa penasaran. Meskipun dia tahu mengintip obrolan seseorang merupakan sikap yang kurang baik, namun dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya.

"Iyaa."

Akas meletakkan ponselnya lalu melihat piringnya sudah lengkap dengan nasi dan lauk yang menggiurkan. Ia terlihat menyesal. Sampai-sampai tidak menyadari jika sajian di depannya sudah siap santap.

"Bismillah." Akas memimpin doa lalu diikuti Thia. Mereka pun makan dengan lahap.

Ting.

Bola mata Akas langsung bergeser saat sebuah pemberitahuan masuk ke ponselnya. Tangan kirinya langsung membuka layar yang terkunci kemudian memeriksa notifikasi tersebut. Ia segera melepaskan sendoknya, lalu mengambil benda pipih itu dan jempolnya kembali bergerak. Semua pergerakan itu tidak luput dari perhatian Thia. Di wajahnya sudah tercetak rasa penasaran yang begitu jelas.

"Mas, sebaiknya dihabiskan dulu makanannya baru lanjut ngetik," ujar Thia dengan nada datar. Ia merasa sedikit kesal dengan sikap Akas.

"Bentar doang kok, Sayang," ucapnya tanpa mengalihkan perhatian dari layar.

Thia menghela napas gusar.

"Kamu pernah dengar istilah berdakwah dengan tulisan?" tanyanya setelah kembali fokus pada makanan.

"Pernah," ujar Thia pendek. Wajahnya masih datar.

"Mas sementara melakukannya," terangnya. Thia hanya mengangguk.

"Mas Akas suka berdakwah?" tanya Thia.

"Hmm, bukan suka sih, tetapi berdakwah kan memang sudah kewajiban kita agar agama ini tetap berkembang. Dulu waktu Mas kuliah pernah ikut lembaga dakwah kampus, jadi alhamdulillah sampai sekarang jiwa-jiwanya masih terbawa," tuturnya.

"Wah masyaallah, dulu Thia juga pengin banget jadi anggota LDK, tetapi qadarullah selalu saja ada ujian sampai akhirnya lulus dan gak bisa ngerasain gimana lelahnya jadi aktivis dakwah," kenang perempuan itu dengan wajah sendu.

"Berdakwah kan tidak harus memiliki lembaga terlebih dahulu. Semua orang bisa melakukannya. Jika kamu mengajak, menyeru, atau menyampaikan suatu kebaikan itu sudah termasuk dakwah, baik itu berbentuk lisan maupun tulisan."

Thia mengangguk paham.

"Terus Mas Akas sekarang dakwahnya lewat tulisan di sosial media?" tanyanya berusaha menuntaskan rasa penasarannya.

"Iya."

"Instagram, facebook, atau apa?"

"WA," ujar Akas sebelum mengembuskan napas. Ini salahnya karena tidak berterus terang. Ia tahu, istrinya itu menaruh curiga.

"Ada seseorang yang ingin hijrah. Dia butuh bantuan Mas untuk membimbingnya," tuturnya berharap istrinya itu menghilangkan kerutan di keningnya.

"Perempuan?"

Akas salah. Kerutan itu tidak hilang. Pun bertambah dengan sebuah pertanyaan yang berhasil membuatnya bungkam. Pertanyaan yang membuatnya takut kehilangan kepercayaan. Sebuah pertanyaan yang mengandung amonia.

☀️

Selamat siang.
Maaf, baru muncul sekarang🥲

Jangan lupa dukungannya ya.
Vote dan komen disetiap part🤗

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top