Bab 11|Berdua
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Jika dengan berdua bisa berbahagia, mengapa harus bertiga, jika pada akhirya hanya menghadirkan luka?
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Thia melirik pria yang tengah tertidur di sampingnya. Ia kemudian menatap wajah teduh itu dengan seksama. Menilik setiap inci pahatan Tuhan yang terlihat sempurna. Masih tak menyangka ia kini menyandang status sebagai istri dari pria sempurna itu. Posisi yang dulu hanya bisa ia bayangkan. Namun skenario Allah membuat impian itu menjadi kenyataan.
Tanpa sadar, tangannya terulur menyelisik wajah yang sudah bisa ia pandangi dengan leluasa.
Akas bergerak merasa tidurnya terusik. Thia terkejut lalu dengan sigap ingin menarik tangannya. Namun tiba-tiba jari-jemari yang lebih besar menahan gerakan itu.
"Lanjutkan. Saya suka," ucapnya dengan mata masih terpejam. Thia yang sempat menegang perlahan melunakkan otot-ototnya, kemudian mengikuti intruksi Akas.
"Sudah jam setengah lima, Mas," lirih Thia memberitahu.
"Hmm." Pria itu hanya bergumam, enggan membuka mata dan mengurai posisi mereka.
"Thia ke kamar mandi duluan, ya."
Perempuan itu hendak beranjak, namun dengan gesit tangan Akas langsung menahan tubuhnya hingga kembali berbaring.
"Mas."
"5 menit aja," tawarnya. Thia menghela napas. Ia punya banyak rencana pagi ini. Namun, perempuan itu tetap menurut dan kembali menemani suaminya yang masih nyaman bergelung dalam selimut.
Setelah lewat lima menit, Akas menyerah dan membiarkan istrinya bangun lebih dahulu. Rasanya enggan meninggalkan kenyamanan, namun tentu saja dia harus mengingat kewajibannya sebagai seorang hamba Allah.
Thia menggelar sajadah untuk Akas dan dirinya. Ia tersenyum ketika mengingat bahwa kini sudah ada seseorang yang akan mengimami salatnya. Keduanya pun melaksanakan salat subuh dengan khusyuk. Kemudian tadarus bersama lalu Akas menceritakan sedikit kisah nabi kepada istrinya.
Usai salat, Thia langsung menyambangi dapur. Sedangkan Akas masih berdiam diri di dalam kamar sembari memandangi layar laptop. Thia sudah siap untuk beraksi. Aksi pertama yang akan dilakukannya di rumah baru itu. Sebab tak banyak persediaan makanan di kulkas, ia pun hanya membuat sarapan seadanya. Omelet keju, nasi goreng, dan segelas teh melati kini terhidang di atas meja. Aromanya yang menggugah selera membuat senyum perempuan itu terbit. Ia kemudian beranjak kembali ke kamar hendak memanggil Akas.
"Mas." Pria itu menoleh dan tersenyum.
"Sarapan yuk," ajaknya sambil terus mendekat. Akas mengangguk lalu menggandeng tangan istrinya keluar.
"Kerja apa sih? Bukannya Mas Akas masih cuti?" tanya Thia penasaran akan kesibukan pria itu pagi ini.
"Hanya melihat-lihat proposal pengajuan renovasi. Sekadar menyibukkan diri," ucapnya memamerkan senyuman.
"Aku dengar klinik mau direnov ya?"
Keduanya sudah sampai di meja makan.
"Dengar dari mana?" Kening Akas berkerut. Ia rasa informasi itu hanya diketahui orang-orang tertentu saja.
"Mba Lily pernah keceplosan." Thia menyengir.
"Ya Allah, si Mba," keluhnya membuat Thia terkekeh.
Akas tiba-tiba menghentikan gerakan Thia yang hendak memindahkan nasi goreng ke piringnya.
"Kenapa, Mas?"
"Kenapa tidak makan sepiring berdua aja?"
Pipi Thia langsung bersemu merah. Ia masih malu-malu bersikap romantis secara terang-terangan.
"Gak papa, Thia masih sanggup kok cuci piring. Apalagi cuma dua," tolaknya dengan wajah jengah.
"Bukan gitu, Sayang."
Dada Thia seketika berdesir ketika panggilan itu tersemat di kalimat Akas untuknya. Sebuah panggilan baru yang terasa sangat asing di telinganya.
"Kita kan mau membangun rumah tangga sesuai tuntunan Rasulullah. Keromantisan beliau tentu harus kita tiru juga. Bahkan semua aktivitas yang sudah beliau lakukan harus diterapkan dalam rumah tangga kita sehingga bisa menumbuhkan ketentraman satu sama lain," jelas Akas.
Thia mengagguk walau malu-malu. Ia menyingkirkan piringnya lalu menambah nasi goreng ke piring Akas. Pria itu tersenyum merasa bahagia mengetahui sang istri menuruti perkataannya dengan senang hati.
"Tau gak kalau dulu Nabi pernah minum di bekas bibir Bunda Aisyah? Beliau juga pernah memakan makanan bekas gigitan istrinya?" tanya Akas hendak menyuap Thia. Perempuan itu tampak gugup.
"Em, baru dengar, Mas." Ia menerima suapan itu lalu mengunyahnya setelah mengucap basmalah.
"Rasulullah itu adalah sosok yang lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap istri-istrinya. Beliau pun selalu mencontohkan bagaimana cara memperlakukan istri dengan baik dan mulia. Hal itu semata-mata agar keharmonisan dan keromantisan suami istri tetap terjaga. Rasulullah selalu memuliakan istrinya karena dialah yang paling berhak mendapatkan semua cinta dan kebaikan itu. Di samping itu juga membahagiakan istri merupakan salah satu pintu rezeki yang paling lebar untuk keluarga. Karena apabila seorang istri bahagia dan ridho terhadap suaminya, maka doanya akan selalu menyertai langkah sang suami dalam mencari rezeki."
Akas bercerita sambil terus menyuapi sang istri. Thia hanya diam meresapi seluruh perkataan pria itu.
"Minum, Mas?" tawar Thia. Akas tersenyum. Ia dengan senang hati menerima layanan yang diberikan Thia.
"Terima kasih, Sayang." Akas menyerahkan gelas itu lalu Thia meminumnya tepat dibekas bibir Akas. Ia mencerna dan mengamalkannya dengan cepat. Senyum Akas kembali mengembang.
"Oh iya, aku mau nanya sesuatu, boleh?"
"Hmm, apa itu?"
"Mas Akas tadi bilang harus menerapkan semua aktivitas yang pernah Rasulullah lakukan. Beliau kan dulu menikahi beberapa wanita semasa hidupnya. Apakah Mas Akas berpikiran yang sama?" tanya Thia sedikit sangsi. Perempuan selalu seperti itu. Meskipun sudah mengetahui bahwa pertanyaan yang diajukan itu menyakitkan tetap saja akan ditanyakan.
"Sayang, zaman Rasulullah berbeda dengan zaman kita. Beliau diutus oleh Allah untuk berdakwah dah menyiarkan agama islam waktu itu. Perintah beristri lebih dari satu itu pun datangnya dari Allah. Sebab melalui istri-istrinya itulah banyak hadis serta syariat-syariat islam yang kemudian lahir sehingga bisa tersampaikan hingga kini. Di zaman Rasulullah, agama islam baru hadir sehingga membutuhkan banyak orang yang bisa membantu Rasulullah untuk berdakwah dan menyebarkan islam."
"Oh iya ini hampir lupa. Nabi Muhammad itu orang yang setia loh sama istrinya. Bahkan dulu beliau tidak ingin menikah lagi sepeninggal Bunda Khadijah, tetapi karena perintah Allah sudah turun, maka mau tak mau Nabi harus menikah lagi."
Tak terasa nasi goreng itu hampir habis. Saking asyiknya bercerita. Thia hanya setia menjadi pendengar. Ia tahu, peran Akas sebagai pemimpin memang sangat ia perlukan saat ini. Selain karena pengetahuannya yang terbatas, ibadahnya pun masih banyak yang harus dibenahi. Bersama lelaki itu, Thia berharap jalan yang akan dilalui terasa lebih indah.
"Kalau misalnya nanti ada yang menyuruh Mas Akas menikah lagi, kira-kira Mas Akas mau?" pancing Thia tidak menyerah.
"Kok malah bahas beginian sih, Sayang?" ujar Akas lembut.
"Thia cuma pengin tahu jawaban Mas Akas," balas wanita itu sambil mengalihkan pandangan.
"Prinsip saya adalah hanya ada satu cinta dan dua jiwa dalam rumah tangga. Saya tidak akan melakukan apapun yang bisa menyakiti hatimu," ucapnya sungguh-sungguh dengan mata serius.
"Kita memang menauladani sifat dan perilaku Rasulullah. Tetapi dalam hal poligami, Mas tidak sanggup dan tidak ingin melakukannya. Lagi pula, Mas itu tipe orang yang tidak bisa adil. Memangnya kamu mau nanti kasih sayangku lebih banyak ke istri kedua daripada kamu?" uji Akas ingin melihat reaksi istrinya.
Thia bergerak tidak nyaman. "Tidak, Mas," jawabnya.
"Nah, itu. Jadi jangan pernah bahas soal ini lagi. Janji?"
"Insyaallah, Thia janji," ucapnya kemudian menatap manik Akas. Lelaki itu tersenyum lalu mencium kening Thia dengan lembut.
"Terima kasih karena tetap menjadi wanita lemah lembut."
Thia mengernyitkan dahi.
"Kamu tahu mengapa Mas memilihmu untuk saya kagumi?"
Thia menggeleng pelan.
"Karena sifat lemah lembut yang kamu miliki membuat saya jatuh cinta."
Ungkapan itu membuat Thia sedikit tidak percaya. Sungguh, ia tidak menyadari sifat itu. Terlepas dari yang Akas tangkap, ia bahkan kadang merasa keras kepala dan menyebalkan.
"Benarkah? Rasanya aku tidak selembut itu deh, Mas?"
"Terkadang sifat kita memang lebih mudah disadari dan diketahui oleh orang lain dibanding diri kita sendiri."
"Mas Akas kan juga jarang ke klinik. Kenapa bisa langsung menyimpulkan seperti itu?" herannya.
"Pertemuan kita yang tak seberapa memang tidak serta merta bisa membuat saya langsung menyimpulkan, namun informasi dari orang lain terkadang bisa melahirkan keyakinan," ungkapnya dengan senyum misterius.
"Pasti mengorek info dari Mba Lily," tebak Thia.
"Exactly!"
Thia mendengus tidak terima disaat tahu Akas dulu diam-diam mencari tahu dirinya. Disaat dirinya hanya bisa memandang dari kejauhan, namun lelaki itu semakin memajukan langkahnya. Ia merasa dicurangi. Ah, tetapi tiada guna kekesalan itu sekarang. Sebab yang dulunya terasa jauh kini sudah bisa dijadikan sandaran.
Tiba-tiba dering telpon dari ponsel Thia memecah atmosfer tentram yang telah diciptakan mereka berdua. Ia kemudian meraih benda pipih itu dan membaca sebuah nama yang terpampang di layar tersebut. Nama yang sontak memunculkan rasa sesak di ulu hatinya.
☀️
Walaupun updetnya telat, semoga tidak mengurangi dukungan kalian terhadap cerita ini, ya.
Salam hangat dari Akas dan Thia. Semoga kehangatan mereka berdua bisa menular kepada pembaca setia.
.
.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top