Bab 10|Bahagia?
سْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
.
.
"Apakah sudah waktunya untuk berbahagia? Seperti inikah rasanya bahagia setelah kuprioritaskan? Mengapa rasanya begitu hambar?"
©Forsythia dan Pilihannya©
☀️
Perhelatan pernikahan Akas dan Thia berlangsung dengan meriah. Tamu undangan berdatangan dari berbagai kalangan. Semua mengucapkan kata selamat kepada pasangan yang baru saja menghalalkan cinta mereka itu.
Beberapa menit yang lalu, keduanya telah resmi menjadi suami istri ketika Akas dengan binar bahagianya mengucapkan ijab kabul tanpa hambatan. Berbeda dengan Akas yang selalu memasang wajah semringah, Thia justru lebih banyak diam. Dia tersenyum sekadarnya saja. Awalnya dia memang bahagia, ketika lelaki yang telah menjelma menjadi suaminya itu dengan lantang menerima penyerahan ayahnya lalu menyematkan cincin di jari manisnya kemudian mencium keningnya. Thia tidak bisa membohongi hatinya. Ia memang bahagia. Sampai rasanya ingin menangis terharu. Namun, kini rasa itu menguap begitu saja. Tatkala orang yang begitu dia nanti kehadirannya tidak kunjung tiba. Tebersit kecewa yang menelusuk di dada. Apakah sahabatnya semarah itu padanya?
"Senyum." Akas menyentuh lengan Thia. Mengintruksi perempuan yang tengah melamun itu. Ia terkesiap, lantas tersenyum saat seseorang naik ke pelaminan.
"Selamat ya Thia dan Akas. Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khoir. Semoga Allah memberikan keberkahan kepada kalian dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan."
"Aamiin allahumma aamiin. Terima kasih atas doanya Mas Amar," balas Thia. Meskipun pernah menaruh rasa pada wanita itu, Amar tetap bersikap legawa dan justru ikut berbahagia atas kebahagian sahabatnya.
"Akas, selamat ya. Sungguh gue tidak nyangka lo bakal menikah sama Thia," ucap Amar sambil bersalaman dengan Akas dan memeluk pria itu.
"Alhamdulillah. Definis diam-diam menghanyutkan, heheh" balas Akas. Keduanya terkekeh dan terlibat sedikit percakapan yang diabaikan Thia. Dia sibuk memeriksa ponselnya, jika sewaktu-waktu ada pemberitahuan dari sahabatnya. Namun nihil, baik di dunia nyata maupun maya, Aza tetap tidak menampakkan dirinya.
"Aza mana, Thia?" tanya Amar mengalihkan perhatian Thia.
"Belum datang, Mas." Amar hanya mengangguk.
"Ya sudah, gue turun dulu ya, Kas."
"Makan yang banyak, Bro. Biar badan tambah berisi dan banyak yang melirik," ledek Akas membuat Amar merengut. Akas tertawa, namun ketika melihat Thia tawanya seketika lenyap.
"Masih nungguin Aza?"
"Iya, Mas. Dia kemana ya? Kok belum datang juga? Acaranya juga hampir selesai."
"Sabar ya, tetap husnudzon. Mungkin dia sedang ada kerjaan dan datangnya telat. Kalau tidak datang sekarang kan bisa nanti meskipun acara udah selesai," nasihat Akas pada istri barunya itu.
Mendengar perkataan Akas, membuat Thia cemberut. Ia ingin Aza hadir di sisinya. Ini adalah momen berharganya. Seharusnya ia didampingi sahabat tercinta. Ia ingin mengabadikan momen itu bersamanya.
Hingga acara usai, sosok Aza tak kunjung sampai. Kabut kekecewaan tertuang jelas di kedua mata bening Thia. Ia kecewa pada Aza juga marah kepada dirinya sendiri. Tentu saja penyebab ketidakhadiran perempuan itu karena tidak ingin sakit hati di hari bahagianya. Tetapi Thia kesal karena Aza tidak bersikap legawa sama seperti Amar.
"Kita langsung ke rumah baru ya selepas ini?" ucap Akas tiba-tiba saat mereka dalam perjalanan ke rumah Thia.
Thia terkejut. Dia tidak menduga lelaki itu telah mempersiapkan semuanya dengan sempurna. Bahkan tempat tinggal yang awalnya Thia kira akan menghuni rumah mertuanya, namun ternyata lelaki itu sudah selangkah lebih maju.
"Serius, Mas? Tidak bermalam di rumah Papa dan Ibu dulu?" tanya Thia sangsi.
"Saya sudah membicarakan hal ini sebelum hari H. Percayalah mereka baik-baik saja," balas Akas sambil mengulas senyum.
"I-iya, Mas." Hati Aza menghangat. Ia sudah cemas memikirkan hari pertama pernikahannyaa di rumah mertua. Pasti dipenuhi rasa canggung. Dia sangat bersyukur Akas memutuskan pilihan yang benar.
Setelah pamit-pamitan, Akas pun segera memboyong istrinya menuju rumah baru yang letaknya tidak jauh dari kediaman papanya. Ia sengaja menyiapkan hal itu jauh sebelum ia berniat mengkhitbah Thia. Dia ingin membina keluarga kecilnya di bawah naungan rasa aman dan nyaman. Akas takut istrinya kelak tidak nyaman jika serumah dengan orangtuanya. Dia juga tidak ingin jika Thia masih tinggal di rumah orangtuanya disaat perempuan itu sudah menjadi istrinya padahal dia terbilang mampu untuk mengayomi.
Sesampainya di kediaman baru mereka, Thia justru terkesima. Rumah yang sangat indah. Ia jatuh hati pada pandangan pertama. Thia menyukai semua tampilan rumah itu. Baik dari warna, desain, perabot, dan tata letaknya. Meskipun dalam pencahayaan yang minim, namun kesan itu tetap terpancar. Ia kemudian menoleh dan tersenyum menatap Akas. Jelas sekali binar bahagia dari kedua bola matanya. Mungkin inilah yang dikatakan jodoh, mereka memiliki selera yang sama. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
"Suka?"
"Banget. Terima kasih Mas atas semuanya," ucap Thia tulus.
"Alhamdulillah. Saya malah khawatir kamu tidak suka sama pilihan saya," ujar Akas lega.
"Pilihan kita sama, Mas," balas Thia masih melukis senyumnya.
"Boleh saya peluk?" tanya Akas sedikit ragu. Rasa bahagia yang membuncah membuatnya ingin segera mendekap perempuan itu. Tetapi, ia tidak ingin Thia terkejut sehingga merusak suasana romantis yang akan dia bangun.
"E-eh, bo-boleh, Mas," sahut Thia malu-malu. Akas tidak membuang-buang waktu lagi. Ia segera memeluk Thia erat dengan wajah semringah.
"Terima kasih sudah memilih saya untuk menjadi pendampingmu." Thia hanya menangguk pelan.
"Mm, Mas. Apa tidak sebaiknya kita masuk dulu?" bisik Thia membuat Akas tersadar. Mereka terhanyut suasana sehingga melupakan tempat.
"Eh iya, lupa, hehe. Ayo masuk."
Keduanya memasuki rumah itu sambil bergandengan tangan. Meskipun masih malu-malu untuk bersentuhan, tetapi mereka harus mengingat bahwa setiap sentuhan itu sudah dihalalkan.
Setelah selesai memasukkan barang-barang, mereka memasuki kamar baru yang terletak di lantai dua. Tak hanya outdoor yang memukau mata, indoor-nya juga tak kalah menghanyutkan. Membuat Thia sangat betah menatap mereka satu persatu.
"Saya mandi duluan ya."
"Iya, Mas," jawab Thia tanpa mengalihkan pandangan pada pakaian-pakaian yang akan ditata di lemari.
Setelah Akas selesai membersihkan diri, kini giliran Thia yang memasuki kamar mandi. Hari ini acara mereka menguras banyak keringat. Membuat badan terasa lengket. Meskipun mandi malam tidak bagus untuk kesehatan, tetapi tak mengapa jika dilakukan sesekali.
Usai mandi, Thia melihat Akas masih memainkan ponselnya. Dia tertegun. Dia mengira lelaki itu sudah tertidur sehingga dirinya tidak usah bersikap canggung di tempat tidur nanti.
Sadar, Thia. Dia adalah suamimu.
Saat keluar dari kamar mandi, Thia sudah berpakaian lengkap dengan piyama merah marun. Ia menghampiri Akas dengan langkah pelan. Ketika pria itu tersadar, ia langsung melepas ponselnya dan menyunggingkan senyuman.
Jantung Thia langsung berdebar. Pikirannya bergerak liar. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
Thia duduk di tepi kasur dengan sebelah kakinya masih menyentuh lantai. Ia menundukkan wajah, malu menatap Akas.
"Kamu, bahagia?" tanya Akas tiba-tiba.
Wajah Thia terangkat. Ia menatap manik suaminya seksama. Ternyata dia memiliki bola mata yang sangat indah. Ah, bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan ucapan Akas. Apakah dirinya bahagia?
"Tentu saja, Mas. Menikah adalah impian setiap orang," jawab Thia.
"Apakah menikah denganku salah satu impianmu?"
Thia terdiam. Akas adalah orang yang dulu diam-diam ia kagumi. Sosok imam impian yang dirinya dan Aza idam-idamkan. Dilamar olehnya adalah sebuah kejutan dan menikah dengannya adalah sebuah keajaiban. Ya, keajaiban atas jawaban yang datang setelah berhari-hari bergulat dengan hati dan pikiran.
"Iya, Mas."
"Benarkah?" Thia mengangguk. Akas terlihat bahagia mendengarnya. Sebab itu berarti dia menikahi orang yang juga mencintainya.
"Hm, tadi kamu terlihat lesu sepanjang acara. Sahabatmu tidak datang. Kamu belum dapat kabar dari dia?"
Ah, Aza. Sebenarnya kamu di mana? Bagaimana aku bisa tenang jika kamu menghilang seperti ini?
Bahagia. Thia bahagia telah bersatu dengan pria idamannya tanpa harus berbagi cinta. Ia telah menuruti semua keinginan orang agar lebih memprioritaskan kebahagiannya. Tetapi, mengapa disaat orang lain berbahagia atas keputusannya itu, masih saja ada yang mengganjal di dalam hatinya? Ketidakhadiran Aza membuat rasa bahagianya menguap. Hanya hambar yang tersisa.
"Thia," tegur Akas. Perempuan itu kembali menatap suaminya.
"Kamu bahagia kan atas pernikahan ini?"
"Kamu tidak menyesal, kan, memilih saya jadi suamimu?" lanjutnya lagi.
Thia tersadar. Prioritasnya kini berpindah. Akas memiliki hak yang lebih besar atasnya. Kebahagiaan pria itu lebih utama dari siapa pun.
"Tidak, Mas. Aku bahagia, sebab aku memilihmu karena Allah."
Akas langsung memeluk Thia tanpa meminta persetujuan lagi. Ia ingin menyalurkan rasa bahagianya. Ia berjanji tidak akan membuat perempuan itu menyesal telah memilihnya. Ia berjanji akan menjadi suami dan imam yang baik untuknya.
Thia pun membalas pelukan Akas. Ia memejamkan mata. Meskipun Aza telah membersamainya lebih lama, tetapi Akas adalah masa depannya, partner hidupnya, dan orang yang akan membimbingnya menuju surga. Kebersamannya dengan Aza mungkin tak selalu berbuah pahala, tetapi dengan Akas ia akan selalu memanen pahala.
Semoga memilihmu adalah jalan bahagiaku.
️☀️
.
.
Gimana? Udah puas gak dengan kebersamaan mereka?
Semoga tidak mengecewakan, ya.
Jangan lupa vote dan komennya.
To Be Continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top