Status : Released

Berbeda dengan ibunya yang terampil membuat berbagai macam kue dan snack, Sofi justru tidak pandai membuat kue dan panganan ringan. Dia lebih suka dan lebih terampil memasak sayur dan lauk yang biasa disajikan bersama nasi atau karbohidrat lain. Tapi kali itu, demi membawakan snack kesukaan ayahnya Danan, Sofi belajar membuat macaroni schotel.

"Enak!" kata ibunya Sofi ketika mencicipi cup kecil makaroni itu.

"Alhamdulillah," Sofi mengucap syukur dengan lega. Dia sendiri mencicipi makaroni itu dan merasa cukup puas. Setelah tiga kali dalam seminggu dia mengoptimasi resepnya, akhirnya dia mendapatkan makaroni seperti yang dibayangkannya. Selama seminggu itu juga Rahman dan geng dosen muda jadi korban yang harus menghabiskan makaroni hasil percobaan Sofi.

"Tapi kayaknya di tengahnya ada kejunya juga ya? Dan kejunya cuma dipotong-potong? Bukan diserut dulu?"

"Modifikasi, Ma. Sengaja biar ada kejutan yang meleleh pas dipotong atau digigit. Dikasih ide sama Mbak Hani," jawab Sofi, memberi tahu bahwa modifikasi ini atas ide salah seorang seniornya sesama dosen muda, "Bapaknya Danan suka banget sama keju soalnya. Semoga jadi makin suka."

Ibunya Sofi menarik kursi makan dan duduk disitu, menatap ke arah Sofi yang masih sibuk di dapur untuk menyelesaikan makaroninya. Setelah yakin dengan rasa makaroni di cup kecil tadi, kini Sofi membuatnya di pinggan yang lebih besar.

"Seberapa banyak sinetron atau film tentang calon menantu perempuan yang nggak akur dengan calon ayah mertuanya?" tanya ibunya Sofi.

Sofi memang telah menceritakan kepada ibunya bahwa ketimbang ibunya Danan, justru ayahnya Dananlah yang lebih tidak suka pada Sofi. Sofipun menceritakan alasan ketidaksukaan ayahnya Danan karena merasa Sofi lah yang telah mempengaruhi Danan sehingga tidak mau menjadi dokter.

"Mama sih sudah menduga dari dulu bahwa Danan itu sengaja masuk Farmasi demi kamu," kata ibunya Sofi ketika mendengar cerita itu beberapa hari lalu.

Mendengar pertanyaan ibunya tadi, Sofi hanya tertawa. Hampir semua media memang hanya menunjukkan bahwa menantu perempuan lebih sering berkonflik dengan ibu mertuanya. Hal itu membuat konflik antara ayah mertua dan menantu perempuan nampak tidak lazim, padahal bisa saja terjadi, seperti yang kini menimpa Sofi.

"Waktu Mama menyuruh kamu memperjelas hubungan sama Danan, Mama nggak kepikiran bahwa akhirnya kamu harus menghadapi masalah kayak gini lagi," kata ibunya Sofi sedih, "Mama menduga ada masalah yang mengganjal diantara kalian, makanya Mama nyuruh kamu membereskan masalah itu sama Danan, supaya kamu bisa move on ke laki-laki lain. Kalau tahu bakal begini, harusnya dulu langsung Mama jodohin aja kamu sama Restu. Ibunya dia kan suka sama kamu."

"Tapi Mas Restu nggak naksir sama Pia, Ma," jawab Sofi enteng. "Lagian, ibunya mas Restu itu bukannya suka sama Pia. Beliau mah emang lagi stres jodoh-jodohin mas Restu yang belum mau kawin juga, jadi beliau jodohin mas Restu ke semua perempuan yang beliau kenal, bukan karena beliau emang suka sama Pia."

Ibunya Restu adalah salah satu pelanggan setia kue-kue yang dibuat ibunya Sofi. Beliau memang sering memesan kue kepada ibunya Sofi untuk acara arisan, atau kumpul keluarga, atau acara ulangtahun. Beberapa kali Sofi yang mengantar kue-kue itu ke rumah ibunya Restu sehingga beberapa kali juga ia bertemu dengan Restu.

Pernah suatu kali ketika Sofi mengantarkan kue pesanan ibunya Restu, justru beliau sedang keluar rumah sebentar. Sebenarnya saat itu Sofi sudah bersiap pulang setelah menitipkan kue pesanan itu kepada Restu, toh uang pesanan kuenya bisa ditransfer sehingga dia tidak perlu menunggu ibunya Restu pulang. Tapi saat itu ibunya Restu menelepon Sofi dan memintanya menunggu di rumah, sementara beliau juga berpesan pada Restu untuk menemani Sofi ngobrol sampai beliau datang. Saat itu Sofi menduga bahwa ibunya Restu sedang berusaha menjodohkan dirinya dengan anak sulung lelakinya itu.

Diantara adik-adiknya yang perempuan semua, memang tinggal Restu yang belum menikah. Apalagi karena Restu adalah anak lelaki satu-satunya, membuat ibunya Restu jadi makin khawatir karena anak lelakinya itu belum juga berniat menikah di usianya yang sudah 35 tahun.

Restu berparas tampan dan bertubuh tinggi, meski agak kurus dan membungkuk. Dan setelah ngobrol dengan Restu, Sofi mengakui bahwa Restu adalah lelaki yang berkepribadian hangat, ramah dan mudah ngobrol dengan orang baru. Dengan kualitas seperti itu, harusnya sih banyak perempuan yang naksir Restu. Jadi kalau sampai usia segitu dia belum nikah, berarti memang Restu yang belum mau, entah karena standarnya terlalu tinggi atau karena dia sudah punya seseorang yang disukai dan sedang ditunggunya.

"Mama nyesel udah nyuruh kamu memperjelas hubungan sama Danan," kata ibunya Sofi sambil menghela nafas dan memandang Sofi dengan tatapan sedih.

Sofi tersenyum, menghampiri ibunya dan memeluknya dari balik tubuhnya.

"Pia justru nggak nyesel. Makasih ya Ma. Kalau bukan karena saran Mama, Pia nggak akan berani nanya sama Danan, dan kami bakal berakhir dengan salah paham."

"Tapi sekarang kamu jadi harus mengulangi kesulitan yang sama yang dulu kamu lalui supaya bisa diterima ibunya Attar."

"Lebih baik gagal dan patah dalam berjuang daripada menua sambil menyesali kenapa kita nggak pernah cukup keras berjuang untuk sesuatu yang harusnya kita perjuangkan, Ma," kata Sofi.

"Bisa ngomong kayak gitu, pasti ketularan Danan deh," kata sang ibu, mencibir.

Sofi tertawa. Dia memang mengulangi kata-kata yang pernah diucapkan Danan padanya 6 tahun yang lalu.

"Makasih ya Ma," kata Sofi sambil memeluk ibunya lebih erat.

"Nggak usah berterima kasih. Mama nggak merestui kalian. Mending kamu cari laki-laki lain yang orangtuanya bisa nerima kamu."

Tapi alih-alih sedih, Sofi justru mencium pipi ibunya.

"Asal Mama nggak melarang Pia ketemu Danan aja, Pia udah bahagia," kata Sofi. "Kalau Danan bisa menunjukkan bahwa dia bisa bikin Pia bahagia, dan kami berhasil mendapat restu dari orangtua Danan, Mama bakal merestui kami kan?"

Ibu Sofi hanya melengos dan tak menjawab. Tapi Sofi tahu bahwa jauh di dasar hatinya, beliau tidak benar-benar menolak Danan. Ibunya hanya terlalu takut Sofi akan bersedih dan menderita lagi.

* * *

"How do i look?" tanya Sofi sambil merapikan rambutnya dengan gugup.

"Perfect!" Danan menjawab sambil tersenyum dan menepuk pipi Sofi dengan sayang.

Sofi tahu bahwa Danan sama gugupnya dengan dirinya, tapi melihat Danan yang mencoba bersikap tenang, Sofi merasa lebih kuat.

Saat ini mereka sudah berada di halaman rumah orangtua Danan. Meski hubungan mereka baru kembali 3 minggu yang lalu, Danan tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah membuat Sofi menunggu selama bertahun-tahun, jadi sekarang bukan waktunya lagi untuk pacaran hanya untuk bersenang-senang saja. Dia serius ingin menikahi Sofi, dan dia tidak mau membuang waktu lebih lama. Dia harus segera mendapatkan restu dari kedua orangtuanya, terutama ayahnya. Dan jikapun dia tidak mendapatkannya sekarang, setidaknya dia bisa mengusahakannya dengan lebih segera. Itu mengapa Danan mengajak Sofi menemui orangtuanya segera setelah mereka kembali berhubungan.

Danan keluar dari mobilnya dan segera memutar untuk membukakan pintu mobil. Tapi Sofi sudah keluar duluan dari mobil, merapikan dressnya yang selutut berwarna peach, merapikan rambutnya sekali lagi, dan mengambil sebuah pinggan yang dibungkus box berukuran sedang, lalu menutup kembali pintu mobil Danan.

Danan meraih tangan kiri Sofi dan menggenggamnya.

"Bismillah," kata Danan, sambil menatap Sofi.

Sofi mengangguk pada Danan dan berucap mantap, "Bismillah."

Udah kayak mau perang aja.

* * *

Setelah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di rumah itu, ketika akhirnya Sofi memasuki ruang tamu dan ruang keluarga rumah orangtua Danan, ingatannya seketika ditarik ke masa dimana dia dan Danan mengabiskan waktu belajar bersama di ruang keluarga itu. Memang kadang mereka juga belajar di ruang makan, sambil ngemil. Tapi mereka lebih sering belajar di ruang keluarga itu.

Dan ruang keluarga itu tidak banyak berubah dari yang terakhir diingatnya. Hanya saja, kali itu aura ruang keluarga itu lebih dingin dan mencekam, bagi Sofi. Barangkali bagi Danan juga.

Seperti yang sudah diantisipasi oleh mereka berdua, penerimaan dari kedua orangtua Danan terhadap kedatangan Sofi memang dingin. Ibunya Danan barangkali masih sedikit lebih baik karena setidaknya masih mau menerima macaroni schotel yang dibawakan Sofi untuknya dan suaminya. Beliau juga masih mempersilakan Danan dan Sofi duduk. Tapi ayahnya Danan bersikap sangat dingin.

Ketika akhirnya Danan menyampaikan bahwa dia sudah menjalin hubungan serius dengan Sofi, dan ingin meminta restu untuk menikahi Sofi, barulah ayah Danan menunjukkan emosinya yang sebenarnya.

"Ibu bilang dia sudah berjanji nggak akan menanggapi keisengan Danan? Ibu bohong supaya Bapak lengah dan nggak curiga lagi sama mereka?" Alih-alih menanggapi pernyataan dan pertanyaan Danan, Bapak justru bertanya pada Ibu.

Sofi segera sadar bahwa dirinyalah yang dimaksud oleh pertanyaan Bapak. Ibu nampak sedang mengalami dilema untuk menjawab pertanyaan itu, jadi Sofi memberanikan diri untuk menjawab.

"Ibu nggak bohong, Pak. Saya memang pernah berjanji begitu," kata Sofi dengan suara bergetar, gugup. Danan dan Ibu menoleh padanya. Genggaman Danan di tangannya bahkan lebih erat, memberinya kode supaya Sofi tetap diam aja, barangkali supaya Bapak tidak tambah marah. Tapi dia kan datang kesini bukan untuk diam, tapi untuk meyakinkan calon ayah mertuanya. "Tapi setelah kami pisah bertahun-tahun, ternyata Danan masih sayang sama saya. Jadi jelas Danan bukan sekedar iseng. Dulu saya janji ke Ibu untuk nggak menanggapi perasaan Danan karena saya pikir Danan akan bahagia tanpa saya, tapi ternyata kami nggak bisa bahagia tanpa satu sama lain. Jadi maaf Pak, saya menarik lagi janji saya."

Sofi menyadari Ibu memandangnya dengan tatapan ngeri. Sofi tidak melirik Danan, tapi barangkali ekspresi Danan serupa, karena Sofi merasa Danan sedang menahan nafasnya ketika Sofi bicara tadi.

"Kamu nggak tahu malu ya, beraninya ngomong gitu sama saya."

Jleb!

"Pak!"

Sofi segera meremas tangan Danan, mencegahnya untuk membalas kata-kata Bapak. Sebisa mungkin, Sofi ingin mengusahakan sesedikit mungkin konflik antara Danan dan orangtuanya.

"Kalau bukan karena kamu yang mempengaruhi Danan, sekarang dia sudah jadi dokter yang hebat dan siap mewarisi rumah sakit yang saya bangun. Tapi gara-gara kamu, masa depan Danan sebagai dokter hancur, dan rencana keluarga kami berantakan."

"Itu bukan karena Sofi, Pak. Danan yang milih sendiri untuk jadi Farmasis___"

"Diam kamu!" bentak Bapak kasar, membuat kata-kata Danan tertelan kembali. Beliau kemudian beralih pada Sofi lagi, "Demi Tuhan, Sofi! Danan itu murid kamu! Mahasiswa kamu! Jauh lebih muda daripada kamu. Kamu kok nggak tahu malu banget, menggoda murid sendiri. Apa nggak ada laki-laki lain yang mau sama kamu, sampai kamu menggoda murid kamu sendiri, hah?!"

"Pak!" Kali itu Ibu yang membentak Bapak, mencoba mengingatkan suaminya agar tidak melampaui batas.

Tapi nyatanya Bapak memang telah melampaui batas. Setiap kata-kata Bapak itu benar, dan itu yang membuat kata-kata Bapak berhasil menusuk Sofi dengan tepat dan dalam. Sofi yang semula sudah bertekad untuk meyakinkan ayahnya Danan, seketika kelu, tidak mampu lagi berkata-kata. Dia hanya bisa menundukkan wajahnya demi menyembunyikan air matanya yang sudah siap meluncur keluar akibat hatinya yang terluka dalam oleh kata-kata Bapak barusan.

"Danan yang mengejar-ngejar Sofi, Pak, bukan Sofi yang menggoda Danan," kata Danan. Meski geram dan tidak terima dengan perlakuan ayahnya terhadap Sofi, Danan masih mencoba menahan diri.

Danan menyadari perubahan ekspresi Sofi, membuatnya menarik tangan Sofi yang sedang digenggamnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Danan khawatir.

"It's okay," Sofi menjawab dengan suara gemetar, masih dengan wajah tertunduk. Dan Danan tahu, itu artinya Sofi sedang tidak baik-baik saja.

Bapak melihat interaksi Danan dan Sofi dan merasa makin marah.

"Asal Sofi tahu, saya sudah menjodohkan Danan dengan perempuan lain," kata Bapak, dingin.

"Pak!" intonasi Danan mulai meninggi, berharap ayahnya akan mengerti untuk tidak melanjutkan topik itu. Tapi nampaknya sang ayah tidak peduli.
"Gadis itu dokter. Jadi meski Danan bukan dokter dan nggak bisa jadi direktur rumah sakit, asal Danan menikah dengan gadis itu, maka secara de facto Danan bisa tetap memimpin rumah sakit."

"Selama ini Danan selalu berusaha mengelola rumah sakit meski bukan sebagai dokter atau direktur rumah sakit. Apa itu belum cukup?"

"Belum!" bentak Bapak. "Kamu hanya bisa mewarisi rumah sakit dan mengelolanya sepenuhnya kalau kamu menikah dengan gadis pilihan Bapak itu."

"Danan cinta sama Sofi. Kalau bukan sama Sofi, Danan nggak akan nikah sama perempuan lain," kata Danan tegas. Dan tanpa disadarinya, intonasi suaranya meninggi.

"Nan," panggil Sofi lirih.

Ketika Danan menoleh, dia bisa melihat Sofi menggeleng padanya, sebagai isyarat untuk menahan diri. Tapi bagaimana dia bisa menahan diri kalau perempuan yang disayanginya diperlakukan demikian kasar sejak awal.

"Selama ini saya menahan diri untuk nggak mengatakan ini, Sofi. Tapi kelihatannya kamu nggak mengerti," kata Bapak sambil menatap Sofi tajam. "Kamu nggak pantas buat Danan. Kamu nggak pantas untuk keluarga kami."

"Pak! Jangan keterlaluan!" bentak Ibu sambil menarik lengan suaminya.
Saat itu juga air mata yang sejak tadi ditahan Sofi, akhirnya jatuh.

Bertahun-tahun Sofi merasa seperti itu, bahwa dia tidak pantas untuk Danan karena latar belakang dan status keluarga mereka yang jauh berbeda. Sofi pikir setelah menjadi doktor, setidaknya orangtua Danan tidak akan memandang dirinya rendah lagi. Tapi ternyata ayahnya Danan tetap memandangnya rendah. Dan itu menyakitinya.

"Danan juga cuma anak pungut. Justru Danan yang nggak pantes buat Sofi," kata Danan. Tidak bisa lagi menahan diri.

"Danan!" kali ini Ibu yang membentak Danan. Tapi bukannya terlihat marah, Ibu justru menangis.

"Bagus!" sambung Bapak, yang terlihat makin marah. "Bagus kalau kamu tahu diri. Kamu cuma anak pungut____"

"Pak!"

Tapi Bapak mengabaikan bentakan Ibu. "____ harusnya kamu tahu bagaimana membalas budi. Sekarang kamu pilih, orangtua yang sudah membesarkan kamu sejak kecil, atau perempuan yang sudah bikin kamu membangkang dan durhaka sama orangtua kamu!"

Akhirnya yang ditakutkan Sofi terjadi. Danan harus memilih antara dirinya dan orangtuanya.

Serta merta Ibu melepaskan tangan Bapak dan berpindah duduk ke sebelah Danan, lalu memeluknya erat sambil menangis. Danan juga melepaskan tangan Sofi dan memeluk tubuh ibunya dengan erat.

"Nan, jangan tinggalin Ibu," kata Ibu, menangis di dada putera tunggalnya.

"Danan sayang banget sama Ibu dan Bapak," kata Danan sambil mengusap bahu ibunya. Dari suaranya, Sofi tahu bahwa Danan sedang menahan tangis. "Ibu dan Bapak nggak pernah jadi sekedar pilihan, karena Bapak Ibu selalu jadi prioritas Danan."

Ibu memeluk Danan makin erat. Dan Sofi merasa sudah waktunya dia tahu diri.

"Tapi Pak, Bu... Danan juga sayang Sofi. Berkali-kali dan bertahun-tahun Danan menyakiti Sofi. Danan nggak bisa menyakiti Sofi lagi. Apa nggak ada cara supaya Danan bisa tetap berbakti sama Bapak Ibu, dan mendapatkan restu buat kami berdua?"

"Pak, tolong cabut lagi kata-kata Bapak," kali ini Ibu memohon kepada Bapak, tapi tangannya tidak melepaskan Danan sama sekali.

"Nggak! Dia harus memilih!" kata Bapak keras.

Danan melepaskan pelukan ibunya dan menghampiri ayahnya. Lalu berlutut di hadapannya. Pemandangan itu membuat hati Sofi nyeri. Gara-gara dirinya Danan jadi harus merendahkan diri sedemikian rupa.

"Seumur hidup, Danan akan mengelola rumah sakit, Pak. Tapi tolong jangan paksa Danan nikah sama perempuan lain," kata Danan dengan suara bergetar. "Kalau Bapak belum bisa merestui kami sekarang, kami nggak akan memaksa. Kami bisa menunggu, Pak. Kami nggak akan menikah tanpa restu dari Bapak dan Ibu. Tapi tolong kasih Danan dan Sofi kesempatan untuk mendapatkan restu dari Bapak dan Ibu. Danan cinta sama Bapak, Ibu dan Sofi. Bagaimana mungkin Danan bisa milih, Pak? Danan mohon, Pak___"

"Oke kalau kamu nggak bisa milih," kata Bapak. Kali ini dengan suara bergetar. Wajahnya tetap keras, tapi Sofi bisa melihat kecewaan dan kesedihan di matanya. "Biar saya yang memutuskan. I release you! Silakan pergi dari rumah ini! Kamu bukan lagi anak saya!"

Bagai mendengar petir di siang hari bolong ketika Danan mendengar keputusan itu. Meski dia sudah mengantisipasi penolakan ayahnya, tapi tetap keputusan ayahnya barusan di luar perkiraan Danan. Dia tidak mengira ayahnya akan bersikap sekeras itu.

Serta merta, Ibu ikut menjatuhkan diri di hadapan suaminya, memeluk Danan sambil menangis dan memohon agar suaminya menarik kembali kata-katanya. Tapi kelihatannya hati Bapak tidak tergerak. Beliau membalikkan badan dan meninggalkan ruang keluarga itu....meninggalkan Sofi dengan segudang rasa bersalah karena sudah merusak keharmonisan keluarga mereka.

"Pak.... "

Spontan Danan menolehkan kepalanya ke arah asal suara yang memanggil ayahnya itu. Itu jelas suara Sofi.

"Kalau saya pergi, Bapak nggak jadi mengusir Danan kan?"

Mata Danan membulat tidak percaya. Apa maksudnya itu? Siapa yang bilang padanya untuk memperjuangkan cinta mereka? Kenapa sekarang dia justru akan pergi, mengorbankan diri?

Bapak membalikkan badan dan menatap Sofi dengan tatapan marahnya. Sofi memberanikan diri menatap mata Bapak. Bapak tidak menjawab apa-apa, tapi Sofi tahu bahwa asalkan dia pergi, maka Danan tidak harus pergi dari rumah itu.
Sofi ikut berlutut di hadapan Ibu dan Danan, lalu mengambil tangan Ibu dan menciumnya takzim.

"Sofi pamit, Bu. Maaf atas semua ini."
Sofi lalu beralih menatap Danan dan menggenggam tangan lelaki itu. "Kamu akan baik-baik aja," katanya.

Sofi melepaskan tangan Danan lalu beranjak berdiri. Tapi Danan menahannya dengan wajah marah dan frustasi.

"Lepasin aku," kata Sofi, menguatkan dirinya sendiri. "It's okay to release me. To let me go. Ibu butuh kamu."

Dengan tangan kanannya, Sofi melepaskan cekalan tangan Danan dari lengan kirinya. Sebelum Danan menahannya lagi, dan sebelum hatinya goyah, Sofi segera berdiri, menyambar tas tangannya dan berlari keluar.

Dia sudah terlalu naif, mengira bahwa dia bisa memperjuangkan cintanya pada Danan. Dia terlalu naif, mengira bahwa orangtua Danan akan menganggapnya pantas bagi Danan hanya karena dirinya sudah doktor. Pendidikan tinggi ternyata tetap tidak bisa menghapus kesenjangam usia dan kesenjangam status keluarga mereka. Sofi lupa, bahwa Danan bisa saja kehilangan cinta kedua orangtuanya kalau mereka memaksa bersama. Dan apakah Danan bisa hidup bahagia bersamanya jika lelaki itu terus dibayangi rasa cinta dan hutang budi yang belum terbalas kepada orangtuanya? Apakah dirinya bisa bahagia selagi melihat Danan tidak bahagia?

* * *

Kalau ada yang baca Seasons of Love, pasti tahu kenapa Restu nggak naksir sama Sofi.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top