9. Balas Budi (1)

Sore itu begitu selesai menyelesaikan Praktikum Teknologi Sediaan Steril, Sofi langsung buru-buru menuju stasiun kereta api commuter line, demi mengejar jadwal mengajarnya. Sudah sesorean itu Danan berkali-kali mengirimkan pesan ke ponselnya, menanyakan kenapa Sofi belum juga sampai di rumahnya padahal Danan sudah tidak sabar untuk belajar. Ada banyak PR nih mbak, kata Danan dalam pesan singkatnya. Padahal Sofi sudah mengatakan bahwa ia baru bisa sampai di rumah Danan menjelang Maghrib karena ada praktikum sampai jam 4 sore. Tapi Danan tetap berkeras menerornya.

Sofi tidak habis pikir. Beberapa bulan sebelumnya anak itu melakukan berbagai cara supaya Sofi berhenti menjadi guru lesnya, tapi sekarang anak itu malah seperti ketagihan belajar.

"Sudah gue bilang, lo adalah guru yang paling tepat untuk anak itu," kata Bima ketika Sofi bilang bahwa Danan memintanya untuk lanjut mengajar, dan bahkan menambah jadwal les, hingga anak itu lulus SMP. "Lo apain tuh anak?"

"Yakali bakal gue apain," Sofi menjawab sambil terus fokus pada labu erlenmeyer di tangannya. Mereka sedang praktikum ketika Bima membahas tentang Danan.

"Kagak lo apa-apain, tapi dia nagih belajar bareng lo? Apalagi, seperti kata lo, sebenernya dia pinter sehingga sebenarnya dia ga perlu-perlu banget les privat. Itu makin mencurigakan."

"Mencurigakan apanya?"

"Lo yakin, dia ga naksir lo?"

"Mulai gila lo?"

"Seumur-umur gue ngajar les, bahkan setelah berhasil membuat mereka berhasil masuk PTN favorit, kagak ada satupun murid gue yang ngajak gue kencan kayak gitu."

"Itu bukan kencan, duh!"

"Buktinya, waktu kita ketemu di mall dan lo mengakui dia sebagai adik, dia kelihatan nggak senang."

Gara-gara malas menghadapi pertanyaan Bima tentang brondongyang makan bersamanya di mall saat itu, Sofi langsung mengungkapkan fakta bahwa si brondong itu adalah murid legendaris yang sudah membuat 5 guru privat dari lembaga bimbel Bima mengundurkan diri. Tapi setelah pengakuan itu, bukannya berhenti, Bima malah makin sering mengemukakan analisisnya tentang kemungkinan si murid legendaris itu naksir Sofi. Makin membuat Sofi malas.

Apa yang paling menyedihkan dari mendengarkan laki-laki yang kamu sayangi malah ciye-ciye-in kamu dengan cowok lain?

"Nggak ada cowok yang senang dikira dekat sama gue, kali," Sofi menjawab miris.

"Nggak ada cowok yang senang dikira adik dari seorang cewek yang ditaksirnya," Bima terus saja bawel.

"Pengen gue siram ini asam sulfat ke muka lo nggak?"

* * *

Gara-gara sibuk membalas pesan Danan, Sofi jadi terlambat menyadari bahwa ia hampir sampai ke stasiun tujuannya. Begitu selesai memasukkan ponselnya dan menutup tasnya, ia segera bergeser ke arah pintu kereta, bergabung dengan orang-orang yang sudah berdesakan turun dari kereta.

Meski tidak sepenuh kereta commuter line jurusan Bogor, sore itu kereta yang dinaiki Sofi lumayan penuh. Butuh perjuangan berdesakan yang lumayan supaya dia bisa turun sebelum pintu kereta tertutup. Dia menarik nafas lega ketika berhasil turun, dan langsung menyusuri peron menuju pintu keluar. Pintu kereta sudah menutup dan kereta itu sudah kembali melaju di sampingnya ketika tiba-tiba Sofi menyadari sesuatu.

Tas kainnya tertinggal di rak kereta. Lagi!

Kali ini tas kain itu berisi diktat kuliah yang baru saja di-copy-nya untuk bahan pretest kuliah esok hari.

Sofi sudah bersiap mengejar kereta dan berniat meminta masinis menghentikan keretanya sehingga ia bisa mengambil tas kainnya, ketika ia menyadari kebodohannya. Ini bukan drama Korea dimana pengemudi bis akan mau berhenti jika ada adegan kejar-kejaran. Lagipula, ini kereta, bukan bis yang bisa berhenti sembarangan.

Kali ini bukan soal tugas-seribu-reaksi dan Beliau-yang-namanya-tidak-boleh-disebut, tapi bukan berarti kecerobohannya kali ini tidak berefek gawat. Tanpa diktat di dalam tas kain itu, Sofi tidak bisa belajar untuk pretest praktikum esok hari. Dan kalau dia tidak lulus pretest, maka ia tidak boleh praktikum. Jika ia tidak bisa praktikum, maka nilainya untuk praktikum pekan itu adalah nol. Tentunya menurunkan secara drastis kemungkinan dirinya untuk lulus praktikum dengan nilai A.

Damn! Semua ini gara-gara Danan. Sofi jadi tidak konsen dan buru-buru keluar dari kereta karena sibuk menghadapi teror Danan.

Tapi bagaimanapun dia menyalahkan Danan, tidak ada gunanya kan? Pretestnya besok akan tetap terancam. Satu-satunya cara yang saat itu terpikir adalah membuat Bima berjanji untuk datang lebih pagi esok hari supaya Sofi masih punya waktu untuk belajar kilat sebelum praktikum.

Kesal pada kecerobohannya sendiri, Sofi menghentakkan kaki. Tepat saat itu seseorang menahan lengannya dari balik tubuhnya. Membuat Sofi berbalik dengan kaget dan wajahnya langsung terbentur dengan sesuatu yang keras. Dada seseorang.

Sofi menggosk dahinya yang terbentur sambil menengadahkan kepala. Mulutnya secara refleks terbuka lebar ketika menemukan sesosok wajah tampan khas Timur Tengah berkacamata.

Supaya tidak mengganggu penumpang lain yang berlalu-lalang, laki-laki itu menarik Sofi ke tepi peron menjauhi jalur kereta sebelum ia bicara dengan suaranya yang melelehkan hati Sofi.

"Kamu punya kebiasaan ninggalin barang-barang di kereta ya?" kata laki-laki itu sambil menyerahkan sebuah tas kain yang langsung dikenali Sofi.

Sofi juga mengenali wajah dan suara itu. Lelaki itu adalah pangeran berkemeja putih yang beberapa bulan lalu telah menyelamatkan Sofi saat dia tidak sengaja meninggalkan tas kain berisi tugas-seribu-reaksinya di kereta. Dan kali ini, kenapa kejadian seperti ini terulang lagi? Dan kenapa harus laki-laki ini lagi yang menemukan tas itu?

Sofi bersyukur karena diktatnya kembali sehingga ia bisa belajar untuk pretest besok. Tapi di saat yang sama, ia juga malu setengah mati karena lagi-lagi terlihat ceroboh di hadapan laki-laki setampan ini. Kalau dia Hermione Granger, dia pasti sudah meng-obliviate laki-laki itu sekarang, supaya dia tidak mengingat ketololan Sofi.

Sofi mengambil tas kain itu lalu menunduk dalam.

"Mas, terima kasih banyak. Maaf, lagi-lagi merepotkan Mas," kata Sofi sungguh-sungguh, menahan malu.

"Seberapa sering kamu ketinggalan barang seperti ini?" tanya lelaki itu. "Sering? Atau hanya setiap ada saya?"

Sofi merasa ada yang aneh dengan nada bicara lelaki itu. Apa itu nada menuduh? Atau meremehkan? Apa dia pikir bahwa Sofi sengaja meninggalkan barang-barangnya supaya dia punya alasan untuk bertemu lelaki itu? Tatapan mata apa itu?

Sofi sudah cukup merasa malu karena kecerobohannya sendiri. Dia tidak perlu lebih dipermalukan lagi oleh asumsi lelaki itu. Lelaki itu memang tampan, tapi maaf maaf aja nih, Sofi belum se-desperate itu menjomblo sehingga perlu melakukan trik murahan seperti itu untuk menarik perhatian pria tampan itu.

Tersinggung, tapi juga tidak bisa marah karena dia berhutang budi pada lelaki itu, akhirnya Sofi hanya menghembuskan napas, berusaha meredam kemarahannya.

"Terima kasih banyak atas bantuannya. Lain kali silakan diabaikan aja, nggak perlu membantu saya lagi. Saya nggak bisa membalas hutang budi yang terlalu banyak."

Sofi mengatakan itu dengan suara datarnya yang malas. Dia bahkan tidak menggunakan panggilan sopan "Mas" lagi pada lelaki itu. Biarpun ganteng, kalau songong begini, malesin juga. GR banget sih mengira orang modusin dia.

Setelah mengatakan itu, Sofi membungkuk singkat, lalu langsung berlalu pergi sebelum lelaki itu sempat menjawab. Meninggalkan lelaki itu yang termangu, bingung kenapa gadis itu kelihatan seperti marah. Apa ada yang salah dengan kata-katanya?

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top