8. Kakak-Adik Zone

Demi mendukung Kakak2 yg Sabtu Malam di rumah aja, saya post 2x cerita ini sehari.

Biar makin galau. Eeeaaakkk

* * *

Meski Sofi sempat meminta Danan mentraktirnya karena telah berhasil membimbingnya sampai ia bisa naik kelas dan menjadi juara umum di sekolahnya, toh pada akhirnya Sofi yang mentraktir Danan. Tengsin dong kalau mahasiswa ditraktir anak SMP. Tapi ya namannya duit mahasiswa, Sofi cuma bisa mentraktir Danan nonton bioskop. Makan siang setelahnya di restoran cepat saji, mereka bayar masing-masing. Haha.

Kali itu Sofi membiarkan Danan memilih film yang ingin ditontonnya. Tanpa diduga, Danan memilih nontonThe Twilight Saga: Eclipse. Awalnya Sofi terpana. Lalu ia tidak berhenti cekikikan dan meledek Danan seharian itu.

"Anak cowok kok nonton Twilight," ejek Sofi.

"Trus harusnya nonton apa?" Danan membalas sambil manyun.

"Apaan kek gitu. Film action gitu."

"Lha di Eclipse juga banyak berantem-berantemnya."

"Tapi kan basicly itu film romance. Cuma cewek yang seneng nonton gituan."

"Nah, lo cewek kan? Lo gak seneng nonton Twilight?"

"Ya seneng sih."

"Yaudah kalo gitu. Protes aja sih lo, Mbak. Kayak emak-emak."

Sofi tertawa sambil mengacak rambut Danan pelan. Danan selalu suka diperlakukan seperti itu oleh Sofi. Ia tersenyum.

Sebenarnya Danan memilih film itu bukan karena ia tertarik dengan ceritanya. Karena anak-anak cewek di kelasnya sedang ramai membicarakan film yang baru saja dirilis itu, makanya dia pikir Sofi juga akan suka. Selain itu, setelah membaca sinopsisnya, dia juga merasa kisah cinta dalam film itu mirip kisah cintanya dengan Sofi. Bukan merujuk pada kisah cinta vampir dan manusia, tapi merujuk pada kisah Jacob Black dan Bella Swan. Mirip kan dengan dirinya dan Sofi. Well, yeah, Jacob hanya 2 tahun lebih muda daripada Bella, sementara dirinya 6 tahun lebih muda daripada Sofi. Jadi ya sebenarnya nggak mirip-mirip amat. Tapi kan namanya juga usaha, kali aja Sofi jadi sadar bahwa Danan naksir padanya.

Danan merasa tidak salah memilih film untuk ditonton bersama Sofi. Meski Twilight tergolong film romance, tapi ada beberapa adegan perkelahian dalam film tersebut. Dan karena Sofi sukanya nonton film action, jadi meski tidak terlalu banyak adegan laga, Sofi tetap merasa senang menonton film itu. Sofi keluar dari bioskop dengan senyum sumringah. Dan senyum itu bertahan sampai mereka makan siang di sebuah restoran cepat saji.

Sofi dan Danan baru saja keluar dari antrian di kasir setelah memesan paket burger dan ayam goreng ketika seseorang menyapa mereka. Menyapa Sofi lebih tepatnya.

"Ngapain lo?" tanya seorang lelaki yang baru saja menyapa Sofi.

Danan mengenalinya sebagai lelaki yang pernah menjemput Sofi ke rumahnya. Siapa namanya? Bima?

"Abis nonton. Mau makan," Sofi menjawab. "Lo ngapain disini?"

"Mau makan. Abis itu nonton. Tuh, sama cewek gue disana," kata cowok itu sambil menunjuk seorang gadis yang sedang duduk di pojok restoran. "Dia minta tambah sambel," cowok itu menambahkan informasi nggak penting sambil menunjukkan cup kecil berisi saus cabai.

Sofi melirik gadis yang ditunjuk cowok itu barusan, dan Danan memperhatikan senyum Sofi langsung memudar.

"Duduk bareng yok! Masih ada dua kursi lagi disitu," cowok itu mengajak Sofi bergabung dengannya.

"Nggak deh, makasih. Lo kan udah ampir kelar, kita baru mau mulai makan. Nanti lo telat nonton gara-gara kita." Sofi menolak.

"Oh, yaudah," kata cowok itu santai.

Cowok itu, seperti baru sadar pada keberadaan Danan, kemudian mengerling Danan sambil sedikit berbisik pada Sofi. "Siapa? Pacar?"

"Adik gue."

Cowok itu melirik Danan dengan tanda tanya sekilas, kemudian tersenyum penuh arti. Tanpa disadari Sofi, Danan berjengit mendengar jawaban itu.

"Oh yaudah, kalo gitu gue cabut dulu ya, Sop. Sampai ketemu besok di kampus."

Cowok itu berlalu. Sofi lalu mengajak Danan duduk di pojokan restoran yang lain, jauh dari meja yang tadi ditunjuk oleh cowok itu.

"Kenapa tadi bilang bahwa gue adalah adik lo?" Danan langsung bertanya begitu ia meletakkan nampan berisi burger dan coke miliknya di meja. Meski ia mengerti bahwa tidak mungkin Sofi mengakuinya sebagai pacar, tapi ia tetap merasa tidak suka dianggap hanya sebagai adik.

Sofi duduk dan menatap Danan dengan bingung. "Kenapa?"

"Gue nggak suka!"

Sofi sesaat kaget mendengar jawaban Danan yang ketus. Lalu ia mengerti. "Sori, gue pikir hubungan kita sudah cukup dekat dan gue sudah menganggap lo seperti adik gue sendiri. Tapi ternyata itu cuma perasaan sepihak. Lo pasti nggak mau punya kakak kayak gue. Sori. I will not tell something stupid like that anymore."

Gantian Danan yang kaget dengan respon Sofi yang tidak terduga. Ia tidak bisa segera menjawab. Bukan itu maksud pertanyaannya tadi. Danan sudah sering mendengar Sofi marah, terutama saat mengajar. Sofi lumayan galak sebagai guru. Tapi baru kali ini Danan mendengar Sofi bicara dengan nada yang sangat sinis dan sarkastik. Danan jadi serba salah melihat perubahan mood Sofi yang tiba-tiba.

Ponsel Sofi bergetar dan ia membukanya. Sebuah pesan masuk.

Bima: Sejak kapan anak tunggal kayak lo bisa punya adik?

Sofia: Bukan urusan lo!

Bima: Ngaku aja! Pacar lo ya? Tapi emang kelihatan lebih muda sih. Berondong lo?

Sofia: Emangnya gue tante girang?!

Bima: Santae woy. Ngegas banget coy.

Sofia: Sana urusin pacar lo aja. Nanti dia jealous lagi.

Sofia menutup ponselnya dan memasukkan kembali ke dalam tasnya, lalu meminum iced lemon tea nya.

"Mbak ..." Danan memanggil dengan hati-hati.

"Apa?" Sofi menjawab dengan singkat dan ketus.

"Maaf."

Demi mendengar permintaan maaf Danan, wajah Sofi melunak. Tapi tidak dengan nada suaranya.

"Gue ngerti. Hanya gue sepihak yang merasa bahwa hubungan kita udah dekat sehingga gue seenaknya menganggap lo sebagai adik."

"Bukan gitu maksud gue tadi..."

Danan baru saja bermaksud mengklarifikasi, tapi Sofi sudah keburu memotong ucapannya. "Gue minta maaf, oke? Gue nggak akan ngaku-ngaku sebagai kakak lo lagi. Gue janji. Kita omongin yang lain aja."

Danan kicep. Tidak bisa lagi mengklarifikasi, mengingat mood Sofi yang tiba-tiba memburuk seperti ini. Danan tidak menyangka bahwa kata-katanya tadi bisa membuat Sofi sensi banget.

Meski sebenarnya Danan masih ingin mengonfirmasi kesalahpahaman tadi, tapi dia memutuskan untuk menuruti Sofia, mengganti topik pembicaraan. "Yang tadi itu, cowok yang waktu itu pernah jemput lo di rumah gue kan? Bima?"

Sofia menggigit ayam gorengnya sambil mengangguk.

"Kata lo, dia pacar lo. Tapi dia jalan sama cewek lain?"

"Gue nggak pernah bilang bahwa dia adalah pacar gue."

Danan mengernyit. Kalau diingat-ingat sih iya juga, Sofi tidak pernah bilang bahwa cowok itu adalah pacarnya. "Tapi lo nggak membantah waktu gue mengira dia adalah pacar lo?"

Sofi menatap Danan dengan alis terangkat.

"Tadi waktu Bima mengira bahwa gue adalah pacar lo, lo membantah. Tapi kenapa lo nggak membantah waktu gue mengira dia adalah pacar lo?" Danan melanjutkan.

Sofi masih menatap Danan dalam diam. Dia tahu jawaban atas pertanyaan Danan, tapi dia tidak mau menjawab.

"Karena di dalam hati, lo berharap dia memang pacar lo kan?" Danan yang akhirnya menyuarakan jawaban yang ada di dalam pikiran Sofi. Dan di dalam hati, lo nggak ingin Bima salah paham dan mengira gue adalah pacar lo. Lo masih berharap suatu saat bisa bersamanya, Danan menambahkannya kalimat itu, tak terucap.

Sofi tidak segera menjawab. Tatapan matanya makin dalam ketika berhadapan dengan Danan.

"Seperti halnya gue secara sepihak merasa bahwa hubungan kita udah dekat dan menganggap lo sebagai adik ..." akhirnya Sofi bersuara, "... gue juga secara sepihak merasa bahwa hubungan gue dan Bima sudah sangat dekat dan mengira bahwa dia suka sama gue. Dan seperti lo lihat, perkiraan gue salah total. Hanya gue sepihak yang merasa seperti itu. Dia sih menyukai cewek lain. Bagi dia, gue hanya sahabatnya. Seperti halnya bagi lo, gue hanya sekedar guru les."

Kali ini Sofi tidak terdengar sinis. Danan menangkap kegetiran dalam nada bicara gadis itu. Ini juga pertama kalinya Danan mendengar Sofi bicara dengan suara segetir ini. Meski ia merasa getir melihat kesedihan Sofi, tapi Danan tidak bisa berbohong bahwa sebagian hatinya bersorak bahagia mengetahui bahwa Bima bukan pacar Sofi, bahwa Sofi tidak punya pacar!

"Bagi gue, lo bukan sekedar guru les," Danan membantah.

Sofi menangguk dan tersenyum maklum. Ia tahu Danan hanya ingin menghiburnya. Dia tidak menganggap Sofi sekedar guru les, padahal baru 10 menit sebelumnya dia bilang bahwa dia tidak suka dianggap adik? Does it make sense?

"Gue nggak keberatan kalau tadi lo bilang ke Bima bahwa gue adalah pacar lo," Danan, dengan suara bergetar yang tidak disadari Sofi, mengatakan hal itu sambil pasang wajah sok cool, padahal hatinya kebat-kebit.

"Makasih, Nan," kata Sofi sambil tersenyum. Masih terlihat pedih, tapi kali ini lebih ringan. "Tapi gue nggak serendah itu, memanfaatkan lo, berpura-pura bahwa lo adalah pacar gue, hanya demi nggak terlihat mengenaskan di depan cowok yang gue sayang tapi nggak sayang sama gue."

Danan menghela nafas. Lagi-lagi Sofi salah paham padanya. Padahal ia sungguh berharap bahwa Sofi mengakuinya sebagai pacar.

"Apa lo malu mengakui gue sebagai pacar karena gue masih kelihatan seperti anak SMP?"

Sofi tersenyum.

"Sebentar lagi gue akan jadi laki-laki dewasa. Menjadi lebih tinggi, lebih kuat, lebih ganteng. Menjadi seperti laki-laki dewasa, bukan lagi anak SMP. Gue nggak akan bikin lo malu."

Senyum Sofi makin lebar. "Saat lo sudah dewasa dan ganteng ..." kata Sofi. Danan terkesiap, teringat pada kata-kata ayahnya tadi pagi ... mbak Sofi sudah menikah dan punya anak. "... gue sudah tua. Justru lo yang bakal malu kalau ada tante-tante seperti gue yang ngaku-ngaku sebagai pacar lo."

Lalu Sofi menertawakan leluconnya sendiri. Danan tidak ikut tertawa, dia terpaku.

Setelah nonton dan makan, Danan mengantarkan Sofi pulang ke rumahnya. Technically, Pak Agus yang mengantarkan Danan menemani Sofi sampai ke rumahnya. Pak Agus yang menyetir mobil, sementara Danan dan Sofi duduk di kursi penumpang. Tadinya Sofi sudah menolak diantar pulang. Ia bisa pulang sendiri dengan angkutan umum. Tapi Danan berkeras untuk mengantar. Sebenarnya ini hanya modus Danan supaya bisa tahu dimana rumah Sofi.

"Gue turun. Makasih udah mengantar, Nan," kata Sofi kepada Danan setelah tiba di depan rumahnya. Sofi mencolek bahu pak Agus lalu berkata, "Pak, makasih ya sudah mengantar saya. Maaf merepotkan Bapak."

"Nggak apa-apa, Mbak, nggak repot kok," pak Agus menjawab sambil tersenyum ramah.

"Selamat liburan sekolah ya. Sampai ketemu nanti setelah lo masuk sekolah lagi. Kabari aja kapan lo mau mulai les lagi," Sofi melanjutkan bicara pada Danan.

Danan mengangguk. Sofi tersenyum sekali lagi, lalu membuka pintu mobil dan turun.

Danan melihat Sofi melangkah menuju pagar rumahnya. Membuka pagar rumahnya. Lalu tiba-tiba Danan turun dari mobilnya dan berlari menghampiri Sofi sebelum gadis itu menutup pagar rumahnya.

Sekarang gue memang belum pantas buat lo. Tapi suatu saat, gue akan jadi orang yang pantas untuk lo akui sebagai pacar lo. Sampai saat itu tiba ..."Gue nggak keberatan kalau lo anggap gue sebagai adik, Mbak," kata Danan kepada Sofi, tepat sebelum pintu pagar rumahnya menutup. "Bagi gue, lo bukan sekedar guru les."

Sofi terpana sesaat lalu tersenyum lebar. Ia mengelus kepala Danan sesaat, membuat jantung Danan berdesir. "Bagi gue, lo bukan sekedar murid les."

* * *

Terasa kan, betapa jadulnya setting cerita ini? Film Twilight, berapa tahun lalu tuh? Waktu itu Kakak2 msh SMP atau udah nyusun skripsi? Eeeaaakkk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top