7. Saat Nanti Sudah Dewasa

Sejak kepura-puraanya terbongkar, Danan terikat pada Sofi. Pada ancaman Sofi, lebih tepatnya. Sofi akhirnya tahu bahwa Danan sudah berpura-pura bodoh selama ini, setiap kali les privat dengannya. Dan itu membuatnya marah.

"Jangan menguji kesabaran gue lagi. Gue bukan orang penyabar," kata Sofi sambil melepaskan cengkramannya pada kedua tangan Danan. Ia menarik badannya mundur sehingga Danan tidak terdesak lagi di dinding. Danan menghela nafas lega, mencoba meredakan degup jantungnya yang masih tidak beraturan akibat berada terlalu dekat dengan bibir Sofi. Ia mencoba menghilangkan hayalan-hayalan liarnya tentang Sofi. "Gue sudah mendapat ijin dari Ibu lo untuk menghajar lo ... " Sofi menyamarkan bunyi huruf H pada kalimatnya barusan, tapi memastikan bahwa Danan mendengar pesan tersiratnya. "...jadi tolong jangan menguji kesabaran gue lagi."

Sofi memasukkan kembali buku kuliah Farmasi Fisiknya ke dalam tasnya. Hari itu dia memang sengaja membawa buku itu untuk menguji Danan, berpura-pura tidak bisa mengerjakan tugas Farmasi Fisik, padahal dia sudah lulus dari matakuliah itu dua semester sebelumnya dengan nilai yang cukup memuaskan. Dia sengaja memilih soal yang tidak terlalu sulit (untuk standar mahasiswa, bukan anak SMP). Dan ternyata Danan bisa mengerjakannya. Jika Danan bisa mengerjakan soal (farmasi) fisika mahasiswa, kan aneh kalau justru dia tidak bisa menyelesaikan soal-soal fisika SMP yang lebih mudah.

Sejak itu, Danan menjadi murid les yang baik. Sofi tidak perlu sampai harus membuktikan ancamannya untuk membuat Danan takluk, karena tanpa dibuktikanpun Danan sudah pernah melihat bagaimana seorang Sofi saat mengamuk. Danan ngeri tiap kali membayangkan kaki Sofi akan menekan lehernya dengan kuat sampai membuatnya sesak nafas. Tapi, meski Danan sudah tidak pernah lagi berusaha menguji kesabaran Sofi dengan pura-pura bodoh, Danan tetap tengil. It's already in the blood, ketengilan itu. Susah hilangnya.

Sofi tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengajar Danan. Anak itu benar-benar pintar. Tidak perlu banyak upaya untuk membuatnya memahami penjelasan Sofi. Dengan kecerdasannya, Sofi tahu bahwa jalan Danan untuk mencapai cita-citanya sebagai dokter akan lancar. Sofi malah bingung, untuk apa kedua orangtua Danan menggaji seorang guru les privat kalau anaknya sudah sangat pintar? Selama beberapa bulan menjadi guru les Danan, sebenarnya tugas utama Sofi hanya menemani Danan belajar, memastikan Danan teliti mengerjakan PR dan latihan soal-soal, dan mengklarifikasi hal-hal yang kurang dipahami Danan (yang mana itu sangat jarang terjadi). Satu-satunya hal yang perlu terus diingatkan oleh Sofi adalah keteledoran Danan. Anak itu selalu terburu-buru sehingga kadang salah membaca soal, atau tidak teliti mengerjakan soal hitungan. Selebihnya, he's a great student.

* * *

Sejak Sofi mengetahui kepura-puraannya, Danan menyerah. Dia merasa tidak ada gunanya berusaha membuat Sofi berhenti menjadi gurunya. Toh, sejujurnya dia menikmati setiap jadwal lesnya bersama Sofi. Dia suka berada dekat dengan gadis itu. Dia suka bersamanya. Dia suka mendengar omelannya, melihat matanya yang membesar, dan memperhatikan bibirnya yang mengoceh.

Bibir? Shit! Gue nggak bisa lupa bibirnya.

Lalu apa kabar dengan tekadnya untuk memberontak dan menolak keinginan orangtuanya untuk menjadikannya dokter?

Ah, itu dipikirin nanti aja. Sekarang gue mau menikmati waktu gue bersama cewek ini.

Padahal Danan tahu bahwa Sofi sudah sudah punya pacar.

Persetan dengan pacarnya. Selama dia ada di rumah ini, dia milik gue!

Tengil banget kan gayanya? Padahal sebenarnya Danan jiper juga saat melihat pacarnya Sofi.

Saat itu seorang cowok menjemput Sofi ke rumahnya setelah jadwal les berakhir. Kata Sofi, mereka mau mengerjakan tugas kuliah bersama di rumah Sofi. Karena rute dari rumah cowok itu ke rumah Sofi memang melewati rumah Danan, maka cowok itu sekalian menjemput Sofi di rumah Danan. Danan memang tidak bertemu langsung dengan cowok itu, dia hanya melihatnya melalui balkon ketika Sofi menghampiri cowok yang mengendarai motor sport itu di depan rumahnya. Dari jauh ia melihat cowok itu berkulit coklat serta berbadan tinggi, besar dan atletis. Danan iri melihatnya, membandingkannya dengan dirinya sendiri yang kerempeng tanpa otot sedikitpun. Apalagi pacarnya Sofi bertubuh tinggi. Sofi hanya setinggi dada cowok itu ketika mereka berdiri berhadapan, membuat mereka tampak sangat serasi. Sementara tubuh Danan saat itu sama tingginya dengan Sofi.

"Siapa yang kemarin jemput?" tanya Danan, ketika ia bertemu Sofi pada jadwal les berikutnya. Danan memasang tampang cuek supaya nggak ketahuan bahwa dia terlalu penasaran atau cemburu.

"Yang kemarin jemput? Bima, maksudnya?"

"Pacar lo ya?"

Sofi tertawa lepas. "Kepo banget sih."

Namanya Bima, ternyata.

* * *


Sofi masih terus lanjut menjadi guru les privat Danan sampai Danan naik ke kelas 3 SMP. Kedua orangtua Danan sangat puas dengan bimbingan yang Sofi berikan kepada anak mereka sehingga Danan bisa naik kelas dengan nilai yang jauhhh lebih baik daripada nilai-nilainya pada semester-semester sebelumnya. Ia bahkan menjadi juara umum di angkatannya dan masuk ke kelas unggulan di SMP tersebut. Ya tentu aja nilai Danan bagus, soalnya setiap sebelum ulangan dan ujian semester, Sofi selalu mengancam Danan. Kalau nilainya jelek, Sofi tidak akan segan menghajar Danan. Sofi juga memperingatkan agar Danan tidak perlu repot berpura-pura tidak bisa mengerjakan soal ujian karena Sofia tahu persis kemampuan Danan.

Anehnya, bukannya merasa terancam oleh Sofi, Danan mengusulkan untuk menambah jadwal les menjadi tiga kali seminggu setelah dia mulai kelas 3 SMP. Meninjau hasil bimbingan Sofi sebelumnya, ayah dan ibu Danan sama sekali tidak keberatan jika Sofi bisa menemani anak mereka belajar lebih sering. Uang les bukanlah masalah bagi mereka, asal Danan bisa sukses di sekolah, masuk fakultas kedokteran, dan menjadi dokter. Hidup dokter!

Saat itu salah satu murid les Sofi baru saja lulus SMA dan diterima di Teknik Kimia UI. Murid Sofi yang lain juga baru lulus dari SD dan masuk ke SMP favorit yang diincarnya. Hal ini menambah keyakinan orangtua Danan bahwa Sofi dapat diandalkan untuk membantu Danan belajar untuk mencapai cita-citanya.

Karena sudah jadi mahasiswa, tentu saja murid Sofi yang baru lulus SMA itu sudah tidak perlu les privat lagi. Sementara murid Sofi yang lain yang baru masuk SMP tidak melanjutkan les privat dengannya karena menurut orangtuanya anak itu belum butuh les privat sekarang. Dan karena sekarang Danan adalah satu-satunya murid les Sofi, Sofi tidak punya alasan untuk menolak saat ibunya Danan meminta Sofi menambah jadwal les menjadi tiga kali seminggu. Hanya saja, dia bingung dan khawatir.

"Emangnya nggak berlebihan ya Bu, les tiga kali seminggu? Takutnya Danan nanti bete ketemu saya terus dan jadi muak belajar." Sofi menanyakan tersebut saat ibunya Danan menelepon Sofi untuk memintanya terus mengajar Danan dan bahkan menambah frekuensi mengajar.

"Lho, ini Danan lho yang minta les seminggu tiga kali, Mbak," kata ibunya Danan mengonfirmasi.

Sofi makin bingung. Seingatnya, dulu Danan harus ikut les privat karena dia sering kabur dari kelas bimbelnya. Sofi berasumsi, barangkali Danan bosan dan capek kalau les bimbel melulu. Apalagi Danan juga pernah berusaha mengusirnya dengan berpura-pura bodoh sehingga membuat Sofi tidak sabar, artinya kan Danan memang tidak suka les. Jadi kenapa sekarang tiba-tiba Danan malah minta jadwal lesnya ditambah?

Dirgatama: Supaya bisa makin sering ketemu lo

Begitu jawaban Danan atas pesan singkat yang dikirim oleh Sofia saat menanyakan alasannya menambah jadwal les.

Sofia: Tapi kenapa dulu lo berusaha membuat gue nggak betah mengajar lo?

Dirgatama: Karena dulu gue nggak suka sama lo

Sofia: Jadi sekarang lo suka sama gue?

Danan memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Sofi. Alih-alih, dia menanyakan hal lain.

Dirgatama: Lo nggak berniat nraktir gue, Mbak? Gue naik kelas dan jadi juara umum lho. Gue layak mendapat pujian dari guru gue kan.

Sambil tertawa membaca pesan di ponselnya, Sofi mengetik balasan.

Sofia: Gue sudah berhasil membuat lo naik kelas dan jadi juara umum, harusnya lo yang berterima kasih dan nraktir gue.

Sekarang gantian Danan yang tertawa.

Dirgatama: Iya juga ya. Kalo gitu, besok jalan-jalan yuk.

* * *

Keesokan harinya, di hari Minggu, Danan sudah mandi dan rapi jali semenjak pagi. Padahal biasanya Danan malas bangun pagi di hari Minggu. Habis sholat subuh, pasti dia tidur lagi sampai anime Doraemon tayang. Tapi hari Minggu kali itu berbeda. Meski pada hari sebelumnya Sofi sudah menelepon ibunya Danan untuk meminta ijin mengajak Danan ke mall untuk merayakan kenaikan kelas Danan, ayah dan ibunya Danan tetap takjub melihat anak lelakinya sudah rapi padahal masih pagi.

"Janjian sama Mbak Sofi jam berapa sih?" ayah Danan bertanya sambil menggigit rotinya ketika Danan duduk di meja makan.

"Nanti jam 10, Pak," Danan menjawab sambil menuang susu cair ke gelasnya.

Kemarin Danan menawarkan diri untuk menjemput Sofi di rumahnya supaya mereka bisa pergi ke mall bersama. Tapi Sofi menolak. Dia lebih memilih bertemu langsung di mall tempat mereka janjian.

"Ini baru jam 7, kok kamu udah rapi?"

"Lho, emang nggak boleh?" Danan malah balik nanya.

"Ya, boleh sih. Cuma aneh aja."

Danan mengabaikan komentar ayahnya dan lanjut sibuk dengan game di ponselnya.

"Kayak mau kencan aja, siap-siapnya dari malem sebelumnya," ibu Danan malah nyeletuk sambil meletakkan setangkup roti bakar cokat di hadapan Danan dan ayahnya.

Demi mendengar celetukan ibunya barusan, tangan Danan sempat berhenti dari game nya selama beberapa detik. Untung nggak menyebabkan game over. Meski deg-degan dengan pernyataan ibunya barusan, Danan tetap bersikap sok cooldan cuek.

"Dia udah punya pacar, kali, Bu," Danan menjawab. Tapi mata dan jarinya tetap fokus pada game.

"Kata siapa?"

"Kata Danan barusan."

"Sok tahu."

"Lha, emang Ibu tahu?"

"Sofi belum punya pacar kok."

"Dia malu ngaku bahwa udah punya pacar kali, Bu. Emang Ibu tahu darimana bahwa mbak Pi - eh, mbak Sofi jomblo?"

"Itu lho, waktu itu kan kamu minta les privatnya jadi seminggu tiga kali, termasuk malam Minggu juga. Jadinya Ibu tanya dulu, apakah dengan mengajar kamu lalu jadwal kencannya terganggu atau nggak. Trus dia bilang bahwa dia nggak kenal istilah malam Minggu."

Danan mem-pause game nya. Dia menoleh kepada Ibunya yang sedang menggigit roti, menunggu lanjutan cerita Ibunya. Sambil menunggu sang Ibu menelan rotinya, Danan sendiri mulai memakan rotinya.

"Malam Minggu cuma buat yang punya pacar, katanya. Bagi yang nggak punya pacar, itu cuma Sabtu malam," ibunya Danan melanjutkan, lalu tertawa.

Serta-merta Danan dan ayahnya tertawa bersamaan. Tapi saking tiba-tibanya, Danan tersedak. Buru-buru dia minum susunya dan menepuk-nepuk dadanya untuk meredakan batuknya.

"Nggak sopan kamu, ngetawain guru yang jomblo. Padahal kamu sendiri aja belum punya pacar kan?" kali ini ayahnya Danan yang nyamber.

Sudah empat belas tahun jadi anak ayahnya, ia sudah hapal polanya. Ayahnya bukan sedang mengejeknya jomblo. Ayahnya lagi ngetes apakah anaknya sudah punya pacar atau belum. Alih-alih menjawab atau mengelak, Danan justru balas ngetesayahnya.

"Ih, siapa bilang Danan belum punya pacar?" kata Danan, pasang wajah sok tersinggung.

"Lho, jadi kamu udah punya pacar?!" Malah ibunya yang menyahut. Ekspresinya panik.

Ya ampun, gue kan udah empat belas tahun. Wajar aja kalau udah pacaran, kali.

"Santai aja, Bu. Kalau Danan udah punya pacar, ngapain banget Danan malam Mingguan sama mbak Pia - eh, mbak Sofi, maksudnya."

Danan melihat ayah dan ibunya bertukar pandang dan tersenyum lega.

"Hidup kamu masih panjang, Nan. Nanti aja pacarannya kalau udah kuliah," kata ayahnya menasehati.

"Nggak punya waktu pacaran juga sih, Pak. Tiap hari ketemunya mbak Pia -"

"Kamu kenapa manggil dia mbak Pia?" ibunya memotong tiba-tiba.

"Panggilan sayang," Danan menjawab sekenanya. Lalu sok fokus lagi pada gamenya.

"Kayak pacaran aja, pakai panggilan sayang segala." Ibunya menanggapi dengan santai. Dikiranya Danan sedang bercanda.

"Emangnya Danan boleh pacaran sama mbak Pia?"

"Emangnya mbak Sofi mau pacaran sama anak kecil kayak kamu?" Sang ayah balik bertanya dengan nada meremehkan.

Danan memutar bola mata, pasang ekspresi sok lelah. Padahal demi menutupi perasaannya yang sebenarnya.

"Lihat aja kalau nanti Danan udah gede dan ganteng," kata Danan, menantang.

"Saat kamu sudah dewasa dan ganteng, mbak Sofi sudah menikah dan punya anak."

Danan terhenyak. Perbedaan usia mereka ternyata memang terlalu jauh.

* * *

Bab ini di-post sekarang utk menemani yg masih mager di kasur, gara-gara hujan semalem bikin asik melungker di kasur.

Juga untuk Kakak2 yg ga ada janji Sabtu Malam.

Apa itu Malam Minggu? Hih!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top