58. Acceptance Criteria (1)
Selamat tahun baru 2023 Kak!
Semoga Kakak2 sekeluarga tahun ini selalu sehat, bahagia dan semua rencana baiknya terwujud.
Sebagai pembuka tahun 2023, kemarin saya post cerita baru di lapak EKSIPIEN.
Bagi yg pengen baca cerita baru, atau pengen tahu bocoran endingnya Sofi-Danan, bisa mampir ke cerita EKSIPIEN.
Nah kali ini saya mau post 1 bab lg cerita Formulasi Rasa ini, sebagai kado tahun baru, buat Kakak2 yang setia dengan cerita ini.
* * *
"Saya nggak ada apa-apa sama Bang Attar. Tapi kalau kamu memang serius ingin saya hidup bahagia tanpa kamu, sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya nggak akan menunggu kamu lagi. Saya pergi."
Hati Danan mencelos mendengar kata-kata Sofi. Dia tahu bahwa dia sudah melakukan kesalahan besar.
Dengan langkah lebar Danan segera meraih handle pintu ruang rapat sebelum Sofi meraihnya. Dengan cepat Danan menutup pintu ruangan itu dan menguncinya.
"Apa maksud kamu?" tanya Danan dengan suara gugup. Tapi tatapannya tajam menatap perempuan di hadapannya.
Sofi tidak menjawab, dia hanya membalas tatapan Danan dengan sendu.
"Apa selama ini kamu___ nunggu aku?" tanya Danan. Ketimbang ragu, dia justru merasa takut jika dugaannya benar.
Pun ketika Sofi hanya diam, tidak membenarkan dugaannya, Danan bukannya merasa lega, justru merasa makin takut.
"Aku udah bilang___ aku nggak bisa menjanjikan apa-apa____" kata Danan lemah.
Dan kata-kata itu menyakiti Sofi lebih dalam. Apa yang lebih menyakitkan daripada ditolak? Jawabannya adalah, disalahkan karena mencintai.
"Iya, kamu udah bilang," kata Sofi, akhirnya bicara. Dia maju ke arah pintu ruang rapat. "Tenang aja, kamu nggak salah. Ini salah saya sendiri. Saya yang memutuskan untuk nunggu kamu, meski kamu sudah nyuruh saya pergi."
Sofi berusaha meraih handle pintu dan membuka kuncinya untuk keluar dari ruangan itu supaya tidak perlu menahan malu lebih lama lagi, tapi terhalang oleh badan besar Danan.
"Permisi, saya___"
Sekonyong-konyong Danan mencengkeram bahu Sofi, membuat perempuan itu kaget dan menengadahkan kepala menghadap Danan, meminta penjelasan. Saat itulah Danan mencium Sofi.
Lama bibir Danan berlabuh di bibir Sofi. Diam. Seperti meluapkan rasa rindu dan rasa sesal yang terpendam bertahun-tahun. Sofipun tidak repot-repot menolak. Dia diam menerima bibir Danan di bibirnya. Saat itu dia sadar bahwa ternyata perasaannya kepada laki-laki itu tidak bertepuk sebelah tangan.
Sofi memejamkan matanya. Sebutir air mata jatuh dari sisi matanya, mengaliri pipi dan membasahi telapak tangan Danan yang sedang menangkup wajah itu. Danan merasakannya dan hal itu membuat hatinya makin sakit. Saat itulah Danan menekankan bibirnya pada bibir Sofi dengan makin kuat. Refleks, Sofi membuka bibirnya, dan dengan segera Danan memperdalam ciumannya.
Seperti keran air yang terbuka, perasaan yang terpendam bertahun-tahun akhirnya meluap. Tangan kanan Danan menarik pinggang Sofi dan merengkuhnya dengan kuat, seakan tidak mau melepaskannya lagi. Tangan Sofi terangkat dan mengalung pada leher Danan.
Ketika Danan menghentikan ciumannya, ia menatap Sofi yang masih menangis. Dia mengusap air mata di pipi Sofi lalu mengecup dahi Sofi lembut.
"Aku cinta kamu," kata Danan dengan suara berat. Dia menatap Sofi sambil mengeringkan air mata di pipi perempuan itu dengan tangannya. "Setelah menjauhi kamu selama bertahun-tahun, aku pikir bisa melupakan kamu dan menghilangkan perasaan ini. Tapi aku salah. Makin hari, aku makin kangen kamu."
Baru saja Danan berhasil mengeringkan air mata dari pipinya, tapi begitu mendengar kata-kata Danan, Sofi menangis lagi. Dia memeluk pinggang Danan dan membenamkan wajahnya di dada lelaki itu.
"Kenapa masih nunggu? Padahal aku sudah minta kamu berbahagia," gumam Danan sambil membelai kepala Sofi yang masih tersembunyi di dadanya.
Danan mendengar Sofi menjawab lirih. "Tanpa kamu, itu bukan bahagia."
Dananpun mempererat pelukannya di bahu Sofi.
"Aku nggak bisa mengubah latar belakang keluargaku supaya pantas buat kamu. Keluargaku bukan siapa-siapa, bukan keluarga terpandang atau kaya raya. Apalagi usiaku lebih tua daripada kamu. Bapak dan Ibu pasti mengharapkan menantu yang usianya sebaya atau lebih muda. Lebih pantas untuk kamu," kata Sofi. Dia sudah mengganti kata ganti saya menjadi aku, begitu yakin bahwa perasaannya berbalas. "Makanya waktu kamu mutusin aku, aku cuma diam menerima, karena aku tahu bahwa aku nggak pantas buat keluarga kamu. Tapi waktu baca skripsimu, aku pikir kamu terpaksa mutusin aku. Aku pikir, kamu sebenarnya masih sayang aku, itu kenapa aku menunggu. Aku pikir, setelah menjadi doktor, aku akan lebih pantas dan nggak malu-maluin sebagai menantu keluarga Prof. Adisasmita, dan Bapak-Ibu nggak akan terlalu peduli lagi dengan perbedaan umur kita. Aku pikir setelah beberapa tahun barangkali orangtuamu sudah nggak marah lagi karena aku memacari anak tunggalnya yang masih mahasiswa. Barangkali beliau sudah lupa dan mau maafin aku. Itu kenapa aku masih nunggu kamu."
Danan melepas pelukannya lalu menatap Sofi sedih. "Gimana kalau justru aku yang nggak pantas buat kamu?" tanya Danan.
"Apa maksud kamu?" Sofi balik bertanya, bingung.
Danan menarik tangan Sofi dan mengajaknya kembali duduk di salah satu kursi di ruang rapat itu. Danan duduk di kursi lain, dan memutarnya agar berhadapan dengan Sofi.
"Aku anak yatim piatu," kata Danan pelan.
Ibarat adegan slow motion, Danan memperhatikan perubahan ekspresi Sofi. Mata perempuan itu membesar, dan dia menutup mulutnya.
"Aku nggak tahu siapa orangtuaku. Aku nggak tahu apa mereka masih hidup atau nggak. Aku cuma anak panti. Selama ini aku bisa hidup enak setelah diadopsi Bapak dan Ibu."
Sofi memundurkan kursinya menjauhi Danan.
"Apa ada CCTV disini? Are you joking?!"
"I wish it's just a joke. Unfortunately, it's the fact."
Danan membiarkan Sofi menjauh. Itu reaksi yang sudah diduganya. Barangkali Sofi tidak bisa menerima latar belakangnya. Meski sakit, Danan sudah siap dengan kenyataan itu.
"Dulu aku sombong, maksa kamu pacaran sama aku dan bilang bahwa aku nggak akan seperti Attar. Aku bilang bahwa aku udah merencanakan cara supaya Bapak dan Ibu menyukai kamu, supaya kamu nggak merasakan penolakan lagi seperti oleh ibunya Attar..." kata Danan sedih, "Tapi saat itu aku nggak tahu siapa aku sebenarnya. Saat Ibu dan Bapak tahu tentang skandal foto yang bikin kita disidang Dekan itu, Bapak marah besar. Bapak kira aku sengaja nggak lulus ujian masuk FK demi mengejar kamu____"
"Dan apa benar karena aku?" potong Sofi, kaget.
"Salah satu alasannya, iya. Tapi selebihnya, memang aku yang ingin memilih sendiri masa depanku. Aku nggak mau jadi dokter hanya karena dipilihkan Ibu dan Bapak. Aku mau membuktikan ke Ibu dan Bapak bahwa tanpa jadi dokterpun aku bisa sukses, bisa bikin mereka bangga. Tapi saat itu aku nggak tahu bahwa tanpa Bapak dan Ibu, aku bahkan nggak akan punya masa depan. Aku cuma bakal jadi anak panti yang cukup lulus SMA. Mereka cuma minta aku jadi dokter untuk membalas budi, supaya bisa mengelola rumah sakit ini. Tapi aku malah menghancurkan harapan mereka. Meski bukan kamu penyebabnya, Bapak terlanjur marah besar dan mengira kamu yang memberi pengaruh buruk buat aku. Bapak bahkan mengancam akan membuat kamu dipecat dari Fakultas karena bersikap tidak etis dan tidak profesional karena pacaran sama aku.
Saat itu, aku merasa kayak ditampar, disadarkan pada posisiku yang cuma anak panti, yang diadopsi untuk memenuhi cita-cita mereka memiliki penerus rumah sakit ini. Makanya aku minta Bapak untuk nggak mempermasalahkan kamu ke Fakultas, dan sebagai gantinya, aku berjanji akan mengelola dan membuat rumah sakit ini sukses sesuai keinginan Bapak.
Itu kenapa aku mutusin kamu waktu itu. Aku yang awalnya begitu percaya diri akan bisa memperjuangkan kamu, langsung merasa kalah dan minder. Kalau aku berkeras mempertahankan kamu, Bapak akan makin marah dan bisa benar-benar menghancurkan karir kamu sebagai dosen. Kalaupun aku memperjuangkan kamu, apa kamu mau nerima aku setelah tahu bahwa aku cuma anak adopsi yang nggak jelas siapa orangtuanya?"
Danan menatap Sofi dengan tatapan sedih. Dan Sofi membalasnya dengan tatapan terluka.
"Kamu tahu nggak," kata Sofi sinis, "Aku kecewa sama kamu."
Danan memejamkan matanya, pedih. Dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan ini kalau memang Sofi tidak bisa menerimanya yang hanya seorang anak adopsi. Hanya saja, saat mendengar kata-kata kecewa itu langsung dari bibir Sofi, ternyata hatinya tetap merasa sakit.
.
.
.
.
.
.
.
* * *
Dih! Nanggung amat ceritanya!
Bab ini memang cuma di-post sebagian disini. Ada sebagian bab ini yg dipost di KaryaKarsa.
Kalo berasa nanggung dan digantung, Kakak2 bisa baca lanjutannya di bit.ly/FormulasiRasa atau www.karyakarsa.com/niaputri08
Semoga puasss setelah baca lanjutannya Kak, 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top