57. Bahagia Tanpamu

Ada yg nungguin Sofi-Danan ga yhaaa???

* * *

"Danan udah balik duluan, Bu. Sekarang di parkiran," kata Danan pada ibunya melalui telepon. "Danan nggak apa-apa kok. Ibu Bapak santai makan dulu aja. Danan tunggu di mobil, di tempat kita parkir tadi."

Danan memutus sambungan teleponnya dan memasukkan ponselnya kembali ke sakunya. Suara dari perutnya mengingatkannya bahwa dia belum makan.

Setelah melihat Sofi bermain dengan anak kecil tadi, apalagi setelah melihat lelaki yang kemudian menghampiri Sofi dan anak kecil itu, Danan sudah tidak berselera lagi untuk makan. Dia memutuskan untuk segera keluar dari tempat resepsi Emir-Sarah itu dan menunggu orangtuanya di parkiran saja.

Merasa marah dan sedih, Danan tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain melarikan diri. Dan disinilah dirinya, meratapi nasib yang sudah dipilihnya sendiri.

Empat tahun lalu dia sudah melepaskan Sofi, mempersilakannya pergi dan memintanya berbahagia karena dia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Sekarang, ketika dia melihat Sofi sudah berbahagia, harusnya dia bahagia juga kan? Nyatanya, ia tidak bisa. Bertahun-tahun dia sudah membohongi dirinya sendiri bahwa dia bisa bahagia asalkan melihat Sofi bahagia. Nyatanya, barangkali dia hanya bisa bahagia jika Sofi berbahagia bersamanya.

Orang bilang, cinta sejati berarti merasa bahagia jika orang yang kita cintai berbahagia. Semua itu omong kosong bagi Danan saat ini!

Dia marah, tapi tahu bahwa dia tidak berhak marah kepada Sofi. Perempuan itu tidak salah apapun. Meski jahat, hanya dengan menyalahkan Sofi yang telah mengkhianatinya padahal dia terus menunggu dan masih berusaha, hanya dengan cara itu Danan merasa rasa sakitnya sedikit lebih ringan.

* * *

Bertemu mantan tidak pernah mudah. Terutama bagi Danan saat itu. Dia menyesal karena terlanjur menghadiri presentasi akhir mahasiswa yang melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di instalasi farmasi rumah sakit yang dipimpinnya. Harusnya dia bertanya terlebih dahulu siapa dosen pembimbing mahasiswa-mahasiswa itu. Andai dia sudah tahu bahwa dosen pembimbing mereka, yang diminta menghadiri presentasi akhir tersebut, adalah Sofi, Danan pasti akan mendelegasikan tugasnya kepada salah satu apoteker pendampingnya saja untuk menghadiri presentasi tersebut.

Kini Danan, sambil menyimak presentasi mahasiswa PKPA dan sesekali mencuri pandang kepada Sofi, mengalami peperangan di dalam dirinya, antara merasa senang dan marah. Dia belum yakin apakah harus berpura-pura tidak melihat kejadian di resepsi Emir-Sarah dan bersikap biasa saja, atau perlu menjaga jarak dari Sofi agar dirinya tidak lebih sakit lagi.

Sofi tidak banyak berubah dari yang pernah diingat Danan empat tahun lalu. Sofi bukan jenis perempuan yang memiliki kecantikan paripurna layaknya artis, tapi dia selalu berhasil membuat Danan melirik padanya sepanjang masa presentasi mahasiswa. Kini perempuan itu memotong pendek rambutnya hingga sebahu sehingga tidak ada lagi hair stik atau kunciran cepol di kepalanya. Tubuh kecil, rambut pendek sebahu dan tas ransel, membuat Sofi tampak sama mudanya dengan mahasiswa-mahasiswanya yang sedang presentasi saat ini.

Sekali waktu Sofi menoleh dan menatap Danan, pada saat yang sama Danan memang sedang menatap Sofi. Saat tatapan mereka bertemu, Sofi melemparkan senyumnya. Dan saat itu semua pertahanan diri Danan rontok. Semua tekad untuk bersikap cuek pada perempuan itu langsung hangus. Rasanya tidak mungkin dia bisa mengabaikan perempuan dengan senyuman matahari seperti itu. Apalagi ketika di akhir presentasi mahasiswa tersebut dia berjabat tangan dengan Sofi, Danan masih merasakan degup yang sama dengan yang dirasakannya sejak belasan tahun lalu. Danan mengutuk dirinya yang masih saja belum bisa move on dari perempuan yang bahkan sudah melanjutkan hidup dengan lelaki lain.

Agar tidak terjebak pada suasana yang lebih canggung lagi, setelah seluruh acara selesai dan Sofi beserta mahasiswa-mahasiswanya pamit pulang, Danan meminta salah seorang anak buahnya untuk mengantarkan Sofi dan mahasiswanya ke luar rumah sakit, sementara dirinya sendiri sengaja pura-pura masih sibuk dengan laptopnya.

Danan baru saja menghela nafas karena merasa lega terlepas dari peperangan batin tentang Sofi ketika tiba-tiba pintu ruang presentasi tersebut terbuka lagi. Dan wajah Sofi hadir di depan pintu.

"Receiver pointerku yang tadi dipinjam anak-anak buat presentasi ketinggalan," kata Sofi sambil tersenyum dan menunjuk laptop yang tadi digunakan untuk presentasi. Disana memang masih terpasang receiver pointer yang dimaksud.

"Oh," respon Danan, kaget dan agak kikuk. Dia tidak menyangka Sofi akan kembali ke ruangan itu. Kini mereka tinggal berduaan. Tanpa mahasiswa Sofi, tanpa anak buah Danan. Bagaimana dia harus bersikap menghadapi Sofi? Apalagi kali itu Sofi menggunakan bahasa non-formal, tidak seperti saat mereka dalam sesi presentasi tadi dimana Sofi memakai bahasa formal. Danan jadi makin kikuk menghadapinya.

"Silakan kalau mau diambil, Bu," kata Danan kaku.

Saat itu juga Danan merasa sudah melakukan kesalahan ketika melihat senyum Sofi memudar. Perempuan itu kemudian menjawab dengan datar dan kembali menggunakan bahasa formal, "Makasih, Pak," sambil masuk dan menuju laptop presentasi.

Respon Sofi tersebut membuat Danan makin gugup.

Tidak butuh waktu lama bagi Sofi untuk mencabut receiver pointernya dan memasukkan ke ranselnya. Danan masih sibuk berdebat dengan dirinya ketika tiba-tiba Sofi sudah berada di hadapannya.

"Tadi saya lupa bilang," kata Sofi. Danan mengangkat kepalanya dan menemukan Sofi mengulurkan tangannya. "Selamat ya, sekarang sudah sesukses ini."

Ada nada getir dalam suara Sofi. Danan tidak mengerti kenapa. Padahal kan harusnya dirinya yang merasa pahit, bukannya Sofi.

Dananpun berdiri dan membalas uluran tangan Sofi. "Selamat juga.... Mbak, sudah lulus S3."

Sofi mengangguk sambil tersenyum sedih.

"Makasih," kata Sofi singkat. Dia lalu melepaskan tangan Danan.

Mereka saling terdiam, berhadapan, selama beberapa lama. Danan merasa Sofi sedang menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi dirinya tidak punya hal apapun yang perlu disampaikan kepada perempuan itu. Semua perasaannya untuk perempuan itu sudah dia kubur.

Ketika lewat beberapa menit dan Danan hanya diam, Sofi akhirnya menyerah. Dia menunduk dan berpamitan. Saat itu Danan merasakan hatinya sakit ketika melihat ekspresi sedih Sofi. Tapi kenapa Sofi harus sedih sih? Bukannya dia sudah melanjutkan hidup dengan orang lain, sehingga tidak perlu merasa sedih berpisah dengan Danan kan?

Sofi baru beberapa langkah berlalu, belum juga keluar dari ruangan itu, ketika perempuan berhenti berjalan lalu berbalik menatap Danan lagi. Matanya msh menyiratkan kesedihan yang tidak bisa Danan pahami.

"Waktu terakhir kita bertemu, di bioskop," kata Sofi. "Apa kamu serius menyuruh saya hidup bahagia.... tanpa kamu?"

Pertanyaan itu membuat bulu kuduk Danan meremang. Cara Sofi menanyakannya membuat Danan merasa sakit ketika mengenang masa lalu.

Susah payah Danan menelan ludahnya sebelum menjawab, "Waktu di resepsi Sarah, saya lihat Mbak Pia sama Bang Attar dan anaknya...."

Danan melihat mata Sofi membulat. Barangkali perempuan itu tidak menyangka Danan mengetahui hal itu.

"Saya ikut bahagia kalau Mbak Pia bahagia... sama Bang Attar," Danan melanjutkan, sambil berusaha mengulas sebuah senyum dan membuat hatinya kebal.

Demi mendengar kata-kata Danan itu,  Sofi tersenyum. Tapi matanya meredup.

"Saya nggak ada apa-apa sama Bang Attar. Tapi kalau kamu memang serius ingin saya hidup bahagia tanpa kamu, sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan. Saya nggak akan menunggu kamu lagi. Saya pergi."

Danan melihat sebutir air mata jatuh dari sudut mata Sofi, yang segera dihapusnya dengan kasar. Kemudian Danan melihat Sofi berbalik dan melangkah pergi.

Hati Danan mencelos. Dia tahu bahwa dia sudah melakukan kesalahan besar.

* * *

Flashback

"Kondangan?"

Pertanyaan dari ibunya menyambut Sofi begitu dia keluar dari kamarnya dengan kutu baru berwarna biru dan kain lilit berwarna senada.

"Iya, Ma," Sofi menjawab sambil duduk di samping ibunya, dan mengeluarkan ponselnya dari clutch bagnya. Sofi mengetikkan alamat tempat resepsi pernikahan Emir dan Sarah berlangsung, lalu mengklik tombol pemesanan taksi online.

"Kondangan mulu. Kapan ngondangin?" tanya ibunya Sofi.

Sofi memutar mata dengan ekspresi malas. Dan ibunya Sofi tertawa mendapati respon tersebut.

Sofi tahu bahwa ibunya bukan tipe emak-emak rempong yang suka memburu-buru anak gadisnya untuk cepat-cepat menikah. Tapi Sofi juga sadar bahwa dirinya tidak muda lagi, sehingga sangat wajar kalau ibunya mulai khawatir.

"Kamu bukannya udah nggak berniat nikah kan, Pia?" tanya ibunya Sofi.

"Masih niat lah Ma. Siapa sih yang nggak mau nikah. Tapi kalau emang belum ketemu yang cocok, ya gimana?" jawab Sofi, dengan jawaban diplomatis.

"Empat tahun di Belanda, nggak ada yang nyantol?"

"Astaga. Jemuran kali, nyantol," jawab Sofi sambil tertawa.

"Kamu terlalu dekat sama Tobias kali. Jadinya orang yang mau mendekati kamu malah mundur, karena dikira kamu udah sama Tobias."

"Bisa jadi," jawab Sofi enteng.

"Nggak ada satupun mahasiswa Indonesia disana yang prospektif dan suami-able?"

"Yang suami-able banyak, Ma. Tapi udah pada punya anak-istri." Lalu Sofi tertawa. "Yang prospektif juga banyak, tapi brondong."

"Ngomong-ngomong soal brondong," kata sang ibu tiba-tiba. "Kamu udah ngabarin Danan belum bahwa kamu udah balik?"

"Belum," Sofi menjawab singkat. Lalu sengaja mengalihkan pandangannya dari tatapan ibunya dengan pura-pura mengecek aplikasi pemesanan taksi onlinenya.

"Meski kamu di Belanda, dia selalu mampir kesini mengunjungi Mama tiap lebaran, lho, Pia. Nggak sopan kalau kamu nggak ngabarin dia setelah pulang."

"Iya, nanti Pia kabari dia."

"Anaknya baik lho, si Danan itu. Kenapa kamu nggak sama dia aja, Pi?"

"Astaga Mama, dia kan mahasiswa Pia." Jawabannya itu sebenarnya Sofi tujukan untuk mengingatkan dirinya sendiri.

"Tapi kan sekarang bukan mahasiswa kamu lagi."

"Tapi bagi Danan, Pia tetap gurunya."

"Apa bagi kamu, Danan tetap seorang murid atau mahasiswa?"

Sofi lagi-lagi mengecek aplikasinya. Kenapa lama bener ya nyampenya? Dia sudah tidak betah dengan percakapan ini.

"Di mata Mama, udah sejak lama kamu nggak memperlakukan dia sebagai mahasiswa kamu lagi, entah kamu sadar atau nggak. Sejak pulang dari Belanda setelah S2, kamu bisa saja langsung melanjutkan S3. Tobias sudah berkali-kali menawari kan? Tapi nyatanya kamu seperti menunggu Danan lulus dulu sebelum kamu pergi ke Belanda lagi. Iya kan?"

Meski mengagumi analisa ibunya, Sofi tidak menjawab pertanyaan ibunya itu.

"Dan tiap kali dulu Danan suka bercanda tentang perasaannya terhadap kamu," sang ibu melanjutkan, "Mama juga sadar betul bahwa itu bukan sekedar bercanda. Dia memang suka sama kamu, tapi karena dulu ada Attar, dan setelahnya karena takut ditolak sama kamu yang denial perasaan kamu terus, jadi dia selalu sok bercanda tiap mengungkapkan perasaannya."

Kami akhirnya saling mengakui perasaan kami, Ma. Tapi orangtua Danan nggak setuju, kata Sofi dalam hati.

"Dia enam tahun lebih muda daripada Pia, Ma," kata Sofi lemah.

"Trus kenapa? Belasan tahun Mama melihat Danan tumbuh dari seorang anak SMP sampai menjadi laki-laki dewasa sekarang. Usianya 27 tahun sekarang, dan dia sama sekali bukan anak-anak lagi. Nggak adil kalau kamu terus menganggapnya sebagai anak-anak."

"Dan Pia udah 33 tahun, Ma____"

"Nah! Itu kamu sadar udah berapa umur kamu. Udah bukan waktunya lagi main-main." Mata Mama berubah menjadi serius kali itu. "Perjelas perasaan dan hubungan kamu sama Danan. Kalau memang sayang, perjuangkan. Kalau sudah menyerah, kamu cari yang lain. Jangan terus-terusan seperti ini. Kamu terus bertahan di masa lalu dan nggak mau menyerah, tapi kamu juga nggak mau berjuang. Kamu nggak kemana-mana, Pia. Kalian nggak kemana-mana, seolah hidup kalian berhenti."

Sofi curiga bahwa ibunya sudah tahu tentang hubungannya yang gagal dengan Danan. Apa itu yang disebut firasat atau naluri seorang ibu?

* * *

Sofi tiba di gedung resepsi Emir dan Sarah tepat waktu, ketika iring-iringan pengantin sampai di pelaminan. Sofi segera berdiri di barisan tamu yang sepertinya sudah bersiap memberi selamat.

Menurut perkiraan Sofi, resepsi pernikahan Emir dan Sarah itu dihadiri oleh sedikitnya 1000 orang. Soalnya dia harus ngantri selama 15 menit baru bisa salaman sama Emir dan Sarah. Setelahnya Sofi baru bisa berburu makanan.

Sambil duduk dan memakan kebab yang disajikan di salah satu gubuk makanan, Sofi ikut bahagia saat memerhatikan kebahagiaan Sarah dan Emir di pelaminan. Meski Sarah tidak sering bercerita padanya, tapi melalui cerita Emir, Sofi tahu bahwa kedua orang itu berjuang keras sampai berhasil menikah. Awalnya ibunya Sarah juga menolak Emir karena Sarah sudah dijodohkan dengan orang lain. Tapi penolakan ibunya Sarah kepada Emir tidak sekuat penolakan beliau terhadap Sofi. Barangkali karena Emir juga berasal dari keluarga Arab yang dikenal baik, dan Emir juga seorang dokter, tidak kalah dari calon pilihan ibunya Sarah. Setelah beberapa lama mencoba meyakinkan ibunya Sarah, akhirnya Emir berhasil mendapatkan restu dari ibunya Sarah sebelum beliau meninggal dunia.

Mendengar cerita Emir itu membuat hati Sofi menghangat, sekaligus iri. Dia ikut senang ketika menerima undangan pernikahan Sarah dan Emir tidak lama setelah dirinya kembali ke Indonesia, dan ikut bahagia melihat kebahagiaan kedua orang itu. Akhirnya cinta yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh menemukan kebahagiaannya.

Sofi baru saja menghabiskan kebabnya dan akan beranjak ke gubuk makanan berikutnya ketika seseorang menghampirinya.

Attar Thariq.

Empat tahun berlalu, dan pria itu masih sama memesonanya dengan pria yang mengembalikan kertas tugasnya yang tertinggal di kereta, belasan tahun lalu. Wajahnya terlihat makin dewasa dengan beberapa helai rambut putih, wajar saja karena sekarang usianya sudah 41 tahun. Tapi hal itu sama sekali tidak mengurangi ketampanannya.

"Aku nggak tahu bahwa Sofia sudah selesai sekolah. Tapi aku senang Sofia bisa datang hari ini. Makasih ya," kata Attar tulus sambil menjabat tangan Sofi.

"Sama-sama, Bang," jawab Sofi sambil membalas senyum Attar. "Sarah kan dulu mahasiswa saya. Saya juga sempat ada proyek sama Dokter Emir. Kebetulan pas banget saya udah selesai di Belanda, jadinya bisa datang hari ini."

Sofi sudah mengantisipasi akan bertemu Attar di resepsi ini. Tapi baginya sangat kekanakan jika dia tidak datang saat Sarah dan Emir mengundangnya hanya karena takut bertemu Attar kan.

Dia tidak takut bertemu Attar sebenarnya. Hanya mungkin sungkan, dan sedikit bingung apa yang harus dilakukannya jika benar bertemu. Seperti saat ini. Akhirnya Sofi berusaha mencairkan suasana dengan mengajak bicara anak kecil yang sejak tadi digandeng oleh Attar.

"Ini pasti Ahsan ya?" tanya Sofi sambil berjongkok, menyamakan posisinya dengan anak laki-laki yang tampan itu. Iya lah, bapak ibunya ganteng dan cantik, pantes aja anaknya ganteng begini meski masih kecil.

Anak lelaki iti mengangguk. Masih malu atau masih takut dengan orang baru, barangkali.

"Ayo salim dulu sama Tante Sofia," kata Attar pada anaknya.

Malu-malu, anak itu menyambut uluran tangan Sofi dan mencium tangannya. Lalu tersenyum.

"Duh, anak sholeh!" kata Sofi, membelai pipi Ahsan dengan gemas, "Ahsan sudah sekolah?"

Anak lelaki itu mengangguk.

"Baru masuk TK," Attar yang menjawab.

Sofi mengangguk dan tersenyum. Lalu bangkit berdiri lagi.

"Ibunya Ahsan sedang ambil makanan?" tanya Sofi. Dia sengaja menanyakan hal itu sebagai alasan untuk buru-buru melipir. Tapi jawaban yang didengarnya justru mengagetkannya.

"Ibunya Ahsan ga datang hari ini,"Attar menjawab. Mata Sofi memicing karena merasa aneh. Bagaimana mungkin nggak hadir ke pernikahan adik iparnya? "Kami sudah berpisah," lanjut Attar seolah paham pada pertanyaan di mata Sofi.

"Eh? Kok?"

"Sejak awal kami memang menikah demi orangtua," kata Attar, "Setelah Ummi meninggal, Sania minta berpisah."

"Maaf, saya nggak tahu, Bang," kata Sofi salah tingkah.

"It's okay. Sudah setahun berlalu," Attar menjawab dengan santai.

Baru saja Sofi akan pamit untuk mencari makanan lain, tiba-tiba Attar menahan tangannya.

"Boleh titip Ahsan sebentar?" kata Attar sambil menunjukkan ponselnya yang bergetar. "Aku terima telepon sebentar."

Sofipun mengangguk dan menggamit tangan Ahsan. Beruntung, meski pemalu, Ahsan tidak takut pada Sofi. Sofi bahkan merasa Ahsan bersikap manis sekali padanya.

"Ahsan mau puding?" tanya Sofi. Dia tidak mau menawari es krim, takut Ahsan pilek nanti (meski tidak ada korelasi antara makan es krim dan pilek).

"Mau, Tante. Yang coklat," jawab Ahsan.

Sofi tertawa dan membelai kepala Ahsan, lalu mengajaknya mengambil puding. Beruntung meja puding tidak terlalu ramai sehingga Sofi tidak perlu mengantri.

Sofi sedang menyuapi Ahsan puding ketika Attar kembali membawa dua mangkok mie kangkung, dan menyerahkan salah satunya kepada Sofi. Setelahnya, hari itu Sofi menghabiskan waktu di resepsi tersebut bersama Attar.

Ketika Sofi hendak pulang, Attar bahkan menawarinya untuk mengantar pulang. Tapi tentu saja Sofi menolaknya.

"Ini resepsi nikah adiknya Abang. Masa Abang malah pergi. Gimana sih!" kata Sofi.

Attar tertawa.

"Kalau gitu, kapan-kapan aku main ke kampus Sofia, boleh?"

Hampir saja Sofi kelepasan bertanya "Buat apa?", tapi dia mengurungkannya karena merasa tidak sopan. Akhirnya Sofi hanya mengangguk sambil tersenyum.

Sofi mengulurkan tangannya pada Ahsan.

"Tante pulang dulu ya, Ahsan sholeh," kata Sofi manis.

"Kapan-kapan kita main lagi kan Tante?" tanya Ahsan polos.

Sofi melirik Attar sekilas dan menemukan pria itu tersenyum lebar.

Demi tidak mengecewakan Ahsan, Sofi menjawab, "Iya, kapan-kapan main lagi ya." Meski Sofi tidak yakin kapankah kapan-kapan itu.

"Aku senang kita bisa ketemu lagi," kata Attar sambil mengusap bahu Sofi, membuat kulit Sofi meremang. "Sampai ketemu lagi ya."

Sofi tersenyum singkat sebelum pergi dari gedung resepsi itu.

* * *

Sofi tidak menduga Danan melihat pertemuan singkatnya dengan Attar. Dengan masa lalu mereka, Sofi maklum saja kalau Danan salah paham. Meski demikian, Sofi tidak bisa menahan rasa sakit hatinya ketika mendengar kata-kata terakhir Danan.

Sejak bertemu Danan pagi tadi ketika presentasi mahasiswa dimulai, Sofi sudah berusaha bersikap ramah agar punya kesempatan ngobrol dengan Danan. Tapi ternyata Danan tetap bersikap dingin padanya. Itu saja sudah membuat hatinya sakit.

Hanya karena nasehat ibunya saat itu yang menyuruh Sofi memperjelas hubungannya dengan Dananlah yang membuat Sofi nekat menanyakan maksud kata-kata Danan sebenarnya empat tahun lalu, meski dia jadi harus kelihatan tidak tahu malu. Benar kata ibunya, Sofi harus segera memutuskan, apakah ingin terus menunggu atau harus mulai melepaskan dan melupakan.

"Saya ikut bahagia kalau Mbak Pia bahagia.... sama Bang Attar."

Tadinya Sofi masih berharap barangkali setelah empat tahun berlalu, orangtua Danan sudah luluh hatinya dan dia bisa kembali memperjuangkan Danan. Tapi kalau lelaki yang ingin diperjuangkannya malah bahagia melihat dirinya bersama lelaki lain, apa lagi yang perlu diperjuangkan? Bukankah itu pertanda jelas bahwa perasaan Danan sudah berubah?

Padahal Sofi sudah sekuat tenaga menahan air matanya. Tapi sial, kelenjar air matanya tidak bisa diajak kerjasama. Tiba-tiba saja mereka mensekresikan air mata ketika mendengar kata-kata Danan itu. Sial sekali dirinya. Pasti sekarang dirinya sudah kelihatan mengenaskan dan dicampakkan.

Dengan upaya terakhir untuk menahan suaranya agar tidak terdengar gemetaran, Sofi pamit sambil memaksakan seulas senyum.

Setelah bertahun-tahun masih berharap, sekarang dia tahu apa yang harus dilakukannya.

Melepaskan.

Karena Danan bahagia melihatnya bersama orang lain, harusnya Sofi juga bisa bahagia melihat Danan bahagia tanpa dirinya kan?

Harusnya.

* * *

Duh! Geregetan! Kok udah di-cut?!

Kalo udah geregetan, bisa langsung baca di bit.ly/FormulasiRasa atau karyakarsa.com/niaputri08 biar rasa penasaran segera tuntassss. Uhuuyyy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top