56. Jodoh Pasti Bertemu
Ada yang nungguin Sofi-Danan ga sih?
Iya, ceritanya belum end. Tp akan segera end kok :)
* * *
Empat tahun kemudian...
Kantin rumah sakit tidak lagi terlalu ramai saat jam makan siang sudah lewat sehingga Danan bisa makan dengan santai dan tidak terburu-buru karena harus berbagi meja. Sebenarnya biasanya dia bisa minta tolong pada office boy untuk membelikan makan siang dan memakannya di ruang kerjanya. Tapi hari itu dia memang sedang ingin menikmati makan siang yang santai sambil mengamati suasana di rumah sakit.
Danan sedang menyuap sesendok soto ayam sambil membaca email dari tab di tangannya dengan wajah serius ketika seorang laki-laki tiba-tiba datang meletakkan nampan berisi nasi dan rawon di hadapannya.
"Nasinya keras ya? Serius amat makannya, kayak gigit beton."
"Halo Dokter Emir!" sapa Danan dengan ekspresi malas.
"Jijik!" kata Emir sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi di hadapan Danan. "Berapa abad yang lalu sejak lo berhenti panggil gue Dokter Emir pas kita cuma berduaan? Jadi serem kan kalo lo tiba-tiba manggil gitu lagi. Gue berasa bakal ditugasin macem-macem."
Danan tertawa."Halo Mas Emir ganteng."
"Makin menjijikkan," cibir Emir. Tapi toh dia tertawa.
Sejak Emir bergabung dan praktik di rumah sakit yang dirintis ayahnya Danan, hubungan Danan dan Emir menjadi makin dekat. Bahkan Emir meminta Danan untuk memanggilnya tanpa gelar jika bukan sedang dalam kegiatan profesional.
"Kenapa tampang lo serius banget gitu?" Emir mengulangi pertanyaannya.
"Hahaha, nggak apa-apa. Cuma lagi ngecek email aja. Ada satu rumah sakit lagi yang menawarkan kerja sama untuk menyuplai produk eksipien pendispersi kita."
"Wah, berita bagus dong. Harusnya lo seneng. Tapi kenapa muka lo manyun gitu?"
"Kapasitas ruang produksi kita kurang, Mas. Load permintaan udah banyak banget sekarang. Itu ruang produksi kan awalnya cuma untuk preparasi sediaan racikan di rumah sakit ini doang."
"Bukannya lo udah mengajukan permohonan buat kerjasama sama industri farmasi, supaya produk itu bisa diproduksi dengan skala besar dan dijual ke lebih banyak rumah sakit?"
"Mereka menawarkan kerjasama sebagai sharing partner, bukan cuma toll-in manufacturers. Tapi mereka masih mempelajari regulasi registrasi produk itu si BPOM. Ribet lah," jawab Danan sambil melepas kacamatanya dan memijit dahi diantara kedua alisnya. Sudah sejak dua tahun sebelumnya dia memang sudah perlu memakai kacamata.
Kalau ada yang nanya kenapa harga obat bisa mahal banget padahal bentuknya tablet konvensional doang misalnya, Danan akan dengan bersemangat menjawab alasannya adalah karena proses riset dan pengembangannya (R&D) nya yang panjang, lama, perlu didukung hasil uji keamanan dan uji efektivitas yang valid dan diwarnai kegagalan-kegagalan hingga akhirnya diperoleh satu zat aktif yang bisa diklaim mampu memberikan efek pengobatan.
Danan mengalaminya sendiri sekarang, bagaimana sulitnya mengembangkan produk farmasi hingga siap diproduksi massal. Meski produk yang dikembangkannya bersama Pak Satrio (dosen pembimbing skripsinya dulu) hanya produk eksipien pendispersi (hanya berisi zat tambahan tanpa zat aktif obat), tapi butuh waktu beberapa tahun sampai produk tersebut selesai dikarakterisasi, diuji ketercampuran dan stabilitasnya dengan banyak produk obat dan divalidasi. Setelah itu barulah produk tersebut bisa digunakan internal di instalasi rumah sakit tempatnya bekerja.
Setelah formula produk eksipien tersebut sukses dikembangkan, Pak Satrio dan Danan mendaftarkan paten atas produk tersebut dan bersama mempublikasikan beberapa hasil penelitian yang membuktikan kemampuan dan stabilitas produk pendispersi tersebut. Danan juga aktif mempresentasikan hasil penelitiannya tentang produk eksipien pendispersi ini kepada praktisi farmasis dan rumah sakit di seminar-seminar kefarmasian. Dan hal ini menuai ketertarikan banyak rumah sakit yang mengalami masalah serupa dalam penyiapan obat-obat untuk pasien anak dan lansia (terutama pasien kanker). Awalnya rumah sakit-rumah sakit tersebut meminta informasi formula produk tersebut. Tapi karena formula produk tersebut sudah didaftarkan paten, maka dia tidak bisa memberikan formulanya. Dananpun menawarkan agar rumah sakit lain tersebut membeli produk eksipien pendispersi tersebut dari rumah sakit mereka. Satu per satu rumah sakit mengajukan permohonan kerja sama supaya Danan dan rumah sakit tempatnya bekerja bisa mensuplai produk eksipien pendispersi tersebut.
Ketika akhirnya banyak rumah sakit yang tertarik pada produk tersebut, Danan mencoba bekerja sama dengan sebuah industri farmasi untuk memproduksi produk tersebut dalam jumlah besar untuk dijual ke rumah sakit - rumah sakit lain. Industri farmasi tersebut tertarik dan melihat peluang pasar yang besar, namun mereka masih harus menelusuri bagaimana pendaftaran produk eksipien tersebut di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), karena biasanya hanya produk berisi zat aktif obat, produk biologi, kosmetik, dan obat tradisional yang didaftarkan ke BPOM. Produk yang Danan kembangkan bukan salah satunya, sehingga butuh waktu untuk mempelajarinya prosedurnya.
Bayangkan, sejauh itu proses yang harus ditempuh suatu produk. Itu hanya produk bahan pendispersi ya. Jadi bisa dibayangkan panjang dan lamanya proses pengembangan produk obat hingga siap diproduksi massal dan terdaftar di badan registrasi seperti BPOM. Di badan registrasi tiap negera pun, sebelum suatu produk disetujui ijin produksi dan edarnya, dilakukan penilaian menyeluruh terhadap bukti-bukti dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa suatu produk aman, berkhasiat dan berkualitas. Jadi kalau ada "obat" yang diklaim bisa efektif mengobati banyak penyakit, tapi pas ditanya "mana buktinya?" trus yang dikasih hanya berupa testimoni, itu bukan obat. Obat yang terdaftar di BPOM pasti dilengkapi dengan data-data ilmiah yang mendukung klaim khasiat dan keamanan. Bahkan obat herbalpun perlu mencantumkan hasil uji preklinik dan klinik kalau mau terdaftar di BPOM. Jadi, kalau ada yang nawarin "obat dewa" yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit tapi belum terdaftar di BPOM, tolong produsennya disuruh mendaftarkan dulu sehingga jelas khasiat dan kemanannya (kalau memang punya bukti ilmiahnya pasti bisa terregistrasi kan?). Apalagi kalau ada yang nawarin alat kesehatan pseudosains yang kalau ditempel atau dialirkan air dan airnya diminum terus bisa menghilangkan pusing, mual, diabetes, hipertensi, tumor sampai kanker, tapi nggak ada bukti ilmiahnya.... Bye! Ga usah percaya.
"Pantes tampang lo serem banget," kata Emir, "Tadi gue kira lo baru putus."
"Ha-ha-ha. Lucu lo!" jawab Danan sarkastik. Dia memakai kembali kacamatanya.
Danan tahu bahwa Emir pasti tahu tentang status single nya saat ini. Jadi kalimat Emir tadi jelas-jelas hanya bermaksud untuk menyindir atau mengorek informasi. Dan Danan tidak akan terpancing. Dirinya bukanlah Sarah yang dipancing dikit trus langsung cerita banyak hal.
"Empat tahun, Nan," kata Emir setelah meneguk es teh manisnya. "Lo berhenti berjuang, tapi juga nggak mau move on."
Danan bergeming. Dia melanjutkan memakan soto ayamnya dalam diam.
"Lo totalitas kerja kayak gini juga demi melupakan dia?" tanya Emir lagi.
"Lo jadi lebay dan sok tahu deh Mas. Kayak calon bini lo," sindir Danan. "Ngomong-ngomong, ngapain lo masih praktik? Hari gini harusnya lo udah dipingit."
"Dih! Emang gue perawan, mesti dipingit."
Emir tahu bahwa Danan tidak suka membicarakan topik yang diangkatnya. Itu mengapa Emir menyerah dan mengikuti Danan ketika lelaki itu mengalihkan arah pembicaraan.
"Oh, jadi lo udah nggak perjaka? Nanti gue bilangin calon bini lo, biar dia nggak kaget," Danan membalas.
"Sial!" maki Emir bersungut-sungut. Meski hanya berpura-pura kesal.
Danan tertawa. Dan hal itu membuat Emir sedikit lega, meski dia juga sadar bahwa tawa Danan hanya datang dari bibir.
"Gue harus balik ke ruangan," kata Danan tiba-tiba.
Nasi dan soto ayamnya memang sudah habis, tapi es jeruknya belum. Maka dia langsung menenggak es jeruknya dalam beberapa detik, lalu berdiri dan mengangkat nampannya. "Sori ya Mas, gue duluan."
"Sampai jumpa hari Sabtu," Emir menjawab. "You will come. Will you?"
"Sure!" kata Danan sambil tersenyum. "Sukses ya!"
Emir menanggapinya dengan tawa sebelum kemudian Danan berlalu.
Tidak sampai satu menit kemudian, kursi Danan digantikan oleh seseorang.
"Halo, Prof! Kok tumben makan di kantin?" sapa Emir ramah.
"Halo, Dokter Emir. Lagi pengen ganti suasana aja. Sambil memantau," jawab seorang pria yang masih kelihatan gagah di usianya yang sudah 60 tahunan.
"Barusan Mas Danan juga makan disini. Tumben banget. Tadi Kepala Instalasi Farmasi yang memantau, sekarang Direktur Rumah Sakit sendiri yang turun ke lapangan. Wow!"
Meski biasa ber"lo-gue" dengan Danan, tapi tentu di hadapan Direktur Rumah Sakit, Emir bersikap lebih sopan dengan memanggil Danan dengan "Mas".
"Memang dia memantau apa?" tanya pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.
"Hahaha, nggak, Prof. Saya bercanda doang. Mas Danan cuma makan siang aja disini. Tapi nggak lama sih, trus buru-buru balik____"
Sekilas Emir menangkap perubahan ekspresi sang Direktur.
"__ sibuk banget Mas Danan mah," Emir melanjutkan, "Barusan ada 1 rumah sakit lagi yang mau pesan eksipien pendispersinya. Dia jadi makin giat follow up kerjasamanya dengan industri farmasi. Menurut saya, kalau kerjasama dengan industri farmasi itu berhasil, bukan cuma rumah sakit kita yang bakal terkenal, tapi juga sharing profitnya akan menambah pemasukan rumah sakit. Luar biasa Mas Danan itu. Dia pekerja keras. Baru empat tahun di rumah sakit ini, tapi tiap laporan tahunan, omzet instalasi farmasi selalu naik. Apalagi kalau nanti berhasil kerjasama dengan industri farmasi."
Emir tahu sang Direktur menyimak ceritanya dan menyetujui pendapatnya.
"Prof pasti bangga banget punya anak seperti Mas Danan."
Sang Direktur termangu sesaat sebelum akhirnya tersenyum....
Tapi itu bukan senyum bahagia. Emir justru melihat kesedihan yang dalam pada senyum itu.
* * *
Sabtu itu jalanan Jakarta tidak terlalu macet. Barangkali karena masih siang. Muda-mudi yang akan bermalam minggu masih sibuk berdandan dan belum memenuhi jalanan Jakarta.
Danan duduk di belakang kemudi mobil. Ayahnya duduk di kursi di sebelahnya, sementara sang ibu duduk di kursi belakang. Ketika Danan mengecek melalui kaca spion, ibunya sedang merapikan dandanannya. Siang itu sang ibu memakai kebaya berwarna hijau lembut, senada dengan kemeja batik yang dipakai sang ayah. Danan sendiri memakai batik biru, berbeda dengan kedua orangtuanya. Hari itu mereka akan menghadiri resepsi pernikahan Emir. Dan karena Pak Agus sedang minta libur, maka Danan lah yang menyetir mobil.
"Bapak dengar ada rumah sakit yang mau memesan produk pendispersi kita?" tanya sang ayah, membuka pembicaraan, 10 menit setelah mereka berkendara dalam diam.
"Iya, Pak," jawab Danan.
"Apa kamu jadi toll-out ke industri farmasi untuk produksi massal?"
"Belum Pak. Mereka sedang mempelajari dulu registrasi produk seperti itu di BPOM. Setelah itu mereka baru memutuskan."
Danan melirik dan melihat ayahnya mengangguk-angguk.
"Kalau kita bisa toll out dan produksi dalam jumlah besar di industri farmasi tersebut," Danan melanjutkan, "Bukan hanya kita bisa menekan biaya produksi, tapi juga bisa mendapat laba karena permintaan produk itu dari rumah sakit - rumah sakit lain makin meningkat. Itu bisa meningkatkan laba juga untuk rumah sakit Bapak."
"Rumah sakit kita," sang ayah mengoreksi, "Nantinya kamu akan mewarisi rumah sakit itu."
Danan tidak menjawab. Dia hanya diam dan fokus pada jalanan di hadapannya.
"Jadi biasakan menyebutnya sebagai rumah sakit kita," kata sang ayah lagi.
Danan masih tidak menjawab.
"Kenapa kamu diam aja?" tanya Bapak. Kali itu nada suaranya agak meninggi. Barangkali karena Danan diam saja sehingga beliau merasa diabaikan.
"Cuma dokter yang bisa jadi direktur rumah sakit, Pak."
"Bagaimanapun saham Bapak atas rumah sakit itu akan diwariskan kepada kamu. Meski kamu bukan direkturnya, kamu tetap akan jadi pemilik rumah sakit itu. Lagipula semua orang mengakui kemampuan manajerial kamu. Nggak akan ada yang menolak kamu sebagai pewaris rumah sakit itu."
Danan menelan ludah, pahit, sebelum menjawab dengan hati-hati. "Anak angkat tidak punya hak waris, Pak."
"Kamu..."
Ibu yang duduk di belakang menyadari suasana yang mulai memanas, segera mengusap bahu suaminya.
Bapak menghela nafas, berusaha meredakan emosinya, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu masih marah sama Bapak?"
"Nggak, Pak. Danan nggak marah sama sekali," jawab Danan kalem, "Kan memang anak angkat nggak punya hak waris."
"Bapak pikir setelah bertahun-tahun akhirnya tumbuh sense of belonging kamu terhadap rumah sakit kita. Ternyata nggak," kata Bapak dengan nada pahit, "Jadi buat apa kamu selama ini kerja keras buat memajukan rumah sakit, kalau kamu pikir kamu nggak bisa mewarisinya?"
Untuk membalas budi, jawab Danan dalam hati, sampai semua hutang saya lunas dan saya berhak memilih masa depan saya sendiri.... meski hutang budi saya nggak akan pernah bisa terbayar.
Suasana mobil kembali hening setelah itu. Hanya suara musik yang mengalun pelan, menemani ketiga orang di dalam mobil itu yang masing-masing sedang menyesali masa lalu.
* * *
Bapak dan Ibu yang pertama kali memberi selamat kepada Emir dan istrinya yang baru saja sah menikah tiga jam sebelumnya. Setelahnya barulah Danan maju dan memberi selamat.
"Selamat ya Mas. Semoga selalu dirahmati Allah sampai kakek nenek," kata Danan sambil menjavat tangan Emir dan menepuk bahunya ketika mereka berpelukan.
"Makasih banyak ya selama ini, Nan," Emir balas menepuk bahu Danan. "Makasih sudah mencomblangi kami, dan selalu menjadi tong sampah istri gue tiap dia berencana mau mutusin gue."
Istri Emir yang berdiri di sebelahnya langsung menyodok pinggang suaminya, membuat Emir meringis. Danan tertawa melihatnya.
"Kalau jodoh, pasti bertemu, Mas," kata Danan sok bijak. "Entah gue yang mencomblangi atau bukan, kalau kalian jodoh dan ditakdirkan bertemu, pasti bakal bertemu."
"True! Jodoh pasti bertemu. Tapi belum tentu bisa bersatu, kalau nggak diperjuangkan," kali ini istrinya Emir yang bicara. "Jadi, makasih selalu menemani gue memperjuangkan Bang Emir, Nan."
"Eh si jelek, tumben ngomongnya kayak orang bener!" kali ini Danan maju dan memeluk istri Emir. "Selamat ya, Sarah jelek! Jangan suka galau-galau lagi."
Sarah meninju bahu Danan sambil manyun. Pertama karena dibilang jelek, kedua karena dibilang suka galau. Tentu saja Danan tidak serius dengan ucapannya. Sarah terlihat cantik sekali hari ini dengan gaun berwarna peach. Dan Sarah juga sangat tegar selama memperjuangkan Emir, sampai akhirnya mereka bisa menikah hari ini. Danan telah menjadi saksi kisah cinta berliku kedua orang itu.
"Semoga gue punya kesempatan membalas kebaikan lo," kata Sarah, "... membantu lo memperjuangkan kisah cinta lo sendiri."
"Lebay!" Danan mencibir sambil tertawa.
Setelah sekali lagi mengucapkan selamat dan mendoakan kebahagiaan bagi Emir dan Sarah, Dananpun turun dari pelaminan.
Ayah dan Ibu Danan tampak sudah mulai makan. Dananpun memutuskan untuk berburu makanan sendiri.
Saat itulah matanya menemukan sosok seseorang. Bahkan setelah empat tahun, Danan dengan mudah mengenali sosok orang itu meski posisinya memunggungi Danan.
"Pia... " bisik Danan refleks.
Yang dilihatnya saat itu adalah apa yang pernah diimpikannya. Melihat Sofi bermain bersama anak-anak.... anak mereka. Tapi kenyataan tidak sesuai dengan impiannya. Sofi memang terlihat sedang bermain dengan seorang anak kecil, tapi itu bukan anak Sofi dengan dirinya. Dan pemandangan itu membuat hati Danan sakit.
Kali itu Danan sadar, bahkan setelah empat tahun, perasaannya pada Sofi ternyata belum berubah...
Jodoh pasti bertemu. Tapi belum tentu bisa bersatu, kalau nggak diperjuangkan.
... meski Sofi telah berubah.
* * *
Updatenya lama bener yak ini.
Kalau Kakak2 ga sabar nunggu update-nya, Kakak2 bisa mampir ke karyakarsa.com dan cari akun niaputri08. Disana cerita ini sudah di-post sampai selesai.
Atau Kakak2 bisa ketik bit.ly/FormulasiRasa dan baca ceritanya secara utuh.
Semoga Kakak2 puas dan ga penasaran lagi 😊
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top