55. Antioksidan (4) : End Game
Flashback
Satu setengah tahun yang lalu...
"Jadi foto-foto ini benar? Kamu pacaran sama Sofi?" tanya Ibu dengan nada tinggi.
"Danan sayang sama Sofi, Bu."
"Dan dia nerima perasaan kamu? Astaga! Kamu itu masih mahasiswanya! Pasti dia menggoda kamu ya?"
"Bukan, Bu. Bukan Sofi yang menggoda Danan. Danan yang terus mendekati dia. Danan udah suka sama dia sejak SMP, Bu. Dan setelah kuliah, Danan sadar bahwa ini bukan sekedar rasa suka atau kagum sama guru. Danan sayang sama Sofi."
"Tetep aja ini nggak bener! Kalau Sofi masih waras, harusnya dia nolak kamu kan?! Selama ini Ibu pikir kamu cuma ngefans aja sama Sofi, atau sekedar cinta monyet, makanya Ibu juga suka meledek kamu dan dia."
"Cinta monyet nggak bertahan bertahun-tahun, Bu. Danan serius sayang sama Sofi. Maaf, Pak, Bu. Kami akan mengatasi skandal foto itu. Danan nggak akan merepotkan Bapak dan Ibu, Danan janji."
"Jadi kamu sudah suka sama dia sejak SMP?" tanya Bapak, akhirnya bicara dengan suara berat dan dalam. Dengan nada mengancam. "Apa itu alasan kamu kuliah di Farmasi? Untuk mendekati dia?"
Berbeda dengan sang Ibu yang kalau marah penuh dengan omelan panjang dan lebar, ayahnya jarang ngomel. Tapi sekalinya marah, pasti berbahaya. Dan Danan mengendus bahaya itu pada nada suara ayahnya sekarang.
"Maaf, Pak___" hanya itu yang mampu dijawab Danan.
"Jangan-jangan kamu sengaja nggak lulus tes masuk FK, supaya bisa masuk Farmasi?"
Kali itu Danan tidak menjawab. Tapi sikap diamnya itu justru menjawab semuanya.
"Kamu mengorbankan cita-cita kamu menjadi dokter demi perempuan itu?" tanya Bapak, dengan suara makin berbahaya.
"Itu bukan cita-cita Danan, Pak."
"Apa maksud kamu? Sejak kecil kamu ingin jadi dokter, tapi gara-gara Sofi kamu jadi mengorbankan cita-cita itu demi mengejar dia. Iya kan?"
"Itu cita-cita Bapak dan Ibu. Tapi bukan cita-cita Danan___"
"Diam kamu!" sergah Bapak dengan keras. "Kamu nggak tahu apa yang kamu bicarakan karena terlalu tergila-gila sama perempuan itu!"
"Danan bukan anak kecil lagi, Pak. Danan tahu apa yang Danan bicarakan. Danan tahu apa yang mau Danan lakukan. Danan memang nggak pernah bercita-cita ingin jadi dokter. Dan itu bukan sekedar karena Sofi."
Bapak memandang Danan dengan wajah keras dan tangan mengepal.
"Tolong, Pak, Danan sudah dewasa. Danan rasa Danan berhak menentukan hidup Danan sendiri. Danan nggak mau menjalani masa depan yang dipilihkan orang lain hanya supaya Danan bisa menjadi pewaris rumah sakit yang Bapak rintis. Danan nggak mau jadi dok___"
"Anak nggak tahu diri!" bentak Bapak tiba-tiba, sambil menampar Danan.
Danan jatuh tersungkur dengan pipi bengkak. Bapak tidak main-main saat melayangkan tamparannya. Seumur hidup, ini pertama kalinya Bapak memukul Danan. Dan hal itu berhasil menyakiti hati Danan dengan luka yang dalam. Tapi itu belum seberapa dibanding luka yang diperolehnya akibat kata-kata Bapak selanjutnya.
"Kamu pikir kamu siapa, berhak memilih masa depanmu sendiri, hah? Kalau bukan karena kami, jangankan jadi dokter atau apoteker, kamu tuh cuma bakal jadi anak yatim piatu di panti asuhan yang cuma bisa sekolah sampai SMA karena belas kasih donatur!"
"Pak! Stop!" bentak Ibu, sambil mencekal lengan Bapak.
Danan bergeming di tempatnya berdiri, dan merasa bumi sedang menelan tubuhnya perlahan-lahan tanpa dia mampu mempertahankan dirinya.
"Biar Bu. Biar anak ini tahu siapa dia sebenarnya. Biar dia tahu diri!" kata Bapak keras, mengabaikan peringatan Ibu. Bapak melanjutkan amarahnya kepada Danan. "Kamu beruntung karena kami mengadopsi kamu. Kami bahkan menyayangi kamu seperti anak kami sendiri, memberi kamu semua fasilitas untuk pendidikan terbaik karena kami melihat potensi kamu untuk jadi dokter dan melanjutkan mengelola rumah sakit yang saya rintis. Lalu setelah semua hal yang kami berikan dan lakukan buat kamu, sekarang kamu bilang kamu berhak memilih masa depanmu sendiri? Hah?! Tanpa kami, kamu bahkan nggak punya masa depan! Jangan sombong kamu, Danan!"
"Pak___" Danan mendengar suara Ibu mencicit. Ibu mulai menangis.
Danan sendiri sudah kehilangan suaranya. Fakta yang barusan dibeberkan oleh Bapak sangat memukulnya. Dan melihat respon Ibu yang tidak membantah perkataan Bapak, menandakan bahwa semua yang dikatakan Bapak adalah benar.
Dirinya hanya anak yang diadopsi. Anak pungut. Yang beruntung diadopsi, disayangi dan diberi fasilitas mewah. Tanpa Bapak melanjutkan kata-katanya pun, Danan sadar diri bahwa dirinya banyak berhutang budi pada keluarga Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu hanya menginginkannya menjadi dokter sebagai bentuk balas budi, dan Danan sudah menghancurkan satu-satunya harapan mereka.
"Saya menyesal membiarkan perempuan itu mempengaruhi kamu sampai sejauh ini. Harusnya saya sudah curiga saat kamu gagal tes masuk FK padahal kamu sangat cerdas. Semua ini karena perempuan itu. Dekan Fakultas Farmasi harus tahu kelakuan staf nya yang menggoda mahasiswanya sendiri seperti ini. Orang seperti itu nggak pantas menjadi dosen. Dia harusnya dipecat!"
Masih dengan nafas terengah saking marahnya, Bapak membalikkan badan, lalu melangkah menuju kamarnya.
"Pak, Bapak nggak serius kan soal Sofi? Danan bilang____" Ibu mengikuti Bapak dengan tergesa.
"Dia sudah merusak masa depan anak kita, Bu!"
Tergesa Danan maju dan menghadang Bapak dan Ibu sebelum kedua orangtuanya itu masuk ke kamar.
"Bapak nggak boleh menyalahkan Sofi," kata Danan keras.
"Mau apa kamu? Setelah jadi anak nggak tahu diri, sekarang kamu mau jadi anak kurang ajar, hah?!" bentak Bapak.
Lalu sekonyong-konyong Danan menjatuhkan dirinya, berlutut di hadapan kedua orangtuanya. Tidak ada lagi ekspresi menuntut di wajahnya. Hanya ada wajah penuh kekalahan, meminta belas kasihan.
"Bapak benar, Danan berhutang budi yang besar kepada Bapak dan Ibu. Terima kasih...sudah membesarkan Danan," kata Danan dengan suara bergetar. "Danan nggak mungkin bisa membalasnya seumur hidup. Tapi Danan akan mencoba membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Meski Danan bukan dokter, Danan akan mengelola rumah sakit dan membuatnya maju."
Wajah Bapak tampak melunak karena melihat tidak ada lagi perlawanan dari Danan.
"Seumur hidup Danan akan mengelola rumah sakit, seperti yang Bapak mau. Danan juga nggak akan berhubungan dengan Sofi lagi, seperti yang Bapak mau. Tapi tolong, Danan mohon, jangan buat Sofi dipecat."
Danan berlutut dan menunduk, merendahkan diri. Toh dia memang tidak punya harga diri. Dia, si anak panti yang beruntung diadopsi dan bisa mendapat pendidikan tinggi, sudah seharusnya tahu diri dan membalas budi. Tidak ada lagi masa depan yang bisa dia perjuangkan: baik Sofi maupun cita-citanya untuk melanjutkan kuliah dan menjadi peneliti. Karena seperti kata Bapak, tanpa Bapak dan Ibu dia memang tidak punya masa depan. Jika bukan karena diadopsi Bapak dan Ibu, dia tidak mungkin bisa les dan bertemu Sofi. Jika bukan karena Bapak dan Ibu, dia bahkan tidak mungkin bisa kuliah.
Dia tidak berhak atas masa depannya sendiri karena sejak awal masa depannya adalah milik orangtua angkatnya.
Flashback off.
* * *
"Danan?!"
Danan mendapati gadis yang duduk di samping kirinya, di dalam bioskop yang redup itu, memandangnya dengan tatapan kaget.
"Sssttt."
Danan menempelkan telunjuknya di bibir Sofi. Membuat mata Sofi makin membulat.
"Ini seri film kesukaan kamu. Aku pengen nonton bareng kamu. Kita belum pernah nonton bareng selama kita pacaran kan?" kata Danan berbisik.
Danan lalu mengambil tangan kanan Sofi dan menggenggamnya. Lalu kembali menghadap layar bioskop.
Saat itu Sofi memiliki firasat bahwa ini akan jadi hari perpisahan bagi dirinya dan Danan.
Sofi membalas genggaman tangan Danan dan mengusapnya lembut. Lalu mulai menitikkan air mata. Sekuat tenaga dia berusaha agar tidak bersuara. Dan Sofi berhasil menangis dalam diam.
Tidak ada satupun adegan yang diingat Sofi dari film End Game tersebut. Dirinya malah sibuk menonton ulang kenangan tentang Danan di dalam ingatannya.
Dulu lelaki itu hanya remaja dengan tubuh kecil seperti dirinya. Sekarang lelaki itu sudah tumbuh menjadi lelaki tinggi dengan tubuh dan lengan yang kokoh, hasil dari latihan taekwondo yang rutin. Dulu lelaki itu hanya seorang anak SMP. Tapi kini dia sudah menjadi seorang apoteker yang baru saja lulus dengan nilai cum laude. Dulu Sofi menyayanginya sebagai murid, dan sekarang dia harus mengakui bahwa dirinya mencintai pemuda itu.
Banyak hal yang berubah pada Danan. Juga pada diri Sofi sendiri. Dan kini Sofi sedang mengenang dan mensyukuri semua memori itu.
Mereka masih terus duduk berdampingan dalam diam dengan tangan yang saling menggenggam, sampai adegan dimana Tony Stark meninggal dan dimakamkan.
"Pia..."
Saat itu Sofi mendengar Danan memanggilnya berbisik. Sofi menoleh kepada pemuda itu, dan saat itulah Danan mencium bibirnya.
Air mata Sofi kembali tumpah karena dia tahu bahwa ini adalah akhirnya.
Sofi membuka bibirnya dan membalas ciuman Danan. Dan mereka berciuman selama beberapa lama, menuntaskan semua kerinduan dan penyesalan.
"Aku cinta kamu, Pia... " kata Danan berbisik, ketika dia mengakhiri ciumannya."Tapi aku nggak bisa menjanjikan apa-apa. Kamu berhak bahagia."
Sofi menggeleng kuat dengan air mata memenuhi wajahnya. Dia tidak sanggup berkata apa-apa.
"Kamu harus bahagia, Pia... Aku minta maaf."
Setelahnya, Danan melepaskan genggamannya pada tangan Sofi. Dengan cepat dia memakai topinya untuk menutupi wajahnya, lalu keluar dari bioskop. Bahkan saat film tersebut belum selesai.
Sofi hanya bisa terpana di kursinya. Dengan air mata yang tumpah tak terkendali.
* * *
Randu menyambut dosennya di pintu keluar bioskop dan mendapati wajah sembab dosennya. Beberapa penonton lainnya juga berwajah sedih karena menangis saat adegan mengaharukan di film tersebut. Tapi Randu tahu bahwa wajah sembab dosennya bukan hanya karena itu.
"Maaf, Bu, saya membohongi Ibu," kata Randu ketika telah sampai di hadapan Sofi.
"It's okay," kata Sofi sambil memaksakan sebuah senyum.
"Danan pengen ketemu Ibu untuk terakhir kalinya sebelum Ibu ke Belanda. Tapi katanya dia nggak bisa ketemu Ibu di tempat umum. Itu kenapa dia datang dan pergi saat film sudah main dan lampu sudah mati. Supaya nggak ada yang sadar bahwa itu dia. Makanya saya bantu dia beli semua tempat duduk di barisan paling atas, supaya Ibu dan Danan leluasa."
Sofi menelan ludahnya, pahit. Dia berusaha agar nada suaranya tetap tenang.
"Makasih banyak ya Randu," kata Sofi sambil tersenyum. Tidak ada lagi gunanya baginya menyembunyikan hubungannya dengan Danan. Pemuda berotak gesrek itu sepertinya memang sudah tahu banyak tentang dirinya dan Danan.
Tapi alih-alih terlihat bahagia, Randu justru melihat senyum Sofi tampak sedih.
"Saya langsung pulang ya, Randu. Terima kasih banyak hari ini sudah membantu kami," kata Sofi, dengan menahan getaran suaranya.
"Saya antar pulang ya Bu," kata Randu buru-buru. "Danan minta saya mengantar Ibu pulang. Dia takut Ibu kenapa-napa. Udah malem ini Bu."
Tapi Sofi menggeleng. Dia butuh waktu untuk sendiri.
"Bilang sama dia, saya akan baik-baik aja. Saya pasti bahagia. Tapi dia juga harus bahagia."
"Bu..."
Randu tercenung di tempatnya. Menyesal mengapa dia harus menjadi saksi bagi kisah cinta yang berakhir sedih antara sababat dan dosen kesayangannya.
* * *
Danan melangkah ke parkiran motor yang sepi. Barangkali karena sudah malam hari sehingga parkiran motornya tidak lagi terlalu ramai. Tapi alih-alih langsung menuju motornya, Danan berbelok dengan cepat ketika ia sampai di tikungan.
Diam-diam Danan memerhatikan suara langkah kaki yang hilir mudik dengan cepat, ssperti langkah orang yang sedang panik. Ketika suara langkah itu terdengar mendekat, Danan keluar dari persembunyiannya.
"Pak Agus," Danan menyapa supirnya (yang dulu selalu mengantar-jemputnya sejak SD dan SMP, dan kini menjadi supir ibunya saat Danan sudah punya SIM sendiri). Pak Agus tampak terkejut, tapi segera mengendalikan diri.
"Saya tahu selama ini Bapak minta Pak Agus membuntuti saya diam-diam," kata Danan. Pak Agus menangkap nada sedih, kecewa dan putus asa dalam nada suara pemuda itu. "Tapi tolong sekali ini aja Pak, jangan bilang ke Bapak. Ini terakhir kalinya saya bisa ketemu dia. Setelah ini, saya nggak akan ketemu dia lagi. Bapak nggak perlu memata-matai kami lagi."
Meski kaget karena ketahuan bahwa selama ini dia mengawasi kegiatan majikan kecilnya, tapi Pak Agus segera mengangguk menanggapi permintaan Danan. Dia sebenarnya turut sedih menjadi saksi cerita majikan kecilnya dengan guru lesnya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya seorang supir yang digaji untuk segala pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh majikannya. Termasuk memastikan Danan tidak berhubungan dengan Sofi.
* * *
"Kita saling berkorban. Mencoba jadi antioksidan bagi satu sama lain. Tapi akhirnya, kita hanya jadi air mata bagi satu sama lain."
* * *
Don't look at me with that sad eyes, I can see your aching heart
If you're gonna do this, you should've just left me
If you just give me tears, what should I do?
I'm afraid I'll be pacing back and forth in memories
I'm afraid you'll remain as longing even if i erase you, and i can't let you go
The small window in my heart is filled with sad longing
Even in my dreams, it paints your face
How should we end this when there was no start?
We become tears to each other
But going back in time, on that dazzling days when we held each other like a dream
It reminds me of us back then
(Become Each Other's Tears - Hyolin)
* * *
Silakan baca adegan di bioskop sambil dengerin video klipnya, Kak. Buat author sih vklip ini pas banget menggambarkan kisah Sofi dan Danan di bab ini. Menurut Kakak2 gimana?
Gmn, Kak, nyesel ga baca bab ini pagi2?
Jangan lupa vote dan komen ya, Kakak2 tersayang 😘😘
* * *
Bagi Kakak2 yg geregetan, udah nggak sabar baca lanjutannya, bab 56 dst sudah dipublish di KaryaKarsa niaputri08 Kak. Kakak2 bisa mampir kesana dan memuaskan rasa penasaran Kakak2.
Atau Kakak2 bisa ketik di browser bit.ly/FormulasiRasa, dan lakukan pembelian di google playbook.
Makasih sebelumnya ya Kak, sudah mendukung cerita ini 😊
* * *
Buat Kakak2 yg mulai tertarik sama sosok figuran Randu di cerita ini, boleh banget mampir ke cerita baru saya yg berjudul EKSIPIEN. Masukin ke library Kakak2 ya, spy dapet notif tiap ada update 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top