54. Antioksidan (3)

Satu Tahun Kemudian...

Setelah lulus dari pendidikan sarjana farmasi, Danan dan teman-teman seangkatannya melanjutkan pendidikan di jenjang profesi untuk mendapatkan gelar apoteker, agar dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit, apotek, atau industri farmasi.

Sebagian besar masa pendidikan profesi dihabiskan dengan praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di rumah sakit, apotek, industri farmasi atau instansi pemerintahan untuk memberi bekal keterampilan yang dibutuhkan di masing-masing instansi tersebut. Karena sebagian besar waktunya dihabiskan di luar kampus, praktis selama satu tahun itu dia tidak bertemu sama sekali dengan Sofi.

Danan kira dengan tidak bertemu dan berhubungan dengan Sofi selama satu tahun, dirinya bisa melupakan Sofi. Nyatanya, ketika bertemu lagi dengan perempuan itu saat acara pengambilan sumpah apoteker, Danan merasakan kerinduan yang selama ini ditekannya dalam-dalam, seketika membuncah saat melihat wajah perempuan itu. Ingin rasanya dia menghambur menemui Sofi dan memeluknya saking rindunya. Tapi akal sehat masih menahannya. Dia tidak mungkin melakukan hal konyol itu di depan teman-temannya, dan terutama di depan orangtuanya.

* * *

Seperti layaknya dokter, sebelum menjalankan tugasnya, seorang apoteker juga diambil sumpahnya. Para mahasiswa yang baru lulus tersebut mengucapkan sumpah profesi apoteker di hadapan pemuka agama, perwakilan organisasi profesi (ikatan apoteker indonesia dan komite farmasi nasional), rektor, dekan, dan dosen-dosen yang selama ini mengajar mereka.

Tidak seperti wisuda sarjana yang dihadari 3000-5000 wisudawan dari seluruh fakultas di universitas tersebut, wisuda dan pengambilan sumpah apoteker hanya dihadiri oleh lulusan apoteker saja, yang jumlahnya berkisar 50-150 orang saja per angkatannya. Itu mengapa, tidak seperti tahun sebelumnya dimana Sofi bisa menghindar bertemu dengan Danan dan orangtuanya saat wisuda, kali itu Sofi tidak bisa menghindar. Diantara 120 wisudawan, Sofi bisa dengan mudah menemukan sosok Danan. Dan sebaliknya, Danan dan orangtuanya pasti melihat Sofi. Dia tidak bisa lagi menghindar. Akan sangat tidak sopan jika dia tidak menyapa mereka sama sekali.

Dengan menguatkan hati, Sofi melangkah menghampiri Danan dan kedua orangtuanya.

"Apa kabar, Bapak? Ibu?" sapa Sofi dengan ramah. Seperti yang memang biasa dilakukannya saat menjadi guru les Danan, Sofi mencium punggung tangan kedua orangtua Danan saat mereka bertemu.

"Eh, Sofi? Kami baik. Sofi apa kabar?" ibunya Danan menyapa balik.

"Alhamdulillah baik juga Bu," jawab Sofi, masih sambil mempertahankan senyumnya. "Selamat ya Pak, Bu. Danan sudah lulus. Cum laude lagi! Bapak dan Ibu pasti bangga!"

"Makasih, Sofi. Ini berkat Sofi juga yang mengajar Danan selama ini."

"Bukan kok, Bu. Ini berkat usaha Danan sendiri."

Sofi bukan tidak menyadari ekspresi tegang Danan dan ekspresi dingin ayahnya Danan, tapi dia berusaha mengabaikannya. Untungnya ibunya Danan masih mau berbasa-basi dengannya.

"Setelah lulus, Danan akan langsung bantu Bapak di rumah sakit?" tanya Sofi.

"Iya," jawab Danan singkat.

"Great! Itu kan cita-cita Danan selama ini," kata Sofi.

"Makasih, Mbak." Lagi-lagi Danan hanya menjawab singkat.

Sofi tahu diri, dia tidak lagi diterima baik oleh orangtua Danan (terutama oleh ayah Danan). Maka dia memutuskan untuk menyelesaikan basa-basinya.

"Saya pamit, Pak, Bu. Mau mengucapkan selamat ke mahasiswa lain juga," kata Sofi akhirnya.

"Iya," jawab ibu Danan.

"Sekali lagi, selamat untuk Danan, Bapak dan Ibu."

"Makasih, Sofi."

"Oiya, karena mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu, saya sekalian minta maaf kalau saya ada salah kepada Bapak, Ibu dan Danan."

Mata Danan membulat kaget. Sang ayah menyadari perubahan ekspresi anaknya itu.

"Lho, Sofi mau kemana?" tanya ibunya Danan.

"Saya mau lanjut kuliah lagi, Bu. Untuk S3. Sekitar sebulan lagi berangkat."

"Kemana?"

"Ke Belanda lagi, Bu. Seperti dulu saat saya S2. Tapi sekarang saya nggak di Leiden lagi. Saya di Groningen. Dan kali ini saya bakal 4 tahun disana. Makanya sekalian pamit, Bu."

"Wah! Selamat ya, Sofi! Semoga lancar studinya."

Sofi bersalaman dan mencium tangan ibu Danan. "Makasih, Bu." Ia lalu beralih mencium tangan ayahnya Danan. "Saya pamit, Pak." Ayahnya Danan hanya bergumam pelan.

Sofi lalu mengulurkan tangannya pada Danan sambil tersenyum. "Semoga sukses ya Nan."

Danan menyambut uluran tangan itu dan menggenggam tangan Sofi erat. "Makasih, Mbak. Semoga lancar S3nya."

Sofi mengangguk dan tersenyum, lalu melepaskan tangannya dari genggaman Danan.

Setelahnya Sofi pergi, menghampiri mahasiswanya yang lain (Randu, Michelle, dkk) dan memberi selamat kepada mereka...

...meninggalkan Danan dengan luka yang menganga...

* * *

Sofi menatap bayangannya di cermin toilet, masih di gedung tempat Danan dan teman-temannya wisuda. Lalu tersenyum kepada bayangannya.

Bagus, Sofi, acting yang bagus. Lo berhasil nahan nangis, puji Sofi pada bayangannya di cermin.

Sofi menyambar tas tangannya dan beranjak keluar dari toilet, ketika pintu toilet terbuka dan ibunya Danan masuk.

"Eh, Ibu. Ke toilet, Bu?" sapa Sofi, basa-basi. Ye kan orang masuk ke toilet, emang tujuannya ke dapur? Kan basa-basi yang basi banget ya.

"Eh, Sofi. Iya."

"Saya duluan ya Bu," kata Sofi, menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Tapi sebelum Sofi keluar dari toilet, ternyata ibunya Danan memanggil namanya, menahan Sofi tetap berada di dalam toilet.

"Ibu tahu Danan suka sama Sofi... " kata ibunya Danan. Diam-diam Sofi menahan nafasnya.

Ternyata perasaan kami sejelas itu.

"... tapi Ibu pikir, itu pasti cuma cinta monyet saja, karena Sofi adalah perempuan pertama yang dekat sama Danan sejak SMP. Makanya, Ibu mau berterima kasih karena Sofi nggak mengikuti kekonyolan Danan dan nggak membalas perasaannya yang cuma sementara itu. Ibu harap kalau Danan terus bersikap kekanakan begini di masa depan, Sofi nggak menanggapinya."

Setelah menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi diam-diam untuk meredakan rasa sakit di dadanya, Sofi memberi jawabannya.

"Nggak perlu berterima kasih Bu. Saya mengerti," kata Sofi kalem. "Tapi Bu, perasaan Danan itu bertahan bertahun-tahun, itu artinya bukan sekedar cinta monyet, kekanakan atau kekonyolan remaja. Makanya, saya selalu menghargai dan nggak pernah meremehkan perasaan Danan."

Sofi memperhatikan perubahan ekspresi ibunya Danan. Itu mengapa Sofi berhati-hati memilih kata-katanya selanjutnya.

"Tapi Ibu dan Bapak nggak perlu khawatir kalau-kalau perasaan Danan terus bertahan sampai tahun-tahun mendatang. Kami tetap guru dan murid, dosen dan mahasiswa, jadi Ibu bisa tenang. Bukan karena saya menganggap perasaan Danan nggak serius, tapi karena saya tahu Danan layak bersama dengan perempuan yang lebih baik."

Sofi mengambil jeda sesaat. Memperhatikan ekspresi wajah ibunya Danan. Saat itu Sofi tahu dimana posisinya. Dia bukan lagi guru kesayangan orangtua Danan.

"Sebagai gurunya sejak SMP, seperti juga yang Bapak dan Ibu harapkan dari Danan, saya juga ingin yang terbaik buat Danan," kata Sofi, "Asal dia bisa mencapai cita-citanya membantu Bapak memajukan rumah sakit, lalu melanjutkan studi ke luar negeri, saya ikut senang. Dalam perjalanan itu, saya yakin Danan pasti bertemu dengan perempuan yang tepat."

Sofi maju selangkah. Meminta tangan ibunya Danan.

"Ibu dan Bapak bisa tenang. Danan nggak akan mengecewakan Bapak dan Ibu." Sofi mencium punggung tangan ibunya Danan, lalu tersenyum. "Saya pamit duluan ya Bu."

Sofi keluar dari toilet dengan sebuah kesadaran baru. Setelah percakapan tadi, segalanya menjadi jelas kini, dirinya tidak diterima oleh keluarga Danan.

It's okay, Sof, kata Sofi membesarkan hatinya sendiri, kamu sudah melakukan hal yang benar untuk Danan. Mundur.

Sofi segera keluar dari gedung wisuda tersebut tanpa berminat lagi untuk menyantap hidangan prasmanan yang disajikan setelah acara wisuda.

* * *

"Bu, lagi sibuk nggak?" kata Randu sambil menyelipkan kepalanya di pintu ruangan Sofi setelah mengetuk pintu tersebut.

"Eh Randu!"

Sofi yang sedang membereskan meja kerjanya kaget karena tidak mengira akan bertemu Randu lagi.

"Ngapain kamu masih disini? Kamu kan udah lulus," kata Sofi, mengingat dua minggu sebelumnya Randu dan kawan-kawan sudah diwisuda dan disumpah. "Sini masuk."

Randu cengengesan sambil masuk ke ruangan Sofi. Diantara kelima mahasiswa yang dia bimbing skripsinya tahun lalu, Randu adalah yang paling suka cengengesan nggak jelas. Untung berkat berpartner dengan Michelle, hasil kerja Randu tetep beres, jadi Sofi nggak perlu marah-marah juga. Tapi kadang dia geregetan juga menghadapi sikap Randu yang terlalu santai.

"Kamu belum mulai kerja? Temen-temen kamu aja ada yang udah mulai kerja sebelum diwisuda," tanya Sofi sambil memberi kode agar Randu duduk. Sofi sendiri menghentikan kegiatan beberes meja.

"Males kerja ah Bu. Kemarin pas nyoba-nyoba ngelamar, ditawarin gaji cuma 8 juta," kata Randu, dengan gaya tengilnya.

Pantes bisa temenan sama Danan. Sama-sama tengil sih.

"Situ ngerasa kemampuan situ udah pantes digaji 8 juta?" tanya Sofi, meladeni mahasiswanya yang nyeleneh ini.

"Calon CEO lho ini Bu, masa cuma 8 juta."

"Wah, iya. Masa calon CEO cuma digaji 8 juta ya," Sofi meladeni, "Tapi kalo CEO berarti mah menggaji karyawan, bukan nunggu digaji."

"Itu maksud saya, Bu. Saya tuh males kerja jadi pegawai yang cuma digaji 8 juta, soalnya saya yang bakal buka lapangan kerja dan menggaji pegawai."

"Bagus itu, Ndu. Tapi jadi CEO, bukan cuma harus siap menggaji pegawai, tapi juga harus siap rugi. Kamu udah siap belum?"

"Betul juga ya Bu. Saya belum kepikiran euy."

"Sambil nunggu kamu siap menggaji dan siap rugi, kamu bisa belajar dulu mulai dari sebagai karyawan. Kalau nanti kemampuan kamu udah pantes digaji lebih dari 8 juta dan udah siap rugi, kamu bisa jadi CEO yang keren."

"Mantul, Bu!" seru Randu. "Ibu keren banget deh. Jadi naksir."

"Iyak, iyak, iyak." Sofi menjawab dengan malas. Dia sudah hapal dengan kelakuan mahasiswanya yang satu ini. "Jadi ngapain kamu kesini hari gini, bukannya kerja?"

"Mau ngajak Ibu nonton. Mumpung saya belum sibuk kerja nih."

"Dalam rangka apa nih?" tanya Sofi curiga.

"Dalam rangka berterima kasih, Bu. Karena Ibu udah sabar membimbing skripsi saya sampai saya yang oon ini bisa lulus."

"Itu kan udah setahun yang lalu?"

"Tadinya saya emang mau ngajakin Ibu nonton pas lulus skripsi setahun lalu. Tapi kan saya masih kuliah Apoteker 1 tahun lagi sama Ibu, dan Ibu udah wanti-wanti nggak terima gratifikasi dari mahasiswa. Makanya saya baru bisa ngajak sekarang. Kan sekarang saya bukan mahasiswa Ibu lagi, jadi meski saya nraktir Ibu nonton, nggak akan ngaruh lagi sama nilai dan kelulusan saya kan?"

Bisa ae lo, Kapuk!

"Serius mau nraktir?"

"Serius lah Bu. Apalagi yang bisa dipegang dari laki-laki kalau bukan omongannya?"

"Justru yang paling nggak bisa dipegang dari laki-laki ya omongannya itu."

"Bu, curhat?" tanya Randu dengan tatapan siap meledek.

"Tapi saya lagi sibuk, Ndu," kata Sofi mengalihkan obrolan. "Seminggu lagi saya berangkat. Ini masih beresin meja sebelum ditinggal 4 tahun. Masih beresin kerjaan buat didelegasikan ke____"

"Pulang kampus sore atau malam ini, gimana Bu? Nggak ganggu waktu kerja Ibu kan? Dua-tiga jaaaammm aja," potong Randu cepat, dengan gaya membujuk.

"Ngapain nonton bioskop malem-malem?"

"Ih, lebih seru nonton malem-malem, tahu, Bu."

"Kok saya curiga ya?" kata Sofi sambil menyipitkan mata. "Kamu bukan ngajak saya nonton bokep kan?"

"Astaga Bu, kode banget sih. Pengen banget nonton bokep bareng saya?"

Dengan cepat Sofi menggeplak kepala Randu, supaya otaknya yang gesrek bisa kembali ke posisi seharusnya.

"Ampun, Bu, bercanda," kata Randu sambil meringis dan mengusap kepalanya yang barusan dikeplak dengan sebundel kertas ujian. "Lagian sebokep-bokepnya film yang tayang di bioskop, tetep lebih seru yang tanpa sensor lah."

"Gesrek beneran ni bocah," gerutu Sofi sambil tertawa. "Kita nonton berdua doang?" tanya Sofi lagi, makin curiga.

"Bu, serem deh. Saya curiga Ibu naksir saya. Dari tadi kok kode melulu pengen berduaan sama saya."

Astagfirullah. Gusti, paringono sabar.

Sofi tidak menjawab. Kali itu dia hanya menatap Randu dengan tatapam tajam.

"Ampun, Bu, bercanda lagi. Nggak kok, nanti ada Michelle juga. Pulang kerja, dia langsung nyusul. Anak-anak bimbingan Ibu yang lain pada nggak bisa. Udah jadi budak korporat yang disuruh lembur mulu padahal gaji di bawah 8 juta, mereka."

"Emang kita mau nonton apa?"

"Avengers End Game, Bu. Tapi kalau Ibu____"

"Oke! Saya mau!" jawab Sofi cepat.

Sofi tidak pernah melewatkan seri Avengers. Dan berhubung harga tiket bioskop di Belanda mahal, Sofi memang berencana menonton End Game sebelum berangkat ke Belanda. Kalau hari ini dia ditawari nonton End Game gratisan, mana mungkin dia menolak kan? Lagian, seperti kata Randu, anak itu bukan mahasiswanya lagi, sehingga barangkali tidak masalah menerima traktiran nonton dari anak itu. Toh mereka tidak akan berduaan juga.

"Astaga, Bu. Segitu napsunya nonton bareng saya samp_____"

Dan geplakan dari dua bundel kertas ujian mendarat lagi di kepala Randu.

* * *

"Mana si Michelle?" tanya Sofi sambil berbisik.

Sofi dan Randu sudah berada di dalam bioskop. Iklan sudah dimulai, dan barangkali lima menit lagi film akan dimulai. Tapi Michelle tidak muncul juga.

"Saya ijin keluar dulu ya Bu, saya telpon Michelle," kata Randu.

Meski sambil menggerutu, Sofi mempersilakan Randu keluar untuk menghubungi Michelle. Daripada mereka ditimpukin penonton satu bioskop gara-gara nelpon di dalam bioskop kan.

Saat Randu pergi, barulah Sofi sadar, seluruh kursi di deretan yang sama dengannya kosong, kecuali kursinya dan Randu. Dan yang lebih seram lagi, dirinya dan Randu mendapat duduk di kursi paling atas.

"Kan saya nggak tahu kalau Ibu setuju saya ajak nonton malam ini. Pas Ibu setuju, saya langsung beli tiket. Eh tinggal sisa kursi di deretan paling atas gini Bu." Begitu kata Randu tadi, ketika Sofi mengeluh soal mendapat kursi paling atas.

Kalau nggak ingat bahwa film yang akan mereka tonton adalah film action, barangkali Sofi sudah curiga si Randu ini sengaja pilih kursi paling atas supaya bisa modus mesum-mesum.

Sofi mengedarkan pandangannya dan mendapati semua kursi di ruangan bioskop itu penuh... kecuali kursi di deretan paling atas, tempat Sofi duduk. Horor banget ini. Apalagi saat lampu bioskop menggelap, tanda film akan segera dimulai.

Cumi banget si Randu ini. Kemana sih dia, nelpon kok lama bener? Kenapa belum balik juga? Kenapa di deretan sini kosong sih? Ini beneran kursinya kosong atau gue aja yang nggak bisa lihat siapa yang duduk? Astagaaaa.

Meski perhatiannya agak teralih ketika film dimulai, Sofi tidak sepenuhnya bisa fokus pada film End Game tersebut, gara-gara masih merasa horor dengam posisi tempat duduknya dan fakta bahwa Randu nggak balik-balik. Untunglah lima menit kemudian Randu kembali ke kursinya. Di detik itu juga Sofi langsung memukul lengan Randu dan  mencecarnya dengan bisikan penuh amarah.

"Kemana aja sih, Randu? Nelpon doang lama bener. Nyari sinyalnya ke Timbuktu? Michelle mana, kok kamu balik sendirian? Ngomong-ngomong kamu pilih kursi serem banget ini, di deretan paling atas, cuma kita berdua. Heh, kamu ngapain si pake topi di dalem bios___"

Si Randu melepas topinya. Dan meski penerangan di dalam bioskop itu redup, tapi Sofi bisa mengenali wajah di sebelahnya dengan jelas.

Dan wajah itu bukan wajah Randu.

"Danan?!"

* * *

Gimana perasaan Kakak2 setelah baca bab ini?

Btw, Kakak2 fans Danan disini, ada yg  tertarik sm Randu juga ga ya? Eeeaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top