53. Cut the Knot

Membimbing mahasiswa skripsi selama beberapa bulan membuat Sofi selalu merasa lebih dekat kepada mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Itu mengapa ketika kelima mahasiswa bimbingannya (Randu, Michelle, Riska, Lucky dan Aletta) wisuda, Sofi menyempatkan diri untuk menghadiri wisuda mereka.

Ada tiga ribu mahasiswa yang diwisuda semester itu. Kalau nggak sengaja janjian ketemuan di satu spot balairung mah nggak bakal ketemu. Itu mengapa sebelum wisuda, Sofi sudah menanyakan kepada mahasiswa-mahasiswa bimbingannya di grup WA, dimana mereka akan berkumpul setelah wisuda.

Butuh waktu tiga puluh menit sejak prosesi wisuda berakhir sampai mereka berenam berhasil berkumpul di tempat yang mereka sepakati. Sofi mengucapkan selamat kepada kelima mahasiswanya lalu berfoto bersama mereka. Setelahnya Sofi menghampiri orangtua kelima mahasiswanya dan mengucapkan selamat atas keberhasilan anak-anaknya.

Kelima mahasiswa itu, bersama banyak teman-temannya, masih melanjutkan foto-foto ketika Sofi meninggalkan tempat janjian mereka.  Sofi melangkah meninggalkan pelataran balairung, tempat wisuda itu berlangsung tadi. Sambil melangkah, Sofi terus berdebat dalam hati, apakah seharusnya dia mencari Danan dan orangtuanya lalu mengucapkan selamat atas kelulusan Danan atau tidak. Jika dugaannya benar bahwa Danan sengaja menjauhinya karena larangan orangtuanya, maka menemui orangtua Danan menjadi pilihan dilematis. Sofi tidak yakin apakah dia bisa bersikap biasa seperti dulu terhadap ayah dan ibu Danan.

Sofi masih mempertimbangkan apakah ia perlu mencari Danan dan orangtuanya, atau langsung pulang saja, ketika ia bertemu seseorang yang tidak diharapkannya. Dia pernah bertemu dengan orang itu pada acara yang sama seperti ini, bertahun-tahun yang lalu.

"Mengucapkan selamat juga ke mahasiswamu?"

Lelaki itu sekonyong-konyong menjajari langkah Sofi menuju keluar pelataran balairung. Kaget, tapi berhasil menguasai dirinya, Sofi menyapa lelaki itu singkat.

"Bang Attar!" sapa Sofi sambil menganggukkan kepalanya.

"Sudah mau pulang?" tanya lelaki itu.

"Iya."

"Boleh aku antar pulang?"

Sofi berhenti melangkah. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan tajam.

"Hanya mengantar pulang. Sebagai kolega sesama dosen. Kebetulan aku bawa mobil hari ini. Hmm?" kata Attar.

Sofi menghela nafas.

Terakhir kali dia bertemu Attar di peron stasiun, Attar sangat berkeras pulang bersamanya. Seperti ada hal yang ingin dibicarakan. Sayangnya kali itu Danan datang dan mencegah mereka pulang bersama. Tapi jika Sofi pikir-pikir lagi, barangkali dirinya memang perlu bicara untuk terakhir kalinya dengan Attar sehingga tidak ada lagi yang mengganjal diantara mereka. Dia ingin hubungannya dengan Attar kembali normal, seperti kolega sesama dosen lainnya, tanpa terhalang masa lalu yang belum selesai.

"Makasih, Bang," kata Sofi akhirnya. Dia mengikuti Attar menuju mobil Attar yang diparkir tidak jauh dari pelataran balairung.

* * *

"Rasanya seperti baru kemarin aku mengantar Sofia pulang wisuda dari balairung seperti ini. Bedanya, sekarang Sofia sudah bukan mahasiswa lagi," kata Attar memulai percakapan, setelah sekitar 10 menit mereka hanya saling terdiam di dalam mobil yang melaju ke arah Jakarta.

Sofi hanya menanggapi dengan gumaman. Bingung mau ngomong apa.

"Sofia apa kabar?"

"Baik, Bang."

"Mama sehat?"

"Alhamdulillah."

"Alhamdulillah."

"Si kecil udah berapa tahun, Bang?"

"___ he'a almost 1 year old now," Attar menjawab dengan suara yang terdengar aneh.

"Wah, pasti lagi lucu-lucunya. Udah bisa jalan dong?"

"Mulai belajar merambat."

"Wah! Lucu! Abang beruntung banget!"

"Sofia___"

"Hmm?"

"Aku minta maaf."

Sofi tidak segera menjawab. Dia bingung apakah harus pura-pura tidak mengerti pada apa yang dibicarakan Attar atau harus segers menerima permohonan maafnya?

"Nggak ada yang perlu dimaafin," kata Sofi akhirnya setelah beberapa saat.

"Aku sudah mengkhianati Sofia."

"Nggak ada yang dikhianati atau mengkhianati," jawab Sofi dingin, sambil memfokuskan tatapan matanya ke jalanan di hadapannya. "Kita putus baik-baik sebelum Abang menikah."

"Tapi waktu itu aku bilang bahwa aku masih terus mencintai Sofia meski menikahi perempuan lain."

Sofi memejamkan matanya, berusaha menghalau rasa sakit yang sudah lama terlupakan.

"Sofia pasti mikir aku brengsek. Aku bilang masih mencintai Sofia, tapi menghamili perempuan lain___ "

"Abang menghamili istri Abang sendiri. Dan itu kabar baik," potong Sofi dingin.

"Aku nggak menyentuhnya sampai berhari-hari setelah kami menikah. Aku nggak bisa berhubungan sama dia karena masih mencintai Sofia___"

"Bang?"

"Tapi kemudian Ummi tahu dan marah saat mendengarnya. Dan Ummi nggak tinggal diam. Beliau mengusahakan satu dan lain cara. Lalu terjadilah hal itu."

Sofi hanya diam sambil memejamkan matanya dan mengatur nafasnya. Ada perasaan yang bergolak dalam dadanya, mendesak ingin keluar. Tapi ditahannya.

"Aku hanya melakukannya satu kali. Dan dia langsung hamil."

Sofi tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Aku menyesali perbuatanku. Meski kami sudah menikah, harusnya aku nggak menghamilinya saat perasaanku sendiri masih untuk Sofia___"

"Bang!"

"Dengarkan dulu, Sofia. Please," potong Attar segera, sebelum Sofi melanjutkan amarahnya. "Aku menyesali kejadian malam itu. Tapi saat Ahsan lahir, aku segera mencintai anak itu."

Sofi masih diam.

"Sekarang aku tahu perasaan Abi yang mempertahankan pernikahan demi anak-anak. Aku pikir, aku akan mempertahankan pernikahan ini."

Sofi mengangguk. Ada sedikit nyeri di hatinya. Tapi sudah lama dia mengubur perasaannya pada Attar. Dan kehadiran Danan yang selalu ada di sisinya sudah berhasil membuat Sofi mengikhlaskan Attar, jauh sebelum ini.

"Maaf, aku masih mencintai Sofia. Tapi maaf juga, aku nggak bisa meninggalkan ibu dari anakku."

"Jangan, Bang," kata Sofia. Kali ini dia menoleh pada Attar. Mobil sedang berhenti karena ada lampu merah sehingga Attar bisa membalas menatap Sofi. "Aku sudah nggak cinta sama Abang lagi. Jadi, tolong jangan cintai aku lagi. Setidaknya demi Ahsan."

Attar mengangguk sambil memejamkan mata, pedih.

"Sofia harus bahagia," kata Attar.

Sofi hanya mengangguk.

"Saat terakhir aku menemui kamu di kampus, aku juga ketemu Danan. Dia minta aku menjauhi kamu, karena dia ingin membahagiakan kamu___" Lampu hijau menyala dan Attar menjalankan kembali mobilnya. "__ dia mungkin masih muda, tapi aku percaya dia bisa membahagiakan Sofia. Nggak pernah satu kalipun aku lihat Sofia nggak bahagia bersamanya. Dan ternyata dia sudah bertahun-tahun mencintai Sofia, bahkan mungkin sebelum aku datang. Jadi aku akan bahagia kalau lihat Sofia bahagia, meski bukan bersamaku."

Sofi masih diam. Kali ini menahan air matanya.

"Dan kalau kelak anak kita berjodoh, tolong jangan halangi mereka. Kita harus memutus rantai ini___"

Kali ini Sofi tertawa. Tawa miris sekaligus menertawakan ide absurd Attar.

"Abang terlalu visioner."

Attar hanya menerima tawa Sofi yang mengejek itu dengan senyum.

Ketika akhirnya mereka sampai di depan rumah Sofi, setelah menitipkan salamnya untuk ibunya Sofi, Attar berkata, "Berbahagialah, Sofia."

Sofi mengangguk sebelum keluar dari mobil Attar dan menutup pintunya.

Siapa yang nggak ingin bahagia?, kata Sofi dalam hati sambil menatap kepergian mobil Attar, tapi kalau karena kebahagiaan kita lalu membuat orangtua kita atau orangtua dari orang yang kita sayangi nggak bahagia, apa kita masih bisa berbahagia?

* * *

Dikit aja yes. Kalo yg vote banyak, chapter berikutnya lbh banyak.

Btw, beneran nih Attar bakal besanan sm Sofia?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top