52. Antioksidan (2)
Danan menjadi orang yang maju sidang terakhir pada hari itu, setelah kedua temannya maju terlebih dahulu. Ada untungnya kalau maju sidang belakangan, dia jadi punya waktu lebih untuk belajar dan mempersiapkan diri. Tapi lebih banyak kerugian jika kita maju sidang belakangan. Mood penguji sangat dipengaruhi oleh mahasiswa yang diujinya. Jika Danan beruntung dan kedua teman yang maju sidang sebelumnya menunjukkan performa yang baik, maka mood penguji masih terjaga saat menguji Danan. Tapi jika dia sedang sial dan teman-temannya berhasil merusak mood para penguji dengan performa yang buruk, maka menjadi tantangan bagi Danan untuk membuat mood para penguji kembali dan membuat mereka terkesan pada hasil penelitiannya.
Dan hari itu dia kurang beruntung. Kedua temannya tadi dinyatakan lulus sih, tapi barangkali hasilnya kurang memuaskan para penguji sehingga ketika dia masuk ke ruang sidang, wajah para penguji udah kusut duluan.
Sambil mempersiapkan file presentasinya di laptop, Danan melirik ke arah Sofi sekilas. Perempuan itu mengabaikannya dan sibuk sendiri dengan ponselnya.
Danan tahu bahwa selama ini dia sudah bersikap jahat pada Sofi dengan seringkali mengabaikan perempuan itu. Dan mengingat perlakuannya pada Sofi, Danan merasa sangat pantas menerima pengabaian yang sama. Meski demikian, tadi dia sempat berharap menerima dukungan dari Sofi di hari pentingnya, meski hanya berupa tatap mata yang menguatkan.
Danan menarik dan menghembuskan nafas. Pertama, untuk meredakan kegugupan menjelang presentasi dan sidang. Kedua, untuk meredakan rasa sakit di dadanya. Setelah itu dia memulai presentasinya.
* * *
Prestasi Danan tidak pernah mengecewakannya. Dan Sofi tahu, kali itu Danan juga tidak akan mengecewakannya dalam sidang skripsinya. Danan mempresentasikan hasil penelitiannya dengan tenang dan berhasil meyakinkan para penguji tentang signifikansi penelitiannya.
Penelitian Danan bukan jenis penelitian advance tentang sediaan nanopartikel atau sediaan terkini lainnya, tapi Danan membuat jelas bahwa penelitiannya akan berdampak signifikan pada proses dispensing sediaan pediatrik dan geriatri (untuk anak dan lansia) di instalasi farmasi rumah sakit dan apotek. Produk yang diteliti Danan merupakan komposisi eksipien (bahan tambahan) untuk mendispersikan sediaan tablet dengan dosis dewasa sehingga diperoleh sediaan suspensi cair untuk anak-anak. Penggunaan produk ini merupakan alternatif dari pembuatan puyer untuk obat anak-anak yang memiliki kekurangan dalam hal ketepatan dosis, higienisitas saat pembuatan, dan keamanan bagi apoteker terutama saat pencampuran obat sitotoksik/kanker untuk anak. Produk yang diteliti Danan ini sangat berpotensi untuk diproduksi secara luas.
Sofi melirik Pak Satrio, pembimbing skripsi Danan, saat proses tanya-jawab berlangsung dan beliau nampak puas. Berbeda dengan dua rekannya sebelumnya yang membuat mood penguji buruk, sesi tanya-jawab dengan Danan justru terasa seperti sesi diskusi saja, bukan seperti pembantaian.
Pertanyaan-pertanyaan penguji, baik dari Pak Is sebagai ketua penguji maupun dari Sofi, berhasil dijawab Danan dengan baik. Pak Satrio juga tidak banyak memberikan tanggapan dan klarifikasi, yang artinya jawaban Danan cukup memuaskan.
Beberapa pertanyaan dari Rahman yang adalah dosen Kimia Farmasi, meski dapat dijawab, tapi jawabannya kurang dalam. Meski demikian Rahman menunjukkan wajah yang cukup puas.
Satu jawaban Danan atas pertanyaan Rahman yang paling diingat Sofi adalah saat Rahman menanyakan tentang alasan Danan menambahkan antioksidan ke dalam produk eksipien pendispersi tersebut.
"Produk eksipien pendispersi ini dikembangkan agar dapat digunakan untuk mendispersikan banyak obat, Pak, termasuk obat yang mudah teroksidasi. Untuk mencegah teroksidasinya obat-obat tersebut, kami menambahkan antioksidan ke dalam produk eksipien tersebut," jawab Danan dengan percaya diri.
"Bagaimana mekanisme eksipien antioksidan ini sehingga bisa mencegah oksidasi terhadap zat aktif obat?"
"Eksipien antioksidan merupakan reduktor kuat. Bahan ini sangat mudah teroksidasi. Dengan menambah eksipien ini ke dalam suatu formula, maka bahan antioksidan ini yang akan teroksidasi terlebih dahulu, sehingga zat aktif obat tidak teroksidasi____"
Saat itu Danan yang sedang menatap Rahman, tiba-tiba saja beralih menatap Sofi yang memang sedang memperhatikannya. Sofi terkesiap karena bertatapan langsung dengan Danan, membuat jantungnya tiba-tiba berdebar, tapi segera mengendalikan dirinya.
"Antioksidan bekerja dengan mengorbankan dirinya sendiri agar teroksidasi, supaya zat aktif obat dalam produk tersebut terlindungi dari reaksi oksidasi."
Satu...
Dua...
Tiga detik...
Mereka masih saling bertatapan. Sofi tahu bahwa Danan sedang bicara padanya, menyampaikan pesan rahasianya. Dan jantung Sofi terasa sakit saat menyadari maksud kata-kata Danan tersebut.
Pertanyaan Rahman selanjutnya memecah kontak mata Sofi dan Danan dan mengalihkan perhatian Danan kembali kepada Rahman. Buru-buru Sofi mengambil botol minum yang disediakan di hadapannya, dan meminumnya banyak, demi meredakan rasa sakit di dadanya.
Sidang Danan berlangsung hingga 1.5 jam, dan diakhiri dengan pertanyaan pamungkas dari Pak Ismail sebagai Ketua Penguji.
"Saya tertarik dengan salah satu orang di ucapan terima kasih Saudara Danan. Anda berterima kasih kepada seseorang yang menginspirasi dan memotivasi Anda___"
Hati Sofi mencelos mendengar pertanyaan tersebut karena tidak menduga Pak Ismail akan iseng menanyakan pertanyaan yang tidak relevan dengan isi penelitian seperti itu. Meski hanya GR bahwa orang yang dimaksud Danan adalah dirinya, tapi Sofi diam-diam memperhatikan jawaban Danan dengan seksama, meski sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"___ orang ini adalah pacar Anda? Kenapa tidak langsung ditulis saja namanya?" tanya Pak Ismail.
"Beliau guru SMP saya, Pak," jawab Danan tenang.
Ketenangan dalam nada suara Danan saat menjawab itu membuat Sofi miris sekali lagi.
"Kedua orangtua, kakek, nenek dan banyak saudara saya berprofesi sebagai dokter, Pak. Saya tidak mau menjalani sesuatu hanya karena sudah turun temurun. Saya tidak mau menjalani masa depan yang dipilikan orang lain. Guru SMP saya ini membuka wawasan saya bahwa ada profesi lain yang menarik untuk dijalani dan bermanfaat bagi banyak orang selain menjadi dokter, yaitu menjadi farmasis."
Rahman menendang pelan kaki Sofi yang duduk di sebelahnya dan memberi kode. Tapi Sofi memasang wajah datarnya, seolah tak terpengaruh, padahal detak jantungnya tidak beraturan mendengar setiap kata-kata Danan.
"Jadi Anda tidak menyesal menjadi Farmasis yang penghasilannya tidak sebesar penghasilan dokter?"
"Kalau mau berpenghasilan besar, mending saya jadi youtuber atau IG influencer, Pak."
Pak Ismail tertawa terbahak.
"Disini Anda tulis bahwa Anda belum menyerah? Apa maksudnya? Kan Anda sudah berhasil sejauh ini?" tanya Pak Ismail lagi.
"Lulus kuliah bukan pencapaian Pak. Saya masih harus berjuang untuk membuktikan kepada orangtua saya bahwa saya bisa berhasil dalam hidup dan bisa bermanfaat bagi banyak orang, meski bukan sebagai dokter. Kalau saya nggak bisa membuktikan itu, saya nggak bisa memperjuangkan masa depan saya sendiri."
Sofi terhenyak di kursinya. Air mata siap keluar dari matanya. Sekuat tenaga dia menahannya.
"Makanya, saya masih terus berjuang, Pak. Dan saya belum menyerah memperjuangkan masa depan yang saya pilih sendiri."
* * *
"Lulus kan bro?"
Pertanyaan dari Randu menyambutnya ketika Danan keluar ruang sidang. Beberapa temannya juga sudah menunggu disana.
Danan tersenyum lebar dan mengangguk. Yang segera disambut oleh riuh ucapan selamat dan tepukan di punggung dan bahu dari teman-temannya.
Di sela kehebohan para mahasiswa yang memberinya selamat, Danan melihat Sofi keluar dari ruang sidang bersama Pak Is, Pak Satrio dan Pak Rahman. Lagi-lagi Danan harus kecewa ketika Sofi melewatinya begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun, dan malah sibuk ngobrol dengan Pak Rahman.
"Udah ngabarin orang tua lo belum?" tanya Michelle, salah satu teman yang ikut menemani dan mendukungnya menghadapi sidang hari itu. "Telepon atau WhatsApp ortu dulu sana."
Danan menyingkir dari keributan teman-temannya, mengambil ransel yang tergeletak di lantai dan mencari ponselnya. Dia baru saja membuka aplikasi WhatsApp untuk mengabari kedua orangtuanya ketika matanya menangkap pesan dari sebuah nama.
Mata Danan membulat ketika membaca pesan dari orang itu. Dilihat dari waktunya, pesan itu dikirim tepat saat Danan memulai presentasinya. Jangan-jangan inilah alasan orang itu tampak sibuk dengan ponselnya alih-alih menatap Danan saat sedang presentasi.
You have performed wonderful works all these time! I know you will do a great job today. Bismillah.
Tepat saat Danan mengangkat kepalanya dari ponsel dan mencari sosok yang mengiriminya pesan itu, punggung orang itu sudah menghilang di tikungan koridor menuju keluar gedung fakultas.
* * *
"Are you okay?" tanya Rahman setelah mereka berpisah dengan Pak Is dan Pak Satrio di halaman parkir fakultas.
"I'm okay. Why?" jawab Sofi, diiringi pertanyaan balik.
"Kayaknya anak itu serius sama lo," kata Rahman.
Sofi tahu siapa yang dimaksud Rahman dengan anak itu.
Sofi memang tidak pernah memberi tahu apa-apa pada Rahman tentang hubungannya sebenarnya dengan Danan. Tapi Sofi tahu bahwa Rahman memiliki firasat yang kuat terhadap hubungan mereka berdua. Dan Sofi terlalu malas untuk mengelak lagi.
Gue juga serius sama dia, kata Sofi dalam hati, tapi kan tetep nggak bisa. Gue cuma nyusahin dia aja.
Sofi hanya diam.
"Satu tahun lagi, Sof," kata Rahman, sambil menepuk-nepuk bahu Sofi.
"Hah?"
"Satu tahun lagi dia lulus Apoteker. Bersabarlah. Setelah itu kalian bisa bersama."
Sofi tertawa sumbang tanpa menjawab pernyataan Rahman barusan.
Masalahnya bukan hanya karena dia masih mahasiswa gue, jawab Sofi, lagi-lagi hanya dalam hati, Sikapnya yang menjauh dan pesan-pesan terselubungnya bahwa dia belum menyerah justru menandakan bahwa dia terpaksa menjauh. Hal apa yang membuat seorang Danan terpaksa menyerah (padahal masalah skandal sudah berhasil diatasi), selain karena penolakan orangtuanya? Jadi meski dia sudah bukan lagi mahasiswa gue, kami tetap nggak bisa bersama selama orangtuanya nggak memberi restu.
* * *
Danan terduduk. Menyugar rambutnya dengan frustasi. Diantara hiruk pikuk kebahagiaan dan tawa teman-teman di sekitarnya, Danan merasa hatinya hampa.
Danan sekali lagi membaca pesan itu, menerakannya di ingatan, lalu menghapusnya. Dia tidak ingin pesan itu dibaca oleh orang lain, terutama oleh orangtuanya. Ia kemudian mengirimi pesan kepada kedua orangtuanya.
Makasih untuk doa dan cinta untuk Danan selama ini, Pak, Bu. Danan lulus. Cum laude.
Kata orang, rasa sakit yang keterlaluan akan membuat kita mati rasa. Tapi kini Danan masih bisa merasakan dadanya sakit. Apa itu berarti dia masih akan menerima hal-hal menyakitkan lagi di masa mendatang?
Satu tahap selesai.
Danan memegangi dadanya yang sakit sambil menghitung mundur. Kira-kira berapa banyak lagi yang harus dilakukannya sampai orangtuanya bisa merasa puas pada pencapaiannya dan bisa mengikhlaskannya untuk mencapai keinginannya sendiri?
* * *
Sofi sampai di bandara tepat waktu, tepat sesaat sebelum rombongan Tobias check in bagasi. Tobias mempersilakan kedelapan orang lainnya untuk melanjutkan proses lebih dahulu. Dia akan menyusul, karena dia harus menyelesaikan urusannya dulu dengan gadis dengan dress biru selutut itu.
"Sophie____"
"Tobias____"
Tanpa aba-aba, Tobias maju dan merengkuh Sofi dalam dekapannya. Sebuah pelukan yang kuat dan lembut di saat bersamaan.
Ketika pria itu melepas pelukannya, Sofi bersiap memberikan jawaban yang belum sempat diberikannya pada lelaki itu saat terakhir mereka bertemu. Tapi Tobias mencegahnya.
"Aku nggak mau menerima penolakan, Sophie, kamu tahu kan siapa aku?"
"Tapi, Tobias___"
"Aku bersedia menunggu sampai kapanpun, kamu tahu kan?"
Sofi mengangguk.
"Jadi pastikan bahwa kamu akan datang menemuiku setelah kamu menyelesaikan semua urusanmu di Indonesia."
Sofi mengangguk lagi, tapi kali ini lebih lemah.
"Kamu tahu, aku bahkan bisa bantu mengurus berkasnya kalau kamu mau ajak ibumu juga."
"Makasih, Tobias. Kamu baik banget," kata Sofi tersentuh
"Tapi Sophie," kata Tobias, memberi jeda sejenak supaya Sofi fokus pada apa yang akan dikatakannya selanjutnya. "Aku akan selalu menunggu. Tapi proyek penelitian ini tidak. Beasiswa itu tidak selalu ada tiap tahun. Profesorku juga tidak. Tema penelitian ini tentang pencarian target terapi baru untuk formulasi sediaan tertarget, bukankah topik ini membuat kamu tertantang? Kita nggak hanya akan mengujinya dengan sel atau pada hewan. Kami sedang mengembangkan teknik pengujian baru pada jaringan manusia. Kamu akan membawa pulang banyak skill baru yang nggak dimiliki banyak orang di Indonesia."
Sofi mengangguk. Lalu justru dia yang memeluk Tobias duluan. "Makasih banyak, sudah memikirkan sejauh ini untukku."
"Kita udah pernah kerja bareng," kata Tobias sambil membalas pelukan Sofi, "Dan kamu bekerja dengan sangat baik. Makanya aku berani merekomendasikan kamu ke Profesorku. Aku yakin kamu bisa mengerjakan proyek ini dan menyelesaikan S3mu sekaligus."
Mereka saling melepaskan pelukan. "Makasih udah percaya sama aku."
"Jangan sia-siakan kepercayaanku."
Sofi tersenyum miris.
"Kamu belum akan nikah kan?" tanya Tobias tiba-tiba.
"Kenapa emangnya?"
"Mumpung belum nikah dan punya anak, kamu bisa fokus di lab. Penelitian dan S3mu bisa lebih cepat selesai kalau kamu mengerjakannya sebelum menikah."
Sofi mengangguk.
"Lagipula, aku jadi lebih leluasa menggoda kamu. Barangkali akhirnya kamu mau nikah sama aku kan."
Sofi memutar matanya dengan ekspresi malas. Membuat Tobias tertawa.
"Wah, hargaku mahal."
"Semahal apa sih? Gajiku lumayan kok. Untuk menghidupi perempuan yang nggak suka dandan dan nggak suka belanja kayak kamu sih aku sanggup."
Sofi tertawa. "Oh kamu tahu, bukan mahal itu yang aku maksud."
Kali ini Tobias manyun." Oh, itu maksudnya. Wah, itu sih berat. Demi kawin sama kamu, aku yang agnostik ini jadi harus percaya pada salah satu agama aja, kayaknya aku nggak sanggup."
Sofi tertawa.
"Semoga penerbangannya lancar. Kabari aku kalau sudah sampai ya," kata Sofi kemudian.
Tobias mengusap lengan Sofi dengan lembut. "Sampai jumpa lagi. Segera!"
Tobias menekankan satu kata terakhirnya. Sofi tahu maksudnya.
Mereka berpelukan sekali lagi sebelum akhirnya Tobias menyambar kopernya dan menyusul kedelapan rekannya yang lain.
* * *
Sekarang udah ketahuan kan siapa Tobias itu?
Di luar negeri, penelitian mahasiswa S1 dan S2 biasanya merupakan bagian dari topik besar yang dikerjakan oleh seorang mahasiswa S3. Oleh karena itu, biasanya si mahasiswa S3 ini yang menjadi daily supervisor/pembimbing harian dari si mahasiswa S1 dan S2 (meski pembimbing resminya adalah si Profesor).
Tobias adalah pembimbing harian Sofi saat dia mengerjakan penelitian S2nya, yang merupakan bagian dari penelitian S3 Tobias.
Trus kok kalo hubungan mereka cuma mahasiswa dan pembimbingnya, kok deket banget sampe peluk-pelukan gitu? Pasti TTM deh.
Bukan, mereka pelukan bukan karena mereka TTM. Di luar negeri, memeluk dan cipika-cipiki (di Belanda, cipika-cipikinya 3x bahkan: kanan-kiri-kanan) merupakan kebiasaan yang wajar dilakukan saat bertemu seseorang. Di Indonesia, biasanya kita pelukan cuma sama keluarga atau pacar/suami/istri ya? Di luar negeri mah sama temen juga biasa aja pelukan gitu.
Setelah lihat foto cast Tobias kemarin, kelihatannya banyak #TimDanan yang goyah ya? Wajar si, beta jg meleleh kok kl ketemu doi.
Btw, foto cast-nya Tobias yg saya post di chapter kemarin bukan foto seorang aktor (apalagi aktor film biru eeeaaahh). He's a medical doctor. Gastroenterolog. Dokter cuy! Meski kagak sakit, rasanya pgn antri berobat ke doi kan. Sayangnya udah ada pacarnya hahaha. Jadi kita udh ga bs berharap lagi huhuhu.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top