49. Mind Game

Satu hari ga update, apakah ada yg kangen Danan?

Ga ada yg kangen saya nih?

* * *

Tepat seperti bocoran dari Randu, setelah jadwal kuliah Farmakoterapi, tiba-tiba Danan dipanggil ke ruang Dekan. Pak Rahman dan Sofi juga sudah berada di sana. Danan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Wajah Dekan terlihat kaku, dan wajah Pak Rahman terlihat tegang. Tapi Sofi nampak biasa saja. Hal itu membuat Danan merasa sedikit tenang.

"Saya memanggil Bu Sofi dan Danan kemari, termasuk Pak Rahman sebagai Koordinator Kemahasiswaan, karena saya mendapat laporan dari beberapa dosen yang menerima info dari mahasiswa tentang foto-foto Bu Sofi dan Danan yang beredar di grup medsos mahasiswa," kata Pak Dekan memulai.

Dekan kemudian meletakkan tiga lembar foto yang tersebar di kalangan mahasiswa.

"Foto-foto ini menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa. Tolong Bu Sofi dan Danan jelaskan tentang foto-foto ini," kata Dekan.

Sofi dan Danan melihat ketiga foto tersebut.  Danan sebenarnya sudah mempersiapkan jawaban, tapi sebelum dia sempat menjawab, Sofi sudah menjawab lebih dahulu.

"Fotonya jelas, tidak blur. Orang yang ada di foto itu juga jelas adalah saya dan Danan. Lokasinya juga jelas. Semuanya jelas. Apa ada lagi yang harus kami jelaskan, Pak?" kata Sofi. Ketenangan dalam suaranya membuat Danan takjub. Padahal biasanya Sofi bisa sangat tempramental jika tersinggung.

"Tolong jelaskan ada hubungan apa antara Bu Sofi dan Danan," kata sang Dekan.

"Saya adalah dosennya Danan. Danan adalah mahasiswa saya. Dulu saya pernah mengajar les Danan saat dia masih SMP, " jawab Sofi. Tenang dan dingin.

"Bukan itu maksud saya. Di foto ini jelas Bu Sofi dan Danan tidak terlihat seperti seorang dosen dan mahasiswa," jawab sang Dekan, mulai lelah dengan Sofi.

"Jadi kami terlihat seperti apa?"

"Sepasang kekasih."

"Foto yang mana yang menunjukkan bahwa kami adalah sepasang kekasih?" Sofi balik bertanya.

Sang Dekan menghela nafas kesal. "Disini kalian berpegangan tangan," katanya sambil menunjuk foto Danan-Sofi di rumah makan bebek bakar. "Disini kalian sedang rangkulan," lanjutnya sambil menunjuk foto saat mereka di peron stasiun. "Dan disini kalian sedang mesra-mesraan," kata Pak Dekan akhirnya sambil menunjuk foto Danan yang sedang membelai rambut Sofi, sore hari di depan ruang dosen.

Sekarang Danan bingung mau ngeles, karena Pak Dekan sudah menjelaskan foto-foto itu dengan lugas. Tapi rupanya Sofi tidak terpengaruh, wajahnya tetap tenang

"Bapak melihat foto itu dengan asumsi dan praduga Bapak," kata Sofi, "Bapak nggak objektif dan nggak menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap kami."

Wajah Pak Dekan makin nggak santai. Tidak suka dengan kritik dari Sofi.

"Kalau gitu coba Bu Sofi jelaskan bahwa praduga saya salah," kata Pak Dekan sewot.

"Wah. Percuma, Pak. Bapak sudah terlanjur curiga pada kami. Jadi apapun penjelasan saya, Bapak nggak akan percaya kan?"

"Baik," kata Pak Dekan kzl. "Kalau begitu, karena Bu Sofi tidak bisa membuktikan bahwa Ibu nggak bersalah, kita anggap saja Ibu dan Danan bersalah. Ibu dan Danan bisa menunggu saya mengeluarkan Surat Peringatan."

"Wah, itu lebih menyalahi aturan lagi Pak. Bapak nggak bisa mengeluarkan Surat Peringatan tanpa bukti yang jelas bahwa saya dan Danan bersalah."

"Foto-foto ini bukti yang jelas."

"Intepretasi foto tergantung dari sudut pandang yang melihat, Pak. Dan karena Bapak sudah memiliki praduga, penilaian Bapak terhadap foto itu jadi sangat subjektif. Ngomong-ngomong, memang kesalahan kami apa Pak?"

"Kalian pacaran. Padahal kalian adalah mahasiswa dan dosen."

"Dan saya tidak menemukan peraturan tertulis dari Senat Akademik, atau peraturan Dewan Guru Besar yang menyatakan bahwa dosen dan mahasiswa tidak boleh pacaran."

"Tapi itu tidak etis."

"Maka hukuman yang dijatuhkan tidak bisa berupa Surat Peringatan, apalagi pemecatan, karena bukan pelanggaran atas peraturan tertulis. Kalaupun kamu pacaran dan itu melanggar etika, maka Bapak cuma bisa memberikan  teguran lisan kepada kami."

Wajah pak Dekan makin nggak santai.

"Baik kalau itu yang Bu Sofi inginkan. Saya akan memberi peringatan lisan___"

"Tapi Bapak juga tidak berhak memberi peringatan lisan sebelum Bapak bisa membuktikan bahwa saya dan Danan punya hubungan terlarang antar dosen dan mahasiswa," potong Sofi tegas.

"Jangan berputar-putar ya Bu Sofi!" kata Pak Dekan marah, "Tadi Ibu nggak bisa membuktikan bahwa Ibu dan Danan tidak pacaran, tapi sekarang Ibu justru menyuruh saya membuktikan bahwa Ibu dan Danan pacaran. Kenapa jadi saya yang harus membuktikan?"

"Pak Dekan," kata Sofi, dengan suara sabar. "Bapak merasa saya ngomongnya muter-muter, karena sejak awal Bapak sudah menerapkan sesat pikir dalam berlogika. Makanya saya runut lagi masalahnya, supaya Bapak lebih objektif."

Danan memperhatikan wajah Pak Dekan memerah. Barangkali marah karena disebut sesat pikir. Wajah Pak Rahman tampak separuh tegang dan separuh menahan tawa.

"Pertama, Bapak sebagai Dekan pasti punya lebih banyak urusan penting dibanding ngurusin masalah percintaan saya dan Danan. Itupun kalau kami benar terbukti pacaran. Like, seriously, Bapak ngurusin masalah remeh kayak gini? Saya jadi tersanjung lho Pak.

Kedua, bukan kewajiban saya sebagai tertuduh untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Saya punya hak untuk membuktikan bahwa diri saya tidak bersalah, tapi kalau saya tidak mau menggunakan hak itu, maka bukan kewajiban saya untuk membuktikan bahwa saya tidak bersalah. Itu adalah kewajiban Bapak sebagai investigator yang menerima laporan.

Ketiga, saya masih nggak ngerti apa salah saya dan Danan kalau hubungan kami dekat. Saya sudah kenal Danan sejak dia SMP, wajar kalau hubungan saya dan Danan lebih dekat daripada hubungan saya dengan mahasiswa lain. Tapi itu bukan pembenaran bagi Bapak untuk menuduh kami macam-macam padahal Bapak nggak punya bukti apapun selain foto yang Bapak interpretasikan dengan asumsi dan praduga Bapak sendiri.

Saya juga nggak ngerti kenapa kedekatan saya dan Danan bikin mahasiswa resah. Apa mahasiswa takut saya nggak objektif dalam memberi nilai untuk Danan dan untuk mahasiswa lainnya? Kalau itu alasannya, semua mahasiswa yang keberatan dengan hubungan kami bisa konfirmasi nilai tugas dan nilai ujian mereka ke saya. Saya bisa membuktikan bahwa nilai mereka sama sekali nggak dirugikan hanya karena saya berhubungan dengan Danan.

Atau mahasiswa dan dosen resah karena kedekatan kami membuat mereka melihat kami berbuat asusila? Nggak kan? Bapak boleh cek CCTV di area fakultas, ada nggak bukti bahwa kami berbuat sesuatu yang bikin mahasiswa resah melihat kelakuan kami? Kalau memang kami pacaran dan mesra-mesraan di luar area kampus, misalnya pegangan tangan saat makan di rumah makan ini, apa yang salah? Apa Bapak bisa menunjukkan ke saya satu saja peraturan akademik yang melarang hal tersebut? Saya rasa nggak ada. Tidak etis memang, tapi tidak melanggar hukum. Bapak barangkali bisa menasihati kami, tapi tidak berhak menghukum kami."

Pak Rahman tampak sembunyi-sembunyi mengulum senyum, puas dengan cara Sofi ngeles. Sebaliknya, Pak Dekan nampak seperti siap membalikkan meja kerjanya kapan saja karena dipecundangi oleh argumen dosen muda seperti Sofi.

"Jadi sekarang kita sepakat ya Pak, bahwa andaipun saya pacaran sama Danan, kami nggak melanggar aturan tertulis apapun?" tanya Sofi mengintimidasi. Tapi tanpa menunggu persetujuan atau bantahan Dekan, Sofi melanjutkan kalimatnya. "Tapi menurut Bapak kan kalau saya dan Danan pacaran, itu tidak etis dan meresahkan, sehingga Bapak tetap perlu membuktikan apakah kami pacaran atau nggak? Kalau Bapak sebagai penyidik tidak bisa membuktikan bahwa saya dan Danan pacaran, gimana kalau kita minta oknum yang memfoto dan menyebarkan foto ini untuk membuktikan bahwa kami pacaran?"

"Saya tidak tahu siapa yang mengambil foto dan menyebarkannya. Andaipun saya tahu, saya harus merahasiakan identitas saksi."

"Wah, bahkan Bapak sendiri nggak tahu siapa sumber informasi Bapak? Darimana Bapak yakin bahwa info dari sumber gelap ini valid? Gimana kalau foto-foto ini hasil rekayasa? Pak, Bapak ini Dekan lho. Menuduh saya dan Danan yang bukan-bukan berdasarkan bukti yang nggak valid gini, emang Bapak nggak takut kalau saya memperkarakan ini dengan tuduhan pencemaran nama baik?"

Danan mengagumi permainan logika yang dilakukan Sofi dengan wajah tenangnya itu. Danan tahu bahwa logika yang dipakai Sofi (dengan meminta saksi/pelapor untuk membuktikan dirinya bersalah) itu salah. Tapi sejak awal Pak Dekan memang sudah menanggapi kasus ini secara subjektif sehingga memang diperlukan permainan logika seperti ini untuk menghadapinya.

Wajah Pak Dekan tampak pias mendengar ancaman Sofi. Dia segera menoleh pada Pak Rahman.

"Pak Rahman sudah tahu siapa pengirim email itu?" tanya Pak Dekan panik.

"Nggak tahu Pak. Dia bikin akun khusus untuk kirim foto itu," kata Rahman sambil menelan senyumnya. "Tapi barangkali saya bisa tanya mahasiswa, siapa yang pertama kali menyebarkan foto itu di grup mahasiswa."

"Saya tahu siapa orangnya, Pak!"

Setelah sekian abad berada di kantor Dekan, diam, akhirnya Danan bersuara juga.

* * *

Frida barangkali tidak mengira bahwa perbuatan isengnya, yang semula hanya untuk jaga-jaga jika dibutuhkan untuk mengancam agar Sofi jangan galak-galak padanya saat sidang, akan menyeretnya ke ruang Dekan. Maura barangkali awalnya juga tidak menduga demikian. Namun saat Danan sudah tahu bahwa dirinyalah yang menyebarkan foto-foto itu, Maura sudah mempersiapkan diri untuk kasus yang lebih panjang. Tapi dia tidak menduga bahwa dirinya bukan dipanggil ke ruang Dekan bukan sebagai saksi, tapi sebagai tersangka.

"Lho, kok jadi saya yang dituduh mencemarkan nama baik, Pak?!" tanya Maura panik.

"Sebab kamu sudah menyebarkan foto-foto ini untuk membangun opini publik yang jelek terhadap Bu Sofi dan Danan," kata Pak Rahman kalem.

"Lho, tapi ini kan fakta, Pak. Mereka emang pacaran. Saya menyebarkan ini supaya semua orang tahu perbuatan mereka yang memalukan fakultas, dan supaya fakultas mengambil tindakan tegas terhadap mereka sebelum ada berita-berita perbuatan asusila di kampus atau berita lain yang bisa memalukan nama fakultas," kata Maura terpancing.

"Kalau saya jadi kamu, Maura," kata Rahman pelan-pelan. "Saya akan hati-hati dengan omongan saya. Semua omongan kamu barusan direkam, dan kalau kamu tidak bisa membuktikannya, rekaman itu akan jadi bukti bahwa kamu memang berniat menyebar fitnah dan menuduh tanpa bukti untuk menjelekkan nama baik dosen di fakultas kita. Pertama, kamu menuduh Bu Sofi dan Danan pacaran. Kedua, kamu menuduh mereka berbuat asusila."

Wajah Maura pias ketika mendengar ancaman Rahman, tapi dia tetep nekat.

"Tapi kan saya nggak fitnah, Pak!" kata Maura keras. "Foto-foto ini adalah bukti nyata."

"Bukti nyata apa maksudnya?" kali ini Pak Dekan yang bersuara.

"Ini!" kata Maura sambil menunjuk foto-foto di meja Pak Dekan. "Mereka jelas-jelas pelukan di foto ini. Di foto ini, mereka pegangan tangan. Di foto ini, mereka mesra-mesraan. Jelas kan Pak?"

"Sejelas logika lo yang ditutupi kecemburuan!" tukas Danan cepat. "Dia naksir saya, tapi saya nggak menanggapi dia karena saya punya pacar, Pak. Makanya dia marah dan mengada-ada begini," lanjutnya pada Pak Rahman dan Pak Dekan.

"Tuh kan! Dia mengabaikan saya karena pacarnya kan Pak. Pacarnya ya pasti Bu Sofi. Nih lihat foto-foto ini," sambar Maura cepat.

"Di foto ini," kata Danan, "Saya menahan Bu Sofi supaya nggak memaksakan diri berdesakan naik ke kereta. Saya ngajak bu Sofi untuk naik kereta berikutnya. Jadi di foto ini, saya dan Bu Sofi bukan sedang rangkulan atau pelukan."

Danan menunjuk foto mereka di peron stasiun. Sofi, meski dengan wajah tetap cool, mengagumi alasan Danan. Mayan lah, jago juga ngelesnya nih mahasiswa.

"Ini Bu Sofi baru aja lewat selasar fakultas pas saya ketemu beliau. Trus saya lihat ada daun kecil di rambutnya. Makanya saya ambil," lanjut Danan menjelaskan fotonya yang membelai rambut Sofi. "Dan foto ini, bukannya kami saling pegangan tangan, tapi saat itu Bu Sofi sedang meyakinkan saya untuk nembak cewek yang saya suka. Kalau gesture kami kelihatan terlalu dekat, barangkali karena saya murid lesnya Bu Sofi sejak SMP, jadi kami memang dekat secara personal. Tapi bukan berarti kami bisa dituduh pacaran hanya karena foto yang diintepretasikan sembarangan oleh orang cemburu seperti Maura atau oleh orang yang logikanya sudah tertutup praduga bersalah sehingga tidak objektif."

Sekali tepuk, dua lalat kena. Baik Maura dan Pak Dekan tersindir oleh kata-kata Danan.

"Kalau kamu emang punya pacar, dan itu bukan Bu Sofi, jadi siapa?" tanya Rahman. Pak Dekan nampak sedang menahan marah sehingga tidak bersuara.

"Dia dulu mahasiswa Farmasi juga. Sekarang sih udah pindah ke FK, Pak. Sarah namanya," kata Danan mantap.

"Bohong!" pekik Maura.

Dan meski tahu bahwa Danan berbohong demi menyelamatkan dirinya juga, Sofi tetap merasa tidak suka saat Danan mengakui Sarah sebagai pacarnya.

"Bapak bisa tanya anak-anak Pengmas," kata Danan menjawab keraguan Maura dan Pak Dekan. "Beberapa minggu lalu saya bantu Baksosnya anak-anak Pengmas yang barengan sama Pengmasnya FK dan FKM karena sekalian nemenin Sarah. Bapak bisa tanya Adisty dan kawan-kawan yang melihat interaksi saya dan Sarah. Saya dan Sarah nggak mungkin pura-pura dekat di depan banyak orang, seharian kayak gitu kan Pak? Acting seharian itu capek, tahu, Pak. Waktu itu kami belum pacaran. Setelah Bu Sofi meyakinkan saya, seperti yang terlihat di foto di rumah makan ini, barulah saya berani nembak Sarah."

"Apa buktinya kamu beneran pacaran sama Sarah?" tanya Pak Dekan.

"Bapak bisa telepon Sarah langsung dan tanya ke dia. Saya dipanggil dadakan ke sini dan sejak di sini saya belum pegang ponsel sama sekali, jadi saya nggak mungkin bersekongkol sama dia untuk pura-pura pacaran kan? Dan kalau Bapak belum puas juga, Bapak bisa telepon dr. Emir, dokter relawan pada Baksos kami. Kebetulan Sarah dan dr. Emir juga sebenarnya berada di rumah makan yang sama saat foto ini diambil. Tapi barangkali karena emang foto ini diambil untuk menjelek-jelekkan Bu Sofi, foto ini sengaja diambil saat Sarah dan dr. Emir sholat Maghrib, dan saat Bu Sofi sedang menyemangati saya untuk berani nembak Sarah."

"Frida!" panggil Rahman. Gadis yang duduk di samping Maura dan dari tadi diam saja, kini terkesiap. Jantungnya sudah deg-degan dari tadi karena sewaktu-waktu pasti diinterogasi. "Kamu yang ambil foto ini kan?" tanya Rahman.

"I-i-iya, Pak," jawab Frida gelagapan.

"Apa benar disana juga ada Sarah dan dr. Emir itu?"

"Sa-saya lihat ada Sarah dan 1 laki-laki lagi, Pak___"

"Shit!" maki Maura berbisik.

"Dan kamu sengaja memfoto Bu Sofi dan Danan saat sedang berdua? Kenapa nggak foto saat mereka berempat juga?!" kali ini Pak Dekan yang membentak. Sepertinya mulai merasa sedang dikerjai oleh remaja patah hati yang nekat.

"Ma-ma-maaf Pak, bukan itu mak-maksud saya___"

"Pak Dekan___" potong Sofi cepat, mengambil kesempatan. "Saya rasa sekarang sudah jelas bahwa ini hanya masalah kecemburuan remaja yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan cinta. Kalau memang Bapak masih ingin tahu tentang hubungan saya dan Danan, Bapak tahu bahwa Bapak bisa telepon Sarah atau dr. Emir sekarang juga, atau meminta kesaksian anak-anak Pengmas. Tapi kalau saya jadi dekan sih saya bakal malu karena kehilangan wibawa kalau sampai harus melakukan investigasi untuk kasus receh yang disebabkan oleh remaja putus cinta ini. Ngomong-ngomong nih Pak, emang kalau Pak Rektor atau Dekan fakultas lain tahu bahwa Bapak turun tangan sendiri untuk menyelidiki masalah remeh ini, Bapak nggak malu?"

Melihat ekspresi Dekan yang menahan kesal, Maura tahu bahwa dirinya sudah kalah.

Dia memandang wajah Sofi yang tetap terkontrol tenang. Dan menyesal karena telah menantang orang yang keliru.

Perempuan ini beneran ahli memanipulasi pikiran, pikir Maura lemas, apalagi Dekannya kayak gini, duh! Mudah dimanipulasi.

"Karena tidak ada hal apapun yang bisa dibuktikan atau disimpulkan dari pertemuan ini, apa boleh sekarang saya dan Danan pamit, Pak?" tanya Sofi akhirnya.

Dengan wajah masih kesal, Dekan terpaksa membiarkan Sofi dan Danan pergi karena memang tidak ada lagi hal yang perlu dibicarakan.

"Oiya, karena Frida dan Maura mengambil dan menyebarkan foto untuk tujuan mencemarkan nama baik saya dan Danan, dan mereka tidak bisa membuktikan tuduhannya, saya mau mereka dihukum. Minimal menulis permintaan maaf resmi. Ditandatangani oleh mereka, orangtua mereka, pembimbing akademik mereka, dan surat tersebut ditempel di mading dan disebar di medsos mahasiswa," kata Sofi sambil menatap kedua gadis itu.

Wajah kedua gadis itupun seketika pucat, seperti baru saja bertemu Dementor.

"Kami tunggu surat permohonan maaf dalam seminggu ini. Kalau tidak, saya rasa orangtua Danan punya banyak kenalan pengacara?"

Sofi menoleh pada Danan. Dan pemuda itu memberi anggukan mantap.

"Kalau Bapak lupa, ayah saya adalah pemilik salah satu rumah sakit tempat mahasiswa fakultas kita biasa PKPA (Praktik Kerja Profesi Apoteker) di tiap semester," lanjut Danan mengingatkan.

Frida, Maura dan Pak Dekan segera sadar bahwa sudah berurusan dengan orang yang salah.

* * *

Begitu keluar dari ruang Dekan, Danan langsung ngeloyor pergi tanpa menunggu Sofi. Dia beralasan bahwa sebentar lagi ada kelas Manajemen Pengelolaan Sediaan Farmasi dan dirinya belum makan siang sehingga buru-buru.

"Nanti aku telepon kamu," bisik Danan pelan, lalu langsung pergi tanpa menunggu jawaban Sofi.

Baru saja Sofi merasa lega karena masalah dengan foto-foto itu sudah selesai, kini jadi agak khawatir lagi melihat sikap Danan yang tidak menampakkan kelegaan yang jelas. Apa masih ada masalah yang mengganggu pikiran pemuda itu? Atau itu hanya kekhawatiran Sofi saja?

Setelah menunggu sesiangan dan Danan tidak juga menghubunginya, pada malam hari setelah jam makan malam lewat akhirnya ponsel Sofi bergetar dan menampilkan nama Danan di layarnya. Sofi bergelung di kasurnya kemudian menjawab panggilan itu.

"Maaf ya, baru telepon sekarang," kata Danan mengawali pembicaraan.

"Ga apa-apa. Kamu kan sibuk kuliah," jawab Sofi. Dia lalu memperhatikan suara dari ponsel Danan. "Kamu dimana sih? Kok berisik? Bukan di rumah ya? Kamu belum di rumah?"  tanyanya kemudian.

"Belum. Lagi di kafe, sekalian makan malam."

"Oh," guman Sofi. "Ngomong-ngomong, makasih tadi membantu argumenku."

"Kamu yang lebih banyak berargumen. Aku cuma bantu sedikit."

"Sampai ngaku-ngaku pacaran sama Sarah segala," kata Sofi, separo menyindir.

Sofi tidak mendengar Danan menanggapi sindirannya. Maka ia melanjutkan kata-katanya.

"Tapi meski mereka nggak memperpanjang kasus itu, kita tetap nggak boleh gegabah. Mungkin selama beberapa bulan kita nggak bisa ketemuan atau berinteraksi terlalu dekat di kampus," kata Sofi kemudian. "Sementara kita cuma bisa WhatsA____"

"Aku rasa kita nggak usah berhubungan lagi."

Seperti seseorang sedang mencengkeram jantungnya hingga semua darahnya terperas keluar, habis, Sofi merasa limbung bahkan meski sedang berbaring.

"Nan?"

* * *

Apa ada Kakak2 disini yang merasa argumen Sofi keren? Sebelum kalian terkagum-kagum sama Sofi, saya mau bilang bahwa yang dilakukan Sofi bukan contoh yang baik dari penggunaan logika berpikir yang benar.

Beberapa kali saya membaca kasus dimana pelapor/saksi yang melaporkan suatu kejahatan justru dimintai kewajiban untuk membuktikan laporannya tersebut. Ini salah! Maka pada saat Sofi meminta Maura membuktikan tuduhannya, itu salah.
Sejauh yg saya tahu (Kakak2 yg belajar Hukum boleh tolong koreksi ya), pelapor/saksi tidak punya kewajiban untuk membuktikan laporannya. Kalau memang pelapor/saksi harus membuktikan laporannya, nanti malah ga ada yang berani melaporkan tindak kejahatan kalau belum punya cukup bukti karena ketakutan akan kena tuduhan balik kan?

Pun, tertuduh tidak punya kewajiban untuk membuktikan tuduhan kepadanya salah. Tertuduh punya hak untuk membela diri, tapi tidak berkewajiban.

Kalau gitu, siapa yang berkewajiban membuktikan suatu tuduhan/laporan benar/salah? Ya investigator/penyidik. Polisi misalnya. Itu mengapa netralitas penyidik sangat penting. Kalau sejak awal penyidik sudah punya persepsi pribadi bahwa si pelapor/saksi atau si tertuduh yang salah, maka penyidik hanya akan mencari bukti yang menguatkan persepsinya dan mengabaikan bukti lainnya.

Dalam kasus Sofi-Danan, Dekan sebagai penyidik sejak awal sudah nggak netral. Berdasarkan laporan dari dosen lain, beliau membentuk persepsinya sendiri. Hal ini termasuk ciri-ciri sesat pikir. Dan Sofi memanfaatkan ini untuk memutar-balik dan memanipulasi pikiran Dekan. Tentu saja teknik manipulasi Sofi ini tidak akan berhasil kalau Dekan memiliki wawasan yang luas dan dalam tentang hukum, juga bijak dalam menanggapi suatu kasus.

Jadi kalau Kakak2 yang baca bab ini trus merasa kasusnya familier, itu karena saya memang mengadaptasinya dari fenomena yang makin sering terjadi belakangan ini : alih-alih mengumpulkan bukti untuk memutuskan suatu tuduhan/laporan benar/salah, belakangan ini makin sering pihak investigator justru meminta si pelapor/saksi untuk membuktikan tuduhannya dan jika si pelapor/saksi tidak punya cukup bukti, justru si pelapor/saksi yang dikenai tuduhan mencemarkan nama baik.

Serem ya? Gimana kita mau jd masyarakat yang peduli hukum kalau pas kita lapor bahwa ada pencurian, trus justru kita yang dituduh nyuri hanya karena nggak punya cukup bukti kan? Memprihatinkan emang. Semoga ke depannya bisa lebih baik.

Oiya, jadi sebenarnya disini siapa yang jahat? Frida dan Maura yang memfoto dan menyebarkan foto itu? Atau Sofi dan Danan yang memanipulasi pikiran dekan? Atau Dekan yang nggak adil sejak dalam pikiran? Masing-masing orang pasti punya pendapat yang berbeda soal ini.

Eniwei, terima kasih Kakak2 sudah selalu setia membaca dan vote cerita Sofi-Danan. Love youuuu 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top