48. Heart, Hate, Hurt

"Nggak usah bohong! Gue tahu, lo pelakunya!" bentak Danan kasar. Membuat gadis di hadapannya, yang sebenarnya biasanya galak juga, mengkerut. "Ngaku, Frida! Lo kan yang nyebarin foto-foto gue dan Bu Sofi?!"

"Sumpah, bukan gue!" Gadis bernama Frida itu masih mengelak.

"Asal lo tahu, gue bukan cowol gentle yang nggak pernah mukul cewek," kata Danan mengancam.

"Sumpah! Iya, itu emang gue yang ambil fotonya. Tapi bukan gue yang nyebarin ke anak-anak."

"Jangan bohong!"

"Bener! Gue ambil foto itu sebenernya cuma buat mengancam Bu Sofi, supaya dia nggak bantai gue pas sidang nanti. Dia penguji proposal gue, dan pasti nguji sidang gue nanti. Proposal gue habis sama dia. Jadi gue pikir, kalau gue punya foto itu, gue bisa ancam dia supaya nggak galak-galak amat pas sidang nanti. Itu aja. Gue nggak beneran pengen nyebarin itu ke anak-anak."

"Trus kenapa bisa nyebar ke anak-anak?!"

"Maura," kata Frida. Danan mengernyit ketika kakak kelasnya itu menyebut nama teman sekelasnya. "Dia sepupu gue. Waktu kami bergosip pas acara kumpul keluarga, gue ngasih lihat foto itu ke dia. Gue nggak tahu bahwa dia bakal ngelakuin hal ini dengan foto-foto itu."

Danan menggertakkan gigi, menahan amarah. Dia mengepalkan tangannya, berusaha mencegah dirinya sendiri untuk tidak memukul cewek brengsek di hadapannya.

* * *

"Apaan sih Nan?!" bentak gadis berambut berombak sepunggung yang diwarnai kecoklatan. Dia berusaha melepaskan tangan Danan yang sejak tadi mencengkeram lengannya dan menarik-nariknya ke belakang lab hewan yang sepi.

"Nggak usah sok nanya, Maura!" balas Danan membentak. Ia menghempaskan genggamannya pada tangan gadis itu dengan kasar, hingga gadis itu terhempas membentur tembok di balik punggungnya. "Apa maksud lo nyebarin foto-foto itu?!"

Sambil mengurut pergelangan tangannya yang nyeri akibat ditarik paksa oleh Danan, Maura tersenyum sinis.

"Jadi itu bener? Lo emang pacaran sama Bu Sofi?" tanya Maura sinis.

"Jadi bener, lo yang nyebarin foto itu, hah?!"

"Kalau kalian nggak beneran pacaran, harusnya lo nggak semarah ini."

"Gosip itu bener atau nggak, tapi perbuatan lo ini bakal merusak nama baik dosen. Mikir ga sih lo, hah?!"

"Jadi lo nggak peduli sama nama baik lo? Lo lebih peduli sama nama baik Bu Sofi?"

"Heh! Nggak usah mengalihkan pembicaraan ya. Apa sih maksud lo melakukan semua hal jahat ini?"

"Supaya lo nggak bahagia."

Danan tercenung mendengar jawaban lugas Maura. Apa salahnya kepada gadis itu sehingga gadis itu ingin dirinya tidak bahagia?

"Dari lama gue udah naksir sama lo, Nan. Lo tahu itu, tapi lo selalu cuekin gue," kata Maura, masih dengan nada sinisnya. "Awalnya Sarah. Lalu sekarang Bu Sofi. Kenapa nggak pernah gue?"

Danan masih terpaku, saking tidak habis pikir gadis itu bisa melakukan hal nekat tersebut. Selama ini Danan memang menyadari Maura naksir padanya. Tapi karena dia tidak tertarik pada gadis itu, daripada memberi harapan palsu, Danan memilih bersikap cuek. Dia tidak tahu bahwa sikap cueknya akan memicu dendam gadis itu.

"Waktu lihat foto lo dan Bu Sofi, gue cemburu banget. Gue nggak peduli kalian benar pacaran atau nggak, tapi di foto itu jelas banget bahwa lo bahagia dengan perempuan lain. Well, kalau gue nggak bisa bahagia bersama lo, setidaknya lo nggak bisa bahagia bersama orang lain."

Danan menatap Maura dengan jijik.

"Setelah lo mendengarkan diri lo sendiri ngomong gitu, Bangsat, lo masih nanya kenapa gue nggak pernah milih lo? Sadar diri dong, ngaca! Ada nggak cowok yang mau sama cewek jahat kayak lo? Sebelum lo menuntut buat dicintai, coba deh bikin diri lo sendiri layak buat dicintai. Bukannya malah melakukan hal jahat kayak gini. Lo cewek menjijikkan, Maura!"

Selama ini Danan memang selalu cuek dan tidak pernah menanggapi godaannya, tapi setidaknya Danan selalu baik dan sopan padanya. Itu mengapa kali itu Maura terpukul ketika mendengar Danan bisa bicara sekasar dan semenyakitkan itu padanya. Apa itu artinya kesempatannya sama sekali nol untuk mendapatkan hati Danan?

Maura jatuh terduduk dan terisak ketika Danan meninggalkannya pergi.

* * *

Ketika dirinya ditugaskan menjadi Koordinator Kemahasiswaan Fakultas dua tahun lalu, dipikirnya dia hanya akan mengurusi kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, menyeleksi mahasiswa yang mengajukan beasiswa atau keringanan biaya pendidikan, atau bahkan mendengarkan curhatan mahasiswa. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa dia juga harus mengurusi skandal cinta mahasiswa dan dosen. Apalagi kalau skandal itu melibatkan sahabatnya sendiri. Rahman jadi pusing dibuatnya.

Beberapa hari ini sebenarnya dia sudah agak lega karena tidak menerima email ancaman berisi foto-foto Sofi-Danan lagi. Tapi kelegaannya langsung sirna ketika dia mendapat kiriman foto dari salah satu mahasiswa bimbingan akademiknya yang menanyakan tentang foto tersebut kemarin. Itu mengapa Rahman merasa perlu melakukan sesuatu.

"Saya rasa kamu sudah tahu kenapa saya panggil kamu kemari?" tanya Rahman sambil melepas kacamatanya, dan mengurut titik diantara kedua alisnya dengan ekspresi lelah. Dia menatap pemuda yang duduk di hadapannya dengam tajam, sekali, sebelum ia kembali memakai kacamatanya.

"Iya Pak," jawab Danan singkat.

Tepat sebelum akan pulang, Danan mendapat pesan WhatsApp dari Rahman yang memintanya menemui lelaki itu si ruangannya. Bukan di ruangannya sebagai Koordinator Kemahasiswaan, tapi di ruang dosen Kimia Farmasi. Jam 5 sore, setelah banyak mahasiswa sudah pulang. Rahman merasa perlu bicara 4 mata dengan Danan.

"Sofi sudah bilang bahwa kedekatan kalian hanya karena kalian pernah jadi murid dan guru les," kata Rahman memulai, "Tapi saya nggak buta. Saya tahu kalian punya hubungan istimewa. Meski kami nggak dekat saat masih kuliah, tapi kami sudah bersahabat sejak dia jadi dosen disini. Jadi saya tahu, bahwa saat dia nggak mengakui hubungan khusus kalian, itu karena dia ingin melindungi kamu."

Tepat seperti itu juga yang dipikirkan Danan tentang alasan Sofi tidak memberitahunya tentang foto-foto itu. Sofi tidak ingin Danan terlibat masalah dan dia sedang berusaha menyelesaikan masalah itu sendirian. Dan Danan tidak menyukai hal itu. Nalurinya sebagai lelaki terluka ketika perempuan yang dicintainya tidak bisa dia lindungi dan alih-alih justru berusaha melindunginya.

"Saya nggak akan biarin dia menghadapi sendirian, Pak. Saya akan memperjuangkan dia. Saya sudah tahu siapa orang yang menyebarkan foto-fo___"

"Bukan itu lagi masalahnya sekarang," kata Rahman sambil mengusap wajahnya. "Foto-foto itu sudah tersebar di mahasiswa. Tinggal menunggu waktu sampai para dosen mendengar tentang ini. Dan saat itu tiba, Sofi akan berada dalam masalah besar. Dia bisa dipecat."

"Tapi ini bukan salah dia, Pak. Saya yang terus-terusan mengejar dia," Danan buru-buru membela Sofi.

"Orang lain nggak akan peduli sama fakta itu, Danan," kata Rahman sambil menghela nafas, menjaga kesabaran menghadapi mahasiswanya yang ngeyel ini. "Bagi mereka, tetap Sofi yang salah. Sofi sudah lebih dewasa sehingga mereka pasti berharap Sofi bisa lebih rasional dan bukannya malah mengikuti kamu melakukan hal kekanakan begini."

"Menurut Bapak, rasa cinta itu kekanakan?" tantang Danan.

"Kalau gitu buktikan bahwa rasa cinta kamu ke Sofi bukan perasaan yang kekanakan!" Rahman balas menantang. "Memperjuangkan bukan satu-satunya cara mencintai, Danan. Kita juga bisa mencintai dengan cara melindungi orang yang kita sayang. Itu yang Sofi lakukan buat kamu. Apa kamu bisa melakukan hal yang sama buat Sofi?"

* * *

Beberapa hari sudah berlalu sejak foto-foto sensasional itu beredar. Dan Danan tahu tidak ada gunanya mengklarifikasi atau membantah gosip. Mereka yang percaya padanya tidak membutuhkan itu, dan mereka yang lebih percaya pada gosip tetap tidak akan mau mempercayai penjelasannya andaipun ia menjelaskan. Maka bersikap masa bodoh atas semua kekepoan teman-temannya adalah pilihan yang menurutnya paling tepat saat itu.

Randu, meski biasanya lemot dan tidak peka, kali itu menunjukkan kualitasnya sebagai sahabat. Pemuda itu sepertinya tahu bahwa kabar itu bukan sekedar gosip, tapi dia tidak memaksa Danan bercerita dan tidak juga membahas soal Sofi atau gosip itu. Satu-satunya hal tentang Sofi yang dibicarakan Randu adalah saat dia memberi tahu Danan bahwa dia dan Michelle sudah melamar Sofi sebagai pembimbing skripsi mereka.

"Bu Sofi nyuruh gue dan Michelle bikin proposal singkat dulu, baru dia bisa menilai apakah minat penelitian kami cocok sama roadmap penelitiannya selama ini," kata Randu memberi info. "Sori gue nggak ngajakin lo ketemu Bu Sofi bareng sama Michelle. Gue pikir lo butuh waktu dengan adanya semua gosip ini."

"Thanks, Bro," hanya itu yang dikatakan Danan sambil menepuk bahu Randu.

Ngomong-ngomong soal Sofi, Danan sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya saat berangkat atau pulang kampus. Saat di kampuspun, mereka hanya bertemu saat Sofi mengajar di kelas Danan. Danan tidak pernah lagi sengaja mengajak ngobrol Sofi selepas mengajar, dan tidak pernah menemui Sofi di ruangannya. Sebisa mungkin dia tidak menambah kerumitan gosip yang beredar. Untungnya Sofi tidak menutup komunikasi lewat WhatsApp. Danan masih terus mengiriminya pesan tiap hari, dan Sofi membalasnya seperti biasa. Beruntung juga ada deadline topik skripsi sehingga Danan punya alasan untuk tanya-tanya pada Sofi tentang topik skripsi dan pembimbing yang tepat untuknya.

Danan sudah memutuskan untuk tidak skripsi di bawah bimbingan Sofi. Hal itu hanya akan memperkeruh gosip. Namun dia memang tertarik melakukan penelitian skripsi di bidang Teknologi Farmasi sehingga dia tetap perlu saran dari Sofi tentang topik penelitian yang cocok untuknya.

Sofia: What do you want to do in the future?

Sofia : Mgkn kamu mau ngerjain penelitian skripsi sesuai dengan apa rencana kamu nanti setelah kerja?

Sofia: Misal kalo kamu mau kerja di industri farmasi di bagian Quality Control, kamu bisa ambil skripsi Kimia Farmasi. Kalo kamu mau kerja di Pengembangan Produk, kamu bisa ambil skripsi Teknologi Farmasi. Kalo kamu mau mengelola instalasi farmasi di rumah sakit Bapak, kamu bisa ambil skripsi Farmasi Klinik atau Farmasi Komunitas?

Dirgatama : Hmmm, what if i want to continue as researcher? I want to pursue Master and PhD. Drug discovery, drug targeting n drug formulation sounds interesting, right?

Sofia: Wah! Itu keren!

Dirgatama : Tapi itu ga mungkin.

Sofia: Why?

Dirgatama : Aku harus bantu Bapak mengelola rumah sakitnya kan? Aku udah kecewain Bapak dengan nggak jadi dokter, tapi aku udah terlanjur janji untuk tetap membantu mengelola rumah sakit sebagai Apoteker.

Sofia: Well....

Dirgatama : Ada ide, penelitian bidang Teknologi Farmasi yang bisa improve pelayanan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit?

......

Sofia : I think i have an idea. Will send you the previous research article in a minute. And lucky you, we have the expert here in our faculty!

-pdf is sent-

Dirgatama : Wah! Thank you, Pia. I love you 😘

Sofia : Anytime!

Dirgatama : I have no idea without you. Ternyata selama ini aku emang banyak bergantung sama kamu.

Sofia : Don't mention it. I hope i can support you more, but i can't. Cuma sejauh ini yang bisa aku lakukan buat kamu.

Dirgatama : No, you have done many things for me.

Dirgatama : Aku udah bersyukur bisa memperjuangkan masa depan yang aku pilih sendiri sejauh ini. Tapi kita emang nggak selalu bisa mendapat semua yang kita mau kan?

Dirgatama : Lagian, aku butuh menunjukkan diri ke Bapak bahwa pilihanku untuk nggak jadi dokter adalah pilihan yang tepat, and after all aku tetap bisa diandalkan di rumah sakit. Supaya aku bisa memperjuangkan pilihanku yang lain di depan Bapak dan Ibu.

Sofia : Nan, am i your burden to pursue your future?

Dirgatama : Of course not! You are my motivation, Sayang.

* * *

Danan sedang mencoba menyusun proposal penelitiannya, sambil nonton tv, ketika ibunya memanggil Danan karena makan malam sudah siap. Seperti biasa, pada hari Kamis Bapak dan Ibu tidak ada jadwal praktik sore sehingga mereka bisa makan malam bersama.

"Gimana kuliah, Nan?" tanya Ibu selagi mereka makan. "Hampir UAS lagi kan? Dan semester depan kamu mulai penelitian?"

"Iya, Bu," jawab Danan dengan mulut penuh. Kali itu mbak Sumi masak sayur daun singkong dan ikan pesmol kesukaan Danan, sehingga Danan makan dengan lahap. Ia menelan makanannya dulu sebelum melanjutkan melanjutkan jawaban atas pertanyaan ibunya. "Dua minggu lagi Danan UAS dan sekarang Danan udah mulai nyusun proposal penelitian buat semester depan. Danan udah ngelamar dosen pembimbing skripsi juga, dan alhamdulillah udah diterima."

"Jangan bilang, kamu dibimbing Sofi?" tanya Bapak.

"Bukan kok Pak," jawab Danan cool. Meski jantungnya berdebar sesaat ketika nama Sofi disebut, tapi dia bersikap tetap kalem. "Waktu magang di rumah sakit Bapak semester lalu, Danan perhatikan masih banyak resep racikan puyer untuk anak-anak. Di beberapa negara, bahkan termasuk Malaysia, resep racikan puyer sudah berkurang, karena masalah akurasi dosis dan preparasi. Untuk menggantikan sediaan puyer buat anak-anak, kita bisa dispersikan tablet dosis dewasa ke suatu cairan suspensi untuk mendapatkan dosis anak-anak. Nah, Danan mau meneliti formulasi pembawa yang stabil yang bisa digunakan untuk menggantikan bentuk puyer itu. Dosen Danan, pak Satrio namanya, memang ada riset tentang pengembangan formula untuk aplikasi di aseptic dispensing dan compounding lainnya. Kalau berhasil, barangkali bisa kita aplikasikan di instalasi farmasi rumah sakit Bapak."

Bapak dan Ibu bertatapan, dan beralih menatap Danan dengan takjub.

"That is exactly what I expect from you, Danan Dirgatama," kata Bapak sambil tersenyum lebar.

"Kami bangga sama kamu, Nan," kata Ibu kepada Danan. Kemudian beralih kepada suaminya. "Ibu udah bilang kan Pak, berlian dimanapun berada akan tetap sebagai berlian."

"Of course!" kata Bapak tak menyanggah. "But he would shine brighter as doctor, don't you think that also, Bu?"

"Well, Danan sudah membuktikan bahwa Danan ga sepantas itu jadi dokter. Dua kali ikut ujian masuk dan gagal," kata Danan mengingatkan.

"Kamu hanya ga mau mencoba kesempatan terakhir di universitas swasta," balas Bapak.

"Mungkin Danan ga bisa seperti ini kalau nggak kuliah di kampus Danan sekarang, dengan dosen-dosen yang sekompeten itu."

"Well___" Bapak angkat bahu. Enggan melanjutkan perdebatan itu. Sudah lama beliau terpaksa mengikhlaskan anak tunggalnya tidak meneruskan cita-citanya sebagai dokter. Meski masih menyesali keputusan Danan, tapi kini Bapak mulai merasa barangkali Danan memang lebih baik menjadi Apoteker. Instalasi Farmasi, dengan stok obat yang bervariasi dan jumlahnya tidak sedikit, masih merupakan divisi yang dipandang sebelah mata di rumah sakit, padahal menyumbangkan laba yang tidak sedikit bagi rumah sakit. Barangkali dengan adanya Danan nanti di Instalasi Farmasi, rumah sakit mereka dapat lebih berkembang.

Meski tidak menjadi dokter, Bapak tidak bisa memungkiri bahwa Danan telah banyak membuatnya bangga. Baik dengan prestasi akademik dan non akademiknya, maupun sumbangan sarannya tiap kali ia menghabiskan libur semester genap dengan magang di rumah sakit.

"Ngomong-ngomong, Pak," kata Danan, "dr. Emir sudah setuju praktik 2 kali seminggu selama 4 jam di rumah sakit kita."

"Oh ya? Kapan dia bisa mulai?" kata Bapak antusias.

"dr. Emir yang selebdoctor itu? Yang followernya ibu-ibu muda itu?" tanya Ibu.

"Yeah!" jawab Danan ikutan semangat. "Kalau dr. Emir praktek di rumah sakit kita, bakal banyak ibu-ibu muda yang datang ke rumah sakit kita. Kerjasama dengan dokter anak yang bagus nggak akan bikin kita rugi. Para orangtua, sekali aja anaknya cocok sama dokter tertentu, mereka akan selalu kembali ke dokter yang sama."

"Exactly!" kata Bapak bangga dengan naluri bisnis anaknya. "Gimana ceritanya kamu bisa meyakinkan dokter anak beken kayak dia sehingga mau praktik di rumah sakit kita?"

"Well___" Danan memandang ayahnya dengan tatapan misterius dan cengiran tengilnya. "Dengan satu dan lain cara. Dia dengan senang hati bergabung dengan kita."

"Apa yang kamu tawarkan ke dia?" tanya Ibu.

Masih dengan senyum tengil yang sama. "Masa depannya, Bu."

* * *

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Danan mengambil laptopnya yang tadi diletakkannya di depan tivi dan membawanya ke kamar untuk melanjutkan proposal skripsinya. Ssmentara Bapak dan Ibu menikmati malam tenang mereka bersantai di depan tivi. Mumpung mereka sama-sama sedang nggak praktik.

Ibu sedang mengubah posisi duduknya dan mengambil bantal sofa di balik punggungnya ketika dia menemukan ponsel Danan terselip disitu.

"Nan! Hape kamu ketinggalan!" Ibu berteriak lantang memanggil Danan yang berada di kamarnya, di lantai atas.

"Iya, Bu, Danan turun!" jawab Danan.

Baru saja Ibu akan meletakkan ponsel Danan di meja di hadapannya ketika sebuah pop-up message muncul dan beliau tidak sengaja membacanya.

Randu: Gue dapet bocoran dari sumber terpercaya. Besok lo bakal dipanggil Dekan karena skandal lo dan Bu Sofi. Just let you know so you can preparing the answer about the photos.

Syok dengam pesan tersebut, Ibu mengklik pop-up message tersebut dan kebetulan ponsel Danan tersebut tidak dilengkapi password.

Mata Ibu melebar ketika membaca chat Danan dan Randu, terutama ketika melihat foto-foto Sofi dan Danan yang pernah dikirimkan Randu.

"Astagfirullah!" pekik Ibu tertahan.

"Kenapa Bu?" tanya Bapak ikutan kaget ketika mendengar nada suara Ibu.

"Pak____"

Ibu tidak menjawab pertanyaan Bapak. Beliau hanya menunjukkan foto-foto yang membuatnya syok tadi. Dan kini wajah Bapak mengeras.

Danan sampai di anak tangga terbawah dengan disambut wajah kaku kedua orang tuanya.

"Ada skandal apa antara kamu dan Sofi, Nan?" tanya Ibu marah. "Dan apa maksudnya foto-foto ini? Jelasin!"

Suara marah Ibu saja sudah membuat Danan ciut. Apalagi wajah keras Bapak. Danan tidak mempersiapkan diri untuk konfrontasi dengan orang tuanya secepat ini.

* * *


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top