46. Waktu Yang Salah (2)

Padahal sudah berkali-kali Sofi memperingatkan dirinya untuk tidak jatuh hati pada pemuda itu. Danan itu muridnya sendiri, murid yang dia didik sejak masih remaja 13 tahun! Demi Tuhan! Bagaimana mungkin dia bisa menyukai muridnya sendiri?! Apalagi sekarang status mereka adalah dosen dan mahasiswa. Orangtua Dananpun pasti akan menolak calon menantu yang usianya jauh lebih tua daripada usia anaknya. Apa semua alasan itu belum cukup untuk menjelaskan padanya bahwa dia tidak boleh menyukai Danan?!

Tapi coba tolong jelaskan pada Sofi, bagaimana caranya supaya dia tidak jatuh hati pada pemuda itu ketika secara kontinu dan terang-terangan pemuda itu menunjukkan rasa cintanya pada Sofi? Batu pun kalau ditetesi air sedikit-sedikit secara kontinu, lama-lama juga akan lapuk dan hancur. Apalagi hati Sofi belum menjadi sekeras batu, meski sempat patah oleh Attar. Jadi wajar saja ketika sikap manis Danan yang kontinu itu akhirnya mampu meluluhkan hatinya kan?

Selama ini dia sudah terlalu egois dengan menerima dan menikmati semua kebaikan, perhatian dan sikap manis Danan untuk menyembuhkan kesedihannya akibat berpisah dengan Attar. Kalau dipikir-pikir, dia benar-benar telah memanfaatkan kebaikan Danan padanya selama ini, padahal dia tidak mau menerima hati pemuda itu.

Kamu jahat, Pia!

Benar kata Danan, dirinya memang jahat. Bertahun-tahun membuat pemuda itu bertepuk sebelah tangan, lalu ketika dirinya menyadari perasaan pemuda itupun, Sofi hanya memanfaatkannya untuk keegoisannya sendiri. Wajar saja jika akhirnya Danan marah padanya kan?

Kamu nggak berhak cemburu!

Kata-kata Danan itupun benar. Setelah mengabaikan perasaan Danan selama bertahun-tahun, apa Sofi berhak cemburu melihat Danan bahagia bersama perempuan lain? Dia tidak berhak! Danan berhak bahagia, setelah bertahun-tahun cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

Tapi bersama Sarah, Danan juga tidak akan bahagia kan? Ibunya Sarah tidak akan menyetujui hubungan Sarah-Danan karena Danan bukan keturunan Arab kan? Nasib kisah cinta Danan-Sarah pasti akan sama tragisnya dengan kisah Attar-Sofi kan?

Ini alasan yang kuat buat gue untuk memisahkan mereka kan? Supaya Danan nggak menderita patah hati seperti yang gue rasakan, iya kan?, pikir Sofi, senang mendapat alasan untuk memisahkan Danan dan Sarah.

Emang kalo sama lo, Danan bakal bahagia? Orangtuanya juga nggak bakal setuju sama lo. Sama aja, bersama lo, Danan juga nggak bakal bahagia. Dan lo cuma akan mengulang patah hati lo, kata suara hati Sofi yang lain.

Sofi meringkuk di tempat tidurnya sambil merenungi nasibnya. Kenapa dia tidak dilahirkan 6 tahun lebih lambat? Kenapa dia tidak menerima perasaan Danan sejak dulu? Kenapa dia baru menyadari perasaannya pada Danan setelah Danan dekat dengan perempuan lain?

Sepertinya banyak hal dalam hidupnya terjadi di waktu yang salah...

* * *

Lo pikir setelah penantian 7 tahun ini, gue bakal gampang menyerah?

Danan masih ingat kata-kata yang dikatakannya pada Attar. Saat itu dia bilang bahwa dia tidak akan mudah menyerah memperjuangkan Sofi. Dan ketika mengetahui Sofi cemburu terhadap dirinya dan Sarah, harusnya Danan merasa senang kan? Karena cemburu itu tandanya cinta, berarti Sofi sudah mulai mencintainya kan? Tapi entah kenapa kali itu Danan malah marah.

Barangkali karena provokasi Frida lah sehingga Danan malah marah ketika mengetahui Sofi cemburu. Danan merasa Sofi berlaku tidak adil terhadapnya. Sofi tidak mau menerima cintanya, tapi terus mencari kenyamanan darinya untuk mengobati patah hatinya terhadap pria lain. Tapi ketika Danan sudah berusaha membuatnya bahagia, ternyata Sofi belum bisa juga melupakan Attar. Saat itu Danan merasa Sofi sangat egois karena cemburu saat dia dekat dengan Sarah, padahal gadis itu sendiri tidak menerima hatinya dan masih terpaku pada masa lalu. Bukankah itu tidak adil untuk Danan?

Sejujurnya Danan belum ingin menyerah. Dia hanya lelah dan butuh istirahat sejenak. Barangkali dengan memberi jarak pada hubungannya dengan Sofi, Danan bisa mengingat kembali alasannya memperjuangkan gadis itu.

* * *

Setelah akhir pekan lalu Sofi menolak ajakan Emir untuk makan bersama sekaligus membicarakan tawarannya untuk menjadi pengisi rubrik di blog kesehatan yang dirintisnya, sore itu sepulang dari kampus mereka sepakat untuk bertemu. Suasana hati Sofi masih buruk akhir pekan lalu akibat bertengkar dengan Danan, membuatnya enggan bertemu dengan orang baru karena akam sulit beramah-tamah dengam suasana hati yang buruk. Baru beberapa ini suasana hatinya membaik sehingga dia baru bisa menerima ajakan Emir.

Sofi sengaja memilih bertemu di sore hari setelah pulang mengajar, alih-alih akhir pekan, sehingga dirinya dan Emir tidak punya banyak waktu untuk mengobrol. Dengan terbatasnya waktu, obrolan akan lebih fokus pada proyek yang ditawarkan Emir saja, dan mereka tidak akan punya cukup waktu untuk membahas hal basa-basi. Meski suasana hatinya lumayan membaik, Sofi belum sepenuhnya mood beramah-tamah dalam waktu lama.

Sudah beberapa hari Danan tidak pernah lagi mengiriminya pesan WhatsApp. Bukannya sebelumnya Danan mengirimkan pesan WA tiap hari sih, tapi setidaknya seminggu dua kali nama Danan akan muncul di layar ponselnya. Tapi kali itu dua pekan berlalu tanpa satupun pesan dari Danan diterimanya. Saat selesai mengajar di kelas Dananpun, pemuda itu tidak menyapanya seperti biasa. Setelah terbiasa dengan sikap Danan yang hangat, Sofi merasa buruk ketika dihadapkan pada sikap cuek pemuda itu. Tapi tentu saja dia tidak bisa menyalahkan Danan. Akibatnya dia hanya bisa menyesali diri sendiri. Dan hal tersebut yang membuat mood nya belum benar-benar membaik.

Arlojinya menunjukkan pukul setengah enam sore ketika Sofi melangkah memasuki rumah makan dengan menu bebek yang sudah terkenal di kawasan Tebet. Sofi juga yang mengusulkan lokasi pertemuan tersebut. Sekalian bisa makan malam, apalagi karena Sofi juga suka menu bebek bakal sambal mangga di rumah makan itu. Untungnya Emir juga penggemar bebek, sehingga ia langsung setuju bertemu di rumah makan tersebut.

Bukan hanya rasa masakannya yang enak, harga menu di rumah makan itu juga tidak terlalu mahal. Itu mengapa banyak mahasiswa dan karyawan yang pulang kampus/kantor suka mampir dan makan di situ. Sofi lupa mempertimbangkan fakta itu, dan baru teringat saat ia mendapati hampir semua kursi telah terisi penuh oleh pengunjung.

Karena bukan restoran mewah, tidak ada meja kursi yang disusun untuk dua - empat pengunjung. Di rumah makan itu memuat sekitar 10 meja dan kursi panjang yang bisa memuat 10 pengunjung di tiap mejanya. Saat Sofi datang, hampir tidak ada tempat di kursi panjang itu yang masih kosong. Untunglah Sofi segera melihat wajah yang dikenalnya melambaikan tangannya dari salah satu kursi kosong.

Emir melambaikan tangannya lalu memberi kode bahwa ada kursi kosong di hadapannya. Sofi membalas lambaian itu lalu melangkah menuju kursi yang Emir tunjuk. Tapi makin dekat dengan kursi itu, langkah Sofi melambat saat ia mengenali seseorang yang duduk di samping Emir.

"Mungkin karena hampir jam makan malam, jadi rame banget. Tadi saya nggak nemu kursi kosong lain. Untung mereka lagi makan disini juga, dan mereka menawarkan tempat ini, jadi kita bisa dapat tempat duduk," kata Emir ketika Sofi sampai di hadapan lelaki itu.

Mereka yang dimaksud Emir adalah Danan dan Sarah. Danan duduk di samping Emir, sementara Sarah duduk berhadapan dengan Danan di samping kursi kosong yang disiapkan untuk Sofi.

"Nggak keberatan kan makan bareng mereka juga?" tanya Emir.

"Nggak lah, Dok," jawab Sofi sok santai. Padahal sebenarnya hatinya nggak santai sama sekali ketika melihat wajah Danan.

Pemuda itu tidak tampak jutek. Tapi karena Sofi terbiasa dengan wajah ramah dan jenaka Danan, wajah Danan yang kali itu datar jadi terlihat cukup mengintimidasi.

Mungkin malah mereka berdua yang merasa terganggu pacarannya karena kehadiran gue dan Emir, kata Sofi dalam hati, pahit.

"Halo Bu Sofi," Sarah menyapa ramah sambil menggeser duduknya untuk mempersilakan Sofi duduk di sampingnya. Meski biasa memanggil "mbak" pada Sofi, tapi karena ada Emir disitu maka Sarah kembali memanggil Sofi dengan "ibu" seperti panggilannya di kampus.

"Halo, Sar. Halo, Nan," sapa Sofi, berusaha membalas dengan ramah. Ia lalu duduk di hadapan Emir, di samping Sarah.

Sarah membalas dengan senyum. Danan hanya membalas dengan anggukan kecil.

"Sudah lama, Dok?" tanya Sofi kepada Emir.

"Belum lama kok. Nih belum pesan makan juga," jawab Emir.

"Kalian baru datang juga atau sudah hampir selesai?" tanya Sofi pada Sarah. Di hadapan Sarah dan Danan tidak ada piring kotor. Jadi, dugannya antara mereka baru datang juga atau mereka sudah hampir pulang.

"Udah dateng dari tadi si Bu," jawab Sarah. "Udah pesan makan, tapi belum dateng."

Sofi mengangguk sambil melirik Danan yang hanya diam sambil memainkan ponselnya.

Begitu Sofi datang, Emir segera memberi kode kepada petugas yang mencatat pesanan mereka.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Emir menjelaskan kepada Sofi tentang tawarannya untuk mengajak Sofi ikut serta mengelola blog kesehatan yang dirintisnya bersama beberapa temannya. Sofi sudah mengetahui blog tersebut karena beberapa kali Emir melampirkan tautan laman blog tersebut di twit-nya. Kebanyakan berisi pembahasan tentang klarifikasi seputar hoax-hoax bidang medis dan kesehatan. Tapi tidak terbatas pada itu, mereka juga membahas info-info kesehatan terbaru.

"Kita pengen banget ada bahasan seputar hoax tentang obat-obatan juga, Mbak, makanya saya ngajakin Mbak Sofi untuk ikutan nyumbang tulisan secara berkala," kata Emir. "Kalau nanti blognya makin terkenal, kami juga berencana bikin kolom konsultasi kesehatan. Kalau Mbak Sofi berminat, kami bakal seneng banget kalau mbak Sofi ikut terlibat di forum konsultasi itu."

"Menarik, Dok," kata Sofi, "Seperti saya sampaikan di WA, saya tertarik untuk ikut menulis disitu. Makasih banyak saya udah diajakin. Tapi saya belum bisa janji seberapa aktif saya bisa mengirimkan tulisan. Saya kan dosen junior di kampus, Dok, jadi lumayan juga tugas dosen senior yang didelegasikan ke saya. Hahaha."

Emir ikut tertawa. Seperti halnya kasta-kasta dalam kepaniteraan klinik, dalam suatu fakultas dengan sistem kolegialpun sistem kasta tetap tak terhindarkan. Dan Emir paham bahwa Sofi masih berada di kasta terbawah.

"Ngerti banget, Mbak," kata Emir. "Biasanya kami posting materi seminggu sekali. Di awal bulan kami sudah ada rencana mau membahas apa. Nah nanti kami kirimin jadwal dan rencana materinya ke Mbak Sofi, supaya Mbak Sofi bisa mempersiapkan tanpa terburu-buru. Kalau mbak Sofi ada usulan tema, kami juga dengan senang hati menerima lho."

Sofi tersenyum dan mengangguk.

"Eh, ngomong-ngomong nih," lanjut Emir, kali ini pada Danan dan Sarah. "Kalau kalian ada artikel seputar kesehatan atau obat, bisa juga dikirim ke kami lho. Nggak usah malu, nanti kami edit juga kok sebelum terbit."

"Wah? Beneran Dok?"  tanya Sarah antusias. "Meski kami belum lulus, ga apa-apa nulis di blog itu?"

"Kalau yang dibahas menarik dan datanya valid, meski yang nulis seorang mahasiswa, kami pasti senang menerimanya," kata Emir pasti.

Makanan pesanan Danan dan Sarah akhirnya datang, dan beberapa menit kemudian makanan Sofi dan Emir juga datang. Merekapun mulai makan sambil melanjutkan obrolan dengan bahasan ringan. Sebenarnya sih, pada akhirnya jadi Emir dan Sarah yang lebih banyak ngobrol tentang perkuliahan dan dosen-dosen mereka. Emir jadi berasa nostalgia dengan membicarakan kelakuan-kelakuan eksentrik dosennya, Sarah juga jadi dapat tips-tips menarik menaklukkan masing-masing dosen.

Sarah dan Emir masih asik ngobrol ketika adzan Maghrib berkumandang. Sofi pamit sholat Maghrib duluan dan mengusulkan untuk sholat bergantian supaya tetap ada orang yang menjaga tempat duduk mereka. Dan karena Sofi dan Danan yang sudah selesai makan duluan, akhirnya mereka pamit untuk sholat Maghrib dulu, meninggalkan Sarah dan Emir yang masih asik makan dan ngobrol.

Selama 8 tahun mengenal, belum pernah Sofi berada di dekat Danan dan saling diam lebih dari 5 menit. Kali itu pertama kalinya terjadi, mereka berjalan ke wastafel dan mencuci tangan bersisian, lebih dari 5 menit, tanpa bersuara sedikitpun. Lebih dari merasa canggung, Sofi merasa sakit dan sedih. Selama ini Sofi mengira akan selalu mendapatkan sikap ramah dan hangat Danan, sehingga dia tidak menganggapnya sesuatu yang istimewa. Kini, saat Danan tidak lagi bersikap ramah dan hangat, Sofi baru merasa kehilangan.

Penyesalan selalu ada di belakang kan? Kalau di depan, namanya resepsionis.

Setelah sama-sama mencuci tangan, mereka berpisah jalan ke mushola pria dan wanita. Ketika Sofi kembali ke meja mereka, ternyata Danan sudah ada disana.

"Sarah dan dokter Emir udah ke mushola?" tanya Sofi basa-basi, meski ia sudah tahu alasannya. Dia hanya butuh bahan untuk ngobrol dengan Danan.

Tapi Danan hanya menjawab dengan anggukan.

Dengan menahan rasa kecewa, Sofi duduk di hadapan Danan. Pemuda itu tampak sedang sibuk dengan ponselnya. Membuat Sofi dilema apakah harus pura-pura main ponsel juga atau memberanikan diri membicarakan masalah mereka.

"Kamu dan Sarah... sering makan disini?" tanya Sofi, mencoba membuka obrolan.

Danan mengangkat tatapannya dari ponselnya dan memandang Sofi.

"Nggak sesering aku ngajak kamu kesini."

Jawaban Danan membuat hati Sofi menghangat dan tersayat secara bersamaan. Aneh bukan, perasaan cinta itu?

Salah satu alasan Sofi mengusulkan rumah makan ini sebagai tempat janjian ketemu dengan Emir adalah karena rumah makan ini adalah salah satu rumah makan favoritnya (dan Danan). Danan yang pertama mengenalkan Sofi pada rumah makan itu, dan mereka memang beberapa kali makan bersama di tempat itu. Selain karena Sofi penggemar bebek bakar, juga karena porsi nasinya yang besar dan free es teh tawar. Tipe rumah makan favorit Sofi kan.

"Kalian sedang kencan?" tanya Sofi lagi, memberanikan diri untuk mendengar jawaban yang tidak diharapkannya.

"Kamu maunya begitu?" Danan balik bertanya dengan dingin.

Sofi menatap Danan. "Aku nggak mau begitu..."

"Kamu egois," cibir Danan sinis.

"Aku tahu," jawab Sofi pasrah. "Aku baru sadar bahwa aku cinta kamu. Makanya aku cemburu dan nggak suka kalian bersama. Aku sadar bahwa aku egois. Maaf."

Mata Danan terpaku pada Sofi. Begitupun sebaliknya. Bagi Danan, ini adalah momen yang selalu dibayangkan dan ditunggunya sejak 8 tahun lalu. Bukan, bukan. Kali ini bahkan lebih baik daripada yang pernah dibayangkannya. Biasanya dia hanya berharap Sofi menerima pernyataan cintanya. Tapi kali ini justru Sofi yang mengaku cinta padanya. Setelah menunggu bertahun-tahun dan menghadapi beberapa kali penolakan, bukankah yang diperoleh Danan kali ini sangat sepadan dengan pengorbanannya?

"Makasih, Nan, selama ini kamu selalu ada buat aku," lanjut Sofi. "Setelah kehilangan kamu beberapa hari ini, aku jadi sadar, seberapa banyak kamu sudah terlibat dalam setiap tahap hidupku. Dan maaf, karena aku pernah memanfaatkan kebaikan kamu untuk melarikan diri dari rasa patah hatiku. Itu emang jahat dan egois banget. Maaf."

"Apa itu berarti kamu nerima perasaan aku?" tanya Danan.

"Aku cinta sama kamu, Nan, kalau itu yang mau kamu tahu. Dan aku cemburu saat tahu bahwa kamu melakukan kebaikan yang sama dengan yang kamu lakukan buat aku terhadap perempuan lain. Dan aku frustasi karena kamu cuekin aku selama beberapa hari ini... "

Perlahan senyum Danan mengembang.

"Tapi, Nan..." kata Sofi kemudian. Matanya mulai berkabut, Danan bisa melihat itu. "Menerima perasaan kamu, itu urusan yang rumit. Kita ini dosen dan mahasiswa. Lebih dari itu, meski kamu sudah lulus nanti, aku masih terlalu tua buat kamu. Orangtua kamu nggak akan setuju. Buat apa kita memulai sesuatu yang sudah kita tahu bahwa endingnya nggak akan bahagia? Aku nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai kamu menentang orangtua kamu demi aku. Jadi buat apa kita memulai sesuatu yang hanya akan jadi tragedi?"

Untuk menyembunyikan air matanya yang siap jatuh, Sofi menunduk, sehingga tidak sadar ketika Danan mengulurkan tangannya. Tiba-tiba saya tangan kanan Danan sudah menggenggam tangan kiri Sofi yang berada di atas meja.

"Jangan kebanyakan mikir. Nanti cepat tua," kata Danan. Saat mengangkat kepalanya, Sofi kembali menemukan senyum Danan yang tengil dan hangat kembali. Senyum yang hilang dan dirindukannya selama dua minggu ini. "Bisa nggak kita nikmati dulu hari ini, sebelum nanti kita harus berjuang? Dan coba mindset nya diganti. Kita bukan pengin memulai tragedi. Kita memulai sesuatu yang sangat layak diperjuangkan, Pia."

"Tapi Nan___"

"Let's value our every moment together, Pia. Kita nggak selamanya bisa begini. Dan jangan terlalu khawatir, aku udah lama memikirkan cara supaya Bapak dan Ibu menerima kamu. Jadi aku bukan sekedar menjanjikan harapan kosong ke kamu. Asal kamu mau percaya sama aku."

Danan meremas tangan Sofi singkat.
"Mana yang lebih menyakitkan? Gagal dan patah dalam berjuang atau menua sambil menyesali kenapa kita nggak pernah cukup keras berjuang untuk sesuatu yang harusnya kita perjuangkan?"

Mereka bertatapan dalam setelahnya, sebelum akhirnya Sofi menarik tangannya dari genggaman Danan.

"Dapet kata-kata keren gini dari twitter lagi, Nan?" tanya Sofi sambil tersenyum.

Danan merengut. "Jago banget ya, Bu Dosen, merusak suasana romantis. Padahal baru aja senang karena ligan saya berhasil tertarget ke hati Ibu lho ini."

Sudah dua minggu dia tidak mendengar gombalan ala anak farmasi seperti itu. Dan Sofi merindukannya.

Beberapa meter dari tempat Sofi dan Danan duduk, Emir menahan tangan Sarah, mencegah gadis itu melenggang kembali ke kursi mereka ketika melihat Sofi dan Danan berpegangan tangan. Awalnya Sarah bingung, lalu dia mengikuti arah pandangan Emir, dan mengerti kenapa Emir menahannya.

"Are you okay?" tanya Emir pada Sarah, hati-hati.

"Kenapa saya mesti nggak oke, Dok?" Sarah malah balik bertanya.

"Emmm___" Emir agak salah tingkah karena melihat pemandangan tidak terduga itu. Apalagi barangkali sekarang gadis di sebelahnya akan menangis sewaktu-waktu karena melihat pacarnya sedang bermesraan dengan dosennya sendiri? "Saya bisa antar Sarah pulang sekarang kalau Sarah mau."

"Kenapa saya mau pulang sekarang?" Sarah kembali bertanya.

"Emm, saya ngerti kalau kamu sedih lihat pacar kamu selingkuh di dep__"

"Emang siapa pacar saya, Dok?" Sarah bertanya lagi. Kali ini sambil tersenyum usil. "Saya dan Danan ga pacaran, Dok. Kami bersahabat. Dan saya tahu bahwa Danan udah lama naksir sama Bu Sofi."

"Jadi kalian bukan___? Kamu bukan___?" Emir sampai kehilangan kata-kata.

"Bukan, Dok," jawab Sarah kalem, masih sambil nyengir jail. "Dokter Emir nggak usah takut saya bakal patah hati dan nangis-nangis. Tapi kalau tawaran Dokter untuk nganter saya pulang masih berlaku, boleh juga sih Dok. Gelagatnya sih mereka masih butuh waktu lebih lama buat berduaan."

Sarah melihat genggaman tangan Danan dan Sofi sudah terlepas dan kedua orang itu kembali bersikap sok cool seperti dosen dan mahasiswa lagi.

"Yuk kita balik kesana," kata Sarah pada Emir, "Kita pura-pura nggak lihat yang tadi ya Dok," lanjutnya sambil mengedip.

Meski masih agak melongo, Emir mengikuti Sarah. Perasaan aneh muncul di rongga perutnya.

* * *

Dirgatama: Makan siang yang banyak ya. Supaya kuat menahan rindu. Dua hari lagi kita baru bisa ketemu.

Sofi tidak sanggup menahan cengirannya ketika membaca pesan cheesy dari Danan. Dirinya memang tidak akan berada di kampus sampai dua hari ke depan karena sedang mengikuti pelatihan di luar kota.

"Ngapain lu cengar-cengir geje?" tanya Rahman melihat kelakuan Sofi, "Ada transferan honor?"

Mereka sedang istirahat siang dan makan bersama di sebuah hotel tempat pelatihan tersebut dilaksanakan. Sofi dan Rahman memang dikirim sebagai perwakilan dari universitas mereka untuk menjalani pelatihan tersebut.

"Honor mulu yang lo pikirin, Mas," cibir Sofi sambil tertawa.

"Ya kan lumayan, buat nambah modal kawin."

"Cari calonnya dulu kali, Mas."

"Lho, simultan dong. Selagi belum dapet calonnya, gue nabung dulu aja. Jadi pas nemu yang cocok, bisa langsung di-halal-in."

Sofi tertawa melihat tingkah Rahman. Pembawaan Rahman yang santai dan kadang nyeleneh gini yang bikin dia bisa bergaul dekat dengan mahasiwa dan bikin mahasiswa betah dan nggak sungkan berkomunikasi sama Rahman. Pantes aja dia ditunjuk jadi Koordinator Kemahasiswaan Fakultas yang bertanggung jawab mengawasi kegiatan kemahasiswaan dan segala drama mahasiwa di dalamnya.

"Lo nggak mau sama gue, Sof?" tanya Rahman sekonyong-konyong, "Tabungan gue udah lumayan ini."

Sofi tertawa. "Gila lo, Mas. Adik kelas sendiri lo modusin."

"Lha daripada gue modusin mahasiswi," balas Rahman sambil tertawa.

Sofi nyengir salah tingkah. Dia merasa sedikit tersindir, meski dia yakin bahwa Rahman tidak tahu tentang hubungannya dengan Danan sih.

Sofi sedang melanjutkan makan sambil membalas pesan receh dari Danan, ketika tiba-tiba Rahman memaki cukup keras meski dengan suara pelan.

"Shit!"

"Kenapa, Mas?" tanya Sofi kaget. Jarang-jarang dia mendengar Rahman memaki dengan ekspresi sekesal itu.

"Bilang sama gue, bahwa ini bukan lo dan mahasiswa kita, Sof!"

Wajah Sofi seketika pias ketika melihat foto-foto yang ditunjukkan Rahman di ponselnya.

Foto dirinya dan Danan. Beberapa hanya foto mereka berdiri dan ngobrol berhadapan. Tapi makin lama Rahman menscroll foto-foto itu, tampak foto Danan yang sedang merangkul Sofi di peron stasiun kereta, foto mereka bergenggaman tangan di rumah makan bebek bakar, dan yang terakhir, foto Danan sedang membelai kepala Sofi di depan ruang dosen saat sore dua hari sebelumnya.

Baru juga beberapa minggu dia bahagia bersama Danan, kenapa sudah harus menghadapi masalah seperti ini?!

Sofi berpikir miris, kisah cintanya yang berliku banget ini kalau dijadikan sinetron Indosari, bisa laris nggak ya?

Sofi sama sekali tidak menyesal mencintai Danan. Dia hanya menyesali mengapa mereka jatuh cinta di waktu yang salah.

* * *

Yang dr kemarin geregetan karena lama banget Danan nggak jadian-jadian sama Sofi, sekarang udah seneng kan?

Atau makin senewen?










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top