45. Waktu Yang Salah (1)
Ketika Danan tiba kembali di tempat Baksos, hanya tinggal beberapa orang yang masih berada di situ. Sebagian besar sudah pulang. Tinggal bagian perlengkapan yang paling akhir pulang. Merekapun sudah siap-siap pulang setelah semua perlengkapan terakhir masuk ke mobil. Balai warga yang disekat-sekat untuk ruang pemeriksaan dan ruang farmasi sudah kembali penampakannya seperti semula.
"Bu Sofi udah pulang ya?" tanya Danan kepada Marwan, salah seorang adik kelasnya yang menjadi seksi perlengkapan pada Baksos kali itu.
"Baruuuuu aja pulang, Kak," kata Marwan. "Pas kardus terakhir ini masuk ke mobil dan beliau memastikan kita semua bakal langsung pulang setelah ini, Bu Sofi langsung pesan taksi online. Baru dua menit yang lalu kali beliau pulang."
Sial!
"Kenapa Kak? Udah janjian pulang bareng sama Bu Sofi atau gimana?"
"Nggak sih," jawab Danan mengelak. "Tadi pagi kan gue jemput beliau pas sekalian jemput temen gue anak FK yang rumahnya deket rumah Bu Sofi. Gue pikir beliau mau pulang bareng gue juga. Makanya gue balik kesini."
Marwan manggut-manggut saja. Lalu sebelum Marwan mulai bertanya macam-macam, Danan langsung kabur dari tempat itu.
Begitu sampai di dalam mobilnya yang diparkir cukup jauh dari lokasi Pengmas, Danan segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Sofi. Danan sudah khawatir Sofi tidak mau mengangkat teleponnya karena dia telat menjemput, tapi syukurlah gadis itu mau menjawab teleponnya.
"Kamu udah pulang? Kenapa nggak nunggu aku?" tanya Danan begitu Sofi mengangkat ponselnya.
"Kirain masih lama."
"Maaf ya. Lama ya?"
"It's fine. Sarah lebih penting kan."
Danan tidak tahu bagaimana sebaiknya menanggapi pernyataan Sofi tersebut.
"Kamu udah hampir sampai? Aku main ke rumah, boleh?"
Sofi tidak segera menjawab. Alih-alih gadis itu menghela nafas. "Aku capek, Nan. Kamu juga capek kan? Kamu istirahat aja."
Meski tidak ada kalimat Sofi yang salah, entah kenapa Danan merasa ada yang salah. Tapi Sofi benar. Gadis itu lelah dan butuh istirahat. Maka Danan menuruti permintaan Sofi untuk tidak datang ke rumahnya.
* * *
Danan selalu memperhatikan jadwal Sofi mengajar di tiap semester, sehingga meski tidak pernah janjian dengan Sofi, Danan seringkali bisa bertemu Sofi di stasiun saat berangkat dan pulang kuliah. Jika kebetulan mereka bertemu saat pulang kuliah, beberapa bulan ini Danan sudah berhasil membujuk Sofi untuk mau diantar pulang oleh Danan.
Itu mengapa ketika sudah beberapa hari Danan gagal bertemu Sofi saat berangkat dan pulang kuliah, Danan merasa aneh. Saat ditanya melalui WA, Sofi bilang bahwa dia tidak ada tugas rapat di luar kampus, tapi katanya dia memang sedang sibuk beberapa hari belakangan. Pantas saja kalau jadi sulit ditemui.
"Akhirnya bisa ketemu juga," kata Danan setelah Sofi selesai mengajar Teknologi Sediaan Steril di kelas Danan. Setelah Sofi menyelesaikan kuliahnya siang itu, Danan buru-buru menghampiri Sofi yang sedang membereskan tasnya di depan kelas sebelum gadis itu beranjak pergi.
Mahasiswa berangsur keluar dari kelas. Setelah memastikan tidak ada teman sekelasnya yang berada terlalu dekat dengan tempatnya berdiri, Danan berkata dengan setengah berbisik pada Sofi, "Aku kangen."
Danan melemparkan senyuman mautnya (senyum maut menurut para fansnya sebenarnya) pada Sofi. Sayangnya senyum itu tak berbalas.
Satu keanehan lagi, pikir Danan. Biasanya kalau digoda seperti itu Sofi akan sewot, atau tersipu, atau tersipu-tapi-sok-sewot. Tapi kali itu wajah Sofi datar saja.
"Hari ini pulang jam berapa?" tanya Danan, "Bareng yuk. Udah lama nggak berangkat atau pulang bareng kamu. Jadwal ngajar kamu berubah atau gimana ya?"
"Danan duluan aja. Saya pulang malam," jawab Sofi.
Danan agak kaget dengan jawaban Sofi. Tapi sebelum sempat memperjelasnya, Sofi sudah melangkah pergi keluar kelas. Dan sebelum Danan sempat mengejar, Randu sudah memanggilnya untuk membicarakan pembagian tugas makalah kuliah.
* * *
Setelah semua kuliah di hari itu selesai, sore itu Danan kembali ke lantai 4 gedung Farmasi, tempat ruang kantor Sofi berada. Karena Sofi bilang akan bekerja sampai malam, Danan berharap bisa menemukan Sofi di kantornya, dan dia punya kesempatan bicara berdua. Ternyata ruangan itu sudah dalam keadaan gelap dan terkunci.
"Bu Sofi udah keluar dari tadi," kata Frida, salah seorang senior Danan yang sedang penelitian di lab farmasetika yang berada di sebelah ruang dosen. "Udah bawa tas sih. Kayaknya mah pulang deh."
"Oh gitu ya," gumam Danan, bingung dengan sikap Sofi.
"Ngapain nyari Bu Sofi sore-sore gini?" tanya Frida lagi, kepo.
"Mau ngumpulin tugas, Kak. Katanya hari ini Bu Sofi di ruangannya sampe malem, makanya gue santai-santai ngerjainnya. Lha, ternyata dia pulang sore. Duh!" jawab Danan. Makin lama dia makin jago memberi alasan semacam ini kalau ada temannya yang kepo.
Saat itu ponsel di kantong Danan bergetar. Danan mengambilnya dan menemukan chat WhatsApp.
Emir S. Alkaff?
Danan membalas pesan WA tersebut sambil mengerutkan kening.
"Langsung aja serahin tugas lo ke rumahnya Bu Sofi. Kalian kan deket," kata Frida kemudian.
"Maksudnya?" Danan mengangkat kepala dari ponselnya.
"Bukannya rumah kalian deketan, makanya sering berangkat dan pulang kuliah bareng?" tanya Frida. "Gue juga naik KRL dari stasiun Tebet, dan sering lihat kalian barengan. Selama penelitian di lab ini, gue juga sering lihat lo masuk ke ruangan Bu Sofi dan berduaan lama di dalam."
Danan waspada. Perempuan ini bukan sekedar kepo. Ini kombinasi julid dan lambe. Perempuan ini sedang mencoba mencari berita sensasional.
"Gue denger pacarnya Bu Sofi yang dosen Teknik udah nikah? Jadi setelah ditinggal nikah sama mantannya, lo sekarang jadi brondongnya Bu Sofi? Pelariannya dia?"
Danan tersenyum. "Wah, kalo gue jadi lo, Kak, gue bakal lebih hati-hati menuduh tanpa bukti gitu. Gue bisa lapor Pak Rahman karena lo mencemarkan nama baik Bu Sofi."
"Wah, lo nggak bisa melaporkan gue tanpa bukti."
Danan mengutak-atik ponsel di tangannya sesaat sebelum terdengar suara Frida dari ponsel tersebut. Ternyata Danan merekamnya.
Wajah Frida pias. Dan Danan tidak bernafsu untuk meladeni perempuan itu lebih lanjut. Dia segera beranjak dari lab itu.
* * *
Sebenarnya hari itu Sofi tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan sampai malam hari. Dia sengaja mengatakan hal tersebut kepada Danan supaya pemuda itu terkecoh dan tidak bisa memaksanya pulang bareng dirinya. Meski beberapa hari telah berlalu sejak hari Baksos itu, Sofi masih belum mood untuk bertemu dengan Danan. Tiap Danan mengiriminya pesan WA, dia hanya membalas seperlunya. Dan selama beberapa hari ini dia memang sengaja mengganti jadwal berangkat dan pulangnya sehingga tidak perlu bertemu Danan.
Sofi sedang menunggu KRL sambil membaca cerita di aplikasi wattpad nya ketika sebuah pop-up message muncul.
Emir S. Alkaff : Assalamualaikum Mbak Sofi. Saya Emir, yang ketemu di Baksos lalu. Semoga Mbak masih inget.
Sofia: Waalaikumsalam dr. Emir. Masih inget dong. Apa kabar, Dok?
Emir S. Alkaff : Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Sofi apa kabar? Lagi sibuk?
Sofia: Alhamdulillah baik juga, Dok. Ga sibuk kok. Kenapa Dok?
Emir S. Alkaff : Hari Sabtu atau Minggu sibuk nggak? Kalau saya ajak makan siang bareng, sekalian ngobrolin soal blog, Mbak Sofi keberatan nggak?
"Sofia... "
Belum sempat Sofi membalas pesan Emir, dia mendengar seseorang memanggil namanya. Dengan suara dan panggilan yang (dia harap sudah tidak) dirindukannya. Sofi mengangkat kepala dari ponselnya dan mendapati wajah yang (dia harap sudah tidak lagi) dia rindukan.
"Aku duduk disini, boleh?" tanya lelaki itu sambil langsung duduk di kursi kosong di sebelah Sofi.
Sofi merasa tidak perlu lagi menjawab pertanyaan itu.
"Udah nunggu kereta dari tadi?" tanya lelaki itu lagi.
"Lumayan," jawab Sofi singkat.
Setelah berbulan-bulan tidak pernah lagi bertemu lelaki itu di stasiun KRL, kenapa hari ini mereka harus bertemu lagi?
"Udah lama nggak ketemu, Sofia apa kabar?" tanya lelaki itu.
"Baik," jawab Sofi singkat. Dia tidak bernafsu menyakan kabar lelaki itu.
"Kamu makin cantik," lanjut lelaki itu sekonyong-konyong.
Sifatnya belum berubah.
"Ngomong-ngomong, selamat ya Bang Attar, sebentar lagi bakal jadi ayah," jawab Sofi, sekonyong-konyong juga.
Attar tampak langsung salah tingkah.
"Sofia ... please don't get me wrong. Aku nggak bohong waktu bilang aku cin____"
"Oh no, I don't. Istri Abang emang sedang hamil 7 bulan kan? Dua bulan lagi Abang akan jadi ayah. Makanya saya mengucapkan selamat."
Keadaan canggung itu terselamatkan oleh pengumuman di stasiun bahwa sebentar lagi KRL tujuan Jakarta Kota akan segera tiba.
Attar bangkit dari duduknya, bersiap menunggu kereta yang akan segera tiba itu.
"Sofia nggak pulang?" tanya Attar ketika melihat Sofi masih duduk di kursi panjang di peron itu.
"Duluan aja Bang. Saya masih nunggu teman," kata Sofi beralasan. Sejujurnya, dia hanya malas pulang bareng dan harus ngobrol sama Attar.
Tapi alih-alih pamit, Attar justru duduk kembali lagi di sebelah Sofi.
"Kalau gitu aku temani sampai teman Sofia datang," kata Attar.
"Nggak usah Bang. Silakan duluan aja," kata Sofi buru-buru. Kelihatan sekali bahwa dia sedang menghindari Attar. Dan justru karena itu Attar jadi makin nekat.
"Aku nggak buru-buru pulang kok," jawab Attar santai.
"Duluan aja Bang!" kata Sofi akhirnya, nyaris membentak, meski masih dengan suara pelan karena di sekitar mereka ada banyak penumpang KRL yang sedang menanti KRL yang sama juga.
Attar bergeming. Dia tetap duduk di samping Sofi meski Sofi terlihat jelas tidak nyaman dengan keberadaannya.
Sofi berpikir dengan cepat. Jika dia tetap berpura-pura sedang menunggu seseorang, maka dia akan menghabiskan waktu lebih lama bersama Attar. Dan itu akan membuat moodnya lebih buruk. Jika dia menyerah dan langsung naik KRL yang sama dengan Attar, dia barangkali bisa bertahan selama 30 menit bersama lelaki itu di KRL, setelah itu dia bisa kabur.
Dengan pertimbangan itu akhirnya Sofi bangkit dari duduknya dengan kesal, lalu bersiap menunggu KRL yang akan segera tiba.
"Nggak jadi nunggu teman?" tanya Attar sok polos. Padahal dia jelas-jelas tahu tadi Sofi hanya berbohong demi menghindarinya.
Sofi malas menjawab. Dia langsung maju beberapa langkah, mendekati tanda batas peron, dimana banyak penumpang lain sudah menunggu. Attar pun, sambil tersenyum diam-diam, mengikuti Sofi.
Ketika KRL tiba, merekapun bersisian mencoba masuk ke dalam kereta, bersama dengan belasan penumpang lain dari pintu yang sama. Saat itulah, sebelum Sofi benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi, tangannya sudah ditarik ke belakang. Badannya limbung karena gaya tarik yang besar dan tiba-tiba. Dia hampir jatuh ke belakang, tapi seseorang mencengkeram bahunya dan menahan tubuhnya untuk kembali berdiri. Tepat saat itu pintu kereta ditutup, dan Sofi melihat Attar memandangnya dari dalam kereta yang mulai bergerak.
Refleks Sofi menoleh pada orang yang menahan tubuhnya untuk meminta penjelasan, dan matanya membulat ketika menemukan siapa orang tersebut. Buru-buru Sofi menegakkan kakinya dan melepaskan diri dari rangkulan Danan.
"Danan! Kamu gila! Aku hampir jatuh!" Sofi membentak sambil memukul lengan Danan dengan keras. Meski begitu Sofi masih mengontrol suaranya supaya tidak terdengar oleh penumpang kereta lain yang menunggu kereta di peron di sekitar mereka.
Danan dengan santai menjawab, "Sama-sama," sambil duduk dan menatap Sofi dengan tatapan menantang. "Jadi pas tadi kamu bilang ada kerjaan sampai malam itu, maksudnya mau ketemuan sama laki-laki itu?" tanya Danan kemudian, dengan suara dingin yang belum pernah didengar Sofi selama ini.
* * *
Danan tahu bahwa selama ini dia hanya pelampiasan, tempat Sofi melarikan diri dari sakit hati setelah ditinggal menikah oleh Attar. Bahkan dirinya sendiri yang menawarkan diri sebagai tempat pelarian Sofi. Tapi ketika mendengar Frida mengoloknya tadi sebagai lelaki pelampiasan semata, Danan tiba-tiba merasa geram. Apalagi ketika dia tiba di stasiun kereta dan mendapati Sofi sedang bicara dengan Attar, lelaki yang bahkan setelah berbulan-bulan kepergiannya belum juga berhasil Danan singkirkan dari benak perempuan yang dicintainya. Saat itu jantung Danan seperti diremas kuat. Tanpa pikir panjang, Danan langsung menarik tangan Sofi sebelum gadis itu naik ke kereta yang sama dengan Attar dan menghabiskan waktu lebih lama dengan lelaki brengsek itu.
Baik Danan maupun Sofi marah pada satu sama lain sehingga selama menunggu kereta dan perjalanan di kereta, mereka saling diam. Sesampainya di stasiun Tebet, Danan menarik tangan Sofi untuk ikut pulang dengannya.
"Aku mau ngomong sama kamu," kata Danan, dingin. "Kita ngomong di rumahmu, atau di sini ditonton banyak orang?"
Dengan terpaksa Sofi membiarkan Danan mengantarnya pulang dengan motornya. Selama dalam perjalananpun, mereka masih saling diam.
Sesampainya di rumah Sofi, setelah Sofi membukakan pintu rumahnya, barulah Danan buka suara. Saat itu ibunya Sofi belum pulang kerja, sehingga Danan merasa lebih leluasa bicara dengan Sofi. Meskipun demikian, Danan sadar bahwa dia masih harus mengendalikan volume suaranya karena pintu rumah itu dibuka (mereka hanya berduaan di dalam rumah kan, sehingga pintu rumah harus tetap dibiarkan terbuka).
"Kamu sebenarnya kenapa belakangan ini?" tanya Danan, tanpa basa-basi, setelah Sofi membiarkannya masuk rumah. "Nggak usah pura-pura, aku tahu kamu menghindari aku beberapa hari ini. Kenapa?"
"Itu perasaan kamu aja," jawab Sofi singkat. "Saya nggak punya alasan untuk menghindari kamu."
"See? Saya? Cara kamu ngomong ke aku aja udah memberi jarak."
Sofi diam, tidak membalas. Karena yang diucapkan Danan memang benar.
"Aku tahu kamu marah, tapi aku nggak tahu aku salah apa sampai kamu marah. Tolong bilang, Pia."
Sofi masih diam.
"Apa karena karena aku telat balik ke posko Pengmas? Karena aku telat jemput kamu?" tanya Danan, makin memprovokasi.
"Saya ga berhak marah," Sofi akhirnya bersuara, "Kamu bukan panitia, kamu nggak wajib membantu saya. Kamu juga bukan siapa-siapa saya, jadi nggak wajib antar-jemput saya."
"Bukan siapa-siapa?" Danan mengulang kata-kata Sofi barusan dengan suara terluka. "Setelah semua yang aku lakukan selama ini buat kamu, aku masih bukan siapa-siapa buat kamu?"
Sofi terperangah. Dia tidak menyangka Danan jadi balik marah padanya.
"Kamu jahat banget, Pia," kata Danan sinis.
Merasa terpojok, Sofi malah balik marah. Dasar cewek kan ya, nggak suka disalah-salahin, meski emang salah.
"Jadi aku ini siapa buat kamu, Nan?!" Sofi bertanya balik, setengah membentak. "Selama ini kamu emang selalu baik sama aku. Aku berterima kasih banyak untuk itu semua. Tapi kamu juga baik ke semua orang. Aku harus anggap kamu sebagai apa kalau semua kebaikan yang kamu lakukan untuk aku juga kamu lakukan ke semua orang?!"
"Apa maksud kamu? Aku nggak ngerti."
"Waktu aku patah hati, kamu bantu aku supaya cepat pulih. Tapi kamu juga bantu Sarah yang patah hati. Lalu apa bedanya aku dengan Sarah?"
"Kok jadi bawa-bawa Sarah sih?"
"Sarah itu siapa kamu?"
"Kamu kan tahu, Sarah itu sahabatku sejak SMA."
"Laki-laki dan perempuan nggak bisa bersahabat tanpa salah satunya, atau keduanya, pada akhirnya akan jatuh cinta."
"Dan apa maksudnya itu?"
"Nggak mungkin kamu dan Sarah cuma bersahabat!" kata Sofi keras, "Tunangannya batal jemput, dia minta tolong kamu. Pas dia pingsan abis berantem sama tunangannya, kamu juga yang antar dia pulang. Emang kemarin ga ada teman-temannya anak FK yang bisa antar dia? Kamu bahkan hapal makanan yang dibencinya. Persahabatan kalian sudah terlalu dekat,,, itupun kalau memang kalian bersahabat sih. Aku nggak yakin. Kecuali dia lesbian atau kamu gay, kalian nggak bakal bisa murni bersahabat tanpa salah satu dari kalian, atau kalian berdua, bakal jatuh cinta."
Sofi ngos-ngosan. Dia seperti habis marathon, mengeluarkan semua uneg-uneg yang dipikirkannya selama beberapa hari ini.
Danan terpana dengan penjelasan Sofi. Dia tidak menduga akan mendapat penjelasan sedangkal itu dari seorang dosen seperti Sofi.
"Sarah bukan lesbian," kata Danan.
Tuh kan, kamu belain dia, pikir Sofi sinis.
"Aku bukan gay. Aku bahkan bisa menghamili kamu sekarang, Pia."
"Jaga mulut kamu, Nan!" Sofi mengancam dengam galak.
"Hanya karena kamu nggak bisa murni bersahabat dengan Bima tanpa kamu bertepuk sebelah tangan ke dia, jangam kamu kira orang lain nggak bisa bersahabat tulus sama lawan jenis."
Jleb!
"Keluar kamu, Nan! Aku udah nggak mau ngomong sama kamu!" usir Sofi tegas sambil menudingkan jarinya ke pintu rumah. Mengusir dengan tegas.
"Apa sih masalah kamu sama Sarah?!" tanya Danan, belum mau menyerah, bahkan meski sudah diusir.
"Aku nggak ada masalah apa-apa sama dia," jawab Sofi, dengan intonasi tinggi. "Harusnya aku yang tanya, kamu ada apa sama Sarah? Semua kebaikan yang kamu lakukan buat aku, juga kamu lakukan buat Sarah. Jadi bagi kamu, Sarah itu siapa?"
Mata Sofi yang telah berkaca-kaca bertemu dengan mata Danan yang memerah.
"Bagi kamu, aku ini siapa?" lanjut Sofi dengan sedih. "Bagi kamu, aku ini cuma kamuflase untuk mendekati Sarah kan? Kamu cuma anggap dia sebagai sahabat? Omong kosong! Kamu cuma belum sadar tentang perasaan kamu ke dia. Setelah kamu sadar bahwa kamu suka dia, aku cuma bakal dibuang. Iya kan?"
Danan menggeleng dengan tidak percaya.
"Kamu___ cemburu?" tanya Danan.
Tentu saja Sofi tidak menjawabnya.
"Kamu cemburu dan yang kamu lakukan adalah playing victim seolah aku yang brengsek?!" tanya Danan sinis.
Sofi menatap Danan dengan ekspresi terluka.
"Kamu nggak berhak cemburu, Sofia!" kata Danan, dingin dan sinis. "Selama ini, meski aku selalu mengaku cinta sama kamu, kamu selalu menolak aku. Bahkan setelah semua sakit hati yang dia sebabkan, kamu masih terus ketemu sama Attar. Kamu nggak pernah benar-benar melupakan dia kan? Kamu masih terus cinta dia kan?"
Sofi terhenyak. Apa-apaan itu? Kenapa Danan ngomongin Attar? Pasti pemuda itu sedang salah paham.
"Delapan tahun aku menaruh hati sama kamu, Pia. Kamu itu cinta pertamaku, sampai sekarang. Aku terus bersabar menunggu saat yang tepat. Aku selalu ngerti kalau kamu belum bisa nerima perasaanku karena aku masih muridmu. Kurang bucin* apalagi aku sama kamu, Pia? Tapi diluar itu, ternyata kamu masih cinta sama laki-laki brengsek yang sudah menyakiti kamu, setelah selama ini susah payah aku berusaha membahagiakan kamu. Lalu tiba-tiba kamu malah marah, menghindar dan nyalahin aku karena cemburu terhadap Sarah. Kamu egois, Pia!"
Dada Danan naik turun setelah mengeluarkan semua perasaan marahnya yang terpendam. Sofi mengerut di tempatnya berdiri, merasa kecil dan rapuh.
"Aku udah nggak kuat lagi, Pia. Udah cukup delapan tahun ini aku jadi budak cintanya kamu. Aku menyerah!"
Sofi memandang Danan dengan tidak percaya.
"Mulai sekarang aku nggak akan minta kamu untuk membalas cintaku lagi. Terserah kalau kamu masih memendam cinta ke Attar. Terserah kalau kamu mau mencoba yang baru dengan Emir. Di matamu, aku emang nggak pernah pantes buat kamu kan?"
Kok jadi gini?, pikir Sofi panik.
"Mungkin kamu benar. Mungkin sebaiknya aku sama Sarah. Selamat tinggal, Pia. Terimakasih untuk delapan tahun ini."
Tanpa membiarkan Sofi menahan atau memberi penjelasan, Danan sudah keluar dari rumah Sofi dan sebelum Sofi benar-benar sadar, motor Danan sudah melaju pergi.
Ketika kesadaran menghampirinya, Sofi jatuh terduduk di ruang tamu rumahnya, dan menangis.
Dia cemburu pada Danan dan Sarah.
Dia cinta pada Danan.
Tapi dia sudah terlambat. Danan sudah terlanjur membenci dan meninggalkannya.
Kali ini rasanya lebih sakit daripada rasa sakit saat ia putus dengan Attar.
* * *
Jangan tanyakan perasaanku
Jika kaupun tak bisa beralih
Dari masa lalu yang menghantuimu
Karena sungguh ini tidak adil
Bukan maksudku menyakitimu
Namun tak mudah tuk melupakan
Kisah panjang yang pernah aku lalui
Tolong yakinkan saja raguku
Pergi saja, engkau pergi dariku
Biar kubunuh perasaan untukmu
Meski berat melangkah
Hatiku hanya tak siap terluka
Beri kisah kita sedikit waktu
Semesta mengirim dirimu untukku
Kita adalah rasa yang tepat... di waktu yang salah
Bukan ini yang kumau
Lalu tuk apa kau datang?
Rindu tak bisa diatur
Kita tak pernah mengerti
Kau dan aku menyakitkan
(Waktu yang Salah, by: Fiersa Besari)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top