40. Inversi Fase
Saat meminta ijin untuk berhubungan dengan Sofi kepada ibunya Sofi, Attar tidak menyangka bahwa akhirnya dia harus mengembalikan Sofi. Tapi itulah yang dilakukannya saat ini.
Tanpa menunggu, Sofi berlari masuk ke kamarnya setelah mencium Attar. Meninggalkan Attar sendirian di ruang tamu tanpa sempat berpamitan pulang. Ibunya Sofi menyadari keanehan pada putrinya dan memutuskan untuk menemui Attar di ruang tamu, sekaligus untuk mengetahui penyebab putrinya tiba-tiba masuk kamar saat tamunya belum pulang.
"Saya minta maaf, Bu. Saya gagal menepati janji saya untuk membuat Sofia bahagia," kata Attar, penuh penyesalan, kepada ibunya Sofi. "Pada akhirnya, saya harus menyerah. Saya minta maaf, Bu."
"Meski tidak mengharapkan, tapi Ibu sudah menduga. Sejak awal Ibu sudah bilang kan?" jawab ibunya Sofi tenang. "Apalagi setelah tahu siapa ibunya Attar, Ibu juga nggak bisa memberi restu lagi."
Attar salah tingkah."Saya minta maaf atas sikap ibu saya, Bu."
"Meski dapat dimengerti, tapi tetap Ibu nggak bisa terima perlakuan ibunya Attar," ibunya Sofi menjawab dengan datar dan tenang. "Ibu sama sekali tidak pernah mencoba merebut ayahnya Attar dari keluarga kalian, seperti yang dituduhkan ibunya Attar. Makanya, sampai ibunya Attar meminta maaf pada Ibu dan mencabut tuduhannya kepada Ibu, Ibu nggak bisa merestui Attar dan Pia. Ini bukan demi ego Ibu, tapi demi kebahagiaan Pia. Dia nggak akan bahagia menikah dan memiliki mertua yang selalu membencinya. Jadi lebih baik tidak usah memulainya sama sekali. Ibu harap Attar mengerti."
Attar mengerti. Meski demikian, menerima kenyataan bahwa dirinya dan Sofi tidak bisa bersama bukan karena mereka tidak lagi saling cinta, tapi karena orang lain, tidak mudah untuk dihadapi.
* * *
Melihat puterinya mengalami hal serupa dengannya dulu membuat hati ibunya Sofi sakit. Mengalaminya sendiri sudah sangat menyakitkan. Tapi melihat puterinya mengalami hal menyakitkan yang sama dengannya, ternyata jauh lebih menyakitkan lagi. Andai dirinya bisa memutar waktu, ibunya Sofi akan melarang hubungan Sofi dan Attar supaya Sofi tidak sempat jatuh cinta terlalu dalam yang hanya akan berakhir pada patah hati yang lebih sakit.
Tapi kini semuanya sudah terlanjur. Hati Sofi telah patah. Dan ibunya Sofi tahu, hanya Sofi yang bisa memperbaiki hatinya sendiri. Hanya jika Sofi ingin menyembuhkan hatinya. Atau hanya jika Sofi mengijinkan orang lain membantu menyembuhkan hatinya. Tidak akan ada yang bisa menyembuhkan hatinya jika bukan Sofi sendiri yang menginginkannya.
* * *
"Ngapain lo disini?"
Danan memberikan cengiran tengilnya yang khas ketika Sofi membuka pintu rumahnya.
"Gue abis ngambil mobil. Abis diservis. Pas ngetes mobil, nggak sengaja lewat sini, sekalian mampir aja."
Sofi menatap Danan dengan malas. Dia tahu Danan berbohong, tapi Sofi terlalu malas untuk berkomentar.
"Itu suara Danan ya, Pi?"
Sofi mendengar ibunya berteriak dari ruang makan. Rumah mereka memang tidak besar. Hanya ada ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan dua kamar tidur. Jarak ruang makan dan pintu rumah mereka juga tidak lebih dari lima meter sehingga ibunya Sofi bisa dengan mudah mendengar suara tamu yang datang.
Baru saja Sofi akan menjawab pertanyaan ibunya, Danan sudah menjawab duluan.
"Assalamualaikum Ma. Iya, ini Danan. Danan masuk ya Ma?"
Dan tanpa menunggu jawaban, Danan sudah nyelonong masuk dan langsung menemui ibunya Sofi di ruang makan. Sofi mendengar mereka sudah seru saling menyapa ketika dia menutup pintu rumahnya.
"Ma, lagi sibuk nggak? Ngemall yuk Ma!" kata Danan sambil duduk di salah satu kursi makan, di seberang kursi yang diduduki ibunya Sofi. "Sekalian nyobain mobil Danan yang abis diservis."
"Cih, pamer mobil!" gerutu Sofi, sambil ikutan duduk di samping ibunya.
"Apaan sih yang dipamerin? Gue mau ngetes mobil doang, abis diservis. Sirik aja sih lo Mbak."
"Aduh ini Mama belum kelar pesenan kuenya," kata ibunya Sofi. Tangannya memang dari tadi tidak berhenti menggulung lumpia. "Danan ke mall sama Pia aja gih."
"Danan bantuin bikin kuenya ya? Abis itu kita pergi bareng."
"Jangan. Nggak usah. Sebentar lagi Mama kelar kok," tolak ibunya Sofi, "Tapi abis itu Mama mau istirahat aja kayaknya. Udah bikin kue dari subuh tadi soalnya."
Danan mengangguk mengerti. Tapi ibunya Sofi tetap merasa tidak enak sudah menolak ajakan Danan.
"Kalau Danan nggak keberatan, Mama boleh minta tolong?" tanya ibunya Sofi kemudian.
"Apa Ma?"
"Temenin Pia belanja bulanan, boleh? Bahan-bahan buat kue Mama juga udah hampir habis...."
Sofi mengernyit. Kenapa ujug-ujug ibunya menyuruhnya belanja bulanan? Padahal sebelumnya ibunya tidak ada wacana belanja bulanan.
"Sekalian kalian nonton atau makan gitu. Trus kalo nggak repot, sekalian belanja bulanan. Boleh?"
"Boleh, Ma!" jawab Danan cepat, nyaris tanpa mikir.
Sofi menatap ibunya. Dan ibunya membalas tatapan itu. Sofi punya firasat bahwa ibunya sengaja melakukan ini supaya dirinya keluar rumah. Sudah seminggu sejak putus dari Attar, Sofi tidak keluar rumah. Dia juga bolos mengajar. Suasana hatinya benar-benar sedang buruk. Barangkali karena ini adalah pengalaman pertamanya putus cinta sehingga rasanya sangat menyakitkan. Barangkali juga jika ia putus dari Attar karena Attar adalah pria brengsek tukang selingkuh, Sofi tidak akan sesedih itu. Dia mungkin sakit hati sebentar, tapi akan segera melupakannya. Tapi Attar adalah lelaki baik, dan mereka masih saling mencintai ketika berpisah, sehingga Sofi tidak bisa semudah itu melupakan lelaki itu.
"Nanti sambil berangkat ke mall, Mama nitip anterin kue pesanan ini dong Nan, rumahnya di depan komplek. Boleh?"
* * *
Meski tidak secara eksplisit dijelaskan oleh Sarah, Danan bisa menduga bahwa hubungan Sofi dan Attar sudah berakhir. Dan meski sudah berkali-kali hubungan Sofi-Attar renggang kemudian kembali lagi dan berakhir dengan Danan yang patah hati lagi dan lagi, Danan belum juga kapok. Kali itu, tetap saja Danan berusaha memanfaatkan kondisi hubungan Sofi-Attar yang sedang buruk.
Sudah seminggu Danan tidak bertemu Sofi di kampus, bahkan Sofi juga tidak hadir pada jam kuliah di kelas Danan. Atas dasar itulah Danan menduga kondisi hubungan Sofi-Attar kali itu lebih buruk dari sebelumnya.
Terbukti dari sikap Sofi selama mereka di perjalanan sampai menonton bioskop, sikapnya lebih muram dari biasanya. Meski Sofi tersenyum menanggapi semua recehan Danan, tapi Danan tahu bahwa senyum itu tidak datang dari hati. Ada sesuatu yang dipendam Sofi selagi bibirnya tersenyum. Itu mengapa Danan memutuskan untuk tidak mengungkit masalah Attar saat itu. Dia ingin membuat Sofi bisa melupakan kesedihannya, setidaknya untuk 1 hari itu. Dan Danan sendiri ingin menikmati waktu bersama Sofi, tanpa adanya kesedihan yang tidak perlu akibat mengungkit masalah percintaan Sofi.
* * *
Sesuai rencana mereka, setelah selesai nonton dan makan (seperti biasa, mereka membayar sendiri-sendiri), Danan menggiring Sofi ke pusat perbelanjaan yang terletak di lantai terbawah mall tersebut. Disana mereka pasti bisa mendapatkan semua hal yang sudah dipesan oleh ibunya Sofi untuk kebutuhan bulanan dan bahan memasak pesanan kuenya.
Mereka baru saja masuk ke pusat perbelanjaan itu dan berbelok ke koridor rak makanan instan ketika mereka melihat seorang gadis dan pemuda yang tidak sengaja bertabrakan dan makanan instan yang sedang mereka pegang jatuh. Mereka berdua sama-sama membungkuk, saling mengucap maaf, sambil memunguti belanjaan masing-masing.
”Berasa nonton drama Korea,” Sofi menggerutu. Melihat adegan romantis seperti itu di saat kondisi percintaannya sedang buruk justru memperburuk mood-nya.
Tapi Danan menanggapi gerutuan itu dengan berbeda.
”Abis ini pasti saling jatuh cinta. Cinta pada pandangan pertama,” jawab Danan sambil tersenyum lebar.
”Lu cowok atau bukan si? Kok percaya sama cinta pada pandangan pertama?” Sofi kembali ke mode sarkasnya.
”Lho, kenapa nggak percaya?”
”Kenapa harus percaya?” Sofi membalikkan pertanyaan.
”Karena gue mengalaminya sendiri.”
Mata Sofi memutar malas. ”Oh ya?”
Danan mengangguk pasti. Dia menatap Sofi lekat.
”Tahu darimana bahwa itu cinta, padahal baru ketemu?” Sofi masih menuntut.
”Karena rasanya kayak abis diinjeksi epinefrin,” Danan menjawab dengan wajah cool.
Sofi mengernyit.
”Tachicardi dan aritmia,” pemuda itu melanjutkan sambil tersenyum penuh gaya.
Sofi mendengus lelah. Ah, udah serius mendengarkan, ternyata ujung-ujungnya gombalan anak farmasi lagi. Berkali-kali dengar recehan kayak gini, harusnya gue nggak tertipu lagi.
Meski demikian, meski malas mendengar recehan Danan, entah mengapa bibir Sofi tertarik ke atas dan senyumnya sedikit mengembang. Dan Danan ikut tersenyum ketika recehannya kembali berhasil membuat Sofi tersenyum sekali lagi.
Padahal bagi Danan, itu bukan sekedar gombalan receh. Ia serius. Dia bukan sekedar menggombal. Dia pernah merasakan cinta pada pandangan pertama. Rasanya memang seperti mendapatkan injeksi epinefrin/ adrenalin, tiba-tiba terasa tachicardi (detak jantung yang lebih cepat dari detak jantung normal) dan aritmia (detak jantung tidak teratur). Dia bukan sedang lebay.
Well, yeah, meski yang dia alami dan rasakan terhadap Sofi bukanlah cinta pada pandangan pertama. Itu adalah cinta pada tendangan pertama.
* * *
Sofi dan Danan keluar dari pusat perbelanjaan itu beserta sebuah troli berisi berbungkus-bungkus barang belanjaan titipan ibunya Sofi.
Belanja bareng Danan itu enak. Danan selalu berinisiatif membawa troli belanja, dan mempersilakan Sofi mengambil barang-barang yang dibutuhkannya sementara Danan siap menampung dengan trolinya. Kalau ada barang yang susah diambil karena ditaruh di rak yang terlalu tinggi, Danan yang ngambilin. Kalau perlu bawa barang berat, Danan yang bawain. Seperti hari itu, karena belanjaan mereka banyak sehingga harus ditaruh di troli untuk dibawa ke mobil Danan, Danan yang membawakan troli belanjaan itu sehingga Sofi bisa bebas jalan-jalan cantik.
”Kemana lagi abis ini, Mbak?” tanya Danan sambil mendorong troli di samping Sofi, keluar dari pusat perbelanjaan.
”Dengan belanjaan sebanyak ini? Pulang lah. Emang lo bisa jalan-jalan sambil bawa belanjaan sebanyak ini?”
Danan memutar bola mata dengan eskpresi lelah.
”Belanjaannya ditaro di mobil gue dulu, kali. Abis itu jalan-jalan lagi. Don’t rich people difficult lah,” Danan menjawab dengan English-suka-suka.
Sofi nyengir kecil melihat kelakuan Danan. Tiba-tiba dia merasakan ponselnya bergetar. Dia lalu membuka ponselnya dan mendapati pesan baru dari ibunya.
Mama : Pia udah selesai belanja? Dapet semua titipan Mama? Abis belanja langsung pulang atau mau jalan lagi?
Sofi langsung menunjukkan pesan singkat dari ibunya kepada Danan.
”Nih, emak gue udah nyuruh pu- ”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Sofi dikagetkan oleh bunyi klakson kereta odong-odong yang suka wara-wiri di mall dan membuat anak-anak mupeng sampai tantrum minta naik odong-odong kepada orangtuanya. Bukan hanya suara klaksonnya yang mengagetkan, ternyata kereta odong-odongnya sudah berada tepat di belakang Sofi yang saat itu berdiri tidak tepat di pinggir koridor mall. Untungnya Danan segera menarik tangan Sofi sehingga Sofi tidak sampai ketabrak odong-odong. Kan tengsin banget ya kalau jatuh ketabrak odong-odong.
Sofi memang tidak jadi tertabrak kereta odong-odong, tapi jantungnya tetap berdebar-debar karena serangkaian kejadian mengagetkan yang terjadi dengan cepat barusan. Saat Danan menarik tangannya untuk menghindari odong-odong yang lewat, Sofi sedang kaget dan tidak fokus akibat klakson odong-odong, sehingga tubuhnya tidak seimbang dan menabrak tubuh Danan. Danan memeluknya dengan tangan kanan yang bebas tidak memegang troli belanjaan sampai Sofi bisa berdiri seimbang lagi. Dari jarak sedekat itu, Sofi bisa mencium aroma parfum Danan, juga mendengar bunyi degup jantung Danan. Bunyinya bersahut-sahutan dengan degup jantungnya yang juga tidak karuan.
Perlahan Danan melepaskan pelukannya yang melingkar di sepanjang bahu Sofi. Lalu Sofi menjauhkan diri dari Danan dengan canggung.
”Yaudah kita pulang aja,” kata Danan tiba-tiba. ”Kasihan Mama udah nunggu.”
Danan kemudian mendorong troli belanja menuju lobby mall. ”Mbak Pia tunggu sini ya. Gue ambil mobil dulu.”
Kadang Sofi tidak mengerti. Di satu waktu Danan bisa bersikap begitu kekanakan dan sangat manja padanya. Tapi di lain waktu, seperti saat ini contohnya, Danan bisa sangat dewasa, mengayomi dan bersikap seperti seorang gentleman.
Meski enggan, Sofi terpaksa mengakui bahwa Danan selalu hadir dalam hidupnya di masa-masanya yang paling rentan. Sejak mengenal pemuda itu 6 tahun yang lalu, pemuda itu selalu membawa keceriaan dalam hidupnya dengan humor-humor recehnya. Bahkan meski tidak lagi sering bertemu sejak Sofi kuliah di Belanda dan tidak mengajar Danan lagi, pemuda itu secara konsisten mengiriminya pesan WhatsApp yang tak penting, dan pesan-pesan itu selalu berhasil membuatnya tertawa di masa-masa stress ujian, deadline laporan atau deadline manuskrip. Terlebih, sejak Danan menjadi mahasiswanya, dari waktu ke waktu Danan selalu ada di sekitarnya, saat ia bahagia, saat ia sedih, maupun patah hati.
Di saat-saat patah hati seperti inilah pertahanan diri Sofi menjadi lemah. Dia jadi merasa diperlakukan sebagai seorang wanita oleh Danan. Dia jadi bisa melihat Danan sebagai seorang laki-laki, bukan lagi sekedar seorang adik.
Adik?
Dan meski ia tahu bahwa dia tidak boleh menjadikan Danan sebagai pelarian ketika hatinya sedang terpuruk, Sofi tidak bisa mencegah hatinya untuk tidak bahagia saat mendengar semua candaan dan menerima perlakuan Danan padanya.
* * *
Waktu saya publish bab ini pertama kali tiga tahun lalu, itu adalah dua hari sebelum saya ujian sidang. Luar biasa bukan, 2 hr menjelang sidang malah nulis beginian hahaha.
Di banyak kesempatan, saya memang menulis justru di saat2 paling stres. Untuk melarikan diri sementara, untuk melepas beban, untuk mendapat inspirasi.
Republish cerita ini sekarang membuat saya jadi teringat masa2 persiapan sidang saya setahun lalu.
Kalo Kakak2, biasanya nulis/baca wattpad pas lagi gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top