38. Koalesens (3)

Danan baru saja akan berbelok ke koridor lab kimia ketika ia menangkap figur seseorang yang dia kenal, yang seharusnya tidak berada di gedung itu.

"Ngapain lo disini?" sapa Danan begitu berhasil mengejar sosok itu dan menjajari langkahnya.

Sosok itu menoleh dan tersenyum. Senyum yang berbeda dengan senyum yang dikenalnya selama ini.

"Are you okay, Sarah?" tanya Danan khawatir.

"I am not sure," jawab Sarah sekenanya.

"Makan siang yuk bareng gue. Sekalian cerita. Ya?" kata Danan sambil menarik tangan Sarah.

Danan mengajak Sarah makan di kantin Farmasi. Mereka menempati meja ujung, yang jarang dilalui mahasiswa.

"Muka lo kusut banget. Ada apa lagi dengan cowok brengsek itu?" tanya Danan membuka obrolan sembari menunggu pesanan gado-gado mereka datang.

"Bukan tentang dia. Kali ini tentang Bang Attar," jawab Sarah lesu.

"Kenapa abang lo?" tanya Danan antusias. Berita buruk tentang Attar sama dengam berita baik untuknya kan.

"Dia kabur dari rumah."

"Hah? Kayak anak perawan dipaksa kawin aja, pake kabur segala," kata Danan mengejek.

Lalu Sarah menceritakan tepat seperti yang diceritakannya kepada Sofi. Danan mendengarkannya dengan baik sambil berusaha menahan senyumnya. Kalau Attar dipaksa menikah dengan perempuan lain, kesempatan Danan akan terbuka kan?

"Kisah cinta kalian kakak-beradik aneh banget sih Sar," kata Danan setelah Sarah mengakhiri ceritanya. "Kakak lo naksir seseorang padahal udah dijodohin sm orang lain. Sementara itu, lo mengejar-ngejar cinta tunangan lo sendiri karena dia lebih milih cewek lain."

Sarah tersenyum miris. Iya ya, kenapa nasib kisah cintanya dan abangnya aneh banget.

"Gue cuma takut kesehatan ibu gue drop nih, Nan," kata Sarah. "Kalau Abang bilang dia baik-baik aja sih gue percaya, gue ga perlu khawatir dia kenapa-kenapa. Tapi ibu gue jadi sakit sejak itu. Nah gue takut kalau Abang nggak pulang-pulang nanti ibu gue makin drop. Malah bisa-bisa sakit jantungnya kambuh. Kan gawat."

Danan mengangguk-angguk, menunjukkan simpatinya.

Makanan dan minuman pesanan mereka datang tidak lama kemudian. Sarah makan sambil menceritakan kejadian saat perkenalan keluarganya dengan keluarga Sofi yang menjadi pemicu sehingga ibunya yang awalnya sudah mulai mau menerima Sofi kini sepenuhnya menentang mereka. Danan mendengarnya dengan seksama dan menimbang betapa situasi ini sangat rumit untuk Attar dan Sofi. Diluar rasa lega yang menyusup di hatinya mendengar kabar buruk Attar-Sofi itu, Danan juga merasa prihatin dengan nasib Sofi.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Sarah dan Sarah langsung tersenyum membacanya.

"Alhamdulillah ini Mbak Sofia berhasil nemuin Bang Attar," kata Sarah memberi tahu isi pesan yang baru saja dibacanya. "Mbak Sofia baru aja kirim alamatnya. Abis ini lo nggak ada kuliah atau praktikum kan Nan? Anterin gue yuk. Deket kok. Di apartemen depan kampus."

"Okay!" kata Danan. "Tapi gue abisin gado-gado ini dulu ya."

Wajah Sarah segera menjadi ceria.

"Danan keren banget sih!!!" katanya dengan ekspresi seperti remaja halu yang bertemu aktor Korea idamannya. "Gue selalu bisa mengandalkan lo. Apa gue pacaran sama lo aja ya?"

Danan tertawa. "Sori. Hati gue udah taken."

"Sama siapa? Salah satu dari cewek-cewek yang duduk di arah jam 1 dari gue?"

Karena mereka duduk berhadapan, arah jam 1 dari tempat Sarah berarti berada di balik punggung Danan. Tapi bahkan Danan tidak repot-repot menoleh untuk memastikan, dia dengan cepat berkata, "Bukan mereka."

"Serius? Coba cek dulu. Barangkali salah satu dari mereka? Mereka bergantian curi-curi pandang ke kita dari tadi, dan ngeliat gue dengan sinis, si Maura dan gengnya."

"Bagus deh, biar mereka anggap kita pacaran. Biar nggak deketin gue mulu."

"Dih, gue cuma dijadiin kamuflase,"  kata Sarah kesal.

Demi melihat wajah Sarah yang kesal seperti itu, Danan tertawa. Dan itu membuat cewek-cewek di sebelah sana memandang Sarah dengan makin kesal.

* * *

Setelah selesai makan siang, sesuai janjinya pada Sarah, Danan mengantar gadis itu ke alamat yang dikirimkan Sofi kepada Sarah. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai di apartemen itu, dan tidak sulit untuk menemukan nomer unit apartemen yang dimaksud. Tapi sayangnya setelah beberapa kali menekan bel, tidak ada yang membukakan pintu.

"Mungkin Abang lo emang tinggal disini tapi dia lagi pergi?" kata Danan.

Sarah mengendikkan bahunya. Tapi toh dia tetap mencoba. Kali itu dia menelepon ke ponsel kakaknya. Meski teleponnya tidak pernah diangkat sejak Attar pergi dari rumah, tidak ada salahnya mencoba kan? Sayangnya, kali itu sama seperti sebelumnya, telepon itu tidak diangkat juga.

Sarah tidak memperhatikan Danan yang sedang menempelkan telinganya ke pintu apartemen ketika dia berkata, "Gue coba telepon mbak Sofia juga deh."

Danan hanya mengangguk sambil lalu dan fokus dengan pintu apartemen.

Sarah baru saja akan mengembalikan lagi ponselnya ke tas karena Sofi juga tidak menjawab teleponnya ketika Danan menahan tangannya.

"Coba sekali lagi telepon mbak Sofi," perintahnya.

"Nggak diangkat. Barangkali nggak disini juga. Lagi pergi sama Bang Attar kali."

"Telepon lagi. Please," pinta Danan.

Dengan dahi berkerut, Sarah menelepon nomer Sofi sekali lagi. Dia memperhatikan Danan yang masih menempelkan telinganya di pintu apartemen.

"Masih nggak diangkat," kata Sarah. "Mungkin___"

"Mereka di dalam," kata Danan memotong. "Waktu lo telepon, gue mendengar samar-samar suara dering ponsel dari dalam."

"Barangkali mereka lagi ngobrol kalo gitu. Yaudah nggak usah kita ganggu,"  kata Sarah. "Gue tunggu mereka di lobby bawah aja deh. Kalo lo mau langsung pulang nggak apa-apa lho Nan. Makasih ya udah nganter____"

Lagi-lagi kata-kata Sarah terpotong. Kali itu Danan mendesis dan meletakkan telunjuknya di depan bibir, sebagai isyarat agar Sarah berhenti bicara dulu.

"Gue mendengar suara aneh," kata Danan masih sambil menempelkan telinga di pintu apartemen. Membuat Sarah ikut-ikutan menempelkan telinga.

Danan belum yakin suara apa itu, tapi dia punya firasat tidak enak. Sampai akhirnya dia mendengar kata-kata, "Bang... Jangan.... Tolong...."

Danan menatap Sarah dengan ngeri. Sarah juga membalas dengan tatapan yang sama. Sepertinya mereka memikirkan hal yang sama.

"A-apa sih itu tadi? Ki-kita ha-harus gimana? Apa kita pa-panggil satpam? Gu-gue turun ke bawah deh," kata Sarah gugup.

"Nggak ada waktu," kata Dana ngeri, sebelum akhirnya dia menjauhkan kepalanya dari pintu apartemen. "Minggir, Sar."

Sarah mengikuti perintah Danan. Dan Danan menjauh dari pintu apartemen. Apartemen itu bukan apartemen kelas mahal. Itu adalah apartemen yang harganya cocok dengan kantong mahasiswa. Oleh karena itu Danan berharap sistem kemanan dan pintunya tidak terlalu kuat sehingga bisa didobrak.

Sekali mencoba, Danan gagal. Dua kali, juga gagal.

Sarah menahan tangan Danan dan berkata khawatir. "Kita ke satpam aja ya, minta kunci cadangan. Lengan lo udah memar gitu."

Tepat saat itu Danan dan Sarah mendengar teriakan yang lebih keras daripada teriakan samar yang tadi mereka dengar.

"Bang! Lepas!" 

Demi mendengar teriakan tersebut, Danan makin panik dan dia mencoba makin kuat untuk mendobrak. Pada percobaan kelima, akhirnya pintu itu terbuka. Danan dan Sarah terkesiap dengan pemandangan di hadapan mereka.

"Bang Attar... " Sarah mencicit ngeri. Sementara Danan langsung menyerbu ke dalam apartemen sambil memaki, "Bangsat lo ya!"

* * *

Sofia memaki dirinya sendiri karena terlalu mencintai Attar. Otaknya menolak sentuhan Attar tapi tubuhnya memberi respon berbeda. Sehingga meski mulutnya mengikuti instruksi otaknya untuk berkata "Jangan", tapi kekuatannya seolah disedot habis sehingga tidak bisa melepaskan cengkeraman Attar.

Padahal, Sofia bisa mengalahkan 5 orang preman yang sedang sadar. Apa sulitnya mengalahkan satu laki-laki setengah mabuk kan?

"Aku cinta kamu, Sofia... "

Suara geraman Attar di lekuk lehernya itu terdengar seksi sekaligus mengancam. Dan itu membuat tangisan Sofi makin menjadi.

Tangan Attar sudah bergerilnya membuka kaitan di belakang punggungnya dan di depan perutnya ketika ponsel Attar berbunyi. Tapi tangan Attar tidak juga terhenti sedetikpun mendengar interupsi suara ponselnya. Pun saat ponsel Sofi berdering, Attar tidak terganggu.

"Jangan takut, Sofia hhh..." kata Attar dengan nafas memburu, karena sedari tadi Sofi tidak berhenti meronta. "Aku akan tanggung... jawab. Kalau kamu hamil, mereka... nggak bisa memisahkan kita."

Air mata Sofi jatuh ketika dia menggeleng frustasi dan memohon, "Bang... Jangan..."

Perhatian Attar mulai teralihkan ketika dia mendengar suara keras dari arah pintu apartemennya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali.

Saat itu cengkeraman Attar di tubuh Sofi melemah. Saat itulah Sofi mengumpulkan tekad dan tenaganya kembali.

Sofi menampar pipi Attar saat perhatian Attar teralih ke arah pintu. Tamparan Sofi yang tiba-tiba itu membuat Attar limbung, dan Sofi memanfaatkan itu untuk mendorong Attar dari atas tubuhnya, hingga jatuh terjungkal dari sofa.

Setelahnya Sofi langsung turun dari sofa dan hendak berlari menjauhi Attar ketika lelaki itu, yang masih tersungkur di lantai, menangkap pergelangan kaki Sofi.

"Sofia... Maaf... Jangan pergi... "

"Bang! Lepas!" bentak Sofi sambil mengenyahkan tangan Attar dari kakinya. Lalu langsung berlari menjauh.

Sofi baru saja berteriak dan mengancam, "Jangan mendekat!" pada Attar yang baru berhasil bangkit, ketika pintu apartemen menjeblak terbuka.

Sofi kaget melihat siapa yang berdiri di depan pintu, terlebih ketika melihat pemuda itu berlari masuk dan menerjang Attar dengan brutal. Sofi ingin menghentikannya, tapi dia tidak berdaya. Tubuhnya merosot, terduduk, dengan ngeri menatap laki-laki yang dicintainya, yang nyaris saja akan memperkosanya, dipukuli dengan brutal tanpa melawan sedikitpun.

* * *

Hanya permohonan Sarah yang diucapkan sambil menangis yang bisa membuat Danan berhenti memukuli Attar. Wajah pria itu sudah babak belur karena dipukuli dan ditendang tanpa perlawanan, pun beberapa bagian tubuhnya yang lain.

"Please, Nan, lepasin Abang. Gue mohon," pinta Sarah mengiba. Pipinya ikut lebam karena tadi Danan tanpa sengaja memukul Sarah saat Sarah akan membela abangnya.

Seperti habis kerasukan, Danan tersadar dan bangkit dari tubuh Attar yang sejak tadi ditindihnya. Dia lalu langsung mencari sosok Sofi dan dia menemukan gadis itu dalam keadaan yang mengenaskan. Nyaris setengah telanjang, pundak kirinya sudah tidak tertutup kain sehelaipun. Wajahnya memerah dan rambutnya kusut.

Matanya bertemu dengan mata Sofi dan sontak Sofi membalik tubuhnya, membelakangi Danan. Danan bisa melihat gerakan Sofi yang gugup yang sedang berusaha memakai kembali pakaiannya. Dan itu membuatnya nyeri.

"Jangan mendekat, Nan!" perintah Sofi dengan suara gemetar.

Danan melepas kemeja yang dipakainya, menyisakan kaos warna hitam di baliknya. Sesampainya di balik punggung Sofi, Danan menyampirkan kemeja itu di bahu Sofi.

"It's okay, Mbak. Ini gue," kata Danan dengan suara lembut. Ia berusaha membuat Sofi berbalik menghadapnya, tapi Sofi menepisnya.

"Jangan lihat! Gue___ memalukan... " kata Sofi mencicit.

Tapi Danan memaksa. Ia membalik tubuh Sofi hingga menghadapnya dan membuat Sofi mau menatapnya.

"Lihat, ini gue, Pia!" kata Danan, tegas tapi lembut. Kali itu Danan tidak memanggil mbak supaya Sofi mau mengikuti perintahnya. "Jangan takut lagi. Gue bantu ya."

Meski Sofi tidak mengangguk atau menyetujui apapun, dengan cekatan Danan membantu Sofi memakaikan kemejanya (yang tampak kebesaran di tubuh Sofi), sambil berusaha keras mengabaikan pemandangan di hadapannya yang membuatnya mengutuki diri sendiri.

Mata lo jangan jelalatan, Bangsat! Sekarang bukan waktu yang tepat!, otak Danan memaki dirinya sendiri.

Setelah mengancingkan kemejanya pada Sofi, Danan membantu Sofi berdiri dan merangkulnya keluar apartemen.

Attar dengan wajahnya yang babak belur akhirnya berhasil berdiri dengan bantuan Sarah. Dia memanggil nama Sofi tepat sebelum Sofi keluar dari apartemen.

"Aku minta maaf___"

"Jangan pernah dekat-dekat Sofi lagi, lo Bajingan!" potong Danan dengan cepat sebelum Attar menyelesaikan kalimatnya.

Attar hanya sempat melihat mata Sofi yang terluka sebelum Danan membawanya pergi.

Attar baru saja hendak menyusul Sofi ketika Sarah menahan tangannya dan memandangnya dengan ngeri.

"Ummi masuk rumah sakit, Bang," kata Sarah sambil menunjukkan pesan dari asisten rumah tangga mereka.

Wajah Attar pias. Dia dihadapkan pada pilihan diantara dua perempuan yang dicintainya.

* * *

Sofi turun dari motor Danan dan baru saja akan melepaskan jaket yang dipinjamkan Danan kepadanya ketika tangan Danan menahannya.

"Jaket dan kemejanya dilepas di dalam rumah aja."

Sofi mengangguk dan mempersilakan Danan dan motornya ikut masuk ke pekarangan rumahnya. Tapi ketika Danan mengikutinya masuk ke ruang tamu, Sofi menahannya.

Awalnya Danan bingung, tapi kemudian dia mengerti.

"Jangan takut. Pintunya gue buka lebar. Gue bukan Attar yang brengsek."

Wajah Sofi berubah sendu ketika menjawab, "Dia nggak brengsek. Dia cuma terdesak."

Setelah yang dia lakukan ke lo, lo masih membela dia?
Setelah yang dia lakukan ke lo, lo masih cinta dia?

Danan membalas tatapan Sofi dengan tatapan penuh luka.

* * *




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top