37. Koalesens (2)

"Apa Sofi ingat apa yang Mama bilang ke Attar waktu Attar meminta ijin Mama untuk pacaran sama kamu?"

Pertanyaan itu yang membuka cerita yang disampaikan oleh ibunya Sofi.

"Mama bilang, tidak banyak keturunan Arab yang Mama kenal yang menikah bukan dengan sesama mereka. Mama bilang begitu karena Mama mengalaminya sendiri. Dulu Mama dan ayahnya Attar adalah sepasang kekasih. Tapi jelas kami nggak bisa bersama karena ayahnya Attar sudah dijodohkan dengan gadis lain. Gadis itu adalah ibunya Attar.

Dulu kami sangat naif. Mengira asal kami punya cinta yang besar, kami bisa mengatasi semuanya. Tapi itu semua cuma ada di cerita-cerita Disney. Nyatanya, kami nggak berhasil meyakinkan orangtua kami untuk menerima satu sama lain. Akhirnya kami mencoba cara terakhir yang terpikir oleh kami saat itu: kawin lari. Kami kabur dari rumah masing-masing.

Tapi orangtua dari ibunya Attar bukan orang sembarangan. Baru seminggu kami kabur, orang suruhan mereka sudah berhasil menemukan kami. Akhirnya kami dibawa lagi ke rumah. Mama dikembalikan ke rumah orangtua Mama, dan setelahnya nggak punya akses sama sekali dengan dunia luar. Akung dan Uti marah besar sama Mama, sehingga Mama dikurung di dalam rumah. Ayahnya Attar juga sepertinya begitu. Kami sama sekali tidak bisa ketemu saat itu sampai sebulan kemudian Mama dengar bahwa ayahnya Attar sudah menikah dengan gadis itu.

Mama sedih. Tapi yang paling menghancurkan hati Mama adalah karena nggak lama setelah kabar pernikahan itu, Mama sadar bahwa Mama sudah 3 minggu terlambat datang bulan. Mama hamil. Anak dari ayahnya Attar. Kami melampaui batas saat kami kabur bersama."

Sofi terkesiap mendengar penuturan ibunya. Tapi dia menahan diri untuk tidak bersuara atau berkomentar.

"Mama pikir kalau Mama mengaku bahwa Mama hamil, semua pihak akhirnya bisa menerima kami. Kalau dipikir-pikir, Mama memang bodoh banget saat itu. Saat Mama kabur dari rumah dan berhasil menemui keluarga ayahnya Attar, Mama diusir. Mereka bilang Mama murahan dan mereka meragukan bahwa anak itu adalah anak ayahnya Attar. Mama nggak berhasil ketemu langsung sama ayahnya Attar. Pun saat Mama mengadu pada orangtua Mama, mereka bukannya mendukung Mama untuk minta tanggung jawab pada ayahnya Attar, orangtua Mama malah ngamuk. Mama nggak mau anak itu digugurkan, tapi orangtua Mama juga nggak mau Mama mengemis tanggung jawab ke keluarga ayahnya Attar, apalagi kalau dinikahi sebagai istri kedua. Saat itulah Papa kamu hadir, Pia.

Papa, Mama dan ayahnya Attar bersahabat sejak kuliah. Meski Mama dan ayahnya Attar kemudian pacaran, kami tetap bersahabat dekat dengan Papa. Papa mendengar apa yang terjadi pada Mama, lalu Papa menawarkan diri untuk menikahi Mama. Tawaran itu langsung disambut baik oleh orangtua Mama. Tapi Mama menolak. Papa adalah orang baik, dan dia terlalu baik untuk harus bertanggung jawab terhadap anak yang bukan anaknya.

Mama sempat mencoba kabur lagi dari rumah supaya Papa nggak perlu terpaksa menikahi Mama, tapi justru Papa yang mencari dan menyusul Mama. Papa bilang sebenarnya Papa sudah lama menyukai Mama, tapi karena Mama adalah pacar sahabatnya jadi dia nggak berani menikung. Papa menawarkan perjanjian agar Mama mau menikah dengannya, setidaknya sampai anak itu lahir. Papa berjanji, jika setelah anak itu lahir dan Mama masih merasa nggak nyaman bersamanya, Papa akan menceraikan Mama.

Papa berhasil membujuk orangtuanya untuk segera menikahi Mama. Papa bilang ke orangtuanya bahwa dia sudah terlanjur menghamili Mama dan harus bertanggung jawab. Meski tidak percaya bahwa anak lelakinya yang santun itu menghamili anak gadis orang, tapi mau tidak mau orangtua Papa akhirnya bersedia melamar dan menikahkan kami. Meski demikian, sampai bertahun-tahun setelahnya orangtua Papa masih terus menyalahkan Mama karena menjebak Papa. Ternyata dulu ibunya Papa sudah ada rencana untuk menjodohkan Papa dengan anak sahabatnya. Rencana itu gagal karena Papa mengaku menghamili Mama. Sekarang kamu tahu kan kenapa Nenek nggak pernah suka sama Mama?"

Sofi mengangguk. Nenek dari pihak Papanya memang selalu nyinyir pada ibunya Sofi. Sofi kecil mengira bahwa itu memang tabiat asli neneknya sampai ketika makin besar bahwa neneknya hanya bersikap begitu kepada ibunya Sofi, sementara kepada menantunya yang lain, nenek Sofi tetap ramah.

"Jadi anak itu... " Sofi bertanya pelan-pelan karena penasaran.

"Mama keguguran nggak lama setelah Mama dan Papa menikah. Barangkali karena Mama stres. Entahlah. Jadi anak itu nggak pernah dilahirkan hidup. Setelahnya Papa nggak punya alasan lagi untuk tetap bersama Mama, jadi Mama minta cerai. Tapi Papa nggak mau menceraikan. Papa bilang, Papa tulus mencintai Mama, dan mau menunggu sampai Mama bisa melupakan ayahnya Attar. Siapa perempuan yang tidak tergerak hatinya pada laki-laki sebaik Papa? Jadi meski kami mengawali dengan tidak baik, kami memutuskan untuk melanjutkan pernikahan kami. Dan Mama nggak menyesalinya.

Seiring berjalannya waktu, Mama jadi sungguhan sayang dan cinta sama Papa. Mama sudah tidak pernah lagi memikirkan ayahnya Attar. Mama cuma sempat dengar bahwa istrinya sudah melahirkan beberapa bulan setelah Mama keguguran. Rasanya menyakitkan saat tahu bahwa laki-laki yang kita cintai, yang katanya tidak mau menikahi perempuan lain, tapi justru langsung menghamili perempuan itu setelah mereka menikah. Barangkali rasa sakit hati itu juga yang membantu Mama melupakan kisah kami.

Mama hidup bahagia bersama Papa. Ternyata menikahi sahabat sendiri sama sekali bukan pilihan yang buruk. Mungkin kami memulai pernikahan ini dengan cara yang tidak baik, tapi barangkali ini cara Tuhan memberikan laki-laki terbaik yang Mama butuhkan dalam hidup Mama. Barangkali kalau Mama tidak pernah dalam keadaan terdesak, Papa nggak pernah punya keberanian untuk menyatakan perasaannya.

Ternyata rahim Mama memang lemah. Setelah keguguran anak dari ayahnya Attar itu, Mama beberapa kali sempat hamil, tapi selalu tidak berhasil. Sampai akhirnya Pia lahir setelah 8 tahun kami menunggu. Pia membuat hidup Mama dan Papa sempurna. Sayangnya Papa meninggal cepat karena kecelakaan pesawat sekembalinya Papa dari tugas ke luar kota, saat kamu baru kelas 6 SD. Kamu sendiri lihat betapa terpuruknya Mama saat itu. Bukan hanya karena Mama sangat mencintai Papa dan merasa sangat kehilangan, tapi karena Mama mengkhawatirkan keuangan keluarga kita.

Karir Papa sangat bagus dan gajinya sangat mencukupi keluarga kecil kita sehingga Papa meminta Mama fokus mengurus rumah tangga saja. Jadi saat Papa meninggal, kita kehilangan satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga. Warisan yang ditinggalkan Papa memang cukup banyak, tapi nggak akan cukup untuk sampai kamu kuliah. Mama bisa saja meneruskan usaha kecil-kecilan Mama berjualan kue dan pastry, tapi juga nggak cukup. Jadi mau nggak mau, Mama harus kembali bekerja kantoran.

Nggak mudah memulai bekerja kantoran lagi pada usia di atas 40 tahun, Pia. Siapa yang mau menerima perempuan 40 tahunan yang baru memiliki 3 tahun pengalaman kerja belasan tahun sebelumnya? Maka ketika akhirnya Mama diterima sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang Mama lamar, Mama senang sekali. Sayangnya, itu adalah perusahaan orangtua dari ibunya Attar, dimana ayahnya Attar menjadi Direktur Marketing disana, dan Mama harus menjadi sekretarisnya.

Mama ingin melepas pekerjaan itu. Tapi itu pekerjaan pertama yang Mama dapatkan setelah 1 tahun ditolak di banyak perusahaan. Lagipula ayahnya Attar berjanji untuk bersikap profesional. Jadi Mama memutuskan untuk bertahan di perusahaan itu, menjadi sekretaris ayahnya Attar, demi melanjutkan kehidupan kita.

Tapi kenyataannya kami nggak bisa bersikap profesional. Ayahnya Attar jelas masih tertarik pada Mama. Karena dia terus bertanya, akhirnya Mama cerita bahwa dulu Mama sempat keguguran anaknya, dan Mama menikah dengan sahabat kami. Dia bilang bahwa dia menyesal karena nggak cukup bertekad mencari Mama sejak Mama menikah dengan Papa dan pindah. Mama sendiri nggak bisa membenci ayahnya Attar yang dulu nggak bisa menikahi Mama, karena Mama tahu sebenarnya dia sudah berusaha sangat keras, tapi keluarganya dan keluarga istrinya terlalu kuat untuk ditentang. Mama merasa sangat buruk karena merasa sudah mengkhianati Papa, tapi Mama nggak bisa bohong bahwa Mama juga menikmati waktu bersama ayahnya Attar. Dia cerita bahwa dia punya keluarga yang bahagia, anak-anak yang cerdas, tapi dia selalu merasa ada sesuatu yang kosong, dan dia bilang kekosongan itu terisi saat Mama datang kembali. Perempuan mana yang nggak luluh dengan kata-kata seperti itu."

Sekarang Sofi tahu dari mana asalnya kemampuan merayu Attar. It's already in his blood.

"Dua puluh tahun sudah lewat dan kami masing-masing sudah punya keluarga. Barangkali karena mengingat anak-anak kami, kami tidak lagi seceroboh dulu dan melampaui batas. Tapi tetap saja, meski kami nggak pernah melakukan hal-hal di luar batas, beberapa orang di kantor merasakan sesuatu di antara kami. Barangkali interaksi kami terlihat terlalu akrab untuk standar bos dan sekretaris. Lalu mereka mulai menggosipkan kami. Menggosipkan Mama lebih tepatnya. Sebagai pelakor, yang menggoda bosnya yang adalah suami orang."

Ingatan Sofi kembali ke masa empat tahun lalu saat dia mendengar ibunya Bima mengatakan sesuatu tentang Mamanya sebagai pelakor.

"Mama dan ayahnya Attar mengabaikan gosip-gosip itu dan sebisa mungkin bersikap seprofesional mungkin di kantor. Tapi ternyata gosip itu sampai ke telinga istrinya, ibunya Attar. Dia datang ke kantor dan melabrak Mama. Semua orang jadi melabeli Mama sebagai pelakor. Dan Mama dipecat.

Setelahnya ayahnya Attar meminta maaf atas sikap istrinya, dan dia minta maaf karena nggak bisa membela Mama. Mereka bertengkar hebat. Ayahnya Attar ingin mereka berpisah baik-baik, tapi ibunya Attar malah mengancam dia tidak bisa menemui anak-anaknya lagi jika mereka bercerai. Bagi orangtua manapun, kebahagiaan anak adalah yang utama, oleh karena itu ayahnya Attar bertahan dengan pernikahan mereka. Setelahnya kami nggak pernah berhubungan lagi. Hal terakhir yang dia lakukan untuk Mama adalah menggunakan koneksinya sehingga Mama bisa bekerja di kantor koleganya, tempat Mama bekerja sekarang."

* * *

"Jadi kita bukan saudara seayah kan, Sofia?" tanya Attar ketika Sofi menyelsaikan cerita yang diperolehnya dari ibunya.

Sofi menggeleng. Attar tersenyum penuh kelegaan.

"Tapi nggak ada bedanya juga, Bang," kata Sofi muram. "Orangtua kita tetap nggak akan merestui kita."

"Cuma Ummi yang nggak setuju. Dan aku masih akan memperjuangkannya."

"Mama juga nggak setuju," kata Sofi makin muram.

Attar terkejut dengan kata-kata Sofi barusan.

"Setelah tahu siapa orangtua Abang, Mama juga nggak setuju kalau kita menikah," lanjut Sofi sambil mengenang kata-kata ibunya.

"Attar anak yang baik. Mama suka sama dia. Tapi ibunya pernah memaki Mama sebagai pelakor, dan Mama masih sakit hati sampai sekarang. Padahal kalau dipikir, dia yang lebih dulu merebut calon suami Mama. Mama rasa kami nggak akan pernah bisa akur. Mama nggak bisa merestui kalian."

"Jadi sekarang nggak ada yang berpihak sama kita?" tanya Attar setengah melamun. Terpukul dengan informasi dari Sofi.

Sofi mengangguk dengan sama lesunya.

Mereka sedang duduk di sudut salah satu restoran di mall yang berada dekat kampus mereka. Saat itu bertepatan dengan jam makan malam, sehingga suasana cukup ramai. Tapi semesta Attar dan Sofi terasa sunyi dan hampa. Mereka tidak tahu kemana hubungan mereka bisa menuju. Dulu Attar masih punya harapan besar karena setidaknya ibunya Sofi merestui. Tapi dengan masa lalu ibunya dan ibu Sofi, dan sikap ibu Sofi yang tidak lagi merestui hubungan mereka, Attar seperti tidak tahu lagi bagaimana caranya memperjuangkan hubungannya dengan Sofi.

Attar mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sofi yang berada di atas meja. Sofi balas menatap Attar. Mereka sama-sama tahu, mereka sedang sama-sama saling menguatkan, sekaligus saling mencari kekuatan. Tidak ada satupun diantara mereka yang melihat jalan terang dalam hubungan mereka.

* * *

Seminggu lebih berlalu sejak terakhir kali Sofi bertemu dengan Attar. Dia sudah tidak pernah lagi bertemu Attar di stasiun. Attar juga makin jarang mengiriminya pesan, dan tidak pernah lagi menelepon. Sofi pikir, barangkali Attar perlu waktu untuk memikirkan kelanjutan hubungan mereka. Sofi sendiri, makin memikirkan, makin merasa putus asa dengan hubungan mereka.

Hari itu tanpa diduga, Sarah datang menemuinya. Sofi memiliki firasat buruk melihat Sarah yang sekarang sudah menjadi mahasiswa FK sengaja menemuinya di Fakultas Farmasi.

"Bang Attar pergi dari rumah, Mbak," kata Sarah mulai bercerita.

"Maksud kamu apa? Pergi dari rumah? Cuma ada tugas keluar kota kali?" kata Sofi kaget.

"Biasanya Abang bilang dan pamit kalau ada tugas atau seminar di luar kota atau luar negeri. Tapi ini sudah 3 hari Abang pergi tanpa kabar. Abang cuma pernah sekali WA, bilang supaya kami nggak khawatir. Tapi setelah itu Abang nggak bisa dihubungi. Aku kirim WApun nggak pernah dibaca, dan telepon kami nggak pernah diangkat."

"Ada apa sebenarnya? Abang bukan tipe yang melarikan diri dari masalah."

"Ummi sepakat dengan orangtua Kak Sania untuk mempercepat perjodohan mereka."

Sofi terhenyak mendengarkan penuturan Sarah. Dia merasa sudah tidak punya kesempatan lagi. Semua jalan sudah tertutup.

"Ummi melarang Sarah menghubungi Mbak Sofia. Tapi Sarah udah ke FT, gagal ketemu Abang. Sarah tanya sama temen-temen Abang, nggak ada yang tahu juga. Apa Abang menghubungi Mbak Sofia tiga hari ini?"

"Kemarin Bang Attar masih WA aku. Pesan biasa aja. Jadi aku nggak kepikiran bahwa ada apa-apa dengan Abang."

"Kalau Abang menghubungi Mbak lagi, bisa tolong sampaikan, Ummi sakit sejak Abang pergi. Tolong ajak Abang pulang."

Apalagi yang bisa Sofi lakukan selain mengangguk? Meski ia sendiri tidak yakin bahwa Attar akan menghubunginya atau akan mau mengangkat teleponnya, dia berjanji akan berusaha menghubungi Attar dan akan menyampaikan pesan itu.

Setelah Sarah pergi, Sofi menyambar ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Attar, menanyakan dimana Attar saat itu, dan minta ijin untuk menelepon. Sepuluh menit berlalu, dan pesan Sofi belum juga dibaca. Sofi akhirnya mencoba menelepon Attar.

Barangkali karena tidak terlalu tinggi berharap Attar akan menjawab teleponnya, Sofi jadi sangat lega ketika telepon itu dijawab. Tapi kelegaannya tak bertahan lama, karena Sofi seperti tidak mengenal suara lelaki di seberang.

"Halo, Sayang!" kata lelaki di seberang. Itu suara Attar, Sofi mengenalinya. Tapi suara itu terdengar berbeda. "Sayangnya Abang lagi apa? Sini dong, Sayang. Abang kesepian. Abang sedih. Kita harus gimana, Sofia sayang?"

"Bang? Abang kenapa?"

"Aku frustasi. Ayo kita pergi aja, Sayang. Aku nggak bisa kehilangan kamu."

"Abang mabok?!"

Demi Tuhan! Ini masih siang! Dia lagi mabok-mabokan dimana?

"Aku mabuk cinta karena kamu." Attar lalu tertawa dengan suara menggiriskan.

"Abang dimana?" tanya Sofi cepat.

"Apartemen teman," jawab Attar dengan suara telernya.

"Dimana?"

"Di hatimuuuuu."

"Abang!" bentak Sofi. "Fokus Bang! Abang dimana? Abang mau ketemu Sofia kan? Abang dimana? Aku kesana ya Bang? Share location ya Bang!"

Setelah memastikan Attar memahami instruksinya, Sofi menutup panggilan teleponnya. Lima menit kemudian Attar mengiriminya alamat sebuah apartemen yang berada dekat dengan kampus mereka. Karena lokasinya yang dekat dengan kampus, banyak mahasiswa yang tinggal di apartemen itu. Sofi segera memesan ojek online dan pergi kesana.

Hanya butuh 15 menit untuk mencapai apartemen tersebut. Sofi segera naik ke lantai 10, sesuai alamat yang dikirimkan Attar. Sofi memencet bel di pintu apartemen itu beberapa kali sebelum akhirnya seorang lelaki membuka pintu.

Attar menyambut Sofi dengan wajahnya yang kusut dan teler. Doa bahkan langsung roboh ke badan Sofi. Membuat Sofi kaget sekaligus prihatin.

Sofi memang jago beladiri. Tapi mengangkat orang seberat 78 kg padahal badannya sendiri hanya 50 kg,sungguh menguras tenaga. Sofi menutup pintu apartemen dan memapah Attar masuk. Sesampainya di ruang tengah, Sofi melemparkan Attar ke sofa.

"Orang gila mana sih yang siang bolong gini mabok, Bang?! Sadar Bang!" bentak Sofi sambil memukul lengan Attar.

"Aduh! Sakit!" Attar meringis sambil mengusap lengannya. "Aku baru minum sedikit. Lagian aku gila gini karena kamu, Sofia," lanjutnya dengan tatapan sayu.

Terlihat kaleng minuman beralkohol di meja di hadapannya. Barangkali karena Attar tidak pernah minum alkohol, sehingga baru minum sedikit saja sudah nampak sangat mabuk.

"Heh! Jangan nyalahin aku ya Bang. Enak aja. Abang___"

Omelan Sofi terputus karena Attar tiba-tiba merebahkan kepalanya ke pangkuan Sofi yang duduk di sebelahnya.

"Kita harus gimana, Sayang?" tanya Attar sedih. Matanya menatap Sofi dengan berkaca-kaca.

Prihatin, Sofi mengelus rambut Attar dengan penuh kasih sayang.

"Aku juga nggak tahu, Bang. Tapi bisa kita pikirkan bersama. Abang nggak bisa mikir kalau mabuk. Abang jangan mabuk lagi ya. Pulang ya Bang."

Mata Attar makin berair.

"Sarah bilang Abang kabur dari rumah. Jangan gini ya Bang. Kasian Ummi dan Sarah jadi khawatir."

"Lalu siapa yang mau kasihan sama aku?" Attar membalas. "Ibuku sendiri nggak kasihan sama aku. Beliau berkeras menikahkan aku dengan perempuan yang nggak aku suka."

Attar lalu menangis. Ini pertama kalinya Sofi melihat Attar menangis. Attar memeluk dan menyembunyikan wajahnya yang bersimbah air mata di perut Sofi.

"Bang Attar ..."

Sofi juga ikut menangis, sambil terus mengelus rambut ikal-lebat Attar yang dipotong pendek. Mereka sama-sama menangisi nasib hubungan mereka.

Ketika tangisan Attar mulai reda, ia kembali memandang Sofi yang masih membelai rambutnya di pangkuannya.

"Apa kita kawin lari aja, Sofia?"

Sofi tertawa getir. Ia jelas tidak mau mengulangi kesalahan ibunya dulu. Tapi kondisi mereka saat itu memang sudah benar-benar buntu.

Attar melepas kacamatanya lalu membersihkan sisa air dari matanya. Ia meletakkan kacamatanya di meja di samping sofa, lalu kembali memandang wajah Sofi yang berada di atasnya.

"Wajah kamu kabur... " kata Attar sambil membelai pipi Sofi.

"Makanya jangan mabok siang-siang, Bang."

"Aku sayang Sofia," jawab Attar, nggak nyambung.

"Aku juga sayang Abang."

"Aku cinta Sofia."

"Sofia juga."

"Aku nggak mau pisah sama Sofia... "

Tangan Attar meraih kepala Sofi yang berada di atasnya. Perlahan dan lembut ia menarik kepala Sofi mendekat.

"Sekarang aku bisa lihat wajah Sofia dengan jelas..." kata Attar ketika jarak wajah mereka tinggal 5 cm. Sofi bisa merasakan nafas Attar di wajahnya. Membuat bulu kuduknya meremang. "Sofia cantik..."

Lalu Attar mencium bibir Sofi. Sofi menutup matanya dan membalas ciuman Attar. Berbeda dengan ciuman mereka sebelumnya, kali itu Sofi bisa mencecap dan merasai alkohol dari mulut Attar. Barangkali itu yang membuatnya merasa mabuk kepayang.

Ciuman manis itu terus berlanjut dan berubah menjadi lebih menuntut. Perlahan Attar bangkit dari posisinya yang rebah di pangkuan Sofi, tanpa melepaskan bibir Sofi sedetikpun. Lalu tanpa disadari Sofi, kini Sofi sudah rebah di sofa, berada di bawah kungkungan Attar.

Ciuman Attar tidak lagi hanya di bibir dan wajah Sofi, tapi sudah turun hingga ke leher gadis itu. Tangan Attar mulai menjelajah memasuki blouse yang Sofi pakai dan mengelus kulit perut dibalik blouse itu. Membuat Sofi merasa makin panas dan mendesah.

Bersusah payah Sofi mengumpulkan kewarasannya. Dan ketika tangan Attar mulai membuka kancing blousenya, Sofi dengan cepat menghentikannya.

"Jangan, Bang!" kata Sofi, dengan nafas terengah.

"Kenapa? Sofia nggak cinta sama aku? Nggak ingin bersamaku?" tanya Attar sendu.

"Jangan gini Bang..."

"Ini satu-satunya cara, Sofia," kata Attar dengan suara dalam. "Mereka nggak akan bisa memisahkan kita kalau kamu hamil anakku."

"Bang!" bentak Sofi terkesiap. Kata-kata Attar barusan benar-benar membuatnya ngeri. "Lepasin!"

Bibir Sofi memang meminta Attar melepaskan dirinya. Tapi gadis itu seperti tidak sekuat tenaga ketika berusaha menyingkirkan tubuh Attar dari tubuhnya. Barangkali karena itulah bahkan Attar yang sedang mabuk berhasil tetap menahan Sofi tetap di bawah tubuhnya. Mengabaikan peringatan Sofi, Attar terus menindih Sofi. Bibir dan tangannya menjelajah makin luas dan brutal.

Sofi sendiri tidak tahu kekuatan apa yang membuatnya tak berdaya sehingga dia tidak sanggup menggulingkan Attar dari tubuhnya, padahal dia berkali-kali melatih teknik ini saat berlatih bela diri.

Sofi menatap mata Attar dan tidak lagi mendapati mata yang biasa menatapnya penuh cinta. Kali itu mata itu berkabut penuh rasa marah, frustasi, putus asa dan nafsu.

"Bang, tolong, jangan... "

Sofi akhirnya hanya bisa menangis. Ia juga merasa tidak berdaya, putus asa dan frustasi bersamaan.

"Aku cinta kamu, Sofia," katanya menggeram di lekuk leher Sofi sambil berusaha membuka kaitan di celana panjang yang dikenakan Sofi.

Sofi menangis makin keras. Tapi itu justru membuat Attar makin hilang kendali.

* * *

Siapa yg kemarin menjawab bahwa Sofi dan Attar ga mungkin saudara seayah? Yes, jawaban Kakak2 benar!
Gen arab itu gen dominan. Siapapun yg nikah sm orang keturunan arab, wajah anaknya pasti ada arab2nya. Dan karena Sofia sama sekali ga terlihat arab, berarti ga mungkin Sofi anak ayahnya Attar.

* * *

Bab ini berisi 3000 kata lebih. Ramaikan vote n komennya yok Kak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top