35. Flokulasi & Redispersi

Tidak ada satupun manusia yang berencana atau bercita-cita menjadi orang ketiga. Tapi bagi Danan, jika memang diperlukan, dia rela jadi orang ketiga. Sekecil apapun kemungkinannya untuk berhasil mengambil hati Sofi, dia akan mengusahakannya.

Sore itu Danan sudah sempat berharap Sofi dan Attar akan bertengkar dan putus karena Attar salah paham padanya. Maka ketika pada malam harinya dia menelepon Sofi dan mendapati hubungan keduanya baik-baik saja, Danan kecewa juga.

"Udah selesai kok masalahnya," jawab  Sofi dari seberang telepon.

"Oh, syukur deh," kata Danan, penuh kebohongan. Karena sebenarnya dia tidak bersyukur jika masalah antara Sofi dan Attar sudah selesai. "Tadinya gue pikir gue perlu klarifikasi ke Bang Attar kalau-kalau dia salah paham tentang kita."

"Oh, nggak perlu kok. Udah selesai."

Dengan menahan suara kecewanya, sambil pura-pura ikut bahagia karena masalah Sofi-Attar bisa diselesaikan, akhirnya Danan mengakhiri teleponnya. Dia telah gagal menjadi orang ketiga.

* * *

Di seberang, Sofi mematikan ponselnya dan kembali bergelung di kasurnya. Dia tidak bermaksud membohongi Danan. Memang benar kan bahwa masalahnya dengan Attar sudah selesai, termasuk hubungan mereka juga. Dan memang benar penjelasan dari Danan sudah tidak diperlukan lagi karena hubungan mereka sudah selesai. Kalau kemudian Danan sepertinya salah paham dengan maksud kata-kata "kami sudah selesai", Sofi memang tidak bermaksud mengklarifikasinya. Jika Danan mengira Sofi dan Attar masih pacaran, barangkali memang itu yang terbaik. Jika memang benar yang dikatakan Attar bahwa Danan menyukainya, maka Sofi justru ingin Danan tetap menduga bahwa Sofi masih berpacaran dengan Attar, supaya Danan tidak terus-terusan berharap padanya.

Hampir lima tahun sejak Danan menyatakan perasaannya pada Sofi, dan Sofi mengira bahwa saat itu Danan tidak serius. Siapa sih mahasiswa yang bisa menanggapi pernyataan cinta seorang anak SMP dengan serius? Maka ketika Danan bercerita tentang "gadis yang dikejarnya sampai ke Farmasi tapi malah memilih lelaki lain", Sofi sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu adalah dirinya.

Seperti yang jujur dikatakannya pada Attar, Sofi menyayangi Danan sebagai adiknya. Maka jika benar ternyata Danan menyayanginya tidak sebagai kakak, Sofi tidak boleh memberinya harapan palsu. Terlebih, andaipun dia juga menyukai Danan, maka hubungan mereka lebih mustahil dibanding hubungan Sofi-Attar. Jika ibunya Attar saja menolaknya, maka orangtua Danan yang masih keturunan bangsawan Surakarta tentu tidak akan menyetujui anak mereka bersama dengan orang biasa yang berusia jauh lebih tua daripada anak mereka.

Hubungan yang mustahil tersebut memang seharusnya tidak pernah dimulai karena hanya akan memberi harapan palsu pada Danan dan menyakiti banyak orang.

* * *

"Saya cinta sama Abang. Cinta banget... "

Kata-kata Sofi terus terngiang-ngiang di kepala Attar. Bukan sekali atau dua kali Attar mendengar seorang gadis mengaku cinta padanya. Tapi ini Sofi, gadis yang barangkali karena pengalaman pertamanya pacaran, sehingga nyaris tidak pernah mengatakan "sayang" kecuali jika ditanya Attar. Tapi kali itu Sofi bahkan mengatakan cinta. Ironisnya, dia mengatakan itu sesaat sebelum mengakhiri hubungan mereka.

"... harusnya Abang tahu bahwa saya cinta sama Abang."

Dan itu membuat Attar frustasi dan menyesal. Rasa cemburu sudah membutakannya, membuatnya mengatakan hal-hal yang sudah dipendamnya selama ini, yang sayangnya, harusnya tidak dia katakan. Dia terlalu cemburu pada kedekatan Sofi dan Danan, sampai melupakan bahwa selama ini Sofi sudah berjuang bersamanya untuk mendapatkan hati ibunya. Kalau mengingat sikap ibunya selama ini, harusnya Attar sadar bahwa Sofi sudah berjuang sangat keras. Dan seharusnya itu lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Sofi lebih memilih Attar daripada Danan.

"Saya nggak punya restu dari ibu Abang, dan bahkan saya nggak punya kepercayaan dari Abang. Saya sudah nggak punya apa-apa lagi, Bang, untuk bertahan dengan hubungan ini."

Sekali lagi Sofi benar. Attar memiliki semuanya. Dia mengantongi restu dari ibu Sofi, dan Sofi mempercayainya saat ia mengatakan bahwa dia tidak ada perasaan apapun pada Sania. Sementara Sofi, dia harus bersusah payah mendapatkan restu ibunya Attar, dan kini malah dituduh berhubungan dengan Danan. Setelah dipikir-pikir lagi, jika dirinya menjadi Sofi, barangkali ia juga melakukan apa yang dilakukan Sofi. Memutuskan hubungan.

Hari itu, setelah Sofi menutup pintu mobilnya, Attar segera menyusul Sofi ke dalam rumahnya. Tapi ibu Sofi yang menemuinya dan meminta Attar untuk memberi Sofi waktu. Hari itu dia tidak bisa langsung mengklarifikasi kesalahpahaman mereka.

Setelahnya Sofi tidak juga mengangkat telepon Attar. Tapi berbeda dengan saat mereka pertama kali putus, kali itu Sofi mau membalas pesannya.

Attar Thariq: Sofia, maaf, aku salah paham n aku tll cemburu. I shouldn't say something like that. Aku jahat bgt sm Sofia. Maaf. I really am sorry. Can we talk, please?

Sofia: It's okay, Bang. You have said what you want n need to say. And that was what all matters.

Attar Thariq: I was blinded by jealousy. Maaf, Sofia. Kasih aku kesempatan ya? Besok aku ke rumah Sofia ya?

Attar Thariq: Ya, Sayang? Besok aku ke rumah ya?

Sofia: It's okay, Bang. Abang nggak perlu bersusah payah lagi. We just aren't meant to be together.

Attar Thariq: It's not okay at all. I am not okay with that!

Attar Thariq is calling....

Attar Thariq: Sayang, angkat teleponku, please?

Attar Thariq is calling....

Attar Thariq: Sayang, please! Angkat teleponku, Sofia Sayang.

Sofia: Makasih byk utk 1 thn ini, Bang. Saya bahagia bersama Abang. 

Lalu setelah itu Sofi tidak lagi membalas pesan Attar. Saat hari Minggu Attar datang, Sofi juga tidak membukakan pintu. Kebetulan hari Minggu itu ibunya Sofi sedang tidak di rumah, sehingga Sofi tidak perlu khawatir membuat keributan di rumah kalau-kalau Attar memaksa masuk. Beruntung setelah 15 menit mengetuk pintu tanpa hasil, Attar mengira Sofi dan ibunya sedang tidak di rumah sehingga ia akhirnya pulang tanpa drama.

Hari-hari selanjutnya Attar tidak juga berhasil menemui Sofi, baik di rumah, di stasiun atau di kampus. Alih-alih bertemu Sofi, Attar justru bertemu si anak tengil saat menyusuri koridor Fakultas Farmasi setelah gagal menemukan Sofi di ruangannya.

Danan sudah berpura-pura tidak peduli meski ia tahu dalam beberapa detik dia akan segera berpapasan dengan Attar yang sedang melangkah ke arahnya. Namun ternyata Attar justru memanggil namanya, memaksanya untuk berhadapan dengan pria itu.

"Saya perlu bicara sama kamu," kata Attar dingin.

"Silakan," jawab Danan dengan wajah tengilnya.

"Bisa kita cari tempat lain? Yang lebih private?"

Danan memutar bola matanya, malas. Tapi toh dia melangkah ke belakang gedung Fakultas, dekat Animal Laboratory, tempat mereka memelihara dan melakukan penelitian efek atau toksisitas obat dengan hewan coba. Attar mengikutinya.

"Mau ngomong apa?" tanya Danan ketika sudah sampai di dekat Animal Lab, tempat dimana tidak banyak orang berlalu-lalang. Dia membalikkan badannya dan mengahadapi Attar.

"Saya tahu kamu suka sama Sofia," kata Attar, mencoba memancing. Tapi Danan hanya diam, sambil menyunggingkan senyum meremehkan.

Suka? Gue cinta sama dia!

"Dan saya nggak suka kamu mendekati Sofia. Dia calon istri saya," Attar melanjutkan. Suaranya dalam dan serius. Ia ingin memastikan Danan paham betul dengan apa yang dikatakannya.

"Baru calon istri kan?" Danan malah menjawab dengan tatapan meremehkan. "Sofi masih bukan punya siapa-siapa sampai kalian benar-benar menikah."

"Apa maksud lo?" tanya Attar geram. Tiba-tiba dia lupa untuk berbahasa sopan lagi. ”Dan sejak kapan seorang mahasiswa memanggil dosennya hanya dengan nama? Sejak kapan seorang adik memanggil kakaknya hanya dengan nama?” Lelaki berkemeja biru itu bertanya dengan tatapan mengintimidasi. Tapi pemuda di hadapannya bergeming, tidak gentar sedikitpun dengan tatapan itu.

”Sejak kapan gue menanggap Sofi sebagai kakak atau dosen?” Pemuda itu balik bertanya. ”Sejak awal, gue memandangnya sebagai seorang perempuan. Gue cinta sama dia.”

Lelaki itu tersentak. Meski punya dugaan, dia tidak mengira bahwa pemuda itu akan berani berkata seperti itu. ”Dan lo juga pasti tahu bahwa selama ini Sofia hanya anggap lo sebagai muridnya, or worse, sebagai adiknya,” lelaki itu mencibir.

”Gue akan membuatnya mencintai gue,” kata pemuda itu, mantap.

"Brengsek lo ya!" maki Attar akhirnya. Dia tidak bisa lagi menahan kesabaran. Dia hilang kendali dan memukul wajah Danan hingga Danan tersungkur dengan tepi bibir berdarah.

Kata-kata Danan barusan benar-benar memprovokasi Attar sampai dia lupa bahwa di kampus itu dia adalah dosen dan Danan adalah mahasiswa. Bisa saja Danan memperkarakan kejadian ini dengan tuduhan penganiayaan dosen terhadap mahasiswa. Tapi saat itu Attar memang sudah tidak bisa berpikir jernih.

Darah muda Danan segera bergolak ketika menerima pukulan Attar. Dia bangkit dan balas memukul Attar. Kali itu Attar tersungkur dengan pipi lebam. Ketika Attar masih limbung akibat pukulan Danan, tanpa memberi jeda, Danan segera menyambar kerah kemeja Attar lalu membanting tubuh Attar hingga punggung pria itu membentur dinding.

Attar memang lebih tinggi daripada Danan, tapi Danan memiliki tubuh yang lebih atletis daripada Attar, sehingga dia dengan mudah memojokkan Attar. Sejak dia dipalak preman saat SMP dulu, Danan dengan serius mempelajari taekwondo supaya bisa menjaga diri. Juga supaya sepadan dengan Sofi. Dia ingin menjadi laki-laki yang bisa melindungi Sofi, dan tidak lagi dilindungi oleh perempuan yang disukainya.

"Lo yang brengsek!" bentak Danan, sambil masih mencengkeram kerah kemeja Attar dan menahannya di dinding. "Bukannya bikin dia bahagia, lo cuma bikin dia nangis dan susah payah memperjuangkan lo."

Mata Attar membulat karena tidak menduga bahwa Danan tahu tentang hubungannya dan Sofi. Apa Sofi menceritakan tentang perjuangan mereka selama ini? Apa begitu berat yang harus dilakukan Sofi selama ini untuk mengambil hati ibunya, sampai-sampai ia harus curhat pada orang lain.

"Nggak usah melototin gue gitu!" lanjut Danan membentak lagi, "Lo pasti lagi menuduh Sofi ngadu macem-macem ke gue kan? Sofi bukan perempuan cengeng dan tukang ngadu. Lo tuh gitu aja nggak percaya sama dia, masih berani klaim dia sebagai calon istri lo?!"

Danan melepaskan Attar dan mundur selangkah.

"Selama ini gue menahan diri karena gue inget bahwa lo abangnya Sarah, dan bahwa Sofi cinta mati sama lo. Tapi sekali lagi gue lihat dia nangis gara-gara lo, gue nggak akan segan rebut Sofi."

"Lo bisa apa, hah?!" tanya Attar balik. "Lo cuma mahasiswa. Apa yang bisa lo kasih ke Sofia."

"I can give her everything you can't. Dia selalu diterima di keluarga gue. Dan gue percaya sama dia. I can make her smile and laugh."

Danan menyambar tasnya yang tadi terlempar ke lantai saat Attar memukulnya dan berbalik pergi sambil menyeka tepi bibirnya yang nyeri. Meninggalkan Attar yang terhenyak dengan kata-kata pemuda itu.

Penerimaan keluarga. Dan kepercayaan darinya. Dua hal yang tidak Sofi dapatkan dari dirinya.

* * *

Takdir rupanya tidak memihak pada Sofi. Setelah beberapa hari menghindar, akhirnya Sofi harus bertemu dengan Attar pada suatu pelatihan yang dilaksanakan oleh universitas. Mereka berdua menjadi salah satu dari perwakilan fakultas masing-masing untuk mengikuti pelatihan penyusunan dokumen akreditasi internasional. Untuk memperluas kolaborasi antar universitas di seluruh dunia, universitas mereka memiliki target untuk terakreditasi internasional, dan oleh karenanya mereka harus menunjukkan sistem penjaminan mutu akademik yang layak.

Tiap fakultas mengirimkan tiga orang perwakilannya pada pelatihan tersebut. Sofi datang bersama Pak Bayu, dosen senior yang akan menjadi penanggung jawab akreditasi internasional dari Fakultas Farmasi, dan Rahman, salah seorang dosen muda yang nasibnya seperti Sofi, tercyduk dalam tim tersebut.

Attar datang bersama dua orang koleganya juga dan duduk berhadapan dengan perwakilan dari Farmasi. Sofi bukannya tidak tahu bahwa sejak tadi Attar selalu menatapnya dan berusaha untuk bicara padanya saat sedang Coffee Break dan makan siang. Namun demi menghindari Attar, Sofi terus-terusan nempel pada Rahman.

"Itu Mas Attar bukan sih? Pacar lo?" tanya Rahman. Rahman adalah senior Sofi saat masih kuliah S1 dulu. Dia tiga tahun lebih tua daripada Sofi. Dan karena sama-sama dosen muda, hubungan mereka cukup dekat. Attar pernah sekali menemui Sofi saat Sofi sedang makan siang bersama dosen muda lainnya, sehingga Rahman sempat berkenalan dengan Attar.

Sofi memilih untuk tidak menjawab dan sok fokus pada penjelasan trainer mereka di depan.

"Dia ngeliatin lo terus dari tadi," Rahman lanjut berbisik. "Kalian lagi marahan apa gimana sih?"

"Mas, lo berisik banget sih?! Nggak konsen ini gue!" bentak Sofi dengan suara mendesis supaya tidak terdengar oleh orang lain.

Mengendus aura tak menyenangkan diantara kedua orang itu, Rahman memutuskan untuk bungkam. Selepas makan siang, setelah dilihat mood Sofi agak membaik, Rahman baru menyinggung lagi soal Attar.

"Pas lunch tadi gue ngobrol bentar sama mas Attar. Dari jauh sih nggak keliatan, tapi pas berhadapan keliatan pipinya agak biru, kayak abis berantem. Bukan lo yang gaplokin dia pas kalian berantem kan?"

Sofi mendelik. Antara kaget dengan info pipi Attar yang lebam, dan tersinggung dengan tuduhan Rahman. Emang gue sepreman itu?

Sofi sekilas melirik Attar dan memperhatikan pipinya. Tapi sialnya Attar juga sedang menatapnya. Tatapan mereka bertemu di udara, dan mengirimkan getaran-getaran.

Sial! Ternyata gue masih cinta dia, rutuk Sofi dalam hati. Dia langsung membuang pandangannya kembali ke slide presentasi di hadapannya.

* * *

Selepas seharian training, akhirnya Attar mendapatkan kesempatannya. Dosen senior yang sejak tadi selalu diikuti Sofi sudah pulang duluan, meninggalkan Sofi dan Rahman berdua. Attar tidak terlalu sungkan lagi pada Rahman sehingga dengan cepat dia menyambar ranselnya dan mendekati Sofi dan Rahman.

"Sofia, pulang bareng yuk," kata Attar begitu sampai di hadapan kedua orang itu.

"Saya pulang bareng Mas Rahman, Bang," kata Sofia sok cool.

Attar menatap Rahman, mengirim kode dan memohon dukungan.

"Gue lupa, Sof. Gue harus ambil berkas ujian dulu di fakultas," kata Rahman kooperatif.

"Eh?"

"Pulang bareng ya?" kata Attar lagi. Kali ini dengan wajah lebih nelangsa penuh permohonan.

"Kalau gitu, gue balik ke Fakultas dulu ya Sof. Mari, Mas Attar, saya duluan."

"Silakan, Mas Rahman. Makasih ya."

Rahman menepuk lengan Sofi dan kedua pria itu bersalaman kemudian Rahman memisahkan diri dari mereka.

Setelah Rahman menghilang di belokan koridor, Attar menyentuh punggung Sofi. "Yuk!" kata Attar.

Sentuhan singkat itu ternyata masih mampu membuat jantung Sofi berdesir. Antara tidak punya pilihan lain dan mengikuti debaran jantungnya, Sofipun mengikuti langkah Attar dengan menjaga jarak.

Salah satu yang disukai Sofi dari kampusnya adalah lingkungannya yang asri, banyak pohon dan dikelilingi danau-danau, mulai dari danau kecil sampai danau besar. Pada akhir pekan, kadang ada keluarga atau pasangan yang piknik hemat di sekitar danau. Tapi kali itu, Sofi tidak mensyukuri lingkungan tersebut. Karena tidak banyak orang yang melalui jalanan dengan pohon-pohon dan danau di kanan-kirinya itu, Sofi jadi terpaksa melalui suasana kikuk itu bersama Attar.

"Aku minta maaf tentang hari Sabtu kemarin, Sofia, i said something really bad to you. I am so sorry," kata Attar membuka percakapan selagi mereka berjalan bersisian.

"It's okay," jawab Sofi singkat. Dia masih tidak menatap Attar.

"Apa itu artinya Sofia maafin aku?"

"Iya," kata Sofi sambil mengangguk.

Attar menghentikan langkahnya lalu menyambar tangan Sofi. Membuat Sofi kini berdiri di hadapannya.

"Itu artinya kita tetap bersama kan? Kita nggak putus kan?" tanya Attar penuh harap.

Sofi menunduk. Menjawab pertanyaan Attar tanpa menatap mata pria itu, karena takut hatinya akan goyah. "You're forgiven. Doesn't mean that all things you have said can be easily forgotten. Semua yang Abang bilang itu benar. Gara-gara saya, Abang jadi harus berjuang untuk saya, padahal hidup Abang bisa lebih mudah bersama Sania. Abang juga benar, sulit untuk percaya sama saya dengan adanya Danan di sekitar saya. Tapi saya nggak bisa melakukan apapun soal itu."

Attar pias. Ternyata memang kata-katanya menyakiti Sofi begitu dalam.

"Nggak, itu nggak benar, aku salah..." kata Attar. "Ummi sudah setuju bersilaturahmi ke rumah Sofia, itu artinya beliau sudah membuka hatinya. Kita memperjuangkan ini bersama-sama, dan aku senang bisa berjuang bersama Sofia. Kita sudah sampai tahap ini. Aku mohon, Sofia jangan mundur.

Dan aku janji, aku akan lebih mempercayai Sofia. Aku nggak akan cemburu buta lagi sama anak itu, atau sama laki-laki lain. Benar kata Sofia, kalaupun dia suka sama Sofia, itu urusan dia. Sofia sayang sama aku, dan itu yang terpenting.

Aku cinta sama Sofia. Sofia cinta juga sama aku kan?"

Sofia masih diam dan mengalihkan matanya dari Attar.

"Cinta aja nggak cukup untuk jadi solusi atas semua masalah kita, Bang."

"Aku tahu. Tapi tolong sekali ini, kasih aku kesempatan sekali lagi. Tolong kasih kita kesempatan sekali lagi. I wanna grow older with you. Belum pernah aku seyakin ini."

Kata-kata I wanna grow older with you ternyata berhasil membuat Sofi akhirnya mau menatap Attar. Dan dia menemukan ketulusan di mata itu. Itu mata yang selalu berhasil membuatnya jatuh. Tak terkecuali saat itu.

Maka ketika Attar menurunkan kepalanya dan mengecup bibir Sofi singkat, Sofi tidak menolaknya. Sofi memang tidak menyambut, tapi dia juga tidak menolaknya. Bagi Attar, itu sudah suatu kemajuan. Dia tidak berani berharap lebih mengingat hal-hal menyakitkan yang sudah dia katakan pada Sofi.

"Pipi Abang kenapa?" tanya Sofi ketika wajah Attar menjauh selesai menciumnya.

Dan bagi Attar, perhatian Sofi terhadapnya sudah menjadi jawaban atas permohonannya tadi.

"Kepleset, trus terbentur dinding."

* * *

Setelah dua hari pelatihan tentang penyiapan dokumen akreditasi internasional di rektorat, Sofi kembali ke aktivitas mengajarnya seperti biasa. Saat itulah Sofi bertemu Danan di kelas. Ketika seperti biasa Danan, sebagai koordinator matakuliah, membantu Sofi membawakan tugas, saat itulah Sofi mendapati jawaban sebenarnya atas pertanyaan pada Attar dua hari sebelumnya.

Tepi bibir Danan tampak terluka meski lukanya sudah mengering. Ketika Sofi menanyakan penyebabnya, anehnya Danan mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Attar. "Kepleset, jadi kepentok pinggiran meja."

Sofi jadi punya dugaan tentang apa yang terjadi pada Attar dan Danan.

Sebelum Danan berbalik untuk pergi dari ruangan Sofi, Sofi memanggilnya lagi.

"Apa benar lo suka sama gue?" tanya Sofi tiba-tiba.

Melihat apa yang terjadi pada Attar dan Danan, Sofi merasa tidak bisa lagi pura-pura tidak tahu. Dia tidak mau kedua orang yang disayanginya saling menyakiti lagi. Barangkali dia memang harus bertindak tegas.

Meski kaget karena tiba-tiba Sofi sadar pada perasaannya, juga kaget karena Sofi menanyakannya, tapi Danan memutuskan untuk tidak mengelak lagi, atau menjawab dengan gombalan receh yang bisa disalahpahami.

"Nggak," jawab Danan tegas.

Mengingat cerita Attar tentang Danan begitu meyakinkan, Sofi sempat ragu pada jawaban Danan. Tapi dia juga merasa lega karena ternyata Danan tidak seperti dugaan Attar. Itu artinya dia tidak perlu menjauh dari Danan.

Tapi belum sampai lima detik Sofi merasakan kelegaan, Danan melanjutkan kata-katanya. "Gue bukan sekedar suka sama lo. Gue cinta sama lo, Mbak. Dari dulu, sejak gue bilang suka sama lo, dan lo cuma menganggapnya seperti gombalan receh anak SMP."

"Danan..."

Danan tidak mengalihkan tatapannya dari mata Sofi. Dia ingin memastikan bahwa Sofi tahu isi hatinya yang sebenarnya.

"I've told you, years ago, you deserve someone better than me. Banyak gadis-gadis yang naksir lo!" kata Sofi sedih.

"And i've told you that i don't want someone better. I want you. Gue mengejar lo sampai kesini dan bertahan disini, menentang keinginan orangtua gue. Apa itu nggak cukup?"

"Gue udah punya Bang Attar. Gue nggak bisa menjanjikan apapun."

"Gue nggak minta lo janji apa-apa. Lo berhak bersama Attar dan gue nggak mau bikin lo sedih dengan menghalangi kebahagiaan lo bersamanya. Tapi perasaan gue ke lo, ini hak gue. I will keep this feeling. You can do nothing about my feeling."

"We are impossible, Nan. Jangan. Jangan menunggu."

Danan menggeleng. "Mbak, perasaan ini tumbuh pelan-pelan selama 6 tahun. Gimana caranya gue membunuh ini dalam waktu singkat? Bahkan meski lo selalu menolak gue dan memilih Attar, gue nggak bisa mengubah perasaan ini."

"Jangan kecewain orangtua lo lagi, Nan. Lo sudah mengecewakan mereka sekali, dengan kuliah disini. Jangan mengecewakan mereka lagi dengan memilih perempuan kayak gue."

Danan tersenyum. "Apa itu artinya lo mengkhawatirkan hubungan kita nanti, Mbak? Apa itu artinya gue masih punya kesempatan?"

Sofi mendengus. Tapi Danan justru tersenyum makin lebar.

"Jangan khawatirkan orangtua gue. Gue pastikan mereka nggak akan kecewa dengan pilihan gue menjadi Farmasis. Dan gue akan berjuang supaya mereka juga nggak kecewa karena lo. Mereka akan menerima lo tanpa lo harus bersusah payah seperti yang lo lakukan terhadap orangtua Attar.

Lo nggak harus balas perasaan gue sekarang, Mbak. Tapi lo cukup tahu, sebesar ini perasaan gue ke lo. Jadi kalau Attar nggak bisa bikin lo bahagia, gue selalu ada disini. Menunggu. Apa gue pernah bilang, Mbak sangat layak untuk ditunggu."

What should I do to drive you away, Nan?

* * *

Sediaan suspensi (campuran zat padat yang tidak larut dalam suatu cairan) dan emulsi (campuran minyak dalam air atau sebaliknya) adalah sediaan yang tidak stabil karena selama masa penyimpanan partikel-partikel padat pada suspensi atau globul-globul minyak dalam emulsi yang sebelumnya sudah terdispersi/tercampur homogen/merata dalam cairan pembawanya, dapat saling bergabung kembali sehingga sediaan terlihat seperti mengendap atau seperti santan pecah.

Jika terpisahnya komponen suspensi atau emulsi tersebut dapat dibuat kembali homogen (bercampur kembali) dengan pengocokan ringan/santai, maka pemisahan tersebut disebut FLOKULASI. Proses pencampuran kembali komponen suspensi /emulsi yang sempat memisah tersebut melalui pengocokan ringan disebut REDISPERSI.

Suspensi atau emulsi yang sempat memisah (flokulasi) bisa bercampur kembali (ter-redispersi) dengan pengocokan ringan jika zat yang mengikat komponen-komponen tersebut (disebut emulgator atau suspending agent) cukup konsentrasinya.

Dalam suatu hubungan, bertengkar itu biasa. Kadang malah sampai putus hubungan. Tapi asal konsentrasi faktor pengikat itu cukup besar (kadar cinta, misalnya, atau keinginan saling memahami dan pengertian), hubungan tersebut dapat bersatu lagi.

Adik-adik yang masih SMA, sudah mulai tertarik masuk Farmasi? Seru lho! Hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top