33. Konfrontasi

Apa ini karma?

Kadang Attar berpikir begitu. Apa semua hal yang terjadi pada hubungannya dan Sofi ini adalah karma dari perbuatannya di masa lalu? Meski dia tidak pernah bermaksud mempermainkan mantan-mantannya atau perempuan-perempuan lain, dia tidak bisa menjamin bahwa tidak ada perempuan yang pernah dia beri harapan palsu tanpa sengaja. Sebenarnya dia sendiri menikmati keterpesonaan atau bahkan flirting gadis-gadis terhadap dirinya. Terhadap 3 mantan terakhirnyapun, meski tidak berniat mempermainkan, tapi Attar memang memutuskan mereka saat mereka mengajak menikah, dengan alasan Attar masih ingin menyelesaikan studinya dulu sampai S3 dan memang belum berniat menikah. Apakah doa-doa dari gadis-gadis dan para mantan yang sakit hati itu yang membuat jalannya dengan Sofi kali ini sulit ditempuh? Saat dia yakin dan memutuskan menikah, justru jalannya berliku.

Meski ibunya akhirnya setuju untuk berkenalan dengan Sofi, sampai saat ini sikap dinginnya belum mencair. Meski Sofi mendekatinya dengan sikap yang hangat, makanan-makanan enak dan bantuan-bantuan berharga, hati ibunya tidak juga mencair. Padahal Sofi juga memiliki semua kualitas yang dimiliki Sania, tapi ibunya tetap lebih memilih Sania. Satu-satunya kualitas yang dimiliki Sania tapi tidak dimiliki Sofi adalah status keluarga yang terpandang. Dan benar saja, ketika Attar mengkofirmasi kepada ibunya, ternyata memang hal itu yang menghalangi ibunya untuk memilih Sofi.

"Sofia nggak bisa memilih dilahirkan di keluarga seperti apa, dari orangtua yang pekerjaannya apa, sama seperti Attar nggak bisa memilih, Ummi," kata Attar frustasi. "Meski cuma karyawan biasa, ibunya Sofia bisa menyekolahkan Sofia sampai selesai Dan punya usaha sampingan jualan kue juga bukan pekerjaan memalukan, kan Ummi? Kalau bisa memilih, Attar nggak mau lahir di keluarga Arab yang terlalu kuat memegang tradisi seperti ini."

"Attar! Jangan berandai-andai yang nggak perlu!" bentak ibunya.

"Gimana Attar nggak berandai-andai, Ummi, kalau semua ini ternyata memang hanya masalah keluarga. Ummi selalu ngomong soal sekufu, kurang setara apa Attar dan Sofia, Ummi? Semua hal yang Ummi banggakan tentang Sania, Sofia juga memilikinya. Yang dia nggak punya hanya keturunan yang nggak sama dengan kita. Ini nggak adil buat kami, Ummi!"

"Attar! Ini sudah tradisi di keluarga kita. Semua orang di keluarga besar kita seperti itu. Ummi dan Abi juga dulu menikah karena dijodohkan, dan kamu lihat sendiri, kami bisa langgeng."

"Apa Ummi bahagia bersama Abi?" tanya Attar tiba-tiba.

Ibunya Attar terkesiap. Bukan hanya tidak siap dengan pertanyaan tiba-tiba seperti itu, tapi juga tidak siap dengan jawabannya.

"Ummi dan Abi bersama sampai maut memisahkan," jawab ibunya Attar.

"Bukan itu pertanyaan Attar, Ummi. Yang Attar tanyakan, apakah Ummi bahagia bersama Abi?"

"Apa maksudnya kamu tanya begitu? Kita keluarga yang bahagia!"

"Apa Ummi bahagia bersama Abi?" Attar bertanya untuk ketiga kalinya.

Wajah ibunya Attar pias. Attar sendiri tidak tega melihatnya. Tapi jika dia tidak melakukan ini, barangkali ibunya tidak akan pernah mengerti.

"Abi dan Ummi adalah orangtua yang hebat dan penyayang untuk Attar dan Sarah. Tapi kalian bukan pasangan yang berbahagia."

"Tahu apa kamu soal kebahagiaan?!" bentak ibunya. "Kami bahagia sampai perempuan itu datang dan menggoda Abi. Kalau menurutmu kami nggak bahagia, itu hanya sejak ada perempuan itu."

"Ummi..." kata Attar menahan intonasi suaranya, berusaha bersabar. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. "Attar tahu bahwa Ummi ingin mengakui bahwa bukan perempuan itu penyebab ketidakbahagiaan Ummi. Sejak awal, Ummi dan Abi bukan bersama sebagai suami-istri. Nggak pernah Attar lihat Abi dan Ummi tertawa dan bercanda, atau terlihat mesra satu sama lain. Ummi dan Abi lebih terlihat seperti kolega yang saling menghormati dan saling menjaga."

"Jangan sok tahu, Attar! Kamu cuma anak kecil, nggak tahu apa-apa!"

"Sampai kapan Ummi akan menganggap Attar anak kecil? Attar sudah kuliah saat kejadian itu terjadi."

Ibunya Attar ingin membalas kata-kata Attar, tapi terpaksa ditelannya kembali.

"Perempuan itu nggak akan bisa merusak kebahagiaan Ummi kalau sejak awal rumah tangga Ummi dan Abi dilandasi rasa cinta. Sayangnya, kalian bersama bukan karena rasa cinta. Kalian bertahan hanya karena ada Attar dan Sarah. Kalian berdua ingin menjadi orangtua yang sempurna untuk Attar dan Sarah sampai mengabaikan kebahagiaan kalian sendiri. Abi bertahan dalam pernikahan ini karena tanggung jawab, Ummi bertahan karena tuntutan keluarga. Attar nggak mau membangun rumah tangga seperti itu, Ummi. Kalau Ummi nggak bisa bahagia dengan rumah tangga Ummi, apa Ummi juga ingin Attar dan Sarah merasakan hal yang sama?"

* * *

Hari Sabtu itu terasa lenggang bagi Sofi. Tumben, akhir pekan itu sedang tidak ada pesanan kue yang harus dikerjakan ibunya Sofi sehingga Sofi bisa gegoleran di depan tivi sejak pagi.

"Anak gadis jam segini belum mandi," tegur ibunya Sofi, melihat anak gadis satu-satunya masih saja tiduran di depan tivi dengan kaos tidurnya yang kebesaran.

"Pia udah sikat gigi. Udah sisiran. Udah cuci muka juga sekalian wudhu subuh tadi," jawab Sofi selow.

"Tapi belum mandi."

"Biarin. Udah laku ini."

"Kalo belum dikawinin, artinya belum resmi laku. Attar bisa geuleuh lihat penampilan kamu kayak gini. Kalo nggak jadi dinikahin gara-gara buluk kayak gini, gimana?"

Sofi menuruni sifat ibunya dalam hal ini. Kalau ngomong kadang kurang diayak, agak kurang peka apakah omongannya akan menyinggung perasaan orang lain atau nggak. Untungnya Sofi sudah mengenal ibunya seumur hidup sehingga no baper baper lagi.

"Ya kalau dia mundur cuma karena liat Pia ileran, mendingan nggak usah nikah aja. Kalau nanti udah nikah, dia kan harus lihat muka Pia yang ileran dan belekan."

Tuh kan, sama aja sama ibunya, Sofi kalau ngomong ya blak-blakan gitu. Cocok buat partner berdebat.

"Attar mungkin nggak keberatan sama penampilan kamu yang slebor gini, tapi mertua kamu gimana? Kalau mertua kamu lihat menantunya males-malesan sampai siang gini, dikira Mama nggak ngedidik kamu dengan bener."

Meski memutar bola mata dengan ekspresi bosan, sebenarnya Sofi juga kepikiran dengan perkataan ibunya. Karena Attar adalah anak sulung dan laki-laki, maka ia bertanggung jawab terhadap ibu dan adiknya. Apalagi karena ayahnya sudah meninggal. Itu mengapa Attar meminta Sofi memahami bahwa jika mereka menikah nanti, mereka akan tetap tinggal di rumah orangtua Attar, sehingga Attar tetap bisa menjaga ibu dan adiknya. Keputusan ini berdampak besar bagi Sofi. Sofi tidak bisa membayangkan menghabiskan hidupnya tinggal bersama ibu mertua yang tidak menyukainya. Semua yang dilakukannya pasti akan dikritik. Jangankan bermalas-malasan di Sabtu pagi, bahkan meski dia sudah bangun pagi-pagi untuk memasakpun bisa jadi tetap dinyinyirin. Makanya, meski Attar berkali-kali meyakinkannya untuk berjuang bersama, tapi setelah menerima sikap dingin ibunya Attar berkali-kali, Sofi gentar juga. Rasanya dia ingin menyerah saja. Kalau ibunya Attar tidak juga memberi restu atau memberi restu dengan terpaksa, lebih baik dia tidak melanjutkan hubungannya dengan Attar.

"Ibunya Attar baik kan sama kamu?" tanya ibunya Sofi kemudian.

"Baik kok," jawab Sofi singkat. Ya baik sih, tangannya ga pernah mukul, tapi lidahnya nampol banget. Diam-diam, Sofi menghela nafas pelan, tak kentara. Dia tidak mau ibunya ikutan kepikiran masalah kisah cintanya. Kalau pada akhirnya kisah ini harus gagal, maka Sofi ingin ibunya tidak terdampak.

Meski demikian, seorang ibu memiliki instingnya sendiri. Ibunya Sofi bahwa hubungan Sofi dan calon mertuanya belum lancar.

"Sejak awal Attar bilang pengin serius sama kamu, Mama udah tahu bahwa nggak akan mudah. Dia keturunan Arab, dan kelihatannya bukan dari keluarga sembarangan," kata ibunya Sofi sambil mengeluarkan seloyang bolu dari oven, berdiri membelakangi Sofi sehingga tidak harus menatap wajah anaknya. "Mama berdoa yang terbaik buat kalian. Yang penting rumah tangga itu dimulai dengan restu dari kedua belah pihak. Jangan kayak Mama. Mama sudah merasakan rumah tangga yang ditentang oleh keluarga Papa. Mama harap kamu nggak mengalami hal yang sama."

Hati Sofi terasa berjengit mendengar fakta yang sudah lama coba dia lupakan sejak ayahnya meninggal.

* * *

Hari Sabtu Sofi tidak jadi santai. Danan datang tiba-tiba di siang hari. Nggak tiba-tiba juga sebenarnya. Danan sudah mengirim pesan di pagi hari menanyakan apakah Sofi ada rencana keluar rumah hari itu. Ketika Sofi menjawab dia akan di rumah seharian, Danan tidak membalas lagi pesannya. Satu jam kemudian Danan sudah nangkring di depan pintu rumah Sofi dengan cengiran lebarnya.

"Konsultasi dong, Mbak. Gue lagi finishing proposal lomba yang waktu itu," kata Danan ketika Sofi membukakan pintu.

Dan begitulah Sofi menghabiskan Sabtu siangnya bersama Danan. Karena Danan datang sebelum waktu makan siang, jadi mereka makan siang dulu sebelum mereka memulai bimbingan.

"Saya sengaja dateng jam segini nih, supaya ditawarin makan siang sama Mama. Kangeeennn sama masakan Mama yang enak banget," kata Danan dengan senyum jenakanya.

Ibunya Sofi tertawa lebar menanggapi gurauan Danan. "Emang kalau kamu ngerayu gitu, trus bakal dibolehin nambah?"

"Pasti dibolehin lah. Kan Mama sayang sama saya."

"Dih, GR!" kata Sofi nyamber.

"Iri aja lo, Mbak," kata Danan membalas, sambil menjulurkan lidah.

Ibunya Sofi hanya tertawa-tawa melihat interaksi kedua anak itu.

"Danan ngapain malem Minggu gini masih nyariin Pia? Emang belum puas ketemu Pia tiap hari di kampus?" tanya ibunya Pia sambil mendorong piring ayam goreng mendekat kepada Danan.

Danan mengambil sepotong ayam goreng sambil menjawab pertanyaan ibunya Sofi. "Ketemu mbak Pia mah nggak pernah ada puasnya, Ma. Kan saya cinta mati sama mbak Pia."

"Sinting ni bocah!" cibir Sofi. Tapi toh dia tertawa juga.

Kalimat tadi dikatakan dengan lancar, tanpa gugup, disertai nada jenaka. Membuat orang lain mengira pernyataan itu hanya bercanda.

"Saya lagi mau ikut lomba nih, Ma. Tapi pembimbingnya sibuk banget, ga sempet bimbingan. Jadinya saya mau minta bimbingan spiritual dari mbak Pia," Danan melanjutkan.

"Dikira gue dukun, ngasih bimbingan spiritual," Sofi menggerutu.

Lalu mereka semua tertawa. Meja makan yang biasanya sepi, hari itu jadi meriah hanya karena kedatangan seorang Danan.

* * *

Ketika ibu Sofi selesai sholat Ashar, Danan dan Sofi masih duduk berdua di ruang tamu sambil mengerjakan sesuatu di laptop Danan. Pintu rumah dibiarkan terbuka, angin berhembus membuat Sofi dan Danan bekerja dengan nyaman dan tidak kegerahan. Melihat itu, ibunya Sofi jadi iseng dan kepo.

”Malem minggu begini masih belajar aja, Nan? Hidup santai sedikit lah, jangan belajar melulu. Pulang sana," kata ibunya Sofi ketika masuk ke ruang tamu sambil meletakkan sepiring bolu yang telah dipotong-potong dan mengambil piring bolu yang telah kosong. "Emang kamu nggak ada janji malam mingguan sama pacar?”

Sofi cekikikan mendengar pertanyaan ibunya. Sementara itu Danan menjawab, ”Nggak ada kok, Ma.”

”Nggak ada apa? Nggak ada janji atau nggak ada pacar?”

Lha, mancing. Mancing keributan. Untung emak-emak, takut kualat gue kalo nyolot, Danan membatin. Tapi toh ia tetap menjawab dengan penuh senyum. ”Dua-duanya, Mama sayang. Nggak ada pacar, makanya nggak ada janji malam mingguan.”

”Kamu bohong, atau kamu pemilih ya? Ganteng gini, kok belum punya pacar juga?”

”Standarnya ketinggian, Ma,” Sofi nyamber sambil ketawa-ketawa.

”Saya tuh makanya malam mingguan nangkring disini, supaya mbak Pia mau jadi pacar saya, Ma,” spontan Danan menjawab. Gayanya sok santai. Padahal hatinya nggak santai sama sekali.

”Hush!” ibunya Sofi menggebahkan tangannya di depan Danan. ”Jangan sembarangan bercanda. Mbakmu ini udah punya pacar. Kalau sampai pacarnya dengar kamu ngomong gitu, bahaya nasibmu, Nan,” kata beliau sambil tertawa.

Wajah Sofi dan Danan berubah cepat, meski tetap memaksakan senyum.

"Danan masih disini sampai malam kan?" tanya ibunya Sofi kemudian, "Sekalian makan malam disini ya. Mama masakin. Jangan lupa kabari ibu kamu bahwa kamu pulang malam."

"Eh, nggak usah, Ma. Danan pulang sebentar lagi kok. Mama jangan repot-repot," cegah Danan cepat.

”Halah, repot apaan sih. Sok malu-malu kamu. Mama mau masak gurame saos padang sama sayur asem. Mama juga bikin panna cotta kesukaan Danan.”

Sebelum Danan sempat berkata-kata, ibunya Sofi sudah berlalu ke dapur. Maha benar emak-emak dengan segala titahnya.

Danan dan Sofi bertatapan, lalu saling melempar senyum. Antara senyum maklum dan senyum yaudahlah, turutin aja.

”Mama belum tahu bahwa lo putus?” Danan bertanya sambil menatap Sofi dengan serius, dengan volume suara rendah, setelah memastikan ibunya Sofi sudah cukup jauh dari ruang tamu.

”Heh! Sembarangan! Gue belum putus ya sama Bang Attar,” Sofi memprotes, ”I just said that....”

”.... you guys are heading that way. Bagi gue, itu sama aja.”

”Itu sangat berbeda. Kami masih berjuang. We have no plan to ...”

”Udah sih, sama gue aja, Mbak," kata Danan memotong, "Apa sih bedanya gue dan dia? Gue juga ganteng lho," lanjutnya dengan wajah jenaka, sebagai kamuflase pernyataannya yang sebenarnya.

Demi mendengar pernyataan Danan barusan, tawa Sofi meledak. Ga jadi melow-melow mikirin nasib kisah cintanya dan Attar deh. Sofi mendengus saat mendengar Danan mengaku ganteng. “Beda, Nan.”

“Apa bedanya?”

“Ya beda jenis kegantengannya.”

Danan nyengir. “Akhirnya lo mengakui juga bahwa gue ganteng.”

“Lho, emang gue pernah bilang bahwa lo jelek?”

“Ya nggak sih.”

“Nah!”

“Apa bedanya kegantengan gue sama pacar lo?” Danan balik lagi ke pertanyaan itu.

Sofi menatap Danan agak lama. “Apa ya?”

“Karena tampangnya om-om ya?” Danan menebak.

Sofi nyengir. “Wajahnya dewasa,” katanya mengoreksi dengan kalem.

“Om-om,” Danan mencibir.

"Ngomongnya nggak usah pake jealous gitu," kata Sofi meledek sambil tertawa dan mengacak rambut Danan yang duduk di sampingnya.

Danan menoleh. Dia menangkap tangan Sofi, menurunkannya dari kepalanya, dan menatap Sofi, dalam. Membuat Sofi terpana dengan sikap Danan yang tiba-tiba.

Saat itulah Sofi mendengar suara seseorang berdeham keras. Otomatis Sofi menarik tangannya dari genggaman Danan. Lalu dia menemukan lelaki berwajah Timur Tengah setinggi 185 cm berdiri menjulang di depan pintu rumahnya yang memang dibiarkan terbuka, memandangnya dengan tatapan mengerikan yang belum pernah dilihatnya.

"Bang Attar... "

* * *

Penasaran kelanjutannya? Vote yuk Kak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top