32. Heading That Way
Target vote belum tercapai sih. Tapi karena ini Sabtu malam, jd double update deh. Buat nemenin yg ga malem mingguan. Hehehe.
* * *
Hati bisa saja patah, tapi laporan praktikum dan tugas kuliah tetap bertumpuk, ujian semester tetap berlangsung. Dan Danan melaluinya dengan baik. Satu semester lagi sudah berlalu dan Danan membuktikan janjinya kepada orangtuanya dengan memberikan nilai yang terbaik kepada mereka.
Berbeda dengan masa-masa sekolahnya, dimana dia terpaksa menahan diri supaya orangtuanya tidak tahu kemampuannya yang sebenarnya, kali ini Danan tidak perlu menahan diri lagi. Danan menjalani hidupnya dengan sepenuhnya, tanpa takut menunjukkan kemampuan aslinya.
Setelah mendapat ijin dan kepercayaan dari orangtuanya untuk menjalani masa depannya sendiri, Danan memang bertekad untuk melakukan yang terbaik yang dia bisa. Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya yang telah memberinya kepercayaan. Terlebih, dia ingin menunjukkan bahwa menjadi dokter bukan satu-satunya prestasi. Dia bisa tetap berprestasi sebagai seorang farmasis.
Hati bisa saja patah, tapi Danan tidak lalu menjauhi Sofi. Dia tahu, kesempatannya akan datang. Dan saat kesempatan itu datang, Danan ingin memastikan bahwa dia berada di sana, sudah menjadi pribadi yang siap dan bisa dibanggakan, siap untuk mendapatkan hati Sofi.
Secara berkala Danan tetap mengirimkan pesan-pesan singkat pada Sofi, atau mengajak Sofi ngobrol di tengah-tengah kesibukannya praktikumnya. Keep in touch itu penting. Jangan sampai Sofi merasa nyaman tanpa kehadirannya. Danan ingin memastikan bahwa dia selalu ada kapanpun Sofi membutuhkan atau tidak.
Lebih jauh, Danan juga secara berkala memperbarui informasi tentang hubungan Sofi dan Attar, tentu saja melalui Sarah. Meski sudah tidak kuliah di fakultas yang sama, sebagai bagian dari Rumpun Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Farmasi memiliki beberapa mata kuliah yang dijalani bersama. Setidaknya sekali seminggu Danan bisa bertemu Sarah karena mereka akan kuliah di gedung yang sama. Kadang mereka hanya saling menyapa sekilas, tapi ada waktu-waktu dimana mereka bisa ngobrol sambil makan siang bersama di kantin.
Sarah nampaknya tidak pernah curiga jika Danan bertanya tentang hubungan Sofi dan Attar, karena Danan selalu pandai mengarahkan pembicaraan, dan karena Sarah adalah tipe orang yang mudah bercerita pada orang yang sudah dipercayainya.
Seperti kali itu, ketika mereka makan siang bersama di kantin, Danan memulai obrolan tentang gebetan-sekaligus-calon-tunangan Sarah, sehingga Sarah tidak curiga sama sekali.
"Belum ada kemajuan," kata Sarah sambil mengerucutkan bibirnya. "Nengok pelan-pelan ke arah jam 9. Dia disana."
Mengikuti perintah Sarah, dengan gerakan natural seperti sedang memilih-milih counter makanan yang akan didatangi, Danan menoleh ke arah yang ditunjukkan Sofi.
"Pacar baru lagi?" tanya Danan. Disana terlihat cowok-cewek yang sedang
"Nggak tau deh. Selama ini dia juga nggak pernah pacaran. Tebar pesona sana-sini, bikin cewek-cewek GR, tapi katanya itu semua bukan pacarnya," jawab Sarah.
"Yakin lo, mereka nggak pacaran?"
"Nggak tahu juga. Gue kan cuma dengar desas-desus aja."
"Udah si Sar, ganti target aja lah. Dari SMA lo udah pedekate ke dia, tapi dia nggak pernah benar-benar peduli kan? Sekali waktu perhatian sama lo, sekali waktu cuek. Cuma PHP-in lo doang. Sama sekali nggak keliatan niat baik untuk serius sama lo, padahal dia udah tahu kalian ada rencana dijodohin."
Kali itu Danan tulus memberikan sarannya sebagai seorang sahabat. Sebagai teman yang sudah melihat Sarah berkali-kali galau-GR-galau-GR-galau sejak empat tahun lalu, lama-lama Danan ikutan sebel juga sama cowok itu. Bukan, dia bukan naksir Sarah, juga bukan cemburu terhadap cowok gebetan Sarah. Danan cuma tidak suka perasaan temannya dipermainkan seperti itu.
"Ternyata begini ya perasaan Kak Sania," kata Sarah tiba-tiba. Belok nggak pakai sen.
"Hah? Siapa tuh Sania? Cewek itu?" tanya Danan tidak mengerti, sambil mengendikkan bahu ke arah gadis yang duduk berhadapan dengan gebetan Sarah.
"Bukan," jawab Sarah. "Calon kakak ipar pilihan ibu gue."
"Oh. Calonnya Bang Attar?"
Sesongong-songongnya Danan, di hadapan Sarah dia masih memanggil Abang kepada Attar, demi menghormati Sarah.
"Iya," kata Sarah. "Meski mereka dijodohin, Kak Sania harus berjuang banget mendapatkan hati Bang Attar, karena Abang udah terlanjur cinta sama Mbak Sofi."
Danan tersenyum dalam hati. Sarah selalu saja membocorkan hal-hal seperti ini kepada Danan, meski tanpa ditanya. Dia merasa tidak salah mentarget informan.
"Kalau dipikir-pikir, ya nasib gue sama Kak Sania sama. Gue juga harus berjuang supaya dia sadar sama perasaan gue. Gue egois ya? Jangan-jangan dia juga udah punya perempuan lain yang dia sayang, kayak Bang Attar yang udah sayang sama Mbak Sofi."
Danan menepuk-nepuk punggung tangan Sarah. Mencoba menghibur. Dia tulus ingin menghibur Sarah. Tapi kalau kemudian dia mengharapkan info penting, boleh juga kan?
"Emang gimana perkembangan terakhir Abang lo sama Mbak Sofi?" tanya Danan, dengan nada suara yang tidak terdengar antusias, supaya nggak ketahuan kepo-kepo amat.
"Ya gitu-gitu aja. Stuck," jawab Sarah. "Ini udah beberapa bulan sejak Ummi akhirnya mengijinkan Bang Attar ngenalin calonnya ke Ummi. Itu juga pake drama dulu. Gue udah pernah cerita kan, sebelumnya mereka bikin perjanjian dulu, Ummi baru mau dikenalin ke mbak Sofi kalau Bang Attar mau dikenalin ke Kak Sania. Tapi setelah Bang Attar ngenalin mbak Sofi ke Ummi pun, sikap Ummi masih dingin sampai sekarang. Padahal Mbak Sofi tuh suka bawa makanan-makanan kesukaan Ummi kalau main ke rumah. Kalau Ummi ada arisan di rumah, mbak Sofi yang siapin kue-kue hidangannya. Kayaknya semua teknik PDKT sih udah dicoba mbak Sofi, tapi Ummi tetep nggak luluh."
Di satu sisi Danan lega karena hubungan Attar-Sofi belum juga melangkah ke tahap selanjutnya. Tapi di sisi lain, dia juga kasian saat membayangkan usaha Sofi untuk menaklukkan hati calon ibu mertuanya.
Andai lo milih gue, Mbak, lo nggak perlu berjuang segitunya. Ibu gue udah sayang sama lo.
Danan ingat bahwa ibunya pernah mengisyaratkan bahwa beliau keberatan dengan rentang usia Danan dan Sofi. Tapi Danan merasa hal tersebut adalah sesuatu yang masih bisa diperjuangkan, karena pada dasarnya ibunya suka pada kepribadian Sofi.
"Harusnya gue memihak Kak Sania ya, karena nasib kita sama," Sarah melanjutkan, "Sama-sama dijodohin dengan laki-laki yang sudah mencintai perempuan lain. Tapi entah kenapa gue tetep mendukung mbak Sofi. Mbak Sofi tuh baik sama gue, bukan karena gue adiknya Abang. Mantan-mantan Abang sebelumnya baik sama gue karena mendekati Abang. Gue nggak tahu sih gimana Kak Sania. Dia baik, tapi gue belum terlalu kenal."
"Ada kemungkinan ibu lo bakal berubah pikiran?" tanya Danan, "Lalu suatu saat bisa menerima mbak Sofi?"
"Liat deh muka gue, arab banget kan," Sarah menjawab dengan jawaban yang nggak nyambung. "Semua keluarga gue menikah dengan orang keturunan Arab juga. Orangtua gue juga dulu dijodohin dan langgeng. Makanya Ummi berkeras Abang harus nikah dengan perempuan pilihan Ummi, dari keluarga keturunan Arab yang terpandang. Bukan cuma para priyayi Jawa aja yang punya slogan bibit, bebet, bobot pas milih menantu. Emak gue juga tipe-tipe priyayi gitulah. Jadi meski gue mendukung mbak Sofi, gue pribadi nggak terlalu berharap Ummi bisa berubah pikiran."
Danan merasa penantiannya tidak akan sia-sia.
* * *
Demi menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi apoteker yang berprestasi, selain kuliah, Danan juga aktif dalam organisasi fakultas, baik tingkat universitas maupun internasional. Di semester itu, Danan sudah menjadi delegasi fakultasnya dalam event lomba kefarmasian tingkat Asia Tenggara dan berhasil meraih juara ketiga untuk lomba Patient Conseling Competition Beginner Level. Dan saat ini dia bersama ketiga orang rekannya sedang mempersiapkan proposal untuk lomba inovasi produk farmasi tingkat nasional. Untuk lomba tersebut, seorang dosen pembimbing telah dibimbing oleh fakultas untuk membimbing kelompok mereka. Tapi karena kesibukan dosen tersebut, Danan merasa bahwa bimbingan dengan dosen pembimbing tersebut masih kurang. Untuk itulah dia meminta Sofi agar bersedia menjadi pembimbing spiritual alias pembimbing tidak resmi kelompok mereka. Dan demi Danan, Sofi bersedia memberikan bimbingan meski tidak ada penugasan resmi.
Sore itu Sofi sedang memandang langit yang mendung ketika pintu ruang kerjanya diketuk oleh Danan. Awan hitam berarak dari arah selatan dan makin mendekat ke arahnya. Sebentar lagi akan hujan.
”Masuk,” Sofi mempersilakan.
Danan membuka pintu dan sebuah kepala muncul dari sela-selanya. ”Selamat sore, Bu,” kata Danan formal.
”Masuk!” kata Sofi sambil tersenyum dan melambaikan tangannya, memberi tanda memanggil.
Pemuda dengan tinggi 178 cm dan berkulit coklat itu masuk dan mengedarkan pandangannya.
”Yang lain udah pada pulang?” Danan bertanya memastikan.
Ada tiga buah meja kerja di ruangan itu, dan satu meja besar di tengahnya, untuk diskusi dan rapat kecil. Pemuda itu melihat kedua meja lainnya kosong sehingga menduga kedua rekan Sofia sudah pulang. Sofia sedang duduk di balik mejanya, sambil menghadap ke jendela ketika pemuda itu melongokkan kepalanya tadi.
Sofi mengangguk sambil tersenyum.
Pemuda itu membalas dengan senyum yang lebih lebar. Lalu langsung duduk di hadapan Sofi.
”Kayaknya saya cuma mempersilakan kamu masuk deh. Siapa yang mempersilakan kamu duduk?” Sofi bertanya sambil bersidekap.
Danan mencibir. ”Ah elah Mbak, udah bukan jam kuliah lagi kali. Ga ada siapa-siapa juga di sini. Selewat jam 5 sore, gue bukan mahasiswa lo lagi. Ga usah sok galak.”
Alih-alih marah diperlakukan seperti itu oleh mahasiswanya, Sofi justru tersenyum.
”Jadi gue boleh manggil Mbak Pia lagi sekarang kan?” Danan kembali bertanya dengan gaya tengilnya.
Sofi tertawa melihat tingkah pemuda itu.
”Kalau kayak gini terus, gue jadi merasa kayak lagi pacaran backstreet, mbak. Cuma bisa ketemu selewat jam kuliah,” kata pemuda itu sambil membuka toples berisi keripik di meja Sofi. Sofi memang selalu punya stok cemilan di meja kerjanya, karena makan adalah salah satu hobinya.
”Siapa ...” Sofi bertanya.
”Gue dan lo. Kayak pacaranbackstreet,” Danan mengulang.
”... yang nanya?” Sofi melanjutkan.
Pemuda itu manyun lagi. Kesal dengan lelucon Sofi. Sofi justru tertawa makin lepas.
”Receh lu Mbak.”
Belum ada lima menit pemuda itu masuk ke ruang kerjanya, tapi Sofi sudah berkali-kali tertawa. Bersama pemuda itu, ia selalu bisa tertawa. Bahkan meski langit sedang mendung. Meski hatinya sedang hujan.
Pemuda itu melirik jendela besar di balik punggung Sofi. Ia melihat awan hitam berarak mendekat.
”Kenapa belum pulang, Mbak? Sebentar lagi hujan,” pemuda itu bertanya.
”Belum selesai ngoreksi ujian,” Sofi menjawab asal.
”Ujian apa?” Pemuda itu menelisik. Tidak ada lembar ujian berserakan di meja kerja Sofia. Jadi Sofi mengoreksi ujian apa?
Sofia tahu ia ketahuan berbohong, lalu mengelak. ”Tadi baru selesai ngoreksi ujian farmasetika. Sekarang baru mau nyiapin materi buat kuliah lusa.”
Pemuda itu makin tidak percaya.
”Mbak ~~~” Pemuda itu memanggil dengan perlahan.
”Kenapa, Danan~~~?” Sofi menjawab dengan intonasi yang meniru pemuda itu, mengejek.
”Muka lo kayak baru putus aja.” Danan gantian mengejek.
Sofi tertawa ” We are heading that way, Nan.” Kali itu Danan bisa mendengar kegetiran dari suara tawa dosennya itu.
Meski sudah mendengar cerita dari Sarah tentang hubungan Attar-Sofi, tetap saja Danan terkejut ketika mendengar pernyataan langsung dari Sofi. Ia tadi hanya bercanda sebenarnya. ”Lho? Kenapa? Jadi kalian udah putus?”
Sofi menggeleng. ”Belum putus sih. Tapi, entahlah. Segalanya jadi serba sulit buat kami. Semesta mungkin nggak ingin kami bersama.”
Danan bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Sofi.
Sofi menengadah, menatap pemuda tinggi itu dengan wajah sendu dan tanda tanya. Tanpa aba-aba, Danan menarik Sofi hingga berdiri lalu memeluknya. Diam-diam, ia tersenyum dengan berita yang barusan didengarnya. Bukan bermaksud mengejek kemalangan Sofi, tapi gimana dong, kan dia memang nggak bisa membohongi hatinya sendiri bahwa dia merasa senang karena hubungan Sofi dengan pria itu tidak berjalan lancar.
Sofi hampir saja menangis menerima perlakuan manis Danan di kala dirinya patah hati, ketika masih sambil memeluknya tiba-tiba Danan berkata ”Pacaran sama gue aja yuk, mbak.”
Sofi berusaha melepas pelukan Danan, tapi Danan tidak melepaskannya. Jadi dia menyerah. Dia bertahan di pelukan itu, lama.
”Lu gila. Apa kabar pacar-pacar lo?” kata Sofi mengejek sambil memukul punggung Danan.
Gue nggak pernah pacaran, ”Kapan si lo bakal percaya bahwa gue nggak punya pacar, mbak?” Sejak gue bertemu lo, gue nggak bisa mencintai perempuan lain.
”Ya kali gue bakal percaya bahwa cowok idola kayak lo nggak punya pacar. Itu si Sarah, bukannya kalian deket? Penggemar lo juga ngantri. Lo tinggal milih. Lagian gue nggak mau dilabrak sama si Maura, fans setia lu.”
”Udah dibilangin berkali-kali sih, Sarah tuh sahabar gue, Mbak. Lagian, yakali Maura berani ngelabrak lu. Kan lu dosennya dia, mbak,” Danan menyahut.
”Ya mungkin nggak ngelabrak, tapi nyinyirin gue di belakang.”
”Kalau dia berani macem-macem sama lo, bakal gue labrak balik dia!”
Dalam pelukan Danan, Sofi nyengir geli. Ia sedang dirayu anak ingusan.
”Emangnya lo nggak malu kalau teman-teman lo tahu bahwa lo pacaran sama tante-tante kayak gue?”
”Nggak apa tante-tante mah, kalo kayak Song Hye Kyo.”
”Ya tapi gue bukan Song Hye Kyo.”
”Iye, elu Song-ong.”
”Lha, elu yang songong.”
Gemas dengan perdebatan mereka yang nggak penting itu, Danan mempererat pelukannya, membuat Sofi menjerit kesakitan.
”Jadi pacar gue aja, Mbak,” kata Danan sekali lagi. ”Kalau sama gue, lo nggak perlu berjuang sekeras ini."
Sofi termangu sesaat mendengar kata-kata Dana sebelum akhirnya dia menyodok perut Danan dengan sikunya. ”Udahan ah pelukannya. Nggak enak kalo dilihat orang.” Danan mengaduh kesakitan dan terpaksa melepaskan pelukannya pada Sofi.
”Kan nggak ada siapa-siapa, mbak,” kata Danan merajuk, ”Nggak romantis amat deh.”
”Ngapain juga romantis-romantisan sama adik sendiri.”
Meski kecewa dengan kalimat terakhir Sofi, Danan berusaha tetap sok cool. Ini bukan pertama kalinya Sofi mengira pernyataan cinta Danan hanya gombalan iseng. Bukan pertama kalinya juga Sofi menolak Danan, meski Danan yakin pasti Sofi tidak sadar bahwa dia sedang benar-benar menolak Danan. Berkali-kali Sofi menyepelekan pengakuan cinta Danan dengan hanya menganggap Danan sebagai adiknya. Tapi Danan tidak pernah bisa sepenuhnya membenci Sofi. Salahnya Danan juga karena sejak dia ditolak saat menyatakan cintanya saat lulus SMP dulu, dia tidak pernah lagi benar-benar menyatakan cintanya dengan cara yang serius. Wajar saja kalau Sofi menganggapnya hanya gombalan. Danan hanya belum sepenuhnya siap jika nanti dia mengalami penolakan lagi yang lebih serius dan Sofi malah pergi dan menjauhinya karena pernyataan gegabah. Makanya sampai saat ini dia selalu membungkus pernyataan cintanya yang tulus dengan gombalan recehnya.
Seperti halnya gombalannya yang ini: ”Ligan apa yang harus ku coupling dengan liposom cintaku, agar bisa tertarget ke hatimu, Mbak?”
Demi mendengar gombalan receh ala anak farmasi yang baru saja diucapkan Danan itu, Sofi tertawa terbahak-bahak. Bersama Danan, ia selalu bisa melupakan semua masalah. Meski hanya sementara. Tapi itu sangat berarti baginya.
"Udah ah, ngereceh mulu lo," kata Sofi sambil menyusut air mata di sudut matanya akibat terlalu banyak tertawa. "Lo kesini mau nanya apaam tentang proposal lomba lo?"
* * *
Sabtu malam baca gombalan receh Danan, gmn rasanya Kak? Senyum2 atau jijik, Kak? Hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top