3. Sang Penyelamat
Sofi sudah begadang semalam suntuk demi menyelesaikan tugas “menakjubkan” dari beliau-yang-namanya-tidak-boleh-disebut. Sayangnya, gara-gara insiden pada hari sebelumnya dengan para preman yang menyebabkan kertas tugasnya jatuh ke selokan, hingga pagi datang Sofi hanya mampu menulis 700 kali reaksi.
Sofi masih melanjutkan usahanya selagi ia menunggu kereta listrik Jakarta-Depok yang biasa dinaikinya datang. Tapi ketika kereta itu datang dan Sofi tidak mendapat tempat duduk, Sofi akhirnya menyerah. Memangnya dia masih bisa menulis dalam posisi berdiri? Akhirnya Sofi memasukkan lembaran tugasnya ke tas tangannya, meletakkannya di rak di atas tempat duduk, lalu memanfaatkan waktu untuk tidur.
Iye, tidur! Kalian nggak salah baca. Sofi memang tidur sambil berdiri.
Sebagai mahasiswa farmasi dengan jadwal kuliah dan praktikum yang padat juga tugas-tugas makalah dan presentasi yang bertumpuk, berkurangnya waktu tidur adalah sesuatu yang sangat wajar. Apalagi 2 tahun belakangan ini keahlian ibunya Sofi dalam membuat kue makin terkenal, sehingga teman-teman kantor beliau makin sering memesan kue, entah untuk acara keluarga mereka, dan bahkan tidak jarang untuk rapat kantor. Sebagai anak berbakti, Sofi nggak mungkin membiarkan ibunya membuat pesanan kue yang banyak sendirian kan. Akhirnya tidak jarang Sofi ikut begadang membantu ibunya menyelesaikan pesanan kue dari teman-teman kantornya. Asik juga sih bantuin ibu bikin kue, selain Sofi bisa belajar bikin kue juga, uang jajannya nambah. Sejak ibunya makin sering menerima pesanan kue dari teman-teman kantornya, Sofi ketiban untung juga. Lumayan kan nambah duit buat fotokopi diktat kuliah (dan kisi-kisi soal ujian, haha).
Gara-gara sering begadang, sejak menginjak semester kedua kuliahnya, Sofi telah mengembangkan kemampuannya untuk tidur dimanapun, dalam kondisi apapun dan pada posisi apapun. Hal itu dilakukan untuk mengganti waktu tidur malamnya yang hilang akibat pesanan kue dan tugas-tugas kuliahnya. Maka nggak perlu heran melihatnya tidur selagi berdiri di dalam kereta. Untunglah dia memiliki keseimbangan tubuh yang terkendali meski sedang tidur. Selain itu, Sofi entah mengapa selalu tepat waktu membuka matanya saat selama perjalanan. Kali itu Sofi dengan tepat terbangun ketika keretanya telah memasuki stasiun kereta yang berada di depan kampusnya. Dengan bergegas dia turun dari kereta dan segera menuju kampusnya.
“Hoy, nona-mata-panda!” panggil seseorang sambil menepuk bahu Sofi dari belakang selagi ia berjalan menuju gedung fakultasnya.
“Hoy Bim! Stop ngeledek gue deh!”kata Sofi sambil manyun.
Bima adalah salah seorang sahabat dekat Sofi. Berkuliah di jurusan farmasi, otomatis Sofi memiliki lebih banyak teman perempuan daripada laki-laki. Perbandingannya bisa 1:5 antara jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan. Nggak bakal kurang kalau buat poligami mah. Tapi diantara sedikit spesies cowok itu, Sofi justru akrab dengan Bima.
“Udah selesai?” Bima bertanya.
“Tujuh ratusan reaksi. Gue menyerah,” jawab Sofi dengan putus asa.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu kemudian tersenyum. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya kemudian menyerahkannya kepada Sofi. Sofi bengong.
“Gue tahu lo ga bakal bisa menyelesaikannya. Jadi gue bantuin ngerjain nih,” katanya sambil senyum-senyum memandang wajah bengong Sofi. “Dua ratus reaksi kalau gue nggak salah hitung.”
Senyum Sofi langsung merekah.“Ahhh, Bima! Lo keren banget sih. Makasih yaaaa. Kalau cewek, udah gue cium lo!” katanya kegirangan.
Bima juga nyengir-nyengir sok keren. “Boleh kok, lo boleh cium gue.”
Sofi langsung mencebik. Tapi senyumnya tidak hilang dari bibirnya.
“Totalnya 900 reaksi ya?” kata Bima kemudian. “Berdoa aja semoga beliau-yang-namanya-tidak-boleh-disebut nggak benar-benar ngitung.”
“Aamiiiin,” Sofi mengamini dengan sepenuh hati.
Ketika mereka sampai di taman kampus, taman itu masih sepi. Baru ada beberapa mahasiswa yang duduk di sekitar taman kampus sambil mengerjakan tugas mereka masing-masing.
“Coba gue lihat tulisan lo setelah mengulang tulisan sebanyak 700 kali. Pasti makin lama makin nggak terbaca,” kata Bima kemudian sambil tertawa mengejek. ”Semoga doi nggak tahu bahwa ada 200 reaksi yang tulisannya beda. Haha.”
“Ah, gue mah udah nggak peduli tulisan gue jelek atau … ARRRGGGGHHH!!!”
Bima kaget ketika mendengar tiba-tiba Sofi berteriak dengan suara menggelegar. Semua mahasiswa di sekitar taman kampus itu menoleh ke arah mereka, membuat Bima salah tingkah karena malu. Tapi Sofi sudah tidak bisa merasa malu lagi. Satu-satunya yang dirasakannya saat itu adalah kepanikan. Tangannya tidak menggenggam tas tangan yang biasa dibawanya untuk menaruh kertas tugas dan buku yang tidak cukup dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Sofi yakin sekali sudah membawa tas tangan berisi tugas-seribu-reaksinya dari rumah, tapi kenapa kini tas itu tidak berada di tangannya.
“Tas gue hilang! Tas berisi tugas itu hilang!” pekik Sofi sambil menatap Bima dengan panik.
“HAH???!!!” Bima ikutan berteriak panik. “Mungkin ketinggalan di rumah?”
“Nggak! Gue yakin udah gue bawa.”
“Jadi ketinggalan dimana?”
Tidak perlu waktu lama bagi Sofi untuk mengingat. Beberapa detik kemudian dia sudah berteriak lagi saat teringat bahwa dia meninggalkan tas itu di atas rak di dalam kereta. Dia meletakkan tas tangan itu di rak di atas tempat duduk penumpang agar dia bisa leluasa tidur sambil berdiri. Namun saat terburu-buru turun dari kereta, dia lupa mengambil tas tangan itu lagi. Sekarang tas kain itu pasti sudah berada entah dimana. Begitupun dengan tugas-seribu-reaksi yang berada di dalamnya.
Saat itu juga Sofi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia menangis. Bima tidak bisa berbuat apa-apa selain menepuk-nepuk punggung Sofi selagi sahabatnya itu menangis sambil tiada henti berkata “Bodohnya gue!”
Waktu seakan berhenti saat Sofia terpuruk dalam penyesalan yang mendalam. Sofi bahkan sudah sampai pada rencana untuk segera pulang lagi ke rumah dan berpura-pura sakit hari itu sehingga dia masih punya kesempatan sehari lagi untuk mengumpulkan tugas. Tapi tubuh dan pikirannya sudah terlalu lelah untuk mengulang lagi mengerjakan semua tugas itu. Dia sudah merasa muak dan ingin bunuh diri dengan mengaku saja pada beliau-yang-namanya-tidak-boleh-disebut bahwa dia tidak mengerjakan tugas, dengan resiko akan tidak lulus pada mata kuliah tersebut semester itu.
Sofi sudah pada titik terendah semangatnya ketika seseorang berdiri di hadapannya dan memanggil namanya dengan suara bass yang dalam ”Sofia Syahida?”
Sofi mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata ke arah suara lelaki itu. Bima melakukan hal yang sama. Mereka mendapati seorang lelaki berwajah Timur Tengah, dengan banyak rambut halus di sekitar rahangnya, memakai kemeja putih dan berkacamata berdiri di hadapan mereka. Membuat mereka bertanya-tanya siapa lelaki itu.
”Sofia Syahida?” lelaki itu bertanya sekali lagi.
Sofi mengangguk dengan wajah bingung. Dia tidak mengenal lelaki ini, tapi kenapa lelaki itu tahu namanya?
Lelaki itu kemudian menunjukkan sebuah tas tangan dari kain berwarna abu-abu pada Sofi. Kemudian lelaki itu mengambil selembar kertas dari dalamnya dan menunjukkan tulisan Sofia Syahida di sisi atas kertas itu.
Sofi melotot. Dia segera menghapus air matanya dengan satu sapuan kasar, agar tidak menghalangi pandangannya. Tapi ternyata pandangannya tidak salah. Itu memang tas kainnya. Dan kertas yang ditunjukkan lelaki itu adalah kertas tugas-seribu-reaksi yang penuh dengan tulisan tangannya.
Serta merta Sofi berdiri. Lelaki itu menyerahkan tas dan kertas itu kepada Sofi.
“Tas kamu ketinggalan di kereta,”kata pria itu menjelaskan. ”Saya mengejar kamu dari stasiun tapi kamu jalannya cepet banget.”
”Makasih banyak ya Mas,” kata Sofi sambil mengeringkan pipinya dari sisa air mata, “Sungguh-sungguh terima kasih,” Sofi membungkukkan punggungnya tanda terima kasih kepada pria itu.
“Santai,” kata lelaki itu santai. “Yaudah, saya pamit. Ada kuliah pagi.”
“Sekali lagi, makasih banyak ya Mas.” You saved my life.
“Sama-sama.”
Setelah lima langkah lelaki itu pergi, Sofi terduduk kembali di kursi taman. Ia lemas, sekaligus lega. Sofi memandang kertas-kertas di tangannya dengan takjub. Hanya dalam waktu 10 menit jantungnya naik-turun tak beraturan hanya gara-gara tugas ini, membuatnya kehabisan energi bahkan meski dia nggak lari kemana-mana. Syukurlah sekarang ia bisa kembali tenang. Meski hanya ada sembilan ratus reaksi esterifikasi, ia berharap sang dosen tidak akan benar-benar menghitungnya.
”Pangeran berkemeja putih telah menyelamatkan sang putri,” Sofi bergumam sambil memandang punggung lelaki berkemeja putih itu menjauh dengan kagum.
”Sop?” Bima mengerutkan dahinya. Jijik. Ia lalu meletakkan punggung tangannya di dahi Sofi sambil memanggil nama gadis itu dengan asal-asalan.
Sofi mengenyahkan tangan Bima dan seolah mengabaikannya. ”Aduh, gue lupa nanya namanya. Harusnya tadi gue tanya. Gue juga nggak tahu dia anak fakultas mana. Harusnya gue tanya.”
”Idih! Lo naksir? Apa gantengnya sih? Tampangnya om-om gitu.” Bima berdecih.
”Om-om apaan? Iri aja lo mah.”
Sofi memang punya selera yang tidak biasa tentang cowok ganteng. Cowok ganteng versi Sofi adalah mereka yang memiliki wajah dewasa. Sebut saja Robert Downey Jr, Benedict Cumberbatch, Gong Yoo.
”Emang gue kurang ganteng, apa?”
”Ganteng, ganteng,” Sofi menjawab sambil memutar mata lelah. ”Gue beli tetes mata pilokarpin dulu ya.”
Lima detik kemudian Bima baru menyadari maksud jawaban Sofi. ”Siaul!”
Sofia tertawa melihat ekspresi kesal Bima.
”Sini deh balikin dua ratus reaksi yang gue tulisin buat lo,” kata Bima, pundung.
Sofi langsung memasang tampang sok imut. ”Yaaahh, Bima ganteng, jangan gitu dong. Masa udah bantu, trus menarik bantuan lagi. Ga boleh gitu, Bro.”
”Idih, kalo ada maunya, baru deh mau mengakui gue ganteng.”
Sofia memutar mata lelah. Bima kadang memang kelewatan pedenya.
”Yaudah,” kata Bima sambil tersenyum licik, ”Dua ratus reaksi dari gue nggak usah dibalikin. Tapi gue mau minta tolong nih.”
Sofi menghela napas. ”Tuh kan! Pantes lo baik banget mau bantuin gue nulisin tugas. Ternyata ada maunya. Hih!”
* * *
Siapakah Pangeran Berkemeja Putih, Sang Penyelamat itu? Eeeaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top