29. Orang Berharga
Sofi keluar kamar di pagi harinya dengan mata sembab karena menangis semalaman. Pengalaman pacaran pertamanya ternyata hanya bertahan tidak sampai setahun. Terlebih dia diputuskan oleh lelaki itu karena "ketahuan" selingkuh, padahal dirinyalah korban yang diselingkuhi. Benar-benar pengalaman pertama yang tak terlupakan.
Laki-laki tuh, perjuangan gigih sampai bertahun-tahun, bikin perempuan GR dan merasa berharga, eh pas udah berhasil mendapatkan semuanya dari si perempuan, langsung pindah ke perempuan lain yang lebih menantang.
Sofi membenci dirinya sendiri karena sikapnya yang begitu bodoh dan murahan. Sejak awal dia sudah sadar bahwa laki-laki seperti Attar terlalu tinggi untuknya, harusnya dia juga sadar jika berani jatuh hati pada laki-laki seperti itu maka dia juga sudah harus siap patah hati parah. Dia juga menyesali kelemahannya yang membiarkan Attar menciumnya padahal mereka baru pacaran beberapa bulan.
Normalnya, setelah pacaran berapa lama sih sepasang kekasih boleh berciuman? Tidak ada panduan dalam buku teks atau artikel digital lain mengenai ini, membuat Sofi tidak bisa menilai sudah seberapa murahannya dia bertingkah.
"Mata kamu kenapa, Pi?" tanya ibunya Sofi ketika Sofi duduk di kursi makan, mencomot pisang goreng, lalu memakannya sambil membantu ibunya menggulung lumpia. Jam 10 nanti 50 lumpia dan 50 pastel harus sudah diantarkan, untuk sebuah acara di salah satu rumah tetangga mereka.
"Abis nangis semaleman, Ma," kata Sofi jujur, "Nonton drama Korea," dia melanjutkan dengan kebohongan.
"Nggak penting banget nangis demi drama Korea sampai mata bengkak begitu."
Sofi tertawa sambil terus menggulung lumpianya.
"Nanti anterin pesenan ini ke rumah Tante Wanda ya, Pi," kata ibunya Sofi sambil membalik lumpia di wajan. Sofia dan ibunya kini saling memunggungi.
"Siap, Nyonya," jawab Sofi santai. "Ada acara apaan nih Tante Wanda?"
"Si Cecil lamaran."
"Oh."
"Kamu kapan dilamar?"
"Kalo belok, kasih sen dulu dong, Ma. Biar yang jawab nggak kaget."
"Ini mah pertanyaan relevan. Msh nyambung," kata ibu Sofi membela diri. "Jadi kapan?"
"Di waktu yang tepat, Ma."
"Dan kapankah waktu yang tepat itu?"
"Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan, Ma."
"Kamu nggak lagi ada masalah sama Attar kan Pi?" tembak ibunya tepat sasaran. Sebab dari tadi jawaban Sofi selalu ngeles.
"Santai aja sih, Ma. Pia masih 25 tahun lho ini." Lagi-lagi Sofi ngeles, tidak menjawab pertanyaan ibunya dengan jelas. Dia tidak ingin ibunya ikutan pusing memikirkan urusan sepele macam perselingkuhan ini.
"Tapi Attar sudah 33 tahun bukan? Pasti orangtuanya sudah nyuruh dia buru-buru nikah. Kamu pernah ketemu orangtuanya atau belum sih?"
"Pernah. Sekali."
"Trus?"
"Ya nggak trus-trus. Nanti nabrak."
"Pia!"
Sofi yang sudah kewalahan ngeles dari pertanyaan-pertanyaan ibunya terselamatkan oleh dering ponselnya. Nama Danan tertera di layarnya, membuat Sofi tersenyum. Dia menyambar ponselnya lalu pindah ke ruang tamu untuk menerima telepon pemuda itu.
"Do you feel better, Mbak?" tanya Danan setelah bertukar salam dengan Sofi.
"Yes, I do. Thank to you. Makasih banyak ya kemarin."
"Gue nggak bantu apa-apa kok," kata Danan. "Udah klarifikasi ke Attar, siapa sebenarnya cewek itu?"
"Belum. Dan udah nggak penting juga."
Danan diam beberapa saat sebelum tiba-tiba terdengar suara napas pemuda itu yang tercekat. "Kalian putus?!"
"Yeah."
"Trus dia terima aja lo putusin? Nggak membela diri dan mencoba klarifikasi?"
Boro-boro membela diri. Dia justru mutusin gue karena dikira selingkuh sama lo.
"Hmmm." Sofi hanya bergumam.
"Bangsat banget ya tuh orang!"
"Nan!" tegur Sofi keras.
Ada kalanya Sofi juga lepas kendali dan memaki dengan kasar. Tapi sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak memaki. Secara pribadi, dia sendiri risih mendengar orang memaki. Itu mengapa Sofi refleks menegur Danan saat pemuda itu memaki. Danan, mungkin karena pergaulannya sesama cowok juga, memiliki kosakata makian yang lebih membuat Sofi risih mendengarnya.
"Harusnya gue abisin aja dia kemarin!" Danan lanjut marah, mengabaikan teguran Sofi. "Bahkan dia nggak minta maaf karena sudah mengkhianati lo."
"Udahlah Nan. Udah nggak penting juga."
"..." Danan ingin membantah tapi dia kehilangan kata-kata. Dia marah karena lelaki itu membuat perempuan yang disayanginya bersedih, tapi dia juga senang karena kini Sofi kembali bebas sehingga kesempatan untuknya kembali terbuka.
"Lo di rumah? Gue ke rumah lo sekarang ya Mbak?" kata Danan kemudian.
"Mau ngapain lo? Besok kan lo seleksi masuk PTN. Belajar atau istirahat gih."
"Lha gue juga ke rumah lo mau minta ajarin sesuatu."
"Bohong!" tukas Sofi cepat. "Don't try to comfort me. I am not that weak."
"No doubt that you're strong. I just..."
"Just don't, Nan!" Kalau lo kesini, nanti gue malah curhat dan nangis lagi.
"Okay, okay," kata Danan menyerah.
"Anyway, thanks Nan."
Danan menjawab dengan gumaman. "Ngomong-ngomong, besok gue ke tempat ujian bareng Sarah..." Danan memberi jeda, menunggu respon Sofi. Tapi ternyata Sofi tidak merespon. "Menurut lo, Sarah tahu nggak siapa cewek kemarin itu? Perlu gue tanya dia?"
"Nggak usah Nan," jawab Sofi sambil menghela nafas, mencoba bersabar. Bukannya dia marah pada Danan, dia hanya takut kalau Danan terus memperlakukannya sebaik ini, dirinya akan jadi cengeng. "Udah selesai juga kok."
"Iya, tapi kan lo berhak atas penjelasan atas sikapnya."
"I don't need that. Really. I really am okay."
"No. You're not okay, Mbak..."
Perkataan Danan membuat Sofi termangu.
".... but you will be," Danan melanjutkan.
Dan Sofi merasa hatinya menghangat mendengar kata-kata Danan. Dia tidak pernah berharap akan dihibur dengan kata-kata sehangat itu dari seorang Danan yang tengil. Tapi nyatanya, anak itu melakukannya. Barangkali sudah waktunya Sofi menyadari, bahwa Danan sudah berubah menjadi lebih dewasa. Anak itu bukan anak SMP lagi.
"Nan, lu kesambet?" tanya Sofi, berusaha menyembunyikan salah tingkahnya (meski jelas Danan tidak bisa melihatnya salah tingkah, kan mereka hanya ngobrol di telepon).
"Ah, Mbak!" Danan mengeluh, "Merusak suasana romantis lu!"
* * *
"Siapa?" tanya ibunya Sofi ketika Sofi kembali ke ruang makan.
"Danan, Ma."
"Udah lama nggak ketemu, apa kabar tuh anak?" tanya ibunya Sofi.
Meski tidak lagi menjadi murid les Sofi, Danan kadang masih berkunjung ke rumah Sofi, meski tidak terlalu sering. Kadang anak itu hanya datang untuk ngobrol iseng dengan Sofi atau mengantar Sofi atau ibunya Sofi belanja bulanan.
"Baik, Ma," jawab Sofi. "Besok dia mau ikut seleksi lagi, kali aja tahun ini berhasil masuk FK katanya."
"Orangtuanya masih keukeuh supaya Danan jadi dokter?"
Sofi angkat bahu. "Mungkin."
Kali itu Sofi kembali ke ruang makan untuk sarapan. Dia mengambil nasi uduk dan lauk pauknya di atas meja, duduk dan mulai makan, sambil tangannya kembali membantu ibunya menggulung lumpia.
"Kamu masih dekat sama Danan gitu, emang Attar nggak marah atau cemburu?" tanya ibunya Sofi tiba-tiba.
Sofi mengunyah dan menelan makanannya sambil menatap ibunya dengan heran, seolah pertanyaan ibunya adalah pertanyaan yang sangat aneh.
"Danan tuh murid Pia, Ma. Apanya sih yang harus dicemburui?"
"Barangkali kamu lupa, tapi Danan bukan lagi anak SMP yang dulu datang kesini diantar supirnya. Dia sudah mahasiswa sekarang... "
"Dan dia mahasiswa Pia!"
"Dan dia mahasiswa kamu," balas sang ibu, dengan intonasi santai tapi sangat menekankan tiap katanya. "Pernah kepikir nggak, anak sepintar itu, yang kata kamu pinter banget itu, kenapa nggak bisa masuk FK dan malah jadi mahasiswa kamu?"
Sofi sudah siap membalas perkataan ibunya, ketika tiba-tiba dia seperti tersadar akan suatu fakta.
"Attar itu laki-laki dewasa, dan Danan bukan anak-anak lagi," ibunya melanjutkan.
"Maksud Mama, Pia harus menjauhi Danan supaya Attar nggak cemburu?" tanya Sofi, sekuat tenaga menahan diri supaya tidak terdengar sengit. Cih! Nggak sudi amat. Dia aja seenaknya jalan sama cewek lain tanpa khawatir gue cemburu atau nggak. "Danan itu orang berharga bagi Pia. Pia nggak akan menjauhi Danan hanya supaya nggak ada orang lain yang cemburu."
Orang berharga?, pikir ibunya Sofi, mengernyitkan dahi. Seberapa berharga sampai kamu rela pacarmu cemburu sama dia?
* * *
Sarah memakan sarapannya pelan-pelan sambil memperhatikan wajah kakaknya yang tidak enak dilihat. Sejak bangun tidur pagi hari kemarin, wajah kakaknya sudah tidak sedap dipandang. Merengut melulu. Sarah mau bertanya alasannya, takut malah akan dimarahi. Sebenarnya Sarah punya dugaan, tapi tidak berani menyanyakan.
"Sarapannya cepet dihabiskan, Sar. Abang antar ke tempat ujian," kata kakaknya tiba-tiba, mengagetkan lamunan Sarah.
"Lho? Abang nggak pernah bilang mau nganter Sarah?" kata Sarah bingung.
"Barusan Abang bilang mau nganter kamu."
Sarah memutar bola matanya.
"Nggak usah nggak apa-apa Bang. Sarah udah janjian sama Danan. Dia mau jemput. Kami sama-sama ke tempat ujian."
"Danan?" tanya ibunya Attar. Aktivitas sarapan Attar terhenti dan tanpa disadari tangannya menggenggam sendok dengan terlalu kuat.
"Temen Sarah dari SMA, Ummi. Sama kayak Sarah, dia ikut ujian lagi, mau nyoba masuk FK lagi."
Belum sempat Attar bertanya lebih jauh tentang Danan, suara klakson motor sudah terdengar.
"Dicek lagi semua!" perintah ibunya Attar kepada anak bungsunya. "Jangan ada yang ketinggalan? Kartu ujian?"
Sarah mengecek sekali lagi isi tasnya, lalu tiba-tiba ia berlari masuk ke dalam kamarnya, seperti baru teringat bahwa ia ketinggalan sesuatu.
Hal itu dimanfaatkan Attar untuk menuju arah sebaliknya. Dia melangkah keluar rumah, menghampiri seorang pemuda yang duduk di atas motornya, di depan rumahnya.
Ketika Attar melangkah mendekat, pemuda itu segera sadar akan kehadirannya, tapi toh dia hanya diam saja. Bahkan menyapa basa-basi saja tidak. Attar sudah tidak suka pada anak ini bahkan sejak anak itu masih SMP dulu. Dan makin kesini, dia makin tidak menyukainya.
"Apa sebenarnya maksud kamu?" tanya Attar lugas, langsung, ketika sampai di hadapan pemuda di atas motor itu.
Pemuda itu balas menantang tatapan tajam Attar tanpa gentar sama sekali.
"Gue nggak tahu apa maksud lo," kata Danan santai dan cuek.
"Belum puas deketin Sofia, hah? Sekarang mau mendekati Sarah juga?!" tanya Attar frontal.
"Nggak usah drama deh!" tukas Danan, "Nggak usah sok jadi korban, padahal lo adalah pelakunya."
Alis Attar berkerut. Tidak paham maksud ucapan Danan.
"Gue nggak mendekati Sarah, kami sudah dekat sejak SMA. Gue juga nggak mendekati Sofia, kami sudah dekat sejak lama," kata Danan menantang.
"Brengsek ya lo!" Attar kehilangan kesabaran dan kendali atas perilakunya gara-gara sikap pemuda itu memancing emosinya. Refleks Attar maju dan menarik leher jaket pemuda itu.
Dengan cepat Danan menguasai keseimbangam motornya dan mencekal tangan Attar yang ada di lehernya.
"Jangan jadi pengecut yang nyalahin gue kalau lo diputusin Sofia... " kata Danan. Dahi Attar berkerut. Diputusin? Danan memang berasumsi bahwa Attarlah yang diputusin oleh Sofi. Dia tidak tahu bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. "... Dia mutusin lo bukan karena gue deketin dia, tapi karena dia tahu betapa brengseknya lo," kata Danan melanjutkan.
"Apa maksud lo?"
"Nggak usah berlagak bego!" sergah Danan cepat. "Kami berdua lihat sendiri lo mesra-mesraan sama selingkuhan lo di toko buku. Wajar aja sih Sofia mutusin lo setelah melihat lo mengkhianati dia. Lo beruntung, Sofia menahan gue jadi gue nggak mukulin lo kemarin. Sekarang tangan gue juga udah gatel banget ini, kalau nggak inget lo adalah abangnya Sarah."
Attar melepas cekalannya pada leher Danan dan menatap Danan dengan ngeri. Toko buku? Selingkuhan? Jangan-jangan Sofi melihatnya hari itu? Pantas aja dengan mudahnya dia minta putus, dan sama sekali nggak menelepon atau memberi klarifikasi setelah itu. Sial!!!
* * *
"Bang Attar ngapain lo tadi?" tanya Sarah di tengah jalan, sambil mendekatkan dirinya kepada Danan supaya pemuda itu bisa mendengar pertanyaannya. Ketika tadi dia keluar rumah untuk menghampiri Danan, dia melihat Attar berdiri di hadapan Danan dengan wajah tegang.
"Sori ya, dia lagi galak banget belakangan ini," lanjut Sarah, "Dia dijodoh-jodohin mulu sama gadis pilihan ibu gue. Padahal Bang Attar kan cintanya sama Mbak Sofia. Jadi galau dia. Ga bisa menolak perintah ibu gue, tapi juga belum berani bilang ke Mbak Sofia. Makanya stres dia. Jadi kalau dia galak ke lo, maafin ya Nan."
Kenyataan itu mengganggu pikiran Danan seharian, sampai dia tidak konsentrasi mengerjakan soal-soal ujian masuk PTN.
* * *
Dalam hal cemburu dan posesif, Bang Attar ga berubah ya 🤭🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top