27. Can't Always Help It

Kalau setelah resmi pacaran trus dunia serasa milik berdua, bisa asik pacaran terus, jalan-jalan kesana kemari, nonton bioskop dan candle light dinner, itu hanya terjadi di dalam sinetron. Kenyataannya tidak begitu bagi Sofi dan Attar. Mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing sepanjang minggu. Mahasiswa baru selesai UAS, bertepatan dengan masa pengajuan proposal hibah penelitian, sehingga mereka berdua disibukkan dengan mengoreksi ujian dan menyusun proposal hibah penelitian masing-masing. Yang membedakan hanya intensitas komunikasi mereka. Biasanya Attar hanya chat beberapa kali dalam sebulan, setelah pacaran setidaknya ia mengirim chat sekali sehari. Jika sebelumnya mereka hanya bertemu di stasiun kereta dan berangkat atau pulang kampus bersama secara kebetulan, sekarang mereka memang sengaja janjian supaya bisa pulang dan pergi ke kampus bareng. Helm cadangan yang selalu dibawa Attar buat jaga-jaga, sambil harap-harap cemas akan dipakai oleh Sofi, kini bisa digunakan lebih sering. Meski mereka memang tidak bisa selalu berangkat dan pulang bersama tiap hari, tapi intensitasnya kini meningkat drastis.

Meski ini pengalaman pertamanya pacaran, tapi Sofi sudah sering menerima curhatan dari teman-temannya. Belajar dari pengalaman teman-temannya, dia tahu bahwa setidaknya butuh beberapa bulan bagi laki-laki untuk memutuskan menjalani hubungan itu untuk serius atau "jalani dulu aja". Tapi Sofi lupa bahwa Attar tidak sama dengan pacar teman-temannya. Barangkali karena usianya juga yang sudah lebih matang, Attar nampak tidak ingin berlama-lama berada di fase "jalani dulu aja".

Belum seminggu sejak mereka jadian, ketika Attar mengantar Sofi pulang dan kebetulan saat itu ibunya Sofi juga sudah pulang kerja, tanpa meminta ijin Sofi, Attar langsung berinisiatif bicara pada ibunya Sofi.

"Bu, maaf saya belum minta ijin. Tapi saya sudah pacaran sama anak Ibu..." kata Attar di hadapan ibunya Sofi.

Ibunya Sofi bukannya tidak sadar bahwa laki-laki itu menyukai dan mendekati anaknya sejak lama. Tapi seperti juga anaknya yang terlalu apatis, ibunya Sofi tidak pernah berharap atau memberi harapan pada Sofi. Bahkan bagi ibunya Sofipun, Attar tidak sepadan dengan anaknya. Dia takut Sofi hanya akan kecewa nantinya. Maka ketika Attar mengatakan sedang berpacaran dengan Sofi, meski beliau tidak lagi kaget, tapi beliau was-was juga.

"... saat ini saya tahu barangkali Sofia belum siap menikah. Tapi bukan berarti saya hanya main-main sama Sofia. Saya serius sama anak Ibu. Semoga Ibu nggak keberatan kami berhubungan."

Sofi mendengarkan Attar dengan kepala tertunduk dan hati yang kebat-kebit. Attar sama sekali tidak memberitahunya sebelumnya bahwa mereka akan mengaku pada ibunya Sofi, sehingga Sofi tidak ada persiapan mental. Dia malu dan takut kalau ibunya tidak setuju pada hubungan mereka.

Ibunya Sofi menatap Attar dan Sofi yang duduk di hadapannya bergantian. Ada perasaan aneh yang muncul ketika melihat mereka berdua. Seperti melihat masa lalu. Dan itu membuatnya khawatir.

"Attar belum dijodohkan dengan gadis pilihan orangtua Attar?" tanya ibunya Sofi, tanpa basa-basi.

"Eh?"

"Tidak banyak kenalan Ibu yang keturunan Arab yang menikah dengan yang bukan keturunan Arab. Kebanyakan kalian sudah dijodohkan atau memang memilih pasangan yang sama-sama keturunan Arab kan?"

Attar mengangguk sambil menelan ludah dengan gugup. Bukan sekali ini Attar ngobrol dengan ibunya Sofi, tapi memang baru kali itu mereka membicarakan hal serius sehingga Attar gugup juga. Apalagi tiba-tiba ibunya Sofi dengan tepat sasaran mengemukakan masalah utama yang dihadapinya saat itu.

"Saya akan memberi pengertian kepada orangtua saya Bu."

"Dan itu saja nggak cukup."

"Saya akan memperjuangkan Sofia."

Sofi menoleh pada Attar dan menatapnya dengan terharu. Ibunya Sofi mendapati tatapan mata yang kuat pada Attar dan beliau tidak bisa melawan mata itu.

"Apa orangtua Attar sudah tahu tentang hubungan kalian?"

"... Belum."

Ibunya Sofi tahu bahwa laki-laki itu berbohong.

"Kalau kalian saling mencintai dan serius, Ibu hanya bisa memberi restu," kata ibunya Sofi. Wajah Attar dan Sofi sama-sama tampak lega. "Tapi, Attar, sebaiknya Attar segera mengenalkan Pia atau menceritakan hubungan kalian kepada orangtua Attar. Makin cepat mereka tahu, makin cepat Attar tahu pendapat mereka, maka makin cepat kalian bisa memutuskan kelanjutan hubungan kalian."

Kelegaan di wajah Attar sirna lagi.

"Maksud Ibu?"

"Kalau orangtua Attar nggak setuju terhadap Pia, lebih baik kalau kalian lebih cepat mengetahuinya. Ibu nggak mau Pia lebih dalam jatuh cinta kalau akhirnya akan berpisah."

"Ma?" Sofi mencicit.

"Pada dasarnya, Ibu setuju dengan hubungan kalian. Tolong jaga Pia ya, Attar, jangan buat dia sedih," kata ibunya Sofi akhirnya.

"Terima kasih, Bu," kata Attar sambil mengangguk, berusaha meyakinkan ibunya Sofi. Meski saat mereka bertatapan, Attar tahu bahwa ibunya Sofi tampak tidak yakin bahwa Attar bisa menjaga Sofi untuk tidak sedih.

"Ibu masuk dulu kalau gitu," kata ibunya Sofi kemudian. "Sebentar lagi Maghrib. Attar sholat disini aja, trus makan malam bareng kita. Ya?"

Attar tersenyum. "Makasih banyak, Bu."

Ketika punggung ibunya Sofi tidak kelihatan lagi, Attar dan Sofi saling menatap lalu tanpa sadar sama-sama menghembuskan nafas lega. Macam abis ujian tesis aja.

"Abang nggak bilang-bilang bahwa mau bilang ke Mama, ih!" kata Sofi sambil memukul lengan Attar.

"Aduh!" Attar mengelus lengannya. "Ya kan aku nggak tahu bakal ketemu Mama sore ini. Pas banget Mama udah pulang kerja, yaudah aku ngomong. Emang spontan aja, nggak ada rencana."

"Deg-degan,tau!"

"Emang Sofia pikir aku ga deg-degan?"

Sofi kali itu tertawa.

"Tapi Bang, kenapa tadi Ibu ngomong gitu ya?"

"Ngomong apa?"

"Apa kira-kira Ummi bakal nggak setuju sama aku?"

Meski tahu jawabannya, Attar memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya saat ini. Dia masih punya banyak waktu untuk mengusahakannya. Dia ingin Sofi bisa menikmati waktu mereka bersama tanpa khawatir.

Attar menggenggam tangan Sofi dan menatapnya. "We will be just fine! Trust me, won't you?"

Lebih daripada usahanya meyakinkan Sofi bahwa semuanya akan baik-baik saja, Attar lebih butuh meyakinkan dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja.

* * *

Kalau kamu kira karena patah hati trus punya alasan untuk meratapi dan gegoleran seharian di kasur, itu berarti kamu kebanyakan nonton FTV. Karena bagi Danan, patah hati tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan kehidupan kuliahnya. Dia tetap harus kuliah, harus mengerjakan tugas, dan harus menghadapi ujian. Karena patah hatinya terhadap Sofi tidak memberinya alasan yang cukup kuat untuk berhenti kuliah. Lebih jauh dari sekedar mengejar Sofi, Danan sudah memutuskan kuliah di jurusan itu untuk memberi bukti pada orangtuanya bahwa tanpa menjadi dokterpun dia bisa sukses, tanpa jadi dokterpun dia bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dia hanya tidak ingin menjalani hidup hanya karena sudah dipilihkan oleh orangtuanya. Kalau sekarang nilai-nilainya jelek hanya karena patah hati, bagaimana dia bisa mempertanggung jawabkan pilihannya.

Beruntung bagi Danan, meski hatinya sakit, tapi otaknya masih bisa diajak mikir. Semester 2 baru saja dimulai dan syukurlah nilai-nilainya di semester 1 lalu lumayan bagus. IPnya 3.66. Untuk ukuran orang yang baru patah hati, nilai Danan itu cukup mengangumkan. Kalau tanpa patah hati, mungkin IPnya bisa 4.00 sempurna.

Kata orang, kalau kamu belum pernah patah hati sampai rasanya dunia akan runtuh, itu artinya rasa cintamu belum sebesar itu. Mungkin benar juga. Danan masih bisa belajar untuk ujiannya, barangkali cintanya kepada Sofi tidak sebesar itu. Barangkali selama ini dia memang hanya mengagumi gadis itu saja.

Ketika Danan membuka buku Farmasi Fisik dan mencoba mengerjakan latihan-latihan soal di dalamnya, dia berhenti pada salah satu soal.

Seseorang dengan berat badan 60 kg mengkonsumsi 1 piring nasi (100 gram). Jika 100 gram nasi mengandung 20% sukrosa, berat molekul suksrosa adalah 342 gram/mol, energi pembakaran sukrosa adalah 6000 kJ/mol dan diasumsikan 30% energi dari nasi tersebut digunakan untuk memanjat pohon, berapa tinggi yang dapat dicapai oleh orang tersebut dengan 30% energi dari nasi tadi?

Dia tersenyum, mengingat bahwa soal itulah yang dulu membuatnya takluk pada Sofi.

Dia memfoto soal itu, lalu mengirimkannya kepada Sofi.

Sofia: Kangen ya les sama gue lagi?

Digatama: Kangen banget.

...sama lo.

Danan tidak tahu perasaan apa yang dimilikinya terhadap Sofi. Dia juga tidak tahu sebesar atau sedalam apa perasaan itu. Yang dia tahu, setiap kali pikirannya kosong dan sedang tidak disibukkan oleh tugas kuliah, dadanya akan terasa sakit saat mengingat Sofi. Dan meski Danan tahu bahwa dia harus belajar mengendalikan perasaan itu, dia tidak bisa selalu berhasil mengendalikannya.

He cannot always help it.

* * *

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.36 dan langit sudah kemerahan ketika Danan lewat di koridor lantai 4, lantai paling atas di gedung fakultasnya. Dia baru saja selesai mengerjakan makalah kuliahnya kepada teman sekelompoknya melalui email ketika tiba-tiba sadar bahwa hari sudah terlalu sore. Koridor lantai 4 memang cukup sepi sehingga merupakan tempat yang kondusif untuk menyepi dan mengerjakan tugas tanpa gangguan yang lain.

Danan baru saja akan menuruni tangga ketika sadar bahwa lampu di ruang dosen farmasetika di lantai 4 masih menyala. Itu berarti masih ada dosen di sana. Dan setahu Danan, hanya Sofi yang tahan bekerja sampai sesore itu. Dosen lain yang bekerja di ruangan itu biasanya hanya tinggal disana sampai jam 4, maksimal sampai jam 5.

Naluri isengnya tiba-tiba muncul. Danan memutuskan untuk langsung masuk ke ruangan itu tanpa mengetuk pintu, lalu akan mengagetkan Sofi.

Tanpa mengetuk, Danan membuka pintu ruang dosen. Tapi baru saja dia akan berteriak mengejutkan Sofi, justru dirinya yang terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Akibatnya dia kembali menutup pintu tanpa sempat menyapa Sofi dan melangkah pergi.

"Bangsat!" maki Danan keras sambil menuruni tangga.

* * *

Hari itu adalah hari terakhir untuk mengunggah proposah hibah riset pemula untuk para dosen muda. Itu mengapa Sofi mengirim pesan kepada Attar supaya tidak menunggunya di stasiun dan pulang duluan karena Sofi akan pulang terlambat. Tapi alih-alih pulang duluan, Attar justru datang ke kampus Sofi.

"Sudah selesai proposalnya?" tanya Attar begitu masuk ke ruangan Sofi.

Mata Sofi menatapnya dengam berkaca-kaca. "Bang..." Suara Sofi merengek. Antara nada bertanya kenapa Attar ada disana, dan nada lega karena Attar datang.

"Ini tinggal upload proposal, tapi laptopku begini," kata Sofi mengadu.

Attar bergegas menghampiri meja Sofi, meletakkan ranselnya di kursi di depan meja Sofi, lalu menghampiri Sofi.

"Sofia apain laptopnya sampe bisa begini?" kata Attar, sambil memeriksa laptop itu.

"Dih, nggak aku apa-apain. Tiba-tiba aja gitu," kata Sofi membela diri.

"Laptopnya capek. Dia tahu bahwa ini sudah waktunya pulang. Makanya dia udah nggak mau kerja lagi," kata Attar berkelakar, mencoba membuat Sofi tersenyum. Tapi usahanya gagal. Sofi masih tetap manyun.

Akhirnya Attar mengutak-atik laptop tersebut selama 5 menit dan akhirnya berhasil membuat laptop itu bekerja kembali. Sofi terlonjak dengan gembira.

"Cepet upload proposalnya, mumpung laptopnya bener," kata Attar sambil tersenyum melihat tingkah Sofi.

Tanpa diperintahpun, Sofi segera membuka folder tempatnya menyimpan file yang tadi baru saja selesai dilengkapinya. Ia membuka web tempat mengunggah proposal hibah riset, lalu segera mengunggah hasil kerjanya.

Lima menit kemudian Sofi selesai dan dia segera menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia merenggangkan kedua tangannya ke atas sambil berteriak bahagia.

"Yeiii, selesai!!! Makasih banyak ya Bang! Abang selalu jadi penyelamatku!"

Attar terpaku di tempatnya berdiri, di sebelah Sofi yang sedang merenggangkan tangan sambil menengadah menatapnya yang sedang berdiri.

Tanpa disadarinya, Attar sudah maju selangkah, mendekat pada Sofi. Dia memegang tangan Sofi yang sedang terangkat, lalu membawanya turun. Sofi masih bingung dengan sikap tiba-tiba Attar ketika dengan lebih tiba-tiba lagi Attar menundukkan kepala di atas kepalanya yang masih menengadah, lalu mencium bibirnya.

Seperti ciuman pertamanya, kali itu Sofi juga hanya bisa terpaku. Bedanya, kalau waktu itu Attar hanya menciumnya selama lima detik, kali ini Attar tidak melepaskan diri bahkan selewat sepuluh detik. Sofi bahkan merasa bibir di atas bibirnya sedang tersenyum, lalu berbisik.

"Close your eyes. Follow your heart."

Lalu yang terjadi kemudian diluar dugaan Sofi. Lelaki itu tidak lagi hanya menempelkan bibirnya di bibir Sofi. Dia menuntut lebih. Laki-laki itu mulai mencecap dan menggigit lembut bibir Sofi. Mata Sofi refleks menutup karena gugup. Dan ketika lidah lelaki itu membelai bibirnya, seperti diperintah tanpa kata Sofi membuka bibirnya.

Attar meletakkan tangannya di tengkuk Sofi, menahan kepala gadis itu. Saat itu Sofi sedang memakai hair sticknya sehingga Attar bisa dengan bebas membelai kulit tengkuk Sofi. Membuat gadis itu mendesah.

Saat itulah mata Attar bertemu dengan mata seseorang yang berdiri di depan pintu. Kalau itu mahasiswa lain, barangkali Attar akan segera memutus ciumannya. Tapi kali itu yang dilihatnya adalah Danan. Maka dia justru memperdalam ciumannya pada Sofi, tanpa memutus kontak matanya dengan Danan, sambil melemparkan senyum sinisnya.

Lalu tiba-tiba Sofi menahan dadanya, dan memaksa melepaskan diri.

"Apa barusan ada suara pintu ditutup?" tanya Sofi dengan nafas ngos-ngosan, sambil menoleh ke arah pintu ruang dosen.

"Aku nggak dengar apa-apa," kata Attar sok nggak tahu.

Lalu ketika kesadarannya pulih, Sofi jadi salah tingkah. Dia mengeringkan bibirnya dengan cepat, mematikan laptopnya lalu membereskan tasnya.

Attar merasakan ada yang aneh dengan sikap Sofi, lalu menyambar tangan gadis itu, mencoba menghentikan kegiatannya yang serba gugup.

"Did i do something wrong?" tanya Attar setelah memaksa Sofi menatapnya. Dia mencekal lengan Sofi kuat.

"What did we do?" tanya Sofi mencicit.

"We were kissing."

"We shouldn't do that."

"Why?"

Sofi memalingkan wajah, tidak menjawab.

"Aku minta maaf, Sofia," kata Attar. "I cannot always help it. I want to kiss you, to touch you."

Kulit Sofi meremang mendengar kata-kata Attar. Attar menyambar dagu Sofi dan mengarahkannya sehingga mau menatapnya.

"Aku cinta sama kamu," kata Attar, menatap dalam ke mata gadis itu.

Sofi memberanikan diri menatap mata itu. Bukan hanya salah Attar sehingga ciuman itu bisa terjadi. Itu juga kesalahannya yang lengah dan membiarkan Attar membuatnya terlena.

"Apa Abang selalu begini kepada mantan-mantan Abang?" tanya Sofi tiba-tiba.

"Begini gimana?" Attar balik bertanya dengan kaget ketika mendapati nada suara Sofi yang aneh.

"Sejauh apa yang pernah Abang lakukan dengan mereka?"

"Hah?"

"Apa kalian... emm... had sex?"

"No!" jawab Attar tercekat. "Kok kamu mikir jauh banget? We just kissed. Aku selalu bisa menahan diri."

Sofi tidak tahu apakah jawaban Attar jujur atau tidak. Tapi ciuman Attar barusan sangat profesional dan memabukkan. Attar mungkin bisa menahan diri, tapi sesaat tadi Sofi bahkan sempat hilang kendali. Sofi bahkan takut pada dirinya sendiri.

"Ayo kita nikah aja, Bang," kata Sofi, dengan suara lemah.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top