25. Ibu
Hari Minggu, Kakak ga kemana2 Kak? Ga apa2, ga usah sedih. Saya jg ga kemana2 kok.
Saya termasuk orang yg meski (katanya) covid sudah berakhir, tetap pakai masker meski cuma ke lapangan depan rumah dan mandi sepulang kuliah. Jadi kalau hari Minggu begini orang2 pd berpergian, kumpul2 di mall, saya prefer di rumah aja, menghindari kerumunan.
Kelihatan parno-an ya? Hahaha, ya ga apa2 dianggap parno mah, asal anak2 sehat terus.
Jadi, utk menemani Kakak2 yg hari Minggu di rumah aja supaya tidak menambah kerumunan, bab ini di-post sekarang. Selamat membaca, dan semoga Kakak2 berkenan vote n komen yang ramai. Makasih Kak.
* * *
"Dunia sempit banget ya," kata Attar membuka percakapan.
Mereka sudah berada di dalam mobil Attar, dalam perjalanan kembali ke rumah Sofi.
"Hahaha. Iya," kata Sofi menimpali sambil tertawa. "Ternyata mempelai perempuannya adalah anak dari kolega ibunya Danan di rumah sakit. Mempelai laki-lakinya juga anak dari sekretaris almarhum ayahnya Abang ya?"
"Iya. Kaget banget pas lihat Ummi dan Sarah disana. Ternyata kondangannya kesitu juga."
Sofi memandang wajah Attar yang sok horor, lalu menertawakannya.
"Bukan dunia yang sempit..." kata Sofi kemudian. "Mungkin pergaulan kita yang makin luas."
Attar tertawa mengejek."Sofia kesambet apa? Tiba-tiba bijak bener."
Manyun, Sofi memukul lengan Attar. Tidak terlalu keras supaya Attar tidak kehilangan konsentrasi saat menyetir, tapi cukup untuk membuat Attar meringis.
"Ummi nggak marah kalau Abang nggak antar Ummi pulang? Padahal saya bisa pulang sendiri sebenarnya."
"Jangan lah. Pas pamit sama Mamanya Sofia, kan aku yang jemput Sofia. Masa nggak dianter pulang baik-baik."
"Santai aja, Bang. Lagian Mama juga hari ini lagi kumpul-kumpul sama temen arisannya. Palingan Mama belum pulang pas kita sampai rumah nanti."
Attar mengangguk-angguk.
"Dan ternyata aku kenal sama mempelai laki-lakinya," kata Attar.
"Oh ya?" Sofi menoleh dan menatap bingung. Sebab mempelai laki-lakinya itu kan teman kuliahnya dulu. Kenapa Attar bisa kenal?
"Nggak kenal sih. Cuma tahu aja. Itu Bima yang dulu suka penelitian bareng Sofia kan?"
Hanya butuh beberapa detik sampai Sofi bisa mengingat bahwa Attar dan Bima memang sempat beberapa kali bertemu sebelumnya, tiga tahun lalu.
"Tapi kayaknya istrinya itu bukan cewek histeris yang dulu cemburu sama Sofi itu ya?" Attar bertanya.
"Bukan, Bang. Bima udah lama putus sama cewek yang dulu. Bima dan istrinya ini dijodohin sama orangtua mereka."
"Jodoh tuh misteri banget ya. Pacaran bertahun-tahun sama si A, nikahnya sama si Z yang baru kenal beberapa bulan," kata Attar, disambut dengan anggukan oleh Sofi. "Sofi baik-baik aja?"
Sofi menoleh dan menatap Attar dengan bingung. Kebetulan sedang lampu merah sehingga Attar bisa membalas tatapan Sofi.
"Kenapa aku nggak baik-baik aja?" Sofi balik bertanya. Dia tidak mengerti dengan pertanyaan Attar.
"Bukannya dulu Sofia naksir Bima?"
Sofi melotot sekilas karena kaget dengan tebakan Attar. Meski dengan cepat Sofi memalingkan wajahnya kembali menghadap jalanan di hadapan mereka, Attar sudah sempat melihat perubahan ekspresi spontan Sofi barusan.
"Dih, sotoy!" jawab Sofi singkat.
"Kelihatan jelas kok."
"Oh." Cuma itu reaksi yang bisa diberikan Sofi. Dia ingin mengelak, tapi bingung.
"Mungkin karena aku suka sama Sofia, makanya aku jadi peka dan sadar bahwa Sofia suka sama laki-laki lain."
Sofi hanya diam. Bingung mau menanggapi bagaimana.
Lampu lalu lintas sudah berubah hijau dan Attar kembali melajukan mobilnya. Ia lalu melanjutkan, "Makanya tadi aku tanya, apakah Sofia baik-baik aja datang ke pernikahan laki-laki yang disukai?"
Sofi mengangguk sambil tersenyum tipis. "Baik, Bang."
Attar tercabik antara senang dan kecewa. Senang karena Sofi baik-baik saja, tapi juga kecewa karena Sofi tidak mengklarifikasi apakah dia masih cinta sama Bima atau tidak.
"Aku pikir, setelah aku ditolak dulu, Sofia bakal sama Bima. Kenapa kalian akhirnya nggak jadian? Padahal aku pikir Bima juga suka sama Sofia."
"Dih, sotoy!" jawab Sofi, "Kami tuh sahabatan. Bima nggak naksir aku. Lagian ibunya Bima juga nggak suka sama aku," lanjutnya tiba-tiba, dengan suara ringan. Attar kaget selama sepersekian detik ketika mendengar jawaban yang disampaikan dengan terlalu santai itu, tapi untung tidak sampai memecah konsentrasinya.
"Darimana?" tanya Attar.
"Hah?" Sofi tidak mengerti pertanyaan Attar.
"Darimana Sofia tahu Bima nggak suka sama Sofia? Darimana Sofia tahu ibunya Bima nggak suka sama Sofia?"
"Tahu aja," jawab Sofi singkat sambil mengangkat bahu.
"Kenapa ibunya Bima nggak suka sama Sofia?"
"Ya pokoknya kalau orangtua nggak setuju, artinya nggak jodoh."
Meski hanya melirik dengan sudut matanya, karena ia harus fokus menyetir, Attar dapat membaca keengganan Sofi menjawab pertanyaannya. Maka ia memutuskan untuk berhenti membahas tentang Bima.
* * *
"Nggak nyangka ya bisa ketemu Mbak Sofi. Udah lama nggak ketemu Sofi, Ibu jadi pangling," kata ibunya Danan, ketika mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang.
Danan hanya diam mendengarkan.
"Mungkin karena lagi kondangan, jadi dia dandan ya, makanya keliatan cantik banget. Kan kalau ngajar les kamu cuma pake blouse atau kaos gitu doang dan nggak pakai make-up, jadi keliatan biasa aja."
Lagi-lagi Danan cuma mengangguk-angguk. Bahkan tanpa make-up pun Danan, Sofi selalu tampak menarik bagi Danan. Apalagi dengan dress warna ungu muda yang dipakainya tadi, dengan riasan tipis dan rambut yang digelung, Sofi tampak memesona.
"Gimana Mbak Sofi jadi dosen? Galak nggak, kayak dulu pas ngajar kamu?"
"Nggak tuh, Bu. Biasa aja."
"Berarti kamu murid luar biasa, sampai perlu digalakin."
"Lagian Danan udah biasa digalakin sama mbak Pia sih, makanya kegalakannya nggak mempan lagi buat Danan."
"Bisa jadi." Gantian ibunya Danan manggut-manggut. "Eh, yang tadi itu pacarnya Sofi ya?"
Selayaknya emak-emak yang belok kanan lupa ngasih lampu sen, ibunya Danan mengganti topik obrolan tanpa aba-aba.
"Mungkin," jawab Danan sekenanya. Malas menjawab.
"Ganteng ya."
"Telpon Bapak ah."
Ibunya Danan tertawa geli.
"Kalau sama mas-mas yang tadi sih, kamu kalah, Nan," lanjut ibunya.
"Apaan sih Bu? Nggak nyambung!" jawab Danan dengan wajah bete. Tanpa dibilang pun, Danan sadar diri bahwa dia kalah segalanya dibanding Attar.
"Lho, bukannya dulu kamu bilang pengen jadi pacarnya mbak Sofi?"
"Bodo amat!" jawab Danan makin sengit. Dia memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rasa malunya.
Ibunya Danan tertawa melihat anaknya yang salah tingkah. Lalu ia bergumam sendiri. "Ibu suka sama Sofi. Dia pinter dan baik anaknya. Ramah. Tabah juga menghadapi kamu yang tengil. Pekerja keras juga kelihatannya. Tapi dia jauh lebih dewasa daripada kamu sih ya, dia mana mau sama anak-anak kayak kamu kan."
"Halah. Bapak kan juga 3 tahun lebih muda daripada Ibu."
"Ya tapi kan sikapnya Bapak dewasa. Kamu, kelakuan masih tengil begini mah, perempuan dewasa nggak bakal tertarik."
Setelah puas meledek anaknya sendiri, ibunya Danan tertawa puas. Dari kaca spion, Danan bisa melihat Pak Agus yang sedang menyupir juga senyum-senyum.
Apa gue harus kayak om-om dulu, kayak Attar, supaya Sofi bisa naksir?
"Lagian mbak Sofi berapa tahun lebih tua dari kamu, Nan? Enam tahun? Cari yang lebih muda, seumuran, atau lebih tua tapi maksimal tiga tahun aja lah, Nan. Enam tahun mah kejauhan," ibunya Danan melanjutkan.
Apa itu artinya Ibu nggak akan merestui andaipun dia menerima gue?
* * *
Ketika kembali ke ruang tamu di rumah Sofi, sudah tersaji segelas sirup dan beberapa potong marmer cake di atas meja tamu. Sofi duduk di salah satu kursinya sambil main hape. Attar baru saja selesai sholat Dzuhur di rumah Sofi. Karena tadi sepulang kondangan dia belum sholat (dan Sofi sedang tidak sholat), Sofi menawari Attar untuk mampir dan sholat Dzuhur dulu di rumahnya.
"Eh, udah selesai sholatnya?" kata Sofi ketika menyadari kehadiran Attar. Dia meletakkan ponselnya di meja tamu, lalu tersenyum pada Attar. "Minum dulu, Bang."
Attar duduk di samping Sofi lalu mengambil gelas berisi sirup berwarna merah itu dan meminumnya hingga habis.
"Onta!" kata Sofi sambil cekikikan.
Dengan wajah Timur Tengahnya itu, sudah tidak terhitung berapa orang yang memanggilnya "onta Arab". Kadang memang dengan tujuan mengejek. Tapi kali itu Attar tahu bahwa Sofi menyebutnya begitu bukan untuk mengejek asal-usulnya tapi karena dia mampu minum banyak dalam sekali tenggak.
Sofi mengambil gelas Attar dua detik setelah ia meletakkannya di meja. Dan belum sempat Attar mencegahnya, Sofi sudah menjawab "Kuenya belum dimakan, jadi Abang pasti butuh minum lagi."
Sofi kembali lima menit kemudian dengan gelas yang sudah terisi penuh kembali dengan es sirup.
"Jadi Abang pengen main kesini, sampai rela nemenin aku kondangan, ada urusan apa, Bang?" tanya Sofi sambil meletakkan gelas itu di hadapan Attar.
"To the point banget sih. Nggak pakai basa-basi," kata Attar tertawa, demi menutupi kegugupan yang datang tiba-tiba.
"Biar urusannya cepat selesai, Bang. Jadi Abang bisa cepet pulang dan bisa malam mingguan."
"Lha ini aku lagi malam mingguan disini."
"Malam mingguan sama pacar Abang, maksudnya."
"Sofia," kata Attar sambil menghela nafas, "Udah tiga tahun ini aku nggak pernah malam mingguan selain sama kamu."
"Tuh kan. Mulai lagi gombalannya."
Meski Sofi pasang tampang sok cool, tapi dia tampak mulai tidak nyaman duduk di kursinya. Seakan ingin segera kabur dari percakapan itu.
"Sofia," Attar memanggil sekali lagi. Memastikan gadis itu menatap padanya. Ketika Sofi menatap matanya, barulah Attar melanjutkan kata-katanya. "Waktu kamu nolak aku dulu, alasannya karena kamu belum siap menikah sementara aku udah memasuki usia siap nikah. Nyatanya, sampai sekarang aku juga belum nikah. Kamu nyuruh aku nyari perempuan lain yang sudah siap. Nyatanya, aku yang nggak siap nikah sama perempuan lain."
Meski gentar, Sofi berusaha mempertahankan kontak matanya dengan Attar.
"Selama tiga tahun ini aku nggak menjauh dari Sofia. Aku menjaga kontak tanpa terlalu intens, supaya Sofia sadar bahwa aku selalu ada buat Sofia tanpa membuat Sofia risih. Supaya Sofia merasa nyaman dengan hubungan kita. Dan aku rasa aku nggak GR kalau merasa bahwa Sofia juga nyaman sama aku. Iya kan?"
Sofi masih diam. Makin gugup.
"Sofia, aku mau kamu nikah sama aku," kata Attar akhirnya. Ia mengatakannya perlahan, menekankan setiap katanya, agar Sofi yakin pada keseriusannya. "Tapi kalau Sofia belum siap nikah, aku bisa menunggu. Bisa kita bicarakan. Tolong kasih aku kesempatan dulu. Ayo kita jalani sama-sama. Mau kan?"
Sofi tidak segera menjawab. Tapi tampaknya kali itu Attar serius menunggu jawaban Sofi sehingga Sofi tidak bisa diam terus.
"Tapi Bang..." Sofi kesulitan mencari alasan. "Aku sudah pernah bilang, kita terlalu berbeda, Bang."
"Berbeda apanya?" Attar balik bertanya. Meski geregetan, ia berusaha menahan diri. Dari dulu Sofi selalu menggunakan alasan ini. "Sofia masih merasa aku terlalu tampan buat Sofia? Ini alasan yang nggak masuk akal buatku. Aku nggak tahu Sofia punya trauma apa sama laki-laki tampan,barangkali ada yang pernah mempermainkan dan menyakiti Sofia, tapi kan selama tiga tahun ini aku membuktikan bahwa aku bukan laki-laki brengsek seperti itu. Aku sudah punya delapan mantan, Sofia, tapi itu bukan berarti aku suka mainin perempuan. Setiap berhubungan sama pacarku, aku nggak pernah nggak setia sama mereka. Biasanya aku cuma tahan nggak pacaran selama 1 tahun. Tapi nyatanya, tiga tahun ini nggak ada perempuan lain yang menarik perhatianku selain Sofia, meski aku bebas memilih yang lain."
Sofi diam.
"Apa lagi alasan Sofia?"
"Aku bukan sengaja cari-cari alasan, Bang. Tapi memang kita berbeda. Abang dari keluarga berada. Aku dari keluarga sederhana. Ibu harus sambil nyambi jualan kue supaya aku bisa lulus kuliah. Keuangan keluarga kami baru lumayan longgar setelah aku kuliah di Belanda dan bisa nabung lumayan. Dan setahuku, di keluarga Arab, biasanya anak-anak dijodohkan dengan sesama keluarga Arab lainnya kan?"
"Aku menolak perjodohan hanya karena ras. Dan alasan keluarga kaya-keluarga sederhana ini sama nggak masuk akalnya dengan alasan aku terlalu tampan buat kamu," tukas Attar. "Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Sofia cuma nyari-nyari alasan aja untuk nolak aku kan?"
Lagi-lagi Sofi diam sambil meremas tangannya sendiri.
"Tiga tahun ini, apa aku cuma GR karena merasa Sofia juga nyaman sama aku?" Attar bertanya. "Jadi kenapa Sofia terus menolak aku?"
"Aku takut...." jawab Sofi mengambang. Attar menunggu lanjutan kalimat Sofi, tapi hanya itu yang dikatakannya.
"Takut apa?"
Takut ini cuma mimpi indah, kata Sofi dalam hati. Tapi ia tidak bicara.
Attar memutar duduknya supaya tepat berhadapan dengan Sofi. Ia meraih tangan Sofi tiba-tiba. Refleks, Sofi mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Attar, tapi lelaki itu menahannya. Mata mereka bertemu. Lalu sekonyong-konyong, sebelum Sofi menyadari atau bisa mencegahnya, Attar sudah menangkup pipinya dan mengecup bibirnya. Hanya ciuman ringan dan manis selama lima detik, tapi berhasil membuat pipi Sofi memerah dan perutnya bergejolak.
"Aku serius," kata Attar ketika melepaskan ciumannya. Sofi masih mengerjap bingung.
* * *
Attar masuk ke ruang keluarga di rumahnya dan mendapati ibunya dan Sarah sedang nonton tivi disitu. Wajah Sarah tampak nggak nyantai. Kenapa tuh anak? Bete karena ga ada yang ngajak malam mingguan?
Dengan wajah sumringah, Attar menghampiri ibunya lalu memberi salam dan mencium tangannya.
"Kata Sarah, yang tadi itu pacar kamu?" tanya sang ibu, to the point, setelah menjawab salam Attar.
"Emm... Iya."
Attar melirik Sarah dan Sarah memalingkan wajah, seperti melarikan diri. Tiba-tiba Attar punya firasat tidak enak.
"Baru hari ini..."
"Bagus!" potong ibunya Attar cepat. "Untung belum lama. Kamu bisa cepat mutusin dia sebelum terlambat."
"Maksud Ummi apa?" Attar segera duduk di hadapan ibunya. "Attar udah usaha selama tiga tahun, baru diterima hari ini. Kenapa tiba-tiba disuruh mutusin? Ini ada apa sih Ummi?"
"Attar, Ummi kan selalu berpesan, di keluarga kita semua menikah dengan sesama kita juga. Selama ini Ummi lihat kamu ganti-ganti pacar, Ummi diam aja, karena Ummi pikir itu cuma pacaran dan kamu nggak serius. Tapi sekarang kamu udah 32 tahun, masa masih mau main-main juga?! Kalau kamu nggak bisa cari istri yang bener, Ummi jodohin aja!"
Attar menatap ibunya dengan kemarahan yang meluap tapi sekuat tenaga ditahannya.
"Ya pokoknya kalau orangtua nggak setuju, artinya nggak jodoh." Tiba-tiba perkataan Sofi tadi siang di mobil terngiang di telinga Attar.
Setelah tiga tahun, baru berhasil hari ini, dan langsung dikasih cobaan. Kisah cinta gue gini amat, nggak ada manis-manisnya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top