23. Intertwined 2
"Jadi pada saat mencampur bahan obat yang kadarnya kecil dengan eksipiennya, pencampuran harus dilakukan bertahap, sedikit demi sedikit, untuk menjamin homogenitasnya."
Sofi mengedarkan pandangannya kepada ketiga puluh mahasiswanya di kelas praktikumnya. Mereka sedang mengadakan responsi untuk praktikum pekan berikutnya.
"Ada yang ingat, bagaimana salah satu cara yang paling sederhana untuk memantau homogenitas zat aktif dan eksipien?" kali ini Sofi melemparkan pertanyaan.
Bertanya adalah salah satu metode yang digunakan dosen untuk menarik perhatian mahasiswa, terutama saat dosen tersebut merasa mahasiswa sudah mulai kelelahan dan tidak konsentrasi lagi.
Tepat seperti dugaan Sofi, wajah-wajah lelah dan bosan di hadapannya berubah waspada ketika Sofi mengajukan pertanyaan. Mungkin masing-masing mahasiswa mencoba memikirkan jawabannya. Tapi selayaknya mahasiswa yang kebayakan takut berpendapat (kecuali berteriak-teriak bergerombol di depan gedung MPR), tidak ada yang menjawab pertanyaan Sofi.
Beberapa dosen, ketika pertanyaannya tidak dijawab oleh mahasiwa, mereka mungkin akan mulai menunjuk salah satu mahasiswa (sebagai tumbal) untuk menjawab. Sofi memutuskan untuk tidak menggunakan cara tersebut. Attar mengajarinya cara lain.
"Bagaimana salah satu cara yang paling sederhana untuk memantau homogenitas zat aktif dan eksipien?" Sofi mengulangi pertanyaannya.
Mahasiswa masih diam. Sofi masih mengedarkan pandangannya kepada ketiga puluh mahasiswa itu. Kebanyakan mereka menunduk sambil pura-pura menulis sesutu (entah apa) di buku mereka, sepertinya demi terlihat sibuk dan tidak diminta untuk menjawab pertanyaan. Hanya satu mahasiswa yang berani menatap mata Sofi, dengan tatapan tengilnya. Tapi toh mahasiswa itu tidak berinisiatif untuk menjawab. Jadi Sofi juga tidak akan memintanya menjawab.
Dua menit berlalu dalam hening. Satu per satu mahasiswa mulai mengangkat kepalanya, penasaran kenapa dosennya hanya diam. Mereka mendapati Sofi sedang berdiri, sedikit bersandar pada tepi meja, sambil bersedekap. Diam, Sofi hanya mengedarkan pandangan saja. Cara ini berhasil membuat mahasiswa lama-lama salah tingkah sendiri. Akhirnya salah satu dari mereka mengangkat tangan.
Sofi tersenyum. "Ya?"
"Dengan menambahkan pewarna, Bu."
"Good," kata Sofi. "Homogenitas eksipien pewarna dapat menjadi salah satu indikator homogenitas zat aktif dalam campuran. Meskipun secara kuantitatif, homogenitas dipastikan dengan uji keseragaman kandungan."
* * *
"Nice method, Mbak," kata Danan sambil menutup pintu ruang dosen, setelah memastikan bahwa memang tidak ada siapa-siapa di ruangan itu selain mereka.
Di depan teman-temannya, Danan sudah berpura-pura menanyakan materi kuliah kepada Sofi sehingga punya alasan untuk membuntuti Sofi ke ruang dosen.
"Ternyata lo bukan cuma jago ngajar privat, tapi juga ngajar kelas."
Sofi tersenyum jumawa. Lalu dengan kerlingan matanya, dia mempersilakan Danan duduk di hadapannya.
"Tadi gue udah deg-degan aja. Kirain lo bakal murka karena nggak ada yang jawab pertanyaan lo, trus lo ngamuk kayak yang dulu lo lakukan ke gue."
"Ya gila aja kali," Sofi menjawab sambil tertawa mengingat masa lalu. "Beda lah me-manage murid privat dan murid di kelas."
Danan ikut tertawa.
"Jadi, apa yang mau lo tanyakan ke gue? Kenapa tadi nggak nanya di kelas?" kata Sofi kemudian.
"Emang gue boleh nanya gini di kelas?"
"Nanya gini?"
"Mbak, mau pulang bareng gue?" Danan bertanya dengan gayanya yang tebar pesona.
Sofi tertawa. "Pak Agus udah jemput?" Sofi balik bertanya.
"I am 18 years old already, if you forget. I've got my driving license. Pak Agus sekarang jadi supirnya Ibu," kata Danan bangga. "I'll take you home with motorcycle."
Sofi tertawa melihat tingkah Danan. Dia lalu memajukan kursinya, dan menjangkau Danan. Pada posisi berdiri, Danan memang lebih tinggi sekitar 15 cm daripada Sofi. Tapi pada posisi duduk, tangan Sofi masih dapat menjangkau kepala Danan.
"Adik gue udah dewasa," kata Sofi sambil mengelus kepala Danan singkat.
Hal itu membuat senyum Danan luntur.
"Motor itu harusnya lo pakai buat nganterin pacar lo pulang," kata Sofi, "Lagian, nggak enak lah kalau orang lain lihat gue membonceng lo."
"Well..."
Danan kehilangan kata-kata. Barangkali terlalu syok dengan kata-kata Sofi sebelumnya.
"Anyway, makasih tawarannya, Nan."
Danan mengangguk kaku. "Kalau gitu, gue pulang duluan, Mbak," katanya sambil bangkit berdiri.
Sofi ikut berdiri, mengantarkan Danan ke pintu ruang dosen. Tepat sebelum membuka pintunya, Danan berbalik dan bertanya.
"So how do you get home?"
"Commuter line, of course."
* * *
"Nan, nebeng dong!" kata seorang gadis, suatu hari, sambil meletakkan sebuah buku setebal lebih dari 1000 halaman berjudul Martindale di hadapan Danan. Digaplok pakai buku itu, dijamin pingsan deh.
"Hah?" Danan mengangkat kepalanya dan mendapati wajah seorang gadis yang amat dikenalnya.
"Nebeng motor lo dong. Hari ini gue bawa Martindale. Kalo naik kereta, berat banget bawanya."
"Sori, Sarah, nggak bisa."
"Gue nebeng sampai stasiun aja deh. Berat banget inih. Lain kali mungkin gue bawa koper aja biar bisa gue geret kali ya. Boleh ya Nan, nebeng motor lo sampe stasiun aja?"
"Tapi gue nggak bawa motor, Sar."
"Yaaahhh."
Sarah lemas mendengarnya. Terpaksa dia harus pulang dengan menggendong buku seberat 5 kg itu.
"Tapi gue juga pulang naik kereta," kata Danan.
Mata Sarah membulat tidak percaya.
"Lo turun kereta di Tebet kan?" Danan bertanya. Sarah mengangguk, masih setengah bengong. "Gue juga turun tebet. Gue bawain Martindale nya sampai turun di Tebet."
Ketika kesadarannya kembali, Sarah bertingkah seperti fans aktor Korea yang halu.
"Aduh Danan yang tampan rupawan, idaman semua perawan, makasiii looohh. Lo emang terbaique!"
Danan cuma memutar bola mata dengan ekspresi malas melihat kelakuan Sarah. Tapi kemudian dia tersenyum juga.
"Ngomong-ngomong, kesambet apa lu, tiba-tiba nggak naik motor keren lu lagi, tapi malah naik kereta? Katanya mending lama di jalan daripada dempet-dempetan di kereta?" tanya Sarah.
"Ya kalo dempet-dempetan sama cewek yang gue suka mah nggak apa-apa."
Sarah menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Lagi-lagi dengan gaya lebay.
"Maaf ya Nan, hati gue udah ada yang punya."
Sambil tertawa, Dananpun menoyor jidat Sarah.
* * *
Mereka baru saja menaiki peron arah Jakarta ketika Sarah berjalan mendahului Danan yang berjalan perlahan lantaran buku seberat 5 kg itu. Gadis itu dengan cepat menghampiri seseorang yang sudah lebih dulu menunggu kereta di peron itu.
Baru saja Danan akan protes pada Sarah ketika dia tercekat melihat seseorang yang dituju Sarah. Bukan hanya seseorang, dua orang lebih tepatnya.
"Bang! Mbak! Udah lama nunggu kereta?" sapa Sarah dengan riang kepada kedua orang itu.
Danan, meski terkejut, tidak bisa mundur lagi. Sudah kepalang tanggung, dia melanjutkan langkahnya menyusul Sarah.
"Ssstt!" kata lelaki yang disapa Sarah. "Abang bilang, kalau di kampus harus tetap panggil mbak Sofia dengan Ibu."
"Ups, sori, Bang," kata Sarah sambil cengengesan. "Maaf ya Mbak," lalu Sarah beralih pada gadis yang berdiri di samping pria yang dipanggilnya Abang tadi. "Tapi kan nggak ada siapa-siapa disini."
Tepat saat itu Danan sampai di balik punggung Sarah dan mendengar sapaan Sarah kepada kedua orang itu.
"Ups, ada Danan," kata Sarah, seakan baru sadar bahwa ada orang lain selain mereka bertiga. Tapi ekspresinya sama sekali tidak meyakinkan. "Bang, Mbak, ini Danan. Mbak Sofi mungkin familiar sama Danan, karena Danan mahasiswa baru Farmasi juga kayak aku... Nan, ini Abang gue. Dan mbak Sofia ini calon kakak ipar gue. Makanya gue manggil Mbak, bukan Ibu. Tenang aja, Danan nggak mungkin bilang ke temen-teman yang lain bahwa aku kenal sama Mbak Sofia. Danan bisa dipercaya. Danan kan sahabat aku sejak SMA."
Sarah tidak sadar bahwa ketiga orang di sekitarnya saling menatap dengan tatapan yang rumit.
* * *
Selamat Sabtu pagi, Kakak2!
Kalau ada pembaca disini yg baca cerita NING juga, sudah ada Ning Bab 21 lho di KaryaKarsa niaputri08.
Semoga suka Kak, 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top