22. Intertwined

Yuhuuuu,,, siapa yg kaget, kok tiba2 kemaren udah ending aja?

Itu baru ending bagian awal kok Kak. Sekarang kita masuk ke cerita utamanya. Semoga suka ya Kak.

Vote dan komennya yuk Kak 😘

* * *

"Lo ngapain disini?" Sofi menyambut pemuda yang baru saja masuk dan menutup pintu ruangannya. Dia menahan diri agar suaranya tidak terdengar terlalu kaget atau terlalu antusias. Tapi binar matanya jelas memancarkan antusiasme ketika melihat pemuda itu.

"Ngumpulin jurnal praktikum buat responsi besok," pemuda itu menjawab dengan sok lugu sambil meletakkan setumpuk buku di meja Sofi.

Setiap mahasiswa yang ingin mengikuti praktikum farmasetika harus menjalani responsi dulu, untuk memastikan kesiapan pemahaman mahasiswa terhadap materi praktikum. Biasanya, sehari sebelum responsi, mahasiswa harus mengumpulkan jurnal praktikumnya untuk diperiksa oleh dosennya. Jika tidak mengumpulkan jurnal praktikum, mahasiswa tidak boleh hadir pada responsi, dan jika tidak hadir dalam responsi maka mahasiswa tersebut juga tidak boleh ikut praktikum. Tiap kali praktikum, mahasiswa akan diminta mengerjakan 3 resep. Sehingga jika tidak ikut praktikum, mahasiswa akan mendapati banyak nilainya yang kosong.

"Bukan itu!" kata Sofi dengan tidak sabar, "Kenapa lo kuliah disini?"

"Lho kan saya udah cerita ke Ibu bahwa saya diterima di universitas ini."

Geli juga rasanya mendengar pemuda itu menjawabnya dengan bahasa formal.

"Selewat jam 5 dan saat nggak ada orang lain, ga perlu panggil gue Ibu," kata Sofi mengijinkan.

Pemuda itu melirik sekilas tiga meja lain di ruangan itu. Memang penghuninya sepertinya sudah pulang. Pemuda itu lalu tersenyum lebar mendapat ijin dari Sofi.

"Gue nggak disuruh duduk dulu, Mbak?"

"Eh iya," Sofi baru sadar bahwa pemuda masih berdiri. "Duduk, Nan." Pemuda itu lalu duduk di hadapannya. "Gue pikir lo masuk FK, Nan?"

"Ya lo ga nanya, jadi gue nggak bilang.  Lo kan cuma nanya apakah gue lulus ujian masuk universitas ini atau nggak kan?"

Gaya tengilnya sudah kembali, pikir Sofi. Dan kalau dipikir-pikir, pemuda itu benar juga. Pemuda itu tidak berbohong, dia hanya mengatakan apa yang ditanyakan kepadanya. Tapi tetap saja Sofi gemas dibuatnya.

"Bapak dan Ibu apa kabar? Udah ikhlas kalau lo nggak jd dokter?"

"Nggak ikhlas lah. Gue disuruh masuk FK universitas swasta. Gue nggak mau. Jadi gue masih akan ikut tes masuk lagi tahun depan, untuk masuk FK sini."

"Why, Nan?"

"Why apa?"

"Kenapa lo nggak mengeluarkan kemampuan terbaik lo?"

Pemuda itu melengos, tidak menjawab.

"Nggak usah pura-pura bego, Danan Dirgatama," Sofi bersedekap sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, dan menatap Danan dengan tajam. "Dengan kepintaran seperti lo, jangankan masuk FK, lo bahkan bisa ikut olimpiade. Tapi lo nggak ikut olimpiade kan?"

Danan menggeleng malas. "Cuma anak-anak sepuluh besar yang bisa ikut olimpiade. Gue bahkan nggak masuk kelas unggulan."

"Nonsense!" bentak Sofi dengan tidak sabar.

Selama Sofi menyelesaikan program Apotekernya dan melanjutkan kuliah S2nya di Belanda, mereka memang masih terus saling berkirim kabar via WhatsApp, tapi biasanya urusan serius seperti kuliah atau sekolah hanya dibahas sekilas saja. Sofi hanya tahu bahwa nilai-nilai Danan di sekolah cukup bagus untuk terus naik kelas dan lulus. Selebihnya, Sofi tidak terlalu ikut campur. Bahkan meski mengherankan bagi Sofi karena Danan tidak masuk kelas akselerasi (padahal menurut Sofi, Danan akan mampu), Sofi tidak berkomentar. Tapi kali ini dia geregetan karena ternyata Danan gagal masuk FK, padahal Sofi sangat yakin bahwa Danan mampu.

"Gue udah bilang, gue nggak bisa konsentrasi kalau nggak belajar bareng lo," kata Danan, ngeles.

"Jangan coba-coba bikin gue jadi merasa bersalah deh. Lagian, lo ga selamanya bisa diajar oleh gue," kata Sofi. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke meja yang berada di antara mereka berdua. "Lo nggak bisa bohongin gue. Lo emang sengaja menahan diri. Kenapa menyia-nyiakan kepandaian lo? Kenapa?"

Danan membuang pandangannya ke arah jendela. Dia perlu menghindari tatapan intimidatif Sofi.

"Gue nggak suka masa depan gue diatur-atur," Danan akhirnya menjawab. "Gue perlu mencari tahu, sebenarnya apa yang mau gue lakukan, bukan sekedar apa yang bisa gue lakukan. Barangkali, gue juga bisa menunjukkan ke Bapak dan Ibu, bahwa dengan menjadi Apoteker, gue tetap bisa berkontribusi pada rumah sakit yang Bapak rintis."

Tatapan mata mereka bertemu. Akhirnya Sofi tahu apa alasan Danan selama ini berpura-pura bodoh.

"Lagian, gue kuliah disini karena tahu lo ngajar disini. Emang lo nggak kangen sama gue, Mbak?"

Danan menatap Sofi dengan mata nakalnya. Sofi membalas dengan memutar bola mata dengan malas. Elah, udah serius-serius, ternyata ujung-ujungnya modusin lagi.

Danan tertawa melihat ekspresi malas Sofi. Dan tawa itu menular.

* * *

Sofi sedang menyusuri koridor kampus, hendak pulang, ketika ia melihat sosok yang ia kenal. Maka ia menepikan diri lalu menyapanya.

"Udah mau pulang, Sarah? Yuk, pulang bareng," kata Sofi sambil tersenyum ramah.

"Eh Bu," gadis yang disapa itu segera berdiri dari posisinya semula yang sedang lesehan. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan memastikan tidak ada orang yang berada di sekitar mereka dalam radius 10 meter, lalu berbisik sambil tersenyum dengan sama lebarnya dengan Sofi. "Mbak Sofia, udah mau pulang?"

Sofi tertawa melihat tingkah Sarah.

"Abang bilang, meski kita udah akrab, aku tetep harus panggil Ibu kalau di depan orang lain," kata Sarah menjelaskan sikapnya.

Sofi tertawa dan mengusap puncak kepala Sarah sekilas. "Pulang yuk."

"Mbak duluan aja. Aku masih nunggu temen. Tadi bukuku kebawa sama dia."

"Temen cowok atau cewek?" kata Sofi menggoda.

"Cowok... "

Sarah belum selesai menjawab, tapi Sofi sudah tersenyum nakal. "Bilangin abang kamu ah. Baru juga dua minggu kuliah, udah janjian sama cowok."

"Mbak, ihhhh. Apaan sih."

Sofi tertawa lagi. Sarah makin manyun.

"Siapa sih? Teman sekelas? Kakak kelas?"

"Mbakkk... "

"Wah, kalo udah nemu cowok ganteng disini, tahun depan masih mau nyoba ujian lagi buat pindah ke FK?"

"Iya dong! Aku kan emang pengen jadi dokter! Aju kuliah disini kan cuma pelarian aja, karena kemaren ga diterima di FK. Tahun depan aku pasti nyoba lagi."

Sofi memegang dadanya dengan ekspresi terluka yang dibuat-buat. "Aduh, aku cuma dijadiin pelarian."

"Lebay, Mbak," kata Sarah sambil memutar bola mata lelah. Tapi toh dia tersenyum juga.

Ironis juga, pikir Sofi, si Danan bisa masuk FK, tapi malah pengen ke Farmasi. Si Sarah pengen masuk FK, tapi terpaksa masuk Farmasi.

"Yaudah, kalo gitu Mbak pulang duluan ya, Sar. Kamu jangan pulang malem-malem ya. Nanti Mbak yang ditanyain Abang kamu kalau kamu pulang kemalaman. Dikira Mbak nyuruh praktikum sampai malam."

Sarah tertawa dan mengangguk. "Ati-ati, Mbak."

Setelah Sofi berlalu beberapa langkah, Sarah mengeluarkan ponselnya dan mengetik: Target sudah pulang. Dalam perjalanan ke stasiun.

* * *

Sofi baru saja naik ke dalam kereta dan berdiri di sisi pintu yang tertutup ketika seseorang tiba-tiba berdiri di hadapannya dengan posisi terlalu dekat.

Sofi mengangkat kepalanya, baru saja akan menegur lelaki itu karena sudah berdiri terlalu dekat dengannya, tapi kemudian ia mendapati seorang lelaki setinggi 180 cm dengan wajah familiar di hadapannya. Warna keabuan di rahangnya, sisa bercukur mempertegas wajah Timur Tengahnya.

"Eh Bang!"

"Gimana rasanya ngajar selama dua minggu ini, Sofia? Belum nemu mahasiswa yang nyusahin kan?" lelaki itu bertanya sambil menebar senyum.

"Menyenangkan. Belum nemu yang aneh-aneh sih," Sofi menjawab. "Eh tadi aku ketemu sama Sarah. Tapi dia ga mau aku ajak pulang bareng. Katanya lagi nunggu temennya. Dan temennya itu cowok," lanjutnya, berbagi gosip dengam bersemangat.

"Sebagai calon kakak iparnya, tolong perhatiin Sarah, jangan sampai milih cowok yang salah ya," kata lelaki itu sambil tersenyum menggoda.

Sofi manyun. Tapi toh wajahnya memerah mendengar kata-kata kakak ipar.

* * *

Sarah baru saja akan mengirim pesan untuk marah-marah kepada seseorang karena sudah membuatnya menunggu lama, ketika akhirnya orang yang ditunggunya datang sambil cengengesan.

"Sori yak, buku lo kebawa. Nih," kata pemuda itu sambil mengembalikan buku Sarah yang dipinjamnya.

"Kok lama banget sih? Kemana aja? " kata Sarah kesal.

"Tadi pas ngumpulin tanda tangan senior, gue diajak ngobrol sama Kak Vony."

"Wiii,,,anak baru udah bisa ngegebet kakak kelas aja."

"Ngomongnya nggak usah pake cemburu gitu dong, Sar."

Sarah manyun. "Serah deh, Danan."

* * *

Ada yang masih ingat Sarah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top