21. New Chapter Of Life
”Gue lulus, Mbak!” pekik Danan ketika telepon di seberang diangkat.
”Gue lulus, Nan!” Sofi membalas dengan pekikan yang sama antusiasnya.
Mereka lalu tertawa bersama.
Danan baru saja mendapat kabar kelulusannya, dan Sofi baru saja keluar dari ruang sidang dan dinyatakan lulus dengan nilai A oleh para penguji skripsinya.
”Let’s date!” kata Danan spontan. ”Kita merayakan kelulusan,” lanjutnya, penuh kamuflase.
Sofi menjawab dengan jawaban yang tidak diduga oleh Danan. ”Let’s date!” Sofi menjawab dengan bahagia.
Sofi menutup teleponnya dan mendapati Bima memandangnya. Lelaki itu tampak luar biasa tampan (biasanya juga tampan sih) dalam setelah jas formalnya. Sofi, Bima dan kedua teman sekelas mereka yang lain memang baru saja lulus dalam sidang skripsi di jadwal yang sama. Mereka berempat baru saja berpelukan bersama ketika ponsel Sofi berbunyi dan tiba-tiba Bima mendengar Sofi berkata ”Let’s date!”.
”Lo udah punya pacar, Sop?” tanya Bima ketika Sofi memasukkan kembali ponselnya ke tasnya.
”Nyindir lo?” Sofi bertanya balik dengan wajah sok jutek.
”Barusan, janjian kencan sama siapa lo?”
Sofi tertawa sebelum menjawab, ”Danan. Si murid SMP itu. Dia baru aja lulus juga. Jadi dia ngajakin merayakan kelulusan kami.”
Bima terdiam.
Sofi menangkap perubahan wajah Bima. ”Kenapa?”
”Dia naksir sama lo,” kata Bima murung.
Sofi tertawa lagi. ”Dia anak SMP.”
”Gue udah punya dua mantan saat lulus SMP.”
Refleks, Sofi menoleh pada Bima. Di merasa deja vu. Dia pernah mengalami percakapan seperti ini sebelumnya. Tapi bersama Attar.
Dia apa kabar? Tiba-tiba Sofi teringat lagi pada lelaki itu setelah sekian lama Sofi lupa padanya karena terlalu fokus pada persiapan skripsi.
”Nggak usah pamer punya banyak mantan ke jomblo kayak gue deh,” Sofi menjawab sok tersinggung, berusaha mengalihkan pikirannya dari Attar.
”Maksud gue, anak SMP juga bisa jatuh cinta,” kata Bima mengkonfirmasi, supaya Sofi tidak tersinggung.
”Anak SMP nggak jatuh cinta. Mereka naksir,” Sofi menjawab. ”Dan cuma cewek cantik yang bisa bikin cowok SMP naksir. Bukan cewek kayak gue.”
”Lo cantik,” refleks Bima menjawab.
Sofi merasa wajahnya memanas. Tapi dia tidak boleh membiarkan dirinya meleleh hanya karena kata-kata Bima yang berusaha menghiburnya. Bima sudah punya pacar – Lita si pencemburu. Dan kata-kata Bima barusan pasti hanya untuk menghiburnya sebagai sahabat.
Sofi tidak tahu bahwa Bima sudah beberapa bulan putus dengan Lita.
”Makasih lho!” Sofi menjawab dengan terlalu ceria sambil merangkul lengan Bima. Dia mencoba menyembunyikan wajah meronanya. ”Makan siang yuk di kantin. Gue traktir. Karena gue sedang bahagia setelah lulus, dan karena lo memuji gue. Hahaha.”
* * *
Seperti tahun sebelumnya, Sofi dan Danan berkencan dengan menonton bioskop dan makan di restoran cepat saji lagi. Kali itu Sofi yang membayar keduanya, meski Danan sudah mengatakan bahwa dia yang akan mentraktir.
”Kenapa jadi lo yang nraktir sih?” kata Danan protes ketika Sofi berkeras mentraktirnya nonton dan makan. ”Ibu udah ngasih gue cukup uang untuk mentraktir lo. Ibu sangat berterima kasih karena lo bikin gue berhasil masuk SMA favorit itu.”
”Bukan gue,” kata Sofi sambil mengunyah burgernya.
”Apa?”
”Lo masuk SMA itu bukan karena gue. Tapi karena diri lo sendiri,” kata Sofi. ”Selama ini lo cuma selalu menyembunyikan kemampuan lo. Lo sengaja nggak menunjukkan semuanya kan?”
Danan melengos. Dia tidak berniat menjawabnya.
”Kita mulai les lagi bulan depan ya Mbak. Gue mulai masuk SMA dua minggu lagi,” kata Danan.
Sofi meletakkan burgernya, meminum lemon tea nya lalu menatap Danan dengan wajah serius.
”Ibu belum cerita?” Sofi bertanya.
”Cerita apa?”
”Gue udah pamit sama Ibu.”
”Pamit apa?”
”Gue nggak bisa mengajar lo lagi.”
Danan termangu.
”Gue akan mulai kuliah Apoteker. Akan jauh lebih sibuk, dan akan magang juga di beberapa industri farmasi, rumah sakit dan apotek. Barangkali gue nggak akan punya banyak waktu lagi untuk ngasih les...”
Dada Danan terasa sakit, dan nafasnya terasa sesak.
”... Lagipula, pelajaran SMA lebih sulit. Gue nggak bisa lagi mengajar semua mata pelajaran. Palingan cuma bisa Biologi dan Kimia. Lo lebih baik les di bimbingan belajar yang lebih profesional, atau ...”
”Tapi gue nggak bisa konsentrasi belajar kalau nggak sama lo, Mbak,” potong Danan cepat. ”Gue cuma bisa belajar sama lo. Lo juga ingat kan, sudah berapa kali gue ganti guru les sebelum sama lo. Gue .... ”
Sofi tiba-tiba menggenggam tangan kanan Danan yang ada di atas meja.
”Jangan demi orangtua lo. Jangan demi gue. Atau demi siapa-siapa...” kata Sofi sambil tersenyum. ”Lo terlihat bahagia saat belajar dengan sungguh-sungguh. Lo terlihat kesulitan tiap berpura-pura nggak bisa mengerjakan soal. Gue tahu lo menikmati belajar. Jadi jangan menahan diri lagi.”
Demi menahan diri agar tidak menangis di depan perempuan yang disukainya, Danan balik menggenggam tangan Sofi dengan terlalu kuat. Sofi, meski tangannya kesakitan, membiarkan Danan melakukannya.
”Apa kita masih bisa ketemu lagi?” tanya Danan ketika ia (Pak Agus, lebih tepatnya) mengantar Sofi pulang. Mereka sudah berdiri di depan pagar rumah Sofi saat ini.
Sofi tertawa. ”Gue hanya berhenti mengajar. Bukan pergi kemana-mana,” Sofi menjawab. ”Gue masih tinggal di sini. Kapanpun lo mau datang, lo sangat diterima. Nomer lo nggak gue blokir,” lalu Sofi tertawa, ”Kapanpun lo bisa WhatsApp gue. Lo bisa telepon gue malam hari atau weekend. Lo bisa ajak gue kencan kalau lo punya uang. Hahaha.”
Danan masih diam. Dia tidak merasa ada yang lucu dengan perpisahan ini.
”It’s definitely not a good bye,” kata Sofi meyakinkan.
Memang ini bukan perpisahan. Tapi dengan makin jarangnya mereka bertemu, kemungkinan dirinya untuk bisa membuat Sofi menyukainya akan nyaris menjadi nol. Mungkin tidak akan ada lagi kesempatan baginya. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir.
”Gue suka sama lo, Mbak.”
Sofi terdiam sesaat sebelum menjawab, ”Kalo gue nggak suka sama lo, mana mau gue ngajarin lo selama dua tahun ini.”
Sofi lalu tertawa. Tapi Danan tidak tertawa. Hal itu membuat Sofi jadi kikuk.
Apa dugaan Attar dan Bima soal Danan benar?
”Gue suka sama lo, Mbak. Bukan sebagai murid. Bukan sebagai adik.”
Sofi memandang pemuda yang berdiri di hadapannya dengan makin kikuk. Pemuda itu sudah makin tinggi sekarang. Barangkali tingginya sudah bertambah 10 cm sejak saat pertama kali mereka bertemu. Tapi mereka sering bertemu, Sofi tidak memperhatikannya. Dulu mereka setara, tapi kini Sofi harus mengangkat kepalanya ketika berhadapan dengan pemuda itu. Kini ketika dia memperhatikannya lagi, ternyata Danan memang sudah banyak berubah. Tapi bagaimanapun, pemuda itu adalah muridnya. Enam tahun lebih muda dari dirinya. Dan masih SMP ... eh, SMA.
”Jangan terburu-buru, Nan,” kata Sofi akhirnya. Dia berhasil mengatur suaranya agar tetap tenang. ”Lo akan bertemu banyak orang baru saat SMA dan kuliah nanti. Orang yang tepat ...”
”Gue akan jadi laki-laki yang pantas untuk lo, Mbak,” potong Danan cepat sebelum Sofi menyelesaikan kata-katanya. ”Tunggu gue. Gue akan jadi laki-laki yang pantas.”
Sofi menggeleng. ”Gue yang nggak pantas untuk lo, Nan. Lo akan jadi laki-laki yang pantas untuk perempuan yang jauh lebih baik daripada gue.”
”Mbak ...”
”Lo punya banyak waktu untuk bertemu dengan banyak orang. Kalau setelah bertemu cewek-cewek cantik itu ternyata lo masih ingin ketemu gue, gue selalu di sini. Gue nggak kemana-mana.”
”Apa lo udah pacaran sama Bima atau Attar?”
Sofi menggeleng dengan sambil tersenyum.
”Kalau gitu, mau nunggu gue sampai gue jadi laki-laki yang pantas kan, Mbak?”
Sofi menghela nafas berat. ”Take your time, Nan.”
Sofi memang bilang bahwa Danan tetap bisa menghubunginya, tetap bisa datang ke rumahnya... tapi Danan tahu bahwa sejak saat itu, hubungannya dengan Sofi tidak akan pernah sama lagi.
* * *
Sofi tidak pernah berdandan setotal ini sebelumnya. Tapi demi momen sekali seumur hidup, meski tidak nyaman dengan make-up, ia harus berdandan dan berpakaian dengan layak. Ibunya sendiri yang mendandaninya, dan ketika ia melihat bayangannya di cermin, dia merasa puas. Ketika bertemu teman-temannya yang memakai toga yang sama dengannya, banyak yang bilangpangling dengan penampilan Sofi dan memuji kecantikannya. Bahkan Bima sempat berkata, "Lo cantik,” dan membuat Sofi tersipu.
Hari itu adalah hari yang sempurna bagi Sofi. Dia lulus cum laude, ibunya tersenyum bangga, Bima memujinya cantik. Setelah 4 tahun bersahabat, akhirnya hari itu Bima dan Sofi saling memperkenalkan orangtua mereka yang kebetulan bertemu. Meski itu bukan perkenalan antar besan, bagaimanapun Sofi tidak bisa tidak merasa bahagia.
Tapi ketika Sofi kembali dari toilet dan tidak sengaja mendengar percakapan Bima dan ibunya Bima, hari Sofi yang sempurna berubah berantakan.
”Selama ini Mama nggak keberatan kamu berteman sama Sofi,” begitu kata-kata ibunya Bima yang samar-samar didengar Sofi. ”Tapi jangan pernah lebih dari teman. Mama nggak setuju.”
”Ma?” Sofi mendengar suara Bima.
”Dulu Mama satu kantor dengan ibunya Sofi. Dia mengundurkan diri karena gosip yang nggak enak. Dia digosipkan menggoda suami orang, bosnya dia di kantor. Apakah itu fakta atau hanya gosip, Mama nggak mau berbesan dengan orang yang pernah punya reputasi sebagai pelakor,” kata ibunya Bima tajam, ”Kamu cuma temenan aja sama Sofi kan? Dia beneran bukan pacar kamu kan?”
Sofi kembali menemui ibunya yang menunggu di dekat tempat parkir Balairung (tempat wisuda tersebut dilaksanakan) dengan hati yang patah dan perasaan yang tidak karuan. Mungkin saja dia bisa menunggu dan berharap suatu hari Bima akan putus dengan Lita. Tapi meski itu terjadi, toh dirinya tidak akan pernah diterima oleh ibunya Bima kan? Hal itu membuat kesempatan Sofi untuk bersama Bima benar-benar nol.
Patah hati di hari yang sempurna. Sungguh patah hati yang sempurna!
Selain itu, kata-kata ibunya Bima tentang ibunya Sofi juga mengganggu pikiran Sofi. Apa benar ibunya pernah menggoda suami orang? Tapi mana tega dia mengkonfirmasi hal itu pada ibunya. Selama ini, sejak ayahnya meninggal, ibu Sofi telah berjuang sendirian sebagai orangtua tunggal untuk membesarkan Sofi hingga bisa lulus sarjana seperti ini. Bagaimana mungkin Sofi tega menyakiti hati ibunya dengan menanyakan masalah seperti itu.
”Kamu kenapa?” ibunya Sofi bertanya ketika menyadari perubahan wajah Sofi.
Sofi menggeleng. ”Cuma capek aja Ma. Pulang sekarang yuk.”
Ibunya Sofi mengangguk. Beliau juga nampak kecapekan setelah acara wisuda dan foto-foto selama hampir tiga jam itu.
”Pia cari taksi dulu ya Ma. Mama duduk disini dulu ya.”
Baru saja Sofi berbalik, dahinya membentur sesuatu yang keras. Dada seseorang. Spontan, Sofi mengelus dahinya yang terbentur itu.
”Gimana kalau saya antar pulang, Bu?”
Sofi mengangkat kepalanya dan mendapati seorang laki-laki berdiri di hadapannya sambil tersenyum kepada seseorang di balik punggung Sofi, ibunya.
Sudah hampir empat bulan dia tidak bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang memintanya menjadi pacar, lalu menghilang begitu saja.
”Saya Attar, Bu,” kata lelaki itu sambil menghampiri ibunya Sofi dan mencium tangannya. ”Saya pernah main ke rumah Ibu, mengantarkan tas Sofia yang ketinggalan.”
”Iya, Ibu ingat kok,” ibunya Sofi menjawab sambil tersenyum lebar. ”Apa kabar, Attar? Disini bukan untuk wisuda ya?” tanyanya ketika melihat pakaian Attar yang tidak serapih wisudawan lain.
”Nggak, Bu. Saya datang untuk memberi selamat ke mahasiswa-mahasiswa yang saya bimbing skripsinya.”
”Mahasiswa?”
”Oh, barangkali Sofia belum cerita ya, Bu? Saya dosen di Fakultas Teknik.”
Ibunya Sofi memandang Sofi meminta penjelasan. Sofi hanya menggaruk tengkuknya, tertawa kikuk dan menjawab, ”Maaf, lupa belum cerita, Ma.”
”Oalah. Ibu baru tahu. Kirain kakak kelasnya Pia. Maaf ya, harusnya Ibu panggil Pak Attar.”
Attar tertawa. Tawa yang menyilaukan nagi Sofi. ”Jangan Bu. Sofi bukan mahasiswa saya, jadi nggak perlu panggil Pak. Sofi juga nggak manggil saya Pak, kok, Bu.”
Ibunya Sofi hanya mengangguk dan tersenyum.
”Ibu dan Sofia pulang bareng saya aja ya?” kata Attar kemudian, ”Saya bawa mobil. Kita searah.”
”Nggak usah ... Bang.”
Sudah lama Sofi tidak menyebut panggilan itu, membuatnya kikuk.
”Kaki Ibu pasti udah pegal. Kalau nunggu nyari taksi lagi mungkin lama. Semua orang sedang mencari taksi sekarang.”
Attar tidak mengada-ada. Ada tiga ribu mahasiswa yang diwisuda hari itu. Tentu tidak semua punya kendaraan pribadi. Jadi pasti banyak yang mencari taksi untuk pulang.
Sofi menoleh kepada ibunya yang tiba-tiba berhenti mengurut betisnya. Meski ibunya tidak mengelu, Sofi sadar ibunya pasti sudah kelelahan, dan kakinya sudah sangat pegal.
”Ya, Bu?” tanya Attar lagi kepada ibunya Sofi.
Ibunya Sofi melempar pandangannya kepada Sofi. Dan Sofi yang tidak tega melihat ibunya kelelahanpun akhirnya menyerah dan mengangguk.
”Makasih ... Bang...” kata Sofi akhirnya.
”Makasih ya Nak Attar,” ibunya Sofi menimpali.
Attar balas tersenyum, lalu mempersilakan Sofi dan ibunya menuju ke mobilnya di tempat parkir.
Selama perjalanan, meski Sofi yang duduk di samping Attar, tapi Attar lebih banyak ngobrol dengan ibunya Sofi yang duduk di kursi belakang. Sofi hanya ikut ngobrol sesekali jika ditanya, demi kesopanan. Banyak hal berkecamuk di kepala Sofi tentang kemunculan Attar yang tiba-tiba. Tapi tentu dia harus menahan diri di hadapan ibunya.
Sesampainya di rumah Sofi, ibunya Sofi menawari Attar untuk mampir. Meski ia melihat keengganan di wajah Sofi untuk menerimanya bertamu, Attar nekat memanfaatkan kesempatan itu dan menerima tawaran ibunya Sofi. Ibunya Sofi membuatkan minuman dan menyiapkan beberapa potong kue untuk Attar, lalu pamit untuk istirahat dengan alasan kakinya capek. Beliau memberi kesempatan kepada Attar dan Sofi untuk bicara.
Sofi baru saja masuk ke kamarnya, baru berganti pakaian dengan cepat ketika mendengar panggilan ibunya untuk menemani Attar, tanpa sempat membersihkan make-upnya. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana nanti terhadap Attar setelah empat bulan tidak bertemu, tapi toh dia harus menghadapinya kan?
”Kamu cantik,” kata Attar memuji, ketika melihat Sofi masuk ke ruang tamu.
Sofi salah tingkah, tidak tahu harus menjawab apa. Barangkali kalau dia belum pernah ditembak Attar, Sofi bisa dengan santai menggunakan pujian itu untuk meledek Attar. Tapi sekarang dia tidak bisa melakukannya. Jadi daripada diam, Sofi mengatakan ”Makasih,” sambil duduk di kursi tamu, berusaha mengambil tempat sejauh mungkin dari Attar.
”Selamat ya atas kelulusannya. Saya dengar dari Riah, Sofia lulus cum laude.”
”Makasih, Bang.”
Attar juga nampaknya kikuk dengan sikap Sofi yang jadi lebih datar. Sofi yang dikenalnya selama ini adalah gadis yang ekspresif. Dia sadar, pasti perubahan sikap Sofi disebabkan oleh pertanyaannya waktu itu.
”Maaf sudah lama nggak menghubungi Sofia,” kata Attar kemudian, membuka percakapan tentang malam itu.
Sofi mengangguk. Wajahnya maklum. ”Nggak apa-apa, Bang. Saya mengerti.”
”Mengerti apa?”
”Mengerti kenapa Abang nggak menghubungi saya. Jadi Abang nggak perlu sungkan.”
”Memangnya apa alasan saya?”
”Karena Abang waktu itu salah bicara. Abang mungkin bingung meralat kata-kata itu. Tapi nggak apa-apa, saya paham.”
”Sok tahu kamu!”
Sofi mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk, dan mendapati Attar menatapnya dengan tajam.
”Saya nggak salah bicara. Saya memang meminta kamu jadi pacar saya,” kata Attar dengan tegas. ”Saya salah karena setelah itu tiba-tiba menghilang. Saya minta maaf. Ini pertama kalinya ada yang menolak saya. Saya ...syok.”
Sofi menatap Attar dengan tidak percaya.
Ini juga pertama kalinya ada yang ngajak saya pacaran, kata Sofi dalam hati.
”Empat bulan ini saya mencari jawaban dari pertanyaan Sofia. Saya berpikir dan bertanya pada diri sendiri, kenapa saya milih Sofia.”
Sofi menunggu jawaban itu dengan berdebar-debar.
”Dan saya nggak menemukan jawabannya,” kata Attar.
Meski Sofi sudah menduganya, Sofi sedikit merasa sedih juga.
”Saya mengerti,” kata Sofi, lagi-lagi mengangguk maklum.
”Kamu nggak mengerti!” kata Attar tegas. Membuat Sofi agak kaget dengan sikap Attar. ”Saya aja nggak mengerti alasannya. Yang saya mengerti, itu bukan spontanitas sesaat. Sampai sekarang, saya masih menginginkan hal yang sama.”
Mata Sofi membulat.
”Sofia mau bersama saya?”
* * *
Tiga tahun kemudian ...
”Assalamualaikum. Halo, selamat datang teman-teman mahasiswa baru. Selamat pagi. Saya Sofia. Saya dan Pak Ismail adalah dosen yang akan menemani kelas kalian pada mata kuliah Praktikum Farmasetika semester ini,” kata Sofi membuka kelasnya. ”Karena tak kenal maka tak sayang, jadi sebelum mulai pengarahan praktikum kita kenalan dulu ya, teman-teman,”lanjutnya sambil membuka buku presensi.
”Arya Gilang ...” Sofi mulai memanggil nama mahasiswanya satu per satu.
”Ayu Wandira ..”
”Bayu Andhika ...”
”Berliani Rahma ...”
”Cecilia ...”
”Cindy Wardani ...”
”Danan Dirgata ... ma...”
Mata Sofi bertemu dengan mata mahasiswa yang sedang mengangkat tangannya. Masih mata tengil yang sama. Mahasiswa itu tersenyum lebar.
* * *
Akhirnya sampai juga ke chapter terakhir utk bagian pertama. Setelah ini konflik sebenarnya akan dimulai (kemarin kan baru konflik receh).
Makasih banyak buat kakak2 yg selama ini selalu setia vote dan komen utk mendukung Danan, Bima atau Attar. Tim siapa kah kamu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top