2. Cinta Pada Tendangan Pertama

Wah, ternyata masih banyak Kakak2 yg inget cerita ini dan kangen sama tokoh2nya. Makasih ya Kak. Semoga repost cerita ini bisa membawa kenangan masa remaja yg indah 😘😘

Untuk Kakak2 pembaca baru, semoga suka juga sama cerita ini.

* * *

Kenapa sih kalau orangtua kita berprofesi sebagai dokter, trus kita juga harus jadi dokter?

Pertanyaan itu mengendap di kepala Danan Dirgatama remaja, tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sejak kecil orangtuanya selalu menanamkan di alam bawah sadarnya bahwa suatu saat kelak ia akan menjadi dokter.

”MasyaAllah, anak Ibu pinter. Udah bisa baca ya Nak? Nanti kalau sudah besar, pasti bisa jadi dokter nih. Rajin belajar terus ya Nak,” begitu kata Ibunya saat ia sudah mulai bisa mengeja alfabet pada usia 4 tahun.

”Anak Bapak hebat! Bapak sudah tahu, Danan akan menang. Kan Danan nanti mau jadi dokter ya?” kata ayahnya saat ia menjadi juara olimpiade matematika tingkat SD.

Awalnya Danan menikmati semua pujian-pujian itu. Ia bangga karena prestasinya selalu dibanggakan oleh orangtuanya. Ia senang karena bisa membahagiakan orangtuanya. Tapi lama kelamaan ia bosan. Ia muak dengan semua itu.

”Selamat ya, sayang,” kata Ibunya sambil mencium pipinya, di hari kelulusannya dari SD, ”Danan memang anak cerdas. Alhamdulillah bisa masuk SMP favorit ya. Makin rajin belajar ya Nak, supaya bisa masuk SMA favorit, lalu masuk fakultas kedokteran tempat Bapak dan Ibu dulu kuliah. Kan Danan mau jadi dokter ya, kayak Bapak dan Ibu?”

Kedua orangtuanya adalah dokter lulusan universitas ternama di Jakarta. Ayahnya ada seorang dokter spesialis bedah syaraf, sedangkan Ibunya adalah ginekolog. Mereka bertemu di kampus yang sama, ayahnya adalah junior ibunya di kampus. Kebetulan sekali nenek dari ayahnya Danan dan kakek-nenek dari ibunya Danan adalah dokter. Beberapa om, tante dan sepupu Danan juga berprofesi sebagai dokter atau sedang kuliah di fakultas kedokteran atau kedokteran gigi. Bukan di bidang politik saja, dimana satu keluarga bisa memonopoli kekuasaan di suatu daerah. Menjadi dokter juga bisa jadi sebuah profesi turun-temurun. Bedanya, kita tidak bisa mengandalkan status orangtua sebagai dokter untuk bisa menjadi dokter, tidak bisa mengandalkan harta orangtua supaya bisa masuk fakultas kedokteran, dan tidak bisa mengandalkan nepotisme untuk bisa lulus ujian kompetensi sebagai dokter. Kita sendiri harus memiliki kemampuan (intelegensi, fisik, mental –dan tentunya finansial-) yang besar untuk bisa menjadi seorang dokter.

Karena profesi keluarga itulah, sejak kecil Danan sudah digadang-gadang akan meneruskan profesi turun-temurun tersebut. Apalagi karena Danan adalah anak tunggal. Orangtuanya menaruh harapan yang sangat besar di bahu Danan. Bukan hanya ingin anak tunggal mereka itu menjadi dokter, ayahnya bahkan sudah memproyeksikan Danan untuk meneruskan posisinya sebagai direktur rumah sakit sejak kecil. Ayah Danan merintis rumah sakit itu bersama dengan beberapa sepupu ibunya Danan, juga bersama beberapa kolega dokter. Awalnya mereka mendirikan klinik praktek dokter bersama, lalu lama-lama berkembang menjadi rumah sakit ibu dan anak, dan kini sudah menjadi rumah sakit umum yang cukup terkenal di kalangan selebritis tanah air. Besar harapan ayahnya kepada Danan, kelak Danan bisa memimpin rumah sakit itu menggantikannya.

Sayangnya, ketika Danan beranjak dewasa, ia makin merasa terintimidasi dengan cita-cita besar itu. Ia merasa terkekang oleh masa depan yang sudah dipilihkan orangtuanya untuknya. Ia merasa tidak punya kehidupan. Bukannya dia tidak suka belajar. Danan justru sangat suka membaca, dan beruntung ia menuruni kecerdasam ibunya sehingga dia tidak pernah kesulitan dalam memahami apa yang dia baca. Hanya saja, ketika ia makin besar, hatinya makin berontak. Ia tidak ingin menjalani hidup yang sudah direncanakan untuknya. Dia ingin menjalani kehidupan yang dipilihnya sendiri.

Tapi kehidupan seperti apa?

Danan juga belum tahu jawabannya.

* * *


Sejak masuk ke SMP favorit, Danan berubah. Nilai-nilainya pada semester satu hanya sebatas lulus dari batas minimal. Cukup baik, tapi bagi kedua orangtua Danan, ”cukup” tidaklah cukup. Seseorang tidak bisa menjadi yang teratas hanya dengan ”cukup”. Seseorang harus menjadiexcellent untuk bisa berhasil. Danan tidak akan bisa menjadi dokter jika nilainya hanya ”cukup”.

Melihat perubahan drastis dari nilai-nilai Danan, kedua orangtuanya khawatir. Jangan-jangan karena Danan mulai jadi abege, dia jadi salah gaul, mulai bandel dan malas belajar. Jangan-jangan Danan sudah punya pacar, sehingga nggak fokus belajar. Mereka memikirkan banyak kemungkinan alasan mengapa nila-nilai Danan menurun drastis, tapi tidak pernah sekalipun terpikir bahwa alasan Danan yang sebenarnya adalah karena dia bosan berhasil.

Kalau Danan bilang bahwa hobinya adalah belajar, pasti dia akan diejek teman-temannya. Tidak akan ada yang percaya bahwa seseorang bisa hobi belajar. Hobi tuh nonton kek, berkebun kek, pacaran kek. Hobi kok belajar? Padahal hobinya Danan memang belajar. Dia menikmati mengerjakan soal-soal latihan di bukunya. Dia bisa membaca buku pelajarannya lalu keterusan googlingtentang materi pelajaran yang menarik. Dia betah berlama-lama membaca, dia suka mengetahui hal baru. Tapi dia tidak suka kalau keberhasilannya menjadi suatu justifikasi bagi orangtuanya untuk membuat Danan menjadi seorang dokter suatu saat nanti. Jangan salah mengerti, Danan bukannya tidak suka dengan ide untuk menjadi dokter. Dia justru merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang, seperti menjadi dokter. Hanya saja, dia tidak suka dengan ide bahwa masa depannya sudah ditentukan oleh orang lain (yang mana orang lain tersebut adalah orangtuanya sendiri). Ia ingin punya cita-cita sendiri. Entah apa itu, dia belum tahu. Tapi yang jelas, dia tidak ingin menjalani cita-cita yang dipilihkan orang lain. Itulah mengapa, meski ia bisa saja dapat nilai sempurna pada saat ulangan maupun ujian semester, tapi Danan selalu sengaja memberikan jawaban yang salah sehingga nilainya hanya cukup untuk lulus. Dia ingin orangtuanya mengira bahwa dirinya tidak cukup pintar untuk bisa menjadi dokter.

Tapi karena nilai-nilainya yang pas-pasan itulah, alih-alih menanyakan apa masalah yang sedang dihadapi Danan, orangtua Danan justru langsung berinisiatif mendaftarkan Danan ke lembaga bimbingan belajar, ke tempat les bahasa Inggris, dan klub taekwondo. Mereka berharap dengan meningkatkan kesibukan Danan, anak mereka tidak ada waktu lagi untuk bergaul sembarangan (mengingat hipotesis mereka bahwa nilai Danan menurun karena salah gaul atau sibuk pacaran). Lebih jauh, dengan mendaftarkan Danan ke lembaga bimbingan belajar, orangtua Danan berharap nilai-nilai pelajaran Danan akan menjadi cemerlang lagi. Sayangnya, keputusan orangtuanya ini alih-alih membuat Danan kembali termotivasi untuk memperbaiki nilainya, dia malah makin muak.

Sejak Danan kecil, pak Agus setia menemani dan mengantar Danan kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolah, ke tempat les, dan jalan-jalan bareng teman-teman. Saat SD, Danan senang-senang aja, karena nggak usah capek dan panas-panasan naik angkot kemana-mana. Tapi sejak ia SMP, jiwa remajanya yang memberontak mulai merasa terkekang dengan adanya pak Agus yang selalu bersamanya kemanapun. Ia ingin jadi anak remaja biasa. Yang bisa ngeceng-ngeceng sepulang sekolah bersama teman-teman, tanpa kewajiban les sana-sini. Karena kebosanan itulah beberapa kali Danan kabur dari Pak Agus saat Pak Agus menjemputnya ke tempat les.

”Mas, Bapak khawatir kalau mas Danan pulang sendirian,” kata Pak Agus, beberapa kali meminta Danan supaya tidak kabur dari tempat les.

”Kalau Pak Agus mau lapor sama Bapak dan Ibu, nggak apa-apa, Pak. Laporin aja bahwa saya kabur,” kata Danan, sengaja ingin menunjukkan pemberontakannya.

Tapi Pak Agus yang sudah mengenal Danan sejak kecil, tidak ingin membuat majikan kecilnya itu dimarahi orangtuanya. Pak Agus tahu bahwa kenakalan Danan belakangan ini adalah kenakalan remaja biasa, yang ingin mencari jati diri. Beberapa kali membuntuti Danan yang diam-diam kabur, Pak Agus tahu bahwa Danan hanya suntuk dan ingin jalan-jalan saja. Pak Agus tidak melihat Danan melakukan hal-hal mencurigakan selama kabur dari tempat les. Barangkali Danan memang sudah terlalu lelah karena disuruh belajar terus, pikir Pak Agus.

Tapi di hari yang terik itu, naas bahwa Pak Agus kehilangan jejak Danan saat mencoba membuntutinya. Danan hilang entah kemana. Hari sudah petang tapi Pak Agus belum juga melihat Danan pulang. Dengan perasaan ketar-ketir, Pak Agus menunggu Danan pulang, berharap majikan kecilnya itu pulang lebih dahulu sebelum kedua orangtuanya sampai di rumah. Sudah beberapa kali Danan kabur dari tempat les, dan pulang tepat waktu sebelum jadwal pulang kedua orangtuanya. Tapi anehnya hari itu Danan belum pulang juga sampai petang hari. Ponselnya pun tidak aktif. Pak Agus bertekad untuk berkeliling Jakarta mencari Danan jika anak itu tidak juga pulang sampai matahari terbenam.

Perasaan Pak Agus tercabik antara lega, kaget, dan khawatir ketika melihat Danan pulang. Lega karena Danan pulang sebelum kedua orangtuanya pulang. Kaget karena melihat wajah Danan yang babak belur. Dan khawatir, apa yang harus dikatakannya jika majikannya bertanya kenapa wajah anaknya jadi seperti itu.

”Danan nggak apa-apa kok, Pak,” kata Danan melihat wajah Pak Agus yang nggak nyantai. Suaranya mendesis karena tepi bibirnya sobek, sehingga dia belum bisa membuka mulutnya dengan benar. Bekas pukulan para preman itu benar-benar merusak ketampanannya.

Apalagi ketika tiba-tiba mbak Sumi keluar dari rumah dan menemukan wajah Danan yang tidak karuan, belum sempat Danan mengucapkan kata-kata untuk menenangkan, mbak Sumi yang cerewet sudah merepet.

”Astaghfirullah mas Danan! Mas Danan kenapa? Ini kenapa mukanya gini mas? Ke dokter yuk, Mas. Atau saya telepon Ibu ya Mas?” dengan gaya rempongnya, mbak Sumi berniat memegang wajah Danan untuk memeriksanya. Tapi Danan tahu wajahnya tidak boleh disentuh siapapun karena rasa sakitnya akan menyebar lagi. Dia menepis tangan mbak Sumi.

”Jangan bilang Bapak dan Ibu tentang kejadian hari ini,” kata Danan sambil memandang mbak Sumi dan pak Agus bergantian.

Untung mbak Sumi nggak baper. ”Yaudah kalau nggak mau ke dokter. Sini mas, mbak bersihin lukanya. Aduh ini kalau Bapak-Ibu tahu, gimana ini mas?”

Mbak Sumi selesai membersihkan dan mengobati luka di wajah Danan tepat waktu. Tepat ketika mereka mendengar suara mobil memasuki rumah Danan. Danan tidak punya banyak waktu, ia segera menyambar tas ranselnya dan berlari menaiki tangga lalu masuk ke kamarnya sebelum Bapak atau Ibunya masuk rumah. Sesampainya di kamar, dengan kecepatan super dia mengganti seragam SMPnya dengan kaos dan celana pendek, lalu tanpa mandi ia segera meloncat ke tempat tidur. Menutupi sebagian besar tubuhnya dengan selimut, Danan memasang posisi tidur memunggungi pintu kamarnya.

Setelah menunggu beberapa menit, Danan mendengar pintu kamarnya dibuka. Danan bertahan diam dalam posisinya tadi. Ia memejamkan mata.

”Tumben jam segini udah tidur?” Danan mendengar suara ibunya sebelum pintu kamarnya ditutup.

Danan mengahela nafas lega. Setidaknya malam ini dia berhasil lolos dari interogasi Ibu. Perkara besok, itu urusan nanti.

* * *

Danan sudah mengirim pesan singkat ke ponsel pak Agus untuk bersiap pagi-pagi sekali. Danan ingin berangkat sekolah sebelum kedua orangtuanya keluar kamar, demi menghindari wajah babak belurnya tertangkap basah oleh mereka. 

Pagi itu Pak Agus sudah siap di depan mobil pagi-pagi sekali untuk mengantar Danan ke sekolah. Mbak Sumi sudah menyiapkan dua kotak bekal pagi-pagi sekali, untuk sarapan dan makan siang, sesuai pesanan Danan. Semua sudah terencana dan siap. Danan juga sudah hampir mencapai pintu garasi ketika tiba-tiba dia mendengar suara ayahnya memanggil dari arah ruang keluarga.

”Danan berangkat dulu ya Pak, jadwal piket Danan di sekolah,” kata Danan tanpa menoleh pada ayahnya.

Ayah Danan merasakan ada yang aneh dengan tingkah anaknya. Apalagi suara anaknya terdengar seperti orang yang sedang kumur-kumur, nggak jelas. Dan itu mencurigakan.

Kecurigaan itu yang membuat ayah Danan memaksa Danan menoleh kepadanya. Dan seketika itu juga wajah ayah Danan mengeras. Ia segera memanggil istrinya untuk turun dari kamar.

Mati gue! Disidang!

Di tempat yang berbeda, mbak Sumi dan pak Agus kebat-kebit mendengar teriakan majikannya. Mereka tahu bahwa Danan sudah ketahuan. Dan mereka pasti akan ikut dimarahi.

Benar saja. Tidak lama setelah nyonya mereka turun dari kamarnya, nama mereka dipanggil dengan suara marah. Ibunya Danan memarahi mbak Sumi karena membohonginya tadi malam, dan meminta penjelasan pak Agus tentang kejadian yang menyebabkan Danan babak belur. Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pak Agus (ya karena kan pak Agus juga nggak tahu kenapa Danan babak belur, Danan kan nggak mau cerita), ibunya Danan makin murka.

”Saya tuh menggaji kalian untuk menjaga anak kami selama kami nggak ada di rumah. Tapi ternyata kalian nggak bisa kerja. Apa mau dipecat?” kata ibunya Danan, keras.

”Maaf, Bu ...” mbak Sumi dan pak Agus menjawab bersamaan sambil menunduk.

”Bukan salah mereka, Bu. Danan yang salah,” kata Danan membela mbak Sumi dan pak Agus. ”Danan yang kabur dari tempat les. Di tengah jalan dipalak sama preman, tapi Danan melawan. Makanya jadi begini. Tapi sudah diobati mbak Sumi. Danan yang kabur dari pak Agus, Danan yang minta mbak Sumi supaya nggak bilang ke Bapak dan Ibu. Ini semua salah Danan. Jangan pecat pak Agus dan mbak Sumi, ya, Bu? Pak?”

Kalau dia yang dimarahi, Danan sudah siap. Tapi mendengar pak Agus dan mbak Sumi akan dipecat gara-gara dirinya, dia tidak bisa terima. Meski bandel begitu, Danan sebenarnya anak yang baik. Dia nggak mau orang lain harus menangggung kesalahan yang dilakukannya.

Tatapan mata ibunya Danan melembut. Tapi ia tetap pasang tampang tegas saat berkata kepada mbak Sumi dan Pak Agus. ”Sumi dan Pak Agus keluar dulu. Nanti saya panggil. Sekarang saya mau ngomong dulu sama Danan.”

Pak Agus dan mbak Sumi mengangguk lalu langsung keluar dari ruang keluarga. Meninggalkan Danan yang sedang menghadapi dua pasang mata yang meminta penjelasan. Dasar Danan masih anak bandel amatir, menghadapi tatapan horor kedua orangtuanya saja sudah jiper. Setelah menelan ludah dengan berat, ia memulai ceritanya dengan permohonan maaf, lalu berlanjut dengan cerita tentang pemalakan yang dihadapinya kemarin sore.

”Nggak ada yang berhasil mereka ambil dari kamu?” tanya sang ayah.

”Selain wajah ganteng Danan? Nggak ada, Pak.”

Ayah dan Ibu Danan memutar bola mata dengan ekspresi lelah. Di saat interogasi seperti ini, masih sempat-sempatnya anak tunggal mereka itu narsis?

”Ada gunanya juga kamu latihan taekwondo,” kata sang ibu, dengan nada ragu. ”Padahal belum sabuk hitam, tapi udah bisa melawan 5 orang preman sekaligus?”

Danan nyengir. Diantara banyak les dan bimbingan belajar membosankan yang harus dijalaninya, latihan taekwondo dan les bahasa Inggris justru menjadi kegiatan yang tidak mau ditinggalkannya. Bagi Danan, keduanya lebih berguna. Kemarin ia membuktikannya, bahwa latihan taekwondonya tidak sia-sia. Meski tidak bisa dipungkiri, dia bisa lolos dari kejadian kemarin sebenarnya kerena jasa si mbak-mbak itu.

”Kemarin ada mbak-mbak yang bantu Danan berantem sama preman-preman itu sih,” Danan mengaku.

”Mbak-mbak?” Dahi sang ayah mengernyit.

Danan mengangguk.

”Perempuan?”

”Iya Pak. Cewek. Anak kuliahan kayaknya. Bela dirinya jago banget. Tapi kelihatannya emang orangnya pemarah. Kemarin tuh dia kayak lagi ngamuk, jadinya preman-preman itu habis dilibas sama cewek itu. Keren banget lah,” kata Danan bersemangat.

”Tapi mbak-mbak keren itu nggak bisa selalu jagain kamu. Lain kali kamu kabur dan jalan-jalan sendirian lagi, bisa jadi kamu ketemu preman lagi dan kamu bakal kalah. Kamu masih SMP. Tampang nggak ada garang-garangnya. Sasaran empuk buat dipalak,” si ibu kembali cerewet.

Danan hanya pasrah menerima omelan ibunya.

”Mulai sekarang Danan les di rumah aja,” kata ayah Danan tiba-tiba. Danan dan ibunya segera menoleh menatap sang ayah. ”Kecuali latihan taekwondo dan les bahasa Inggris yang butuh partner berlatih, rasanya untuk pelajaran lain bisa Danan pelajari mandiri di rumah. Kita panggil guru privat untuk menemani Danan belajar.”

Danan melongo.

”Jadi Danan nggak perlu kabur-kaburan lagi dari tempat les, dan nggak perlu menghadapi preman lagi,” sang ayah melanjutkan.

Danan lemas. Alih-alih menanyakan pendapat Danan apakah ingin melanjutkan bimbingan belajarnya, sang ayah justru membuat keputusan sepihak. Bukan masalah les bareng-bareng atau les privat, masalahnya kan memang Danan yang sudah suntuk dan bosan menjalani les-les itu. Sekarang Danan merasa nasibnya lebih parah. Kalau dia tidak lagi les di tempat bimbingan belajar, artinya dia tidak bisa kabur kemana-mana lagi kan?

* * *


Terhitung tiga bulan sudah sejak sang ayah memutuskan bahwa Danan lebih baik mengikuti bimbingan belajar secara privat di rumah. Sejak itulah sudah ada lima orang guru privat yang keluar-masuk rumahnya tanpa hasil. Danan menentang keputusan ayahnya, tapi masih terlalu cupu untuk memberontak secara terang-terangan. Akhirnya satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah dengan membuat guru-guru lesnya tidak betah dan menyerah.

Beberapa metode telah dilakukan Danan, dan berhasil. Metode yang digunakan Danan selalu berbeda-beda untuk tiap guru, tergantung dari karakter si guru. Saat dia mendapat guru yang galak, dia akan berubah menjadi anak cengeng, lalu mengadu ke orangtuanya bahwa gurunya nggak sabar dalam mengajar. Saat mendapat guru yang cantik dan kalem, Danan aktif menggombali dan merayunya sampai sang guru merasa risih dan tidak betah. Saat gurunya sangat pintar, Danan akan pura-pura menjadi murid yang bodoh, sampai membuat si guru tidak sabar mengajarinya.

Sang ibu, meski merasa aneh dengan sikap Danan dan sudah memperingatkan Danan untuk tidak iseng terhadap guru-gurunya, toh tetap tidak bisa memaksa guru-guru les Danan untuk betah mengajar anak itu. Akhirnya, pada percobaan keenam, sebelum mengenalkan calon guru les Danan yang baru kepada anaknya, sang ibu secara khusus meminta sang calon guru tersebut untuk tabah.

”Sejak kecil, Danan itu anak yang pintar dan penurut kok, Mbak. Selalu jadi juara kelas,” kata sang ibu, ”Entah kenapa sejak SMP jadi bandel. Dia bahkan jadi suka kabur dari tempat les. Makanya saya panggil guru les privat aja. Tapi entah kenapa lima guru privat sebelum Mbak nggak betah mengajar Danan. Jadi mbaknya tolong tabah dan sabar ya menghadapi Danan.”

Gadis itu, calon guru privat Danan yang baru, mengerutkan keningnya, penasaran dengan calon muridnya. Tapi toh dia mengangguk sambil tersenyum, ”InsyaAllah ya Bu.”

Ibunya Danan lalu memanggil anaknya. Danan sudah bersiap menghadapi guru les barunya dengan tekad baja. Lihat aja, berapa lama dia tahan.

”Nan, ini guru les kamu yang baru. Namanya mbak Sofia,” kata Ibu ketika Danan sudah sampai di ruang keluarga.

Danan melihat gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya.

Damn! Gue yang nggak bakal tahan!, Danan membatin.

Danan menduga bahwa cinta pada pandangan pertama hanya terjadi di dongeng-dongeng Disney ... sampai akhirnya dia melihat gadis itu tersenyum padanya dan dia merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Danan baru saja membuktikan bahwa cinta pada pandangan pertama benar-benar bisa terjadi di dunia nyata, meski itu bukan pertama kalinya dia bertemu dengan gadis itu.

”Danan,” kata Danan, menyambut uluran tangan gadis itu.

”Sofia,” gadis itu balas memperkenalkan diri.

Dia sudah bertemu dengan gadis itu tiga bulan sebelumnya. Gadis itulah yang menyelamatkannya dari para preman ketika terakhir kali ia kabur dari tempat les. Sejak Danan melihat gadis itu memaki para preman dan menghajar mereka tanpa ampun, sejak saat itulah Danan jatuh cinta.

Bukan sekedar pada pandangan pertama, tapi pada tendangan pertama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top