19. Playing Hard To Get
Tiga jam kemudian, setelah selesai dengan eksperimennya dan membersihkan lab, akhirnya Sofi dan Attar keluar dari gedung Farmasi ketika matahari sudah terbenam. Mereka berjalan beriringan menuju stasiun kereta jabodetabek di depan universitas mereka dengan wajah lelah. Ketika sampai di stasiun kereta, sebelum masuk ke pintu stasiun, tiba-tiba Sofi berhenti dan berbalik menghadap Attar.
”Bang, saya laper. Makan dulu yuk.”
Attar tertawa lalu mengajak Sofi ke warung pecel lele di samping stasiun. Itu adalah salah satu warung favoritnya di dekat stasiun, karena harganya yang bersahabat dengan kantong mahasiswa dan porsi nasi uduknya yang besar. Puas banget kalo makan disitu. Kalau lagi makan sama temen perempuannya, biasanya cewek-cewek itu nggak bakal sanggup menghabiskan nasinya, sehingga beruntung bagi Attar karena bisa dapet jatah satu setengah porsi dengan harga satu porsi.
Saat sang penjual mengantarkan pesanan nasi uduk, pecel lele dan pecel ayam mereka, Sofi nampak takjub.
”Porsinya gede banget!” kata Sofi dengan bersemangat.
”Kalau nasinya nggak habis, nanti dikasih ke saya aja. Saya biasa kok makan satu setengah porsi.” kata Attar, berusaha menenangkan Sofi. Dia kira Sofi takut menghabiskan makanan sebanyak itu.
Tiba-tiba Sofi manyun dan bersikap posesif terhadap makanannya. ”Enak aja. Saya habis kok segini.”
Attar kaget sekilas, tapi kemudian tertawa. Sofi pasti hanya lapar mata karena kelaparan dan kecapekan eksperimen dari pagi, makanya merasa bisa menghabiskan porsi sebanyak itu. Nanti juga Sofi akan menyerah di tengah jalan, pikir Attar.
Tapi ternyata dugaannya salah. Sofi makan dengan tenang, tidak tergesa-gesa, tapi seluruh nasi yang disediakan masuk semua ke perutnya. Attar takjub dengan kemampuan makan gadis dengan badan sekecil itu.
”Sering kesini bareng cewek ya Bang?” tanya Sofi sambil mencolek potongan ayamnya dengan sambal.
”Nggak sering. Tapi pernah. Kenapa?”
”Kalau temen ceweknya nggak bisa menghabiskan makanannya, biasanya Abang jadi makan satu setengah porsi ya?”
”Iya, makanya tadi saya bilang, kalau kamu nggak habis, nggak usah dipaksain. Saya biasa kok makan satu setengah porsi.”
”Bagus!” kata Sofi sambil tersenyum lebar dan mengangkat jempolnya ke hadapan Attar. Kemudian gadis itu menghampiri si penjual pecel lele sambil membawa piring nasinya yang sudah kosong.
Gadis itu minta tambah nasi!
”Separoan sama saya ya Bang. Saya mau nambah seporsi lagi, tapi nggak kuat. Mau ya, separoan sama saya?” kata Sofi yang kembali dengan membawa sepiring nasi uduk lagi.
Attar bengong dan tak sanggup berkata-kata ketika melihat setengah porsi nasi uduk berpindah ke piringnya.
Perempuan lain cuma makan setengah porsi. Cewek kecil ini makan 1.5 porsi. Berarti dia makan tiga kali porsi makan cewek normal.
”Sofia kelaperan?” Attar bertanya takjub.
”Banget, Bang.”
”Emang tadi siang nggak makan?”
”Makan sih. Tapi tadi di kantin nggak banyak pilihan makanan. Nggak semua penjual jualan di hari Sabtu. Jadi saya cuma makan nasi sate.”
Cuma?
”Pantes rakus banget.”
Sofi tertawa. Meski tidak keras (karena sedang berada diantara pengunjung lain), tapi tetap membuat Attar takjub. Perempuan lain mah manyun kalau dibilang rakus. Kok ini malah senang?!
”Saya jarang pulang semalam ini, dan jarang lewat stasiun sebelah sini, jadi nggak tahu ada warung pecel lele dengan porsi sebanyak ini. Lain kali saya pasti kesini!”
Rasa takjub Attar terus berlanjut ketika Sofi langsung membayari makan malam mereka setelah mereka selesai makan. Dia tidak membiarkan Attar mentraktirnya lagi.
”Waktu itu Abang traktir saya karena Abang yang ajak. Sekarang saya yang traktir karena saya yang ngajak,” kata Sofi tegas.
Perempuan ini berbeda.
* * *
Sofi pulang dengan ekspresi wajah yang kelewat senang. Sepanjang perjalanan pulang di kereta Jabodetabek, Sofi tidak berhenti tertawa menanggapi cerita Attar, tidak peduli sereceh apapun cerita itu.
”Kamu girang banget?”tanya Attar penasaran. Belum pernah dia lihat Sofia segembira ini. Mirip orang mabok sebenarnya. Mabok pecel lele nih cewek.
”Perut kenyang, hati senang, Bang,” jawab Sofi, lagi-lagi sambil tertawa.
”Gampang banget ya, bikin kamu bahagia. Tinggal dibeliin makanan banyak aja, udah seneng kayak gini.”
”Saya mah anaknya murahan. Pake pecel lele aja udah bahagia.”
”Nggak murahan juga sih kalo pecel lelenya 2 porsi.”
”Maap ya, cuma 1.5 porsi lho itu.”
Kali itu Attar yang tertawa.
Mereka sampai di depan rumah Sofi jam 9 malam. Sudah terlalu malam untuk menerima tamu sehingga Sofi tidak menawari Attar untuk mampir. Setelah turun dari motor Attar, Sofi mengucapkan terima kasih yang banyak untuk Attar.
”Terima kasih banyak untuk semuanya hari ini, Bang. Udah nemenin saya, bantuin saya, nganterin saya, sampai ngasih tahu warung pecel lele murah meriah.”
Jam sembilan malam dan tawa Sofi masih cerah. Menyilaukan mata Attar.
”Lain kali, mau saya ajak ke warung makan yang porsinya lebih banyak lagi?”
”Mau!” Sofi menjawab dengan kecepatan yang menakjubkan.
”Ke warung makan yang harganya lebih murah, mau?”
”Mau!”
”Jadi pacar saya, mau?”
”Ma ...!”
Perlahan senyum di wajah Sofi memudar. Berganti ekspresi bingung. Dia lalu mengorek-ngorek telinganya. Mengira pendengarannya bermasalah.
”Jadi pacar saya, mau?” Attar mengulang pertanyaannya, memastikan bahwa Sofi tidak salah mendengar.
Kali itu senyum Sofi menghilang.
Beberapa kali Attar nembakperempuan, memang ada yang memberikan ekspresi seperti Sofi. Biasanya mereka hanya terlampau terkejut karena ditembak pria setampan Attar. Tapi pada akhirnya toh mereka menerima tawaran Attar untuk menjadi pacarnya. Yang mereka butuhkan hanyalah waktu.
”Nggak perlu jawab sekarang,” kata Attar, berusaha memahami kekagetan Sofi. ”Dipikirkan aja dulu,” katanya sambil tersenyum manis. ”Saya pulang dulu ya.”
Attar baru saja akan memakai kembali helmnya ketika Sofi mencekal lengannya, membuatnya menurunkan kembali helmnya.
”Kenapa saya?” Sofi bertanya. Jangankan tawa, tidak ada sisa senyum di bibirnya. Kali itu Attar mulai khawatir. Ekspresi Sofi mirip seperti ekspresi gadis itu saat mereka bertemu kedua kalinya di peron stasiun.
Attar tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Sofi. Dia bingung harus menjawab apa.
Apakah karena cantik?
Sofi tidak jelek, tapi juga nggak cantik-cantik amat.
Apakah karena penampilannya elegan? Tapi seringnya dia hanya pakai kemeja atau blouse biasa.
Atau karena pintar? Iya sih, Sofi pintar, tapi juga nggak jenius-jenius amat.
Jadi kenapa Attar meminta Sofi menjadi pacarnya? Apa karena kesambet? Atau cuma akibat mabok pecel lele?
”Abang yang harus memikirkan dulu,” kata Sofi kemudian. Dia melepaskan lengan Attar lalu berbalik pergi.
Tapi Attar balik meraih lengan Sofi dan menahannya. ”Kenapa nggak?”
Sofi bingung.
”Kamu tanya kenapa saya pilih kamu?” kata Attar. ”Memangnya kenapa saya nggak boleh pilih kamu?”
Sofi melepaskan genggaman Attar di lengannya lalu mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. ”Karena Abang terlalu tampan untuk saya.”
Attar bengong selama beberapa saat sehingga Sofi punya kesempatan untuk segera pergi meninggalkan lelaki itu, dan masuk ke rumahnya.
* * *
Attar nyaris pulang dengan pikiran setengah sadar setelah menerima penolakan Sofi yang tidak masuk akal. Di tengah jalan ia mempercepat laju motornya hanya supaya segera sampai di rumah dan bisa mengirim pesan kepada Sofi.
Attar Thariq: Sofia sudah tidur?
Sampai lima menit setelahnya belum ada jawaban.
Attar Thariq: Saya boleh telepon?
Tidak ada jawaban juga.
Attar melemparkan tubuhnya ke kasur dengan perasaan frustasi. Dia belum pernah ditolak perempuan seperti itu. Lebih tepatnya, dia belum pernah ditolak perempuan! Jadi kenapa gadis itu bisa menolaknya?!
”Kenapa saya?”
Pernyataan itu terngiang lagi di kepalanya. Kenapa? Kalau ditanya seperti itu, Attar juga tidak tahu alasannya. Attar hanya merasa Sofi itu berbeda. Dia berbeda dengan perempuan lain yang biasa mendekatinya, atau dengan mantan-mantannya. Diantara perempuan yang dia kenal, tidak ada perempuan yang tidak suka berduaan saja dengannya, tidak ada perempuan yang tampak seksi meski kecantikannya biasa saja seperti dia, tidak ada perempuan yang memaki sekeras Sofi, tidak ada perempuan yang makan sebanyak itu. Yang Attar heran, diantara ketidak-spesialan Sofi, dia tidak mengerti kenapa gadis bisa itu menarik perhatiannya hanya karena gadis itu berbeda?
”Karena Abang terlalu tampan untuk saya.”
Alasan apa itu?!
Bagi Attar, itu terdengar seperti alasan receh untuk menolak seseorang:Kamu terlalu baik buat saya. Ya kalau terlalu baik, harusnya jangan ditolak dong! Kalau memang dirinya terlalu tampan, harusnya Sofi tidak menolaknya dong!
Bagi Attar, jawaban Sofi tidak lebih dari cara murahan untuk membuatnya makin penasaran. Ada perempuan-perempuan yang memakai cara ini untuk membuat si lelaki merasa lebih penasaran. Playing hard to get. Tapi Attar bukan lelaki yang bisa dijebak dengan cara seperti itu.
If she decide to play hard to get, i will not catch her at all! Kita lihat siapa yang menyerah duluan. Cepat atau lambat, dia pasti akan menghubungi gue duluan!
***
Please vote n komen ya kakak2. Makasih banyak sdh mau membaca, vote n komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top