18. SIASAT

”Pinter!”

Ketika berbelok menuju lab, Attar segera mendengar suara Sofi yang ceria, dan mendapati gadis itu sedang duduk di kursi panjang di depan lab bersama seorang pemuda.

Anak itu kok bisa ada disini?

”Makasih Mbak Pia! Lo emang keren!” pemuda itu dengan santainya melingkarkan lengan ke pundak Sofi.

Meski kurang nyaman dengan apa yang dilihatnya, Attar bisa tetap mempertahankan raut wajahnya yang santai ketika menyapa Sofi.

”Abang kok disini?” Sofi bangkit dari duduknya dan menyambut Attar dengan wajah kaget

”Habis ada acara kemahasiswaan di Teknik. Saya sekalian mampir ke sini karena tadi Ari juga rapat Pengmas sama Riah,” Attar menjawab sambil tersenyum tenang. Sudut matanya melirik si pemuda yang terang-terangan menunjukkan raut wajah tidak suka.

Tapi belum sempat Attar berbasa-basi dengan pemuda itu, sebuah suara sudah memanggil Sofi dari dalam lab.

Sampling sebentar lagi, Sop. Ayo siap-siap,” kata pemuda yang menampakkan kepalanya dari dalam lab.

”Oh iya, bentar, Bim,” Sofi menjawab.

Bim? Bima? Bima yang digosipin sama Riah?

Sofi memalingkan wajahnya pada Attar dan pemuda yang duduk di kursi bergantian. ”Bang, maaf ya. Saya tinggal dulu. Sebentar. Abang dan Danan tunggu dulu disini ya?”

”Oke, santai,” jawab Attar.

”Gue nunggu di dalem lab aja, boleh kan ya Mbak? Mayan juga nih anginnya di koridor. Mulai masuk angin nih gue,” Danan menawar.

”Boleh deh di dalem lab. Tapi jangan pegang apa-apa ya,” kata Sofi memperingatkan. ”Abang juga nunggu di dalem lab aja kalo gitu, bareng Danan.”

Attar mengangguk sambil tersenyum, sementara Danan langsung ngeloyor ke dalam lab sambil manyun.

”Sop!” Bima memanggil sekali lagi.

”Iya, iya!” Dan dengan tergesa Sofi masuk ke dalam lab dan memakai jas labnya.

Attar melangkah pelan masuk ke dalam lab, lalu duduk di samping Danan.

”Lesnya disini? Kok nggak di rumah?” Attar berbasa-basi memulai percakapan dengan Danan.

Masih dengan wajah bete, Danan hanya menjawab singkat, ”Iya.”

Attar melihat Sofi dan Bima yang berdiri lima meter di hadapannya. Kedua orang itu berdiri berdampingan, dengan sebuah alat masing-masing di tangan mereka.

”Sekarang, Sop,” Attar mendengar Bima memberi instruksi kepada Sofi, lalu mereka berdua bersamaan mengambil sejumlah cairan dari alat yang ada di hadapan mereka.

Cairan yang mereka ambil itu kemudian mereka masukkan ke dalam sebuah botol kecil. Kemudian Sofi dan Bima kembali dalam posisi siaga seperti sebelumnya. Dua menit kemudian Bima memberi aba-aba yang sama, dan mereka kembali mengulangi proses tadi. Hal itu terjadi sebanyak tiga kali.

”Udah lama disini?” Attar kembali mengajak Danan ngobrol demi membunuh keheningan.

”Tiga jam,” Danan masih menjawab ketus.

”Oh, udah hampir selesai ya berarti?”

Danan menoleh dan memberi tatapan tidak suka terhadap pertanyaan Attar. Lo ngusir?, pikir Danan kesal. Sementara Attar membalasnya dengan senyum santai.

”Maap ya lama. Terima kasih sudah menunggu, Bapak-bapak,” suara Sofi yang ceria kembali menyambut mereka.

Sofi dan Bima datang dengan beberapa botol kecil dan alat gelas, lalu duduk di depan meja besar di seberang tempat Attar dan Danan duduk. Kini Sofi dan Bima duduk tepat berhadapan dengan Danan dan Bima.

”Saya sambil ngerjain ini dulu ya,” kata Sofi dengan tangan yang cekatan bekerja dengan beberapa alat gelas di hadapannya.

”Maaf ya saya mengganggu,” kata Attar berbasa-basi.

Emang lo ngganggu!, kata Danan dan Bima dalam hati, serempak, sambil melirik Attar. Lelaki itu sadar sepenuhnya pada makna tatapan kedua pemuda di hadapannya.

”Nggak kok Bang, santai aja. Kebetulan aja Abang dateng pas sayasampling, jadi kesannya saya sibuk. Padahal mah saya santai aja. Ini saya baru akan sampling lagi dua jam lagi kok,” kata Sofi. ”Saya dan Danan juga baru kelar les kok.”

Danan manyun. Attar tersenyum. Bima stay cool, padahal senang juga kalau sebentar lagi anak SMP itu pulang karena sudah selesai les.

”Oiya, kenalan dulu Bang. Ini temen saya, Bima,” kata Sofi kemudian sambil menunjuk ke arah Bima sambil melirik Attar, ”Ini Bang Attar, Bim. Dosen Teknik Arsitektur dan dosen pendamping Pengmas yang kolaborasi sama Pharmacy Care-nya Riah.”

Dosen?, mata Danan melotot kaget, sial banget nasib gue dapet saingan berat-berat gini.

Dosen?, gerutu Bima dalam hati, meski wajahnya tidak menunjukkan perubahan ekspresi, pantes tampangnya om-om.

Attar mengulurkan tangan kepada Bima, yang disambut Bima dengan wajah datar.

”Attar,” kata lelaki itu memperkenalkan diri.

”Saya Bima, Pak,” kata Bima sambil menyambut uluran tangan Attar. ”Tetangga atau teman kecilnya Sopi ya Pak? Kok Sopi manggil Abang?”

Attar tertawa. ”Baru kenal beberapa bulan ini kok. Waktu itu saya nemuin tasnya Sofia yang ketinggalan di kereta.”

Tiba-tiba Bima teringat pada kejadian drama di suatu pagi ketika Sofi nangis pagi-pagi karena tas kainnya tertinggal di kereta, lalu seorangpangeran berkemeja putihmenyelamatkannya. Bima tidak mengira bahwa kejadian itu berlanjut sampai sekarang.

”Dari awal Sofia sudah panggil saya begitu. Dan saya memang lebih suka Sofia memanggil begitu daripada manggil Bapak,” lalu Attar tertawa lagi. Yang disambut tawa hanya  oleh Sofi. Danan konstan dengan wajah manyunnya. Dan Bima hanya tersenyum basa-basi.

”Eh iya, udah ampir sore gini. Pulang gih, Nan. Nanti lo kemaleman sampe rumah,” Sofi beralih pada Danan. ”Pak Agus masih nunggu di parkiran kan?”

”Masih,” Danan menjawab singkat.

”Bentar ya, gue selesaikan ini dulu. Nanti gue antar lo ke parkiran.”

Ya ampun, mbak Pia mengusir gue karena cowok-cowok ini?!, Danan membatin terluka.

”Gue bisa ke parkiran sendiri,” kata Danan jutek.

””Eh? Beneran?”

”Iya. Makasih lesnya, Mbak. Gue pamit.”

Danan menyambar ranselnya lalu berdiri. Sofi menutup labu ukur berisi sampel yang konsentrasinya sudah diencerkan agar bisa terukur, lalu menjajari langkah Danan sampai ke pintu lab.

”Hati-hati di jalan ya. Salam buat Ibu dan Bapak,” kata Sofi sambil menepuk lengan Danan. Danan mengangguk muram dan berlalu pergi.

* * *

Usia memang tidak bisa dibohongi. Pengalaman yang dimiliki seseorang seiring dengan usianya ternyata memang berpengaruh terhadap cara seseorang menghadapi suatu keadaan. Karena usianya yang masih remaja dengan emosi yang masih meluap-luap, Attar bisa melihat dengan jelas ketidaksukaan Danan terhadap dirinya. Terhadap remaja dengan emosi seperti itu, mudah saja bagi Attar untuk memprovokasinya sehingga anak itu makin tidak betah berada disana dan segera pergi. Tapi berbeda dengan Bima yang sudah lebih dewasa. Entah karena Bima sudha lebih dewasa sehingga lebih pandai menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya, atau memang karena Bima dan Sofia memang hanya berteman, Attar tidak bisa membaca ekspresi Bima. Sikap Bima kepada Sofi yang seperti tidak terpengaruh dengan kehadiran Attar membuat Attar harus berusaha lebih keras supaya Bima tidak tinggal berlama-lama di lab.

”Seru ya kayaknya penelitian kayak gini?” Attar bertanya dengan antusias. ”Saya boleh coba bantuin?”

”Eh jangan Bang. Udah, Abang santai-santai aja. Nggak usah repot-repot,” Sofia menjawab dengan cepat.

”Janji deh, saya nggak akan mecahin apapun atau merusak eksperimen kamu,” kata Attar, ”Kalau mengencerkan larutan aja, atau bantu ambil sampel, saya pasti bisa. Dari tadi saya mengamati Sofia dan Bima mengerjakannya.”

Sofi tertawa lalu akhirnya mengijinkan Attar membantunya mengencerkan sampel.  Sofi meminjamkan jas lab nganggur yang tergantung di lab kepada Attar, di bagian tengkuknya tertulis nama Andre. Hari Senin Sofi akan bilang ke Andre bahwa dia pinjam jas labnya sebentar. Sofi kemudian mengajari Attar cara mengerjakannya, cukup sekali, dan Attar langsung bisa melakukannya dengan baik. Sambil mengencerkan larutan sampel, Attar memulai ceritanya tentang proyek Pengmas yang sedang direncanakan bersama Pharmacy Care.

Bima bisa saja memang hanya berteman dengan Sofi. Bisa saja Bima memang tidak punya perasaan khusus apa-apa terhadap Sofi. Tapi kalau melihat Sofi ngobrol terlalu asik sama orang lain sehingga dirinya dicuekin, sebagai manusia normal, Bima pasti akan bosan kan ya? Itulah yang dilakukan Attar. Dia mencoba memonopoli perhatian Sofi sehingga Sofi hanya mengajak Bima bicara sesekali saja. Setelah satu jam hal itu berlangsung, akhirnya usaha Attar membuahkan hasil. Bima nampak mulai bosan.

”Pak Attar disini sampai jam berapa?” tanya Bima, tiba-tiba, di sela percakapan Attar dan Sofia yang dilakukan di depan spektrofotometer.

”Sofia disini sampai jam berapa?” Attar malah balik nanya Sofi.

Berarti dia bakal disini sampai Sofi pulang kan? Ngapain gue jadi setan disini?!

”Masih lama,” jawab Sofi. ”Eh kenapa, Bim?”

”Gue ada urusan mendadak.”

Attar tersenyum dalam hati, meski bibirnya tak bergerak.

”Oh,” Sofi agak sedih karena dia harus menyelesaikan eksperimennya sendirian. Tapi dia harus tahu diri, saat malam Minggu pasti Bima mau pacaran kan. ”Oke deh. Makasih ya Bim, seharian udah nemenin dan bantuin gue.”

Bima mengangguk lalu membereskan laptop yang sejak tadi digunakan untuk main game dan menyetel lagu-lagu kesukaan Sofi. ”Sori ya, nggak bisa nemenin sampai selesai. Good luck ya,” kata Bima sambil menepuk bahu Sofi.

Bima pamit pada Attar, yang disambut dengan senyum sumringah Attar. Bima jadi sadar bahwa kehadirannya disitu memang tidak diharapkan.

Setelah Bima pergi, Sofi mengecek jam tangannya, lalu memberi tahu Attar bahwa sudah waktunya ambil sampel lagi. Dengan mendengarkan instruksi dan petunjuk Sofi, Attar membantu Sofi mengambil sampel.

”Makasih ya Bang,” kata Sofi sambil tersenyum, lalu membawa botol-botol kecil berisi larutan sampel ke meja besar lab untuk diencerkan. ”Eh udah sore begini, Abang nggak pulang?”

”Saya diusir?” Attar pasang tampang sok kaget.

Sofi tertawa tapi menjawab dengan tegas, ”Iya, diusir. Pulang gih Bang.”

Attar memegang dadanya dengan ekspresi sakit hati. Cewek normal mah kalo ada kesempatan berduaan sama gue, pasti gue nggak dilepasin. Kok ini gue malah diusir?

”Lebay, Bang!” kata Sofi sambil tertawa dan memukul lengan Attar, ”Makasih ya saya udah dibantuin, Bang. Tapi ini udah sore banget. Abang nanti kemaleman.”

”Saya bukan anak perawan yang harus pulang sebelum Maghrib.”

”Iya lah, bukan perawan. Tapi perjaka,” kata Sofi, ”Eh Abang masih perjaka ga?”

Attar tertawa terbahak. ”Pinter ya kamu mancingnya.”

Sofi ikut tertawa. ”Udah, Bang, sana pulang. Saya nggak enak kalau Abang jadi pulang kemaleman gara-gara bantuin saya. Ini saya tinggal sampling sekali lagi kok, dua jam lagi. Abis itu selesai deh. Jadi Abang pulang duluan aja. Saya nggak sendirian kok. Ada pak Satpam yang biasa keliling lab.”

”Nggak apa-apa. Tinggal dua jam lagi kan? Saya tungguin. Kita pulang bareng,” Attar berkeras.

Sofi jadi ngeri. Beberapa kali dia berdebat dengan orang ini, dan sepertinya Attar tipe orang yang sulit digoyahkan jika sudah punya keinginan.

”Bang, pacaran sana, malem Mingguan!” kata Sofi sebagai usaha terakhir.

”Lha ini saya lagi malem Mingguan sama kamu.”

Sofi memutar bola matanya dengan malas. Bodo amat! ”Yaudah kalau Abang masih mau disini. Makasih ya Bang, mau bantuin dan nemenin saya. Nih, biar nggak nganggur, bantuin saya ukur kadar sini.”

Attar tertawa dan mengikuti perintah Sofi.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top