16. Pak

”Kamu nggak apa-apa kan?” lelaki itu bertanya sambil menyelipkan rambut Sofi yang terurai dari ikatannya ke balik telinga Sofi.

Nih cowok kesambet?! Sofi syok dalam hati.

”Eh, emm, nggak apa-apa,” Sofi menjawab dengan gugup, lalu langsung menarik tangan Attar keluar dari lab. Bodo amat dengan Bima dan pacar cemprengnya.

Setelah berbelok di koridor sehingga pintu masuk Lab Farmasetika tidak terlihat lagi, Sofi baru melepas tangan Attar. ”Abang sudah lama sampai?”

”Baru kok,” jawab Attar. Sofi menghembuskan nafas pelan, berusaha tak kentara. Tapi toh Attar tetap menyadarinya. ”Tapi cukup untuk mendengar histeria cewek tadi,” Attar melanjutkan.

Kirain dia nggak dengar, Sofi membatin dengan kecewa, sambil nyengir kikuk ketika ditatap Attar.

”Tadi saya sengaja bersikap gitu supaya cewek itu nggak terus mojokin kamu,” kata Attar kemudian. ”Eh tapi kamu benar bukan pacarnya cowok tadi kan? Bisa-bisa gantian saya yang dilabrak sama cowok tadi karena pegang-pegang pacarnya.”

”Bukan lah. Kami sahabatan,” jawab Sofi singkat. Malas menjelaskan kejadian memalukan tadi lebih lanjut, Sofi langsung mengalihkan percakapan. ”Abang kesini nggak sendirian kan?”

”Yang lain nunggu di bawah, di pintu masuk fakultas,” jawab Attar.

Sofi mengangguk. Dia lalu menemani Attar turun dan menemui mahasiswa Arsitektur lainnya. Setelah berkenalan sekilas dengan tiga cowok dan satu cewek itu, Sofi mengantar mereka ke ruang BEM. Disana Riah, si ketua Divisi Pengmas BEM Farmasi, dan beberapa stafnya sudah menunggu.

”Saya nunggu di lab, nggak apa-apa ya Bang? Nanti kalau Abang dan teman-teman sudah selesai diskusi, kabari saya aja Bang,” kata Sofi sebelum kembali ke lab.

Attar mengangguk lalu menepuk bahu Sofi. ”Makasih ya.”

* * *

Sofi kembali ke lab disambut tatapan kepo Bima dan Lita. Dengan pasang tampang sok cool Sofi menghampiri Bima.

”Masih perlu bantuan gue nggak?” tanya Sofi.

Tapi alih-alih mendengar jawaban Bima, malah Lita yang balik bertanya pada Sofi.

”Tadi itu pacar lo?” tanya Lita. Dengan sudut matanya Sofi melihat Bima memberikan kode-kode. Barangkali Bima berharap Sofi menjawab iya sehingga Lita tidak lagi curiga Bima selingkuh. Tapi Sofi kan memang ingin mereka putus, jadi Sofi sengaja tidak mau menjawab pertanyaan Lita.

Alih-alih menanggapi Lita, Sofi kembali bicara pada Bima.

”Kayaknya lo nggak butuh bantuan gue lagi kan?” tanya Sofi. Bima agak kaget dengan pertanyaan Sofi, tapi dia belum sempat menjawab ketika Sofi melanjutkan, ”Lo bisa minta bantuan pacar lo buat sampling kan? Biar dia ngerasain kerjaan lo selama beberapa kali malem minggu ini, biar nggak curigaan mulu.”

”Eh tapi Lita belum pernah pegang alat lab ... ”

”Kalau dia nggak mau pacarnya dibantu cewek lain, ya dia harus bisa jadi pacar yang serba bisa membantu dong.”

Setelah itu Sofi melirik Lita dengan jutek. Yang dibalas sama juteknya oleh Lita. Dan dibalas tatapan nelangsa oleh Bima.

Sofi tahu bahwa Bima menatapnya dengan penuh permohonan, berharap Sofi tidak akan meninggalkan dirinya sendiri bersama Lita karena pacarnya itu pasti tidak akan bisa membantunya mengambil sampel. Tapi Sofi berusaha untuk tidak peduli. Dia ingin Bima membandingkan pengalaman bekerja bersama dirinya dan pacarnya agar Bima tahu bahwa Sofi jauh lebih bisa diandalkan dibanding Lita yang cuma bisa cemburu melulu.

Sofi mengambil ranselnya dari loker, menghampiri Bima lalu berkata, ”Lo punya 6 jam waktu pacaran sama cewek lo. Enjoy!”

Setelahnya Sofi menepuk bahu Bima dan pergi dari lab itu.

* * *

Sofi menunggu Attar selesai rapat dengan lesehan di depan ruang BEM. Dia mengeluarkan ponselnya dan mendapati banyak panggilan tidak terjawab dan pesan dari Danan. Membaca pesan Danan, lama-lama Sofi jadi kasihan juga sih. Barangkali memang dirinya yang terlalu baper. Harusnya dia tidak perlu tersinggung menanggapi perkataan remaja seperti Danan. Dia harusnya bisa bersikap lebih dewasa menghadapi anak SMP itu, bukannya malah balik ngambek. Lagipula Danan sudah menunjukkan itikad baik dengan meminta maaf.

Baru saja Sofi akan membalas pesan Danan, ponselnya bergetar dan menampilkan nama Danan di layarnya.

Gigih banget ni anak, pikir Sofi tidak tega.

”Ya, Nan? Assalamualaikum,” Sofi menyapa ketika mengangkat teleponnya.

”Alhamdulillah akhirnya telepon gue diangkat. Mbak Pia, maaf yaaaaa,” Danan langsung memberondong. Terdengar nada lega dan merayu yang jelas di telinga Sofi.

Tanpa bisa ditahan, Sofi tersenyum. Kekesalannya terhadap Danan tiba-tiba lenyap begitu mendengar suara anak itu.

”Assalamualaikum, Danan,” Sofi mengulang salamnnya sambil senyum-senyum. Meski demikian, dia mempertahankan suaranya agar tetap terdengar cool dan tegas.

”Eh lupa jawab, hehehe.” Suara tawa itu menular, membuat senyum Sofi makin lebar. ”Waalaikumsalam Mbak Pia yang cantik jelita idaman semua pria.”

”Halah, gombal!” kata Sofi cepat.

Terdengar suara tawa kecil di seberang. ”Gue stres, tahu nggak sih Mbak. Pesan gue nggak ada yang dibales. Ditelpon nggak diangkat. Lo marah beneran sama gue ya?”

”Emang gue pernah marah bohongan?”

”Maksud gue, lo marah banget sama gue ya?”

”Ya menurut lo?”

”Iya, gue tahu kemarin gue ngomongnya keterlaluan. Maaf ya, Mbak. Please?”

Meski sebenarnya Sofi juga sadar bahwa kata-kata Danan tidak sepenuhnya salah, tapi egonya tetap tidak mau mengakui kebenaran kata-kata Danan. Maka dengan suara sok cool, Sofi menjawab, ”Ya udah.”

”Ya udah apa? Dimaafin kan Mbak?” Danan memperjelas.

”Iya.”

”Nggak marah lagi?”

”Nggak.”

”Jadi besok Mbak ngajar lagi kan?”

”Iya.”

”Yeayyy! Makasih Mbak Pia yang baik hati idaman semua pria.”

Meski cuma gombalan anak SMP, tak urung berhasil membuat Sofi nyengir. Suara Danan terdengar sangat ceria dan itu membuat suasana hati Sofi jadi ceria juga.

Setelah ngobrol beberapa hal tidak penting sebentar, akhirnya Danan menutup teleponnya. Sofi juga menutup ponselnya, tepat saat matanya mendapati sosok Attar sudah berdiri di samping pintu masuk ruang BEM.

”Abang udah kelar?” tanya Sofi sambil langsung bangkit dan menghampiri Attar dengan wajah yang lebih ceria dibanding yang diingat Attar sepagian itu. Mendapati wajah Sofi yang sudah tidak mendung lagi, membuat Attar ikut tersenyum.

”Mereka hampir kelar rapat. Bentar lagi juga keluar.”

Baru saja Sofi mau bertanya kenapa Attar sudah keluar duluan, malah Attar yang duluan bertanya pada Sofi. ”Katanya kamu mau nunggu di lab? Kok malah lesehan di sini sambil nyengir-nyengir di telepon gitu?”

Sofi tertawa. ”Nggak apa-apa, Bang. Daripada di lab saya jadi setan yang nemenin orang pacaran yang lagi berantem, mending nunggu disini,” jawabnya.

”Syukurlah kamu udah bisa ketawa lagi. Tadi muka kamu manyun banget abis berantem sama cewek histeris itu.” Tawa Sofi berhenti dan langsung berganti dengan senyum salah tingkah. ”Abis teleponan sama Mama kamu, makanya langsung ceria lagi?”

”Bukan. Tadi murid les saya yang telepon.”

”Oh?” Attar mengernyitkan dahi. ”Danan? Yang murid SMP itu?”

”Eh iya, saya lupa Abang pernah ketemu Danan ya? Iya, tadi dia yang telepon.”

Hebat juga si anak SMP itu,gumam Attar dalam hati.

”Abang kenapa udah keluar duluan?” Sofi

”Oh, saya mau ke toilet. Dimana ya?”

Sofi menawarkan diri untuk mengantar Attar, tapi Attar menolak dan hanya minta ditunjukkan arah menuju toilet. Kebetulan juga toiletnya tidak jauh dari ruang BEM. Jadi setelah menunjukkan arah toilet, Sofi kembali lesehan di depan ruang BEM sampai Riah, beberapa anak Pengmas Farmasi dan para junior Attar keluar dari ruang BEM.

”Makasih ya mbak Sofia,” kata Ari, juniornya Attar yang merupakan ketua divisi Pengmasnya Teknik Arsitektur, ”...udah dikenalin ke Riah dan temen-temen Pengmas Farmasi. Kita kayaknya bakal jadi kolaborasi ya Ri.”

Namanya Riah dan Ari, panggilannya sama-sama Ri. Jodoh banget ni dua ketua Pengmas, Sofi membatin sambil tersenyum.

Riah mengangguk menyetujui pernyataan Ari barusan. ”Mereka gabung sama Pharmacy Care kita, Kak Sofi. Jadi nanti kita yang koordinir pengobatan gratis, temen-temen Arsitektur yang rencananya mau bikin perpustakaan untuk sekolah nonformal yang kita buat itu, Kak. Anak dari Teknik Lingkungan barangkali mau gabung juga, ngasih penyuluhan tentang pengolahan lahan kering di desa mereka. Kan barangkali bisa jadi lebih subur, trus nanti dari Pharmacy Care bisa melanjutkan pelatihan tentang penanaman tanaman obat keluarga. Syukur-syukur kalo misalnya mereka bisa sampe produksi minuman kesehatan instan dari tamanan obat yang mereka tanam kan, Kak.” Riah menjelaskan rencana mereka kepada Sofi.

”Wah, keren tuh! Makin komprehensif gitu untuk memecahkan permasalahan di desa itu. Bukan cuma insidential sesekali mengadakan pengobatan gratis aja, tapi juga pemberdayaan desa. Keren kalian!” Sofi memuji ide mereka dengan bersemangat.

”Tadi Pak Attar sih yang ngusulin itu. Beliau juga yang tadi langsung menghubungi dosen koordinator kemahasiswaan Teknik Lingkungan dan ngajakin Pengmas TekLing buat gabung,” kata Riah.

”Pak Attar?” Sofi refleks bertanya sambil menahan tawa. ”Tua banget.”

”Ya namanya juga sama dosen, Mbak, manggil Bapak lah. Masa mau manggil Abang,” Riah balik tertawa.

”Tapi tadi Mbak Sofia manggil Pak Attar Abang lho,” tiba-tiba cewek Arsitektur yang namanya Lusi nyeletuk.

Riah dan beberapa junior Sofi yang lain langsung melirik Sofi.

Sementara itu Sofi masi bengong.Dosen?, pikir Sofi bingung. Selama ini sih dia memang sudah menduga bahwa Attar adalah seniornya, tampangnya mayan om-om juga sih memang. Kalau dilihat dari gaya berpakaiannya, Sofi juga menduga bahwa Attar barangkali mahasiswa S2 di Teknik. Tapi Sofi tidak pernah kepikiran bahwa Attar adalah dosen. Tiap hari pulang-pergi kampus masih naik kereta dan motor gitu. Dalam bayangan Sofi kan kalo dosen tuh ya bawa mobil gitu.  Dan selama ini gue manggil dia Abang? Songong banget gue! Mati deh!

”Iri aja lo Lus,” tegur Ari pada temannya, ”Mbak Sofi kan pacarnya Pak Attar, ya wajar panggil Abang kali.”

”Eh, bukan, bukan ...”

”Kita pikir Kak Sofi tuh pacarnya Kak Bima lho, abis keliatan deket banget kan ya,” kini giliran Riah yang nyeletuk, yang didukung anggukan teman-temannya, ”Ternyata Kak Sofi pacaran sama dosen muda Teknik. Ih keren banget Kak!” Riah ngomong gitu dengan gaya fans-fans Korea yang halu gitu.

”Tapi gue emang pernah denger Kak Bima udah punya pacar sih, bukan anak sini,” celetuk temannya Riah yang Sofi kenal bernama Dina.

”Dari kapan pacaran sama Pak Attar, Mbak?” kali ini Lusi lagi yang bertanya.

”Eh, bukan, bukan ...”

Baru saja Sofi ingin mengklarifikasi, Attar sudah kembali dari toilet dan bergabung dengan gerombolan itu. Dia berdiri tepat di samping Sofi, membuat Sofi yang baru saja mengetahui fakta mengejutkan itu jadi salah tingkah.

”Udah selesai kan ya rapatnya?” tanya Attar.

”Sudah Pak,” Ari menjawab. Saat tadi berkenalan dengan anak-anak Arsitektur itu, Sofi tidak mendengar (atau barangkali dia yang tidak sadar) ada yang memanggil Attar dengan Pak. Baru sekarang Sofi sadar bahwa ternyata Attar memang seorang dosen. ”Minggu depan kami kesini lagi, buat ngomongin detil kegiatannya Pak. Nanti saya mau menghubungi Pengmasnya TekLing juga.”

Attar mengangguk. Lalu beralih menatap Riah. ”Makasih ya Riah, sudah mengijinkan kami gabung dengan kegiatan Pengmas kalian,” kata Attar dengan ramah.

”Sama-sama Pak,” Riah menjawab dengan senyum lebar, ”Kami juga senang bisa berkolaborasi. Makasih sudah mau ikutan membantu desa yang kami bina selama ini, Pak.”

”Sofia sebenarnya yang kasih ide waktu kita lagi jalan bareng.” Sofi langsung mendelik ke arah Attar, disusul dengan lirikan nakal mahasiswa-mahasiswa di sekitar mereka. Tapi Attar nampak tidak terganggu, dan malah melanjutkan ceritanya. ”Kata Sofia, kalian selama ini punya desa binaan. Makanya saya pikir bakal bagus kalau nggak sekedar membantu pendidikan anak-anaknya aja, tapi juga membantu meningkatkan perekonomian orangtuanya. Makasih ya idenya, Sofia. Makasih juga sudah mengenalkan ke adik-adik kelas kamu.”

Sambil mengucapkan terima kasih, Attar tersenyum sambil mengusap pelan punggung Sofi. Sekilas saja. Tapi sudah membuat Sofia panas dingin. Pertama, karena dia baru tahu bahwa Attar itu dosen. Barangkali kalau Sofi nggak tahu, dia nggak akan merasa salah tingkah seperti ini. Kedua, karena tatapan mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya yang membuatnya tidak nyaman. Biasanya mah dia biasa saja kalau Attar menepuk bahunya. Itu kan sentuhan biasa ya. Tapi rasanya jadi nggak biasa gara-gara dia baru tahu bahwa Attar itu bukan sekedar seniornya, tapi ternyata adalah seorang dosen.

”Eh, em, i-iya, Bang, eh-Pak,” jelas sekali Sofi salah tingkah.

Attar tampak bengong sesaat karena dipanggil Pak oleh Sofi. Tapi kemudian dia tersenyum manis. Bikin Sofi makin ngeri.

”Udah lama jalan bareng mbak Sofia ya Pak?” tanya Lusi tiba-tiba. Sofi curiga, jangan-jangan Lusi ini salah satu penggemar Attar. Dari tadi kepo banget tentang dirinya dan Attar.

Lagi-lagi ketika Sofi ingin mengklarifikasi hubungannya dengan Attar, Attar malah menjawab dengan jawaban yang lebih ambigu. ”Baru beberapa bulan ini sih ya Fi?”

Fi? Sok mesra banget panggilannya?

Sofi bisa melihat lirikan dan cengiran nakal mahasiswa-mahasiswa di sekitarnya mendengar jawaban ambigu Attar itu. Tapi lagi-lagi Attar tidak memberinya kesempatan untuk klarifikasi karena dia segera pamit sambil mengajak Sofi.

”Udah siang. Pulang sana kalian. Siap-siap malem mingguan,” kata Attar setelah bersalaman dengan mahasiswa-mahasiswa itu. Mereka semua cium tangan coy! Pikir Sofi takjub, Dan selama ini gue seenaknya manggil Abang dan bersikap jutek sama dia. Kualat banget!

”Ciyee Bapak. Bilang aja Bapak yang mau malem mingguan,” kali ini Ari yang meledek.

Tapi alih-alih mengelak dari tuduhan mahasiswanya itu, Attar malah membenarkan. ”Iya dong. Saya juga mau malem mingguan. Yuk, Sofia!”

Lalu sebelum bisa dicegah, Attar sudah menarik lengan Sofi sehingga Sofi hanya bisa ber-dadah-dadah pada adik-adik kelasnya dan mahasiswa-mahasiswanya Attar. Sofi menyesalkan sikap Attar yang ambigu, yang jelas-jelas membuat para mahasiswa itu tampak salah paham terhadap hubungan mereka.

”Sofia hari ini sengaja ke kampus karena janjian sama saya aja?” tanya Attar begitu mereka sampai di depan gerbang Fakultas. Dia tidak lagi menarik lengan Sofi.

”Nggak Bang, eh, Pak. Tadi mau bantuin temen saya di lab, tapi sekarang dia udah dibantu pacarnya.”

Sahabat kamu yang pacarnya histeris tadi?”

”Iya, Pak.”

”Jadi sekarang Sofia langsung pulang kan?”

”Iya, Pak.”

”Yaudah yuk bareng.”

”Eh, emm...” Gimana ini cara menghindarinya?

”Kamu kenapa tiba-tiba manggil saya Pak?” tanya Attar tiba-tiba.

”Saya baru tahu bahwa Bapak adalah dosen.”

”Trus kenapa?”

”Nggak sopan kalau nggak manggil Bapak.”

”Saya bukan dosen yang mengajar kamu, Sofia. Jadi panggil saya seperti biasa aja.”

”Nggak enak, Pak.”

”Kalau nggak enak, kasih ke kucing.”

Attar tersenyum karena leluconnya sendiri. Membuat Sofi membalasnya dengan tatapan malas. Tapi anehnya Attar malah tertawa melihat ekspresi Sofi.

”Bapak kenapa nggak pernah bilang ke saya bahwa Bapak seorang dosen?” Sofi bertanya kesal. Merasa ditipu. Meski sebenarnya dia tahu bahwa tidak ada orang yang menipunya selain dirinya sendiri yang memang bodoh.

”Saya nggak mau jawab kalau kamu masih panggil saya Bapak,” Attar menjawab sambil tersenyum iseng.

Sofi menghentakkan kakinya dengan kesal. Membuat Attar makin bahagia menggodanya.

Bodo amat! Pikir Sofi akhirnya. Tanpa menunggu jawaban Attar, Sofi langsung nyelonong pergi.

”Eh kok saya ditinggal?” Attar segera mengejar Sofi dan memegang lengannya supaya Sofi nggak kabur.

”Pak, jangan pegang-pegang,” kata Sofi memperingatkan.

”Pak siapa?” Attar nekat.

”Aduh, iya deh, iya,” Sofi akhirnya menyerah. ”Lepasin dulu Bang, nggak enak dilihat orang.”

”Nggak enak kenapa?”

”Nanti dikira kita ada apa-apa Bang. Tadi aja penggemar Abang kepo banget karena saya nggak panggilBapak.”

”Penggemar saya siapa?”

”Itu, Lusi. Kepo banget dia. Pasti salah satu fans Abang.”

”Ngomongnya nggak usah sambil cemburu gitu dong,” Attar menggoda karena melihat Sofi yang sewot. Padahal Sofi tuh sewot bukan karena ngomongin Lusi, tapi karena males dikira pacarnya Attar.

”Isshh!” Sofi melengos, lalu meninggalkan Attar lagi.

”Marah ya?” tanya Attar sambil menjajari langkah Sofi.

”Nggak,” jawab Sofi singkat.

”Tapi kok jutek gitu?”

Sofi diam saja sambil terus berjalan menuju stasiun kereta. Attar menjajari tepat di sampingnya. Ini cewek badannya kecil, cepet juga jalannya, pikir Attar.

”Saya bukan sengaja menyembunyikan bahwa saya dosen kok. Saya cuma nggak merasa bahwa saya harus memperkenalkan diri sebagai dosen. Maaf ya Sofia, saya beneran bukan bermaksud membohongi kamu lho.”

Sofi tidak segera menjawab. Tapi kemudian akhirnya dia berkata, ”Saya sih yang bego. Sebenarnya saya udah kepikiran soalnya Abang mukanya om-om banget. Tapi karena Abang punya adik yang masih SMP, saya nggak mengira Abang setua itu. Makanya saya nggak menduga Abang adalah dosen.”

”Sarah lahir waktu saya sudah SMA memang. Sebelumnya ibu saya beberapa kali keguguran.”

Sofi manggut-manggut. ”Jadi umur Abang 30 tahunan sekarang?” kata Sofi setelah menghitung dalam hati.

”Dua puluh sembilan,” jawab Attar. ”Saya beberapa kali ikut kelas akselerasi, jadi pas usia 13 tahun saya sudah SMA.”

”Hebat juga ya, akselerasi beberapa kali tapi pas SMP udah bisa punya dua mantan. Keren banget membagi waktunya,” Sofi menyindir.

”Ngomongnya nggak usah sambil cemburu gitu.” Kali ini Attar tertawa senang ketika menyadari bahwa Sofi mengingat obrolan sekilas mereka.

Sofi diam dan hanya membalas dengan tatapan malas. Membuat Attar makin bahagia menggoda gadis itu.

Tepat sebelum masuk ke stasiun kereta Jabodetabek, perut Attar mengeluarkan bunyi yang membuat Sofi tidak tahan untuk tidak menertawakan Attar. Tapi Attar sama sekali tidak merasa tersinggung dengan tawa Sofi yang mengejek. Dia malah jadi punya alasan untuk melaksanakan rencananya.

”Saya lapar. Makan dulu yuk. Saya yang traktir deh,” kata Attar sambil memegang lengan Sofi, tepat sebelum Sofi masuk ke stasiun.

”Eh?”

* * *

Hampir 3000 kata lho ini Kak. Ramaikan vote n komennya yuk Kak 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top