13. Tamu Tak Diundang
Sudah sepekan Sofi tidak datang mengajar. Pada tiap jadwal les mereka, Sofi hanya mengirimi Danan sebuah pesan singkat bahwa dia belum bisa mengajar karena sedang sakit. Tiap kali Danan bertanya tentang penyakitnya, Sofi menjawab bahwa dia hanya kurang enak badan. Tapi sampai akhir pekan itu, terhitung sudah tiga kali Sofi mangkir dari jadwal mereka. Hal itu membuat Danan galau.
Kedua orangtua Danan juga mendapat kabar bahwa Sofi sudah beberapa kali tidak mengajar karena sakit. Maka ketika Danan meminta ijin kepada orangtuannya untuk menjenguk Sofi, mereka tidak kaget lagi. Ibunya Danan bahkan menitipkan kue untuk Sofi, sebagai buah tangan untuk menjenguknya.
Hari Sabtu itu, sekitar jam 10 pagi Pak Agus mengantarkan Danan ke rumah Sofi. Pak Agus tidak menunggu disana karena harus segera kembali ke rumah dan mengantarkan ibunya Danan belanja bulanan. Dia berjanji segera menjemput Danan begitu Danan mengiriminya pesan untuk datang.
Begitu mobil yang dikendari Pak Agus berbelok di ujung jalan dan tidak terlihat lagi, Danan membuka pintu pagar rumah Sofi. Pagarnya tidak dikunci, berarti ada orang di rumah. Pun, ketika pintu rumah itu diketuk, segera terdengar sahutan dari dalam rumah. Danan mengenalinya sebagai suara Sofi. Refleks, Danan tersenyum mendengarnya.
Tapi ketika pintu terbuka dan menunjukkan sosok Sofi di hadapannya, senyum Danan lenyap. Jantungnya berdebar ketika melihat Sofi berdiri di hadapannya memakai kaos rumah yang kebesaran, dengan rambut digelung asal-asalan dengan hair stick. Saat mengajar, Sofi terbiasa mengikat rambutnya dengan sederhana, sehingga baru kali itu Danan melihat Sofi menggulung dan menaikkan rambutnya ke atas. Melihat leher dan tengkuk Sofi yang tidak tertutup rambut membuat Danan menelan ludah dengan kesusahan. Tapi ketika matanya tidak sengaja beralih ke bibir Sofi, jantungnya mencelos.
”Ngapain lo kesini?”
”Bibir lo kenapa Mbak?”
Mereka mengatakan hal itu berbarengan. Setelahnnya, mereka tertawa bersama. Suara tawa yang tetap membuat jantung Danan berdesir.
”Ngapain lo kesini?” Sofi bertanya lagi, setelah tawa mereka reda.
”Lo udah seminggu nggak ngajar karena sakit. Gue khawatir. Bibir lo kenapa?”
Belum sempat Sofi menjawab, sudah terdengar suara seorang perempuan dari dalam rumah, menanyakan siapa tamunya.
”Murid Pia, Ma,” Sofi menjawab dengan suara agak keras supaya bisa terdengar sampai ke dalam rumah.
Sofi mengalihkan pandangannya kembali kepada Danan. ”Gue baik-baik aja. Ini cuma kejedot aja,” katanya sambil menunjuk bibirnya. ”Sori beberapa kali nggak bisa ngajar. Cuma kurang enak badan aja kok.”
Meski tidak yakin, Danan merasa Sofi sedang berbohong.
”Gue kira lo sakit apa, sampai lama banget nggak dateng.”
Sofi tersenyum minta maaf.
”Muridnya disuruh masuk, Pia! Jangan di depan pintu! Pamali.” Danan mendengar Ibunya memerintah dari dalam.
Ternyata di rumah dia memang dipanggil Pia, gumam Danan dalam hati.
”Cuma sebentar kok, Ma,” Sofi menjawab.
Tapi dengan tidak tahu malunya, Danan mengatakan hal lain, sambil menerobos masuk dan duduk di sofa ruang tamu. ”Makasih, Tante. Saya masuk ya, Tante.”
Sofi manyun, tapi tidak bisa mengusir anak tengil itu keluar.
”Hari Senin gue ngajar lagi kok,” kata Sofi sambil duduk sofa, di samping Danan. Dengan info tersebut, Sofi berharap Danan tahu bahwa dirinya baik-baik saja sehingga tidak perlu berlama-lama singgah di rumahnya.
”Bagus deh. Gue udah kangen.”
Kalau kalimat itu diucapkan oleh Bima, barangkali hatinya sudah berdesir. Tapi karena ini diucapkan oleh anak SMP, Sofi justru nyengir geli.
”Ini dari Ibu,” kata Danan kemudian, menyerahkan bungkusan yang sejak tadi dipegangnya. Dia teringat pada kue yang dititipkan ibunya untuk Sofi.
”Aduh, jadi ngerepotin Ibu. Padahal gue nggak enak badan doang. Tolong sampaikan makasih buat Ibu ya, Nan.”
Saat itu ibunya Sofi datang dengan segelas sirup dan sepiring kue-kue untuk disuguhkan kepada sang tamu. Dengan sopan, Danan bangkit dari duduknya ketika melihat ibunya Sofi masuk ke ruang tamu.
Calon Ibu Mertua, gumam Danan dalam hati. Sinting memang dia.
”Maaf ya, cuma ada ini. Diminum dan dimakan ya ....”
”Danan, Tante,” Danan segera menyebutkan namanya, lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan ibunya Sofi.
Ketika ibunya Sofi mengulurkan tangannya, Danan mencium tangan perempuan itu dengan takzim. ”Saya Danan, Tante, muridnya Mbak Pia.”
Sofi sampai takjub dengan kelakua Danan. Anak itu biasa bersikap tengil di hadapannya. Tapi kenapa di hadapan ibunya, dia jadi sopan begini? Kesambet?
”Saya mamanya Pia. Mau jenguk Pia ya?”
”Iya, Tante. Udah beberapa hari nggak ngajar. Saya pikir sakit parah.”
”Sehat bugar dia mah,” kata ibunya Sofi. Kalau nggak ingat bahwa beliau adalah ibunya, rasanya Sofi ingin membungkam mulut ibunya saat itu juga. ”Cuma stres, abis kalah berantem sama preman. Lagian sih, sok pahlawan nolongin orang yang dicopet. Jadinya kan premannya dendam. Padahal Tante udah sering bilang, belajar bela diri buat melindungi diri sendiri aja. Perempuan dengan badan kecil begini, harus bisa menjaga diri sendiri. Tapi nggak usah sok pahlawan bantuin oranng lain lah. Kan malah nyusahin diri sendiri kalau begini.”
Buset deh, masih dilanjut nih ngomelnya?, gerutu Sofi dalam hati. Pada malam ia pulang dengan keadaan mengenaskan itu, alih-alih menenangkan anaknya, ibunya Sofi malah mengobati luka Sofi sambil panjang lebar mengomelinnya untuk tidak bertindak sok pahlawan lagi di lain hari.
”Berantem sama preman lagi?” spontan Danan bertanya. Jadi luka di bibir itu benar bukan hanya kejedot kan?
Tapi bukannya menjawab pertanyaan Danan, Sofi malah balik bertanya. ”Lagi?”
Danan terpaku.
Selama ini dia tidak pernah mengaku bahwa dirinya pernah diselamatkan oleh Sofi. Pernah dia mencoba memancing ingatan Sofi tentang dirinya, tapi sepertinya Sofi tidak menginngatnya sehingga Danan mengurungkan niatnnya untuk mengaku pada Sofi. Tapi kali itu ia kelepasan bicara. Barangkali memang sudah waktunya untuk mengaku.
”Dulu Mbak Pia juga pernah berantem sama preman saat menolong saya yang dipalak. Saya berhutang budi sama Mbak Pia, Tante.”
Ibunya Sofi tampak kehilangan kata-kata. Ternyata sikap sok pahlawan Sofi mendapat penghargaan seperti itu.
Sementara itu, Sofi terkejut dengan kata-kata Danan. Dia menatap Danan tajam. Dan kali itu akhirnya dia bisa mengingat Danan sebagai anak SMP yang beberapa bulan lalu pernah diselamatkannya dari pemalakan para preman. Tapi kenapa Danan baru bilang sekarang?
”Oiya, Danan, ditemani Mbak Pia ya. Tante harus masuk lagi,” kata ibunya Sofi kemudian. ”Masih banyak pesaan kue yang belum matang.”
”Danan sudah mau pulang kok Ma. Pia lanjut bantuin lagi,” kata Sofi cepat. Secara halus mengusir Danan. ”Lo udah mau pulang kan Nan?”
Tapi alih-alih menjawab pertanyaan Sofi, Danan malah bertanya pada ibunya Sofi dengan antusias. ”Pesanan kue? Tante jago bikin kue ya? Danan bantuin, boleh?”
”Nggak usah. Nanti Danan repot. Lagian emang nggak ditungguin sama oragtuanya di rumah?” ibunya Sofi menolak dengan sopan.
”Nggak kok, Tante. Supirnya Danan sedang mengantar Ibu saya belanja bulanan. Jadi sekalian Danan menunggu supir saya menjemput, boleh kan Danan bantuin Tante?”
Sofi menghela napas lelah. Ini anak apa maunya?, desis Sofi dalam hati, sambil melirik Danan sebal.
Gue mau mengambil hati calon ibu mertua. Danan menjawab dalam hati dengan lirikan tengil.
* * *
Tengil amat anak SMP ngomongin calon ibu mertua
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top